Jumat, 12 Juli 2024

Subyek dan Objek Pendidikan Islam serta Fungsinya

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah : Ilmu Tarbawi
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ichsanuddin, M. Phil
Disusun Oleh Kelompok 5 Angkatan 5 :
1. Nindy Kurnianingrum (PAI)
2. Dina Zahernanda (SBA)
3. Roslina Asis (PAI)
4. Jannatul Firdausi Nuzula (PAI)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan pertolongan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqamah mengikutinya hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Tarbawi yang berjudul “Subyek dan Objek Pendidikan Islam Serta Fungsinya”. Dengan kerja sama yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terimakasih banyak.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak sekali kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi membantu perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang luas serta dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dalam upaya merencanakan sistem pendidikan yang lebih baik kedepannya.

Cileungsi, 11 Juli 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 5

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
A. Pengertian Subyek dan Objek Pendidikan Islam.
B. Referensi Ayat (Subjek Pendidikan Islam).
C. Referensi Ayat (Objek Pendidikan Islam).
D. Fungsi Pendidikan Islam.
BAB III PENUTUP.
A. Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan agama islam yaitu usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak agar kelak dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan agama islam, serta menjadikannya sebagai jalan kehidupan, baik pribadi maupun kehidupan masyarakat.

Dalam makalah ini kita akan mempelajari mengenai subjek dan objek dalam pendidikan islam beserta fungsinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan subjek dan objek pendidikan islam ?
2. Apa saja subyek pendidikan islam menurut QS: Ali Imron : 18, An Nahl : 43-44, Al Kahfi : 66 ?
3. Apa saja objek pendidikan islam menurut QS: At-Tahrim : 6, Asyu’ara : 214, Thaha : 132, An-Nisa’ : 170 ?
4. Apa saja fungsi pendidikan islam ?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian subjek dan objek pendidikan islam.
2. Mengetahui subyek pendidikan islam menurut QS: Ali Imron : 18, An Nahl : 43-44, Al Kahfi : 66.
3. Mengetahui objek pendidikan islam menurut QS: At-Tahrim : 6, Asyu’ara : 214, Thaha : 132, An-Nisa’ : 170.
4. Mengetahui fungsi pendidikan islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Subyek dan Objek Pendidikan Islam

a). Subyek Pendidikan Islam

Subyek pendidikan sangat berpengaruh sekali kepada keberhasilan atau gagalnya pendidikan. Subyek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang di ajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan. Subyek pendidikan yang dipahami oleh kebanyakan para ahli yaitu orang tua, guru-guru di sekolah (dalam lingkup Formal) maupun non formal dan lingkungan masyarakat.

Sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah lingkungan keluarga (orang tua). Salah satu unsur penting dalam proses pendidikan adalah pendidik. Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik.

Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah, tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.

Dalam ajaran Islam, pendidik (Guru) mendapatkan penghargaan yang tinggi. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Hal ini dikarenakan guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.

Dalam perspektif islam, pendidik yang paling utama atau yang paling bertanggung jawab adalah orang tua. Karena anak (murid) itu adalah anak mereka, artinya Allah telah menitipkan anak itu kepada kedua orang tua itu. Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah yang kedua adalah Rasulullah.[1] 
[1] https://dewibahagia.blogspot.com/2015/01/subjek-pendidikan-islam.html diakses pada Kamis, 11 Juli 2024.
Sebagaimana dapat kita lihat dalam Al-Qur'ansurat Al-‘Alaq: 4 - 5:


الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ (٤) عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ (٥)

Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa subjek pendidikan adalah seseorang atau sesuatu yang telah mengajarkan kita ilmu. Seseorang ini bukan hanya seorang guru tapi siapapun atau apapun yang dapat mengajari kita. Pendidikan yang pertama kali terjadi dalam ruang lingkup yang sangat sederhana yaitu keluarga. Subyek pendidikannya adalah orang tua, terutama ibu. Kita dapat memperoleh ilmu dari mana saja, seperti lingkungan, masyarakat, alam, dan semua ciptaan Allah Subhanahu wa ta'ala.

b). Objek Pendidikan Islam

Objek Pendidikan yaitu orang yang menjadi pokok sasaran pendidikan adalah proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai keseimbangan materi dan religius spiritual.[2] Membahas mengenai objek pendidikan Islam tentu sasaran dan tujuannya sama dengan objek pendidikan yang lainnya. Hal ini seperti yang telah diuatarakan bahwasannya objek dalam ilmu pendidikan Islam ini diartikan sebagai suatu yang menjadi tujuan keilmuan.[3] Maka oleh karena itu dalam kajian objek pendidikan Islam sebagai sasaran pendidikannya terdiri dari dua objek yang sama dengan objek keilmua yaitu objek material dan objek formal.
[2] Mas’ud, Abdurrahman dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam.Semarang: Pustaka Pelajar. Hlm. 7
[3] Ali, Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PKPI2 Universitas Wahid Hasyim. Hlm. 41

Adapun untuk lebih jelasnya mengenai kedua objek pendidikan tersebut maka diperinci sebagai berikut:

1. Objek material yaitu manusia atau siswa atau peserta didik. Lebih tepatnya masyarakat dalam ruang lingkup sosial dan peserta didik atau siswa dalam ruang lingkup organisasi pendidikan,

2. Objek formal yaitu usaha atau proses atau cara manusia untuk menjadi insan yang kamil, contohnya beribadah, belajar, beramal baik dan lainnya.

Dari kedua objek yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui bahwa objek dari pendidikan Islam itu sendiri memiliki dua ranah pemabahasan. Hal ini karena Agama Islam sendiri mengajarkan atau mendidik manusia untuk bukan hanya menjadi manusia yang memiliki kehidupan sahaja namun juga menjadi manusia muslim yang berakhlakul karimah.

Manusia sebagai objek material adalah karena manusia dalam konsep dasar Islam disebut sebagai fitrah. Maksud daripada Fitrah dalam hal ini yaitu sebagi makhluk yang terus menerus terdidik untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan objek formal nya adalah usaha atau upaya dari manusia itu sendiri dalam aktivitas pendidikan yang membawa mereka kepada manusia yang kamil seperti yang telah disebutkan diatas yaitu manusia yang memiliki pribadi muslim yaitu beriman, Islam dan ihsan secara menyeluruh.

Maka dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa objek pendidikan adalah sasaran pokok yang dikenakan dalam praktik pendidikan yaitu peserta didik dan proses pendidikan yang ditujukan agar kedua objek tersebut mampu berlandaskan pemahaman tentang nilai-nilai material dan spiritual yang baik, dalam menghantarkan kehidupan yang seimbang antara dunia dengan akhirat.

B. Referensi Ayat (Subyek Pendidkan Islam)

1. QS. Al-Imran ayat 18 [4]
[4] http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-18-20.html?m=1 diakses, Rabu 10 Juli 2024

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Artinya: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Allah memberikan pernyataan-Nya, dan cukuplah Allah sebagai saksi. Dia adalah saksi Yang Mahabenar lagi Mahaadil, dan Mahabenar firman-Nya.

أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ
"bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia". (QS: Ali Imran [3]: 18)

Artinya, hanya Dialah Tuhan semua makhluk, dan bahwa semua makhluk adalah hamba-hamba-Nya dan merupakan ciptaan-Nya semua makhluk berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Mahakaya terhadap semuanya selain Dia sendiri. Perihalnya sama dengan yang diungkapkan oleh Allah Swt. dalam firman lainnya, yaitu:

لكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِما أَنْزَلَ إِلَيْكَ
"tetapi Allah mengakui Al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepadamu". (QS: An-Nisa [4]: 166), hingga akhir ayat.

Kemudian Allah mengiringi pernyataan-Nya itu dengan kesaksian para malaikat dan orang-orang yang berilmu, yang disertakan dengan kesaksian (pernyataan)-Nya. Untuk itu Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman: Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (begitu pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. (QS: Ali Imran [3]: 18)

Hal ini merupakan suatu keistimewaan yang besar bagi para ulama dalam kedudukan tersebut.

قائِماً بِالْقِسْطِ
"Yang menegakkan keadilan". (QS: Ali Imran [3]: 18)

Lafaz qa-iman di-nasab-kan sebagai hal. Dengan kata lain, Allah Subhanahu wa ta’ala. senantiasa menegakkan keadilan dalam semua keadaan.

لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ
"Tidak ada Tuhan melainkan Dia". (QS: Ali Imran [3]: 18)

Kalimat ayat ini berkedudukan sebagai taukid atau yang mengukuhkan kalimat sebelumnya.

الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
'Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana". (QS: Ali Imran [3]: 18)

Al-Aziz Yang Mahaperkasa, Yang keagungan dan kebesaran-Nya tidak dapat dibatasi, lagi Mahabijaksana dalam semua ucapan, perbuatan, syariat, dan takdir-Nya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا بَقِيَّة بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي جُبَيْرُ بْنُ عَمْرو الْقُرَشِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيد الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِي يَحْيَى مَوْلَى آلِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بعرفةَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ: {شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ} "وأَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ يَا رَبِّ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepadaku Jubair ibnu Amr Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Ansari, dari Abu Yahya maula keluarga Az-Zubair ibnul Awwam, dari Az-Zubair ibnul Awwam yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Shalallahu alaihi wasallam. Di Arafah membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ali Imran: 18); Sesudah itu beliau. mengucapkan: Dan aku termasuk salah seorang yang mempersaksikan hal tersebut, ya Tuhanku.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui jalur lain. Untuk itu ia mengatakan:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ حَفْصِ بْنِ ثَابِتٍ أَبُو سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ} قال: "وأَنَا أشْهَدُ أيْ رَبِّ

"Telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Mutawakkil Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Hafs ibnu Sabit Abu Sa'id Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Az-Zubair yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. ketika membacakan ayat ayat ini: Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, begitu pula para malaikat". (QS: Ali Imran [3]: 18); Lalu beliau mengucapkan: Dan aku ikut bersaksi, ya Tuhanku.

Setelah Allah memberi pujian kepada kaum mukmin, ayat ini menegaskan bahwa dalil-dalil yang bisa menguatkan keimanan sudah begitu jelas. Allah menyatakan, yakni menjelaskan kepada seluruh makhluk bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, dan tidak ada sekutu bagi- Nya. Demikian pula para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyaksikan atas keesaan-Nya. Bahkan, semuanya menyaksikan bahwa Allah tampil secara utuh untuk menegakkan keadilan, melalui dalil-dalil yang kuat. Allah adalah satu-satunya Penguasa dan Pengatur alam semesta ini, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana dalam pengaturan dan penetapan hukum-hukum-Nya.

2. QS. An-Nahl ayat 43-44 dan ayat 78

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ٤٣

"Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui".

Pengutusan para nabi dan rasul adalah sesuatu yang hak dan benar adanya. Dan Kami tidak mengutus kepada umat manusia sebelum engkau, wahai Muhammad, melainkan orang laki-laki terpilih yang memiliki keistimewaan dan ketokohan dari kalangan manusia, bukan malaikat, yang Kami beri wahyu kepada mereka melalui utusan Kami, Jibril agar disampaikannya kepada umat mereka; maka bertanyalah, wahai orang yang meragukan keesaan Allah dan tidak mengetahui tuntunan-Nya, kepada orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui.

Allah menyatakan bahwa Dia tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Nabi Muhammad kecuali manusia yang diberi-Nya wahyu. Ayat ini menggambarkan bahwa rasul-rasul yang diutus itu hanyalah laki-laki dari keturunan Adam a.s. sampai Nabi Muhammad saw yang bertugas mem-bimbing umatnya agar mereka beragama tauhid dan mengikuti bimbingan wahyu. Oleh karena itu, yang pantas diutus untuk melakukan tugas itu adalah rasul-rasul dari jenis mereka dan berbahasa mereka. Pada waktu Nabi Muhammad saw diutus, orang-orang Arab menyangkal bahwa Allah tidak mungkin mengutus utusan yang berjenis manusia seperti mereka. Mereka menginginkan agar yang diutus itu haruslah seorang malaikat, seperti firman Allah swt: Dan mereka berkata, "Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia." (QS: al-Furqan [25]: 7) Dan firman-Nya: Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka, "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan." Orang-orang kafir berkata, "Orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir." (QS: Yunus [10]: 2) Mengenai penolakan orang-orang Arab terhadap kerasulan Muhammad karena ia seorang manusia biasa, dapat dibaca dari sebuah riwayat adh-ahhak yang disandarkan kepada Ibnu 'Abbas bahwa setelah Muhammad saw diangkat menjadi utusan, orang Arab yang mengingkari kenabiannya berkata, "Allah lebih Agung bila rasul-Nya itu bukan manusia." Kemudian turun ayat-ayat Surah Yunus di atas. Dalam ayat ini, Allah swt meminta orang-orang musyrik agar bertanya kepada orang-orang Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, apakah di dalam kitab-kitab mereka terdapat keterangan bahwa Allah pernah mengutus malaikat kepada mereka. Kalau memang disebutkan di dalam kitab mereka bahwa Allah pernah menurunkan malaikat sebagai utusan Allah, mereka boleh mengingkari kerasulan Muhammad. Akan tetapi, apabila disebutkan di dalam kitab mereka bahwa Allah hanya mengirim utusan kepada mereka seorang manusia yang sejenis dengan mereka, maka sikap mereka mengingkari kerasulan Muhammad saw itu tidak benar.[5]
[5] Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, Terj. Abu Ihsan al-Atsari, Jld, V (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006)

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ ٤٤

"(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan".

Para rasul itu kami utus dengan membawa keterangan-keterangan berupa mukjizat yang membuktikan kenabian dan kerasulan mereka. Dan sebagian dari mereka membawa kitab-kitab yang berisi hukum, nasihat, dan aturan yang menjadi pedoman bagi kehidupan kaumnya. Dan Kami turunkan adz-dzikr, yakni Al-Qur'an, kepadamu, wahai Nabi Muhammad, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka berupa tuntunan dan petunjuk dalam kitab tersebut agar mereka tahu dan mengikuti jalan yang benar dan agar mereka memikirkan hal-hal yang menjadi pelajaran untuk kemaslahatan mereka di dunia dan akhirat.

Sesudah itu Allah swt menjelaskan bahwa para rasul itu diutus dengan membawa bukti-bukti nyata tentang kebenaran mereka. Yang dimaksud dengan bukti-bukti yang nyata dalam ayat ini ialah mukjizat-mukjizat yang membuktikan kebenaran kerasulan mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan az-zubur ialah kitab yang mengandung tuntunan hidup dan tata hukum yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ayat ini juga menerangkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw supaya beliau menjelaskan kepada manusia mengenai ajaran, perintah, larangan, dan aturan hidup yang harus mereka perhatikan dan amalkan. Al-Qur'an juga mengandung kisah umat-umat terdahulu agar dijadikan suri teladan dalam menempuh kehidupan di dunia. Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan merinci ayat-ayat yang bersifat global mengkhususkan yang bersifat umum, membatasi yang mutlak dan lain-lain agar mudah dicerna dan sesuai dengan kemampuan berpikir mereka. Di akhir ayat, Allah swt menegaskan agar mereka memikirkan kandungan isi Al-Qur'an dengan pemikiran yang jernih untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat, terlepas dari berbagai macam azab dan bencana seperti yang menimpa umat-umat sebelumnya.

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٧٨

"Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur".

Allah Mahakuasa dan Maha Mengetahui; tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya. Dan di antara bukti kekuasaan dan pengetahuan Allah adalah bahwa Dia telah mengeluarkan kamu, wahai manusia, dari perut ibumu. Kamu sebelumnya tidak ada, kemudian terjadilah suatu proses yang mewujudkanmu dalam bentuk janin yang hidup dalam kandungan ibu dalam waktu yang ditentukan-Nya. Ketika masanya telah tiba, Allah lalu mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, baik tentang dirimu sendiri maupun tentang dunia di sekelilingmu. Dan Dia memberimu pendengaran agar dapat mendengar bunyi, penglihatan agar dapat melihat objek, dan hati nurani agar dapat merasa dan memahami. Demikianlah, Allah menganugerahkan itu semua kepadamu agar kamu bersyukur.

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan kegaiban dan keajaiban yang sangat dekat dengan manusia. Mereka mengetahui fase-fase pertumbuhan janin, tetapi tidak mengetahui bagaimana proses perkembangan janin yang terjadi dalam rahim sehingga mencapai kesempurnaan. Sejak bertemunya sel sperma dan sel telur sampai menjadi manusia baru yang membawa sifat-sifat kedua orang tua dan leluhurnya. Dalam proses kejadian ini, terdapat rahasia hidup yang tersembunyi. Sesudah mencapai kesempurnaan, Allah mengeluarkan manusia dari rahim ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi sewaktu masih dalam rahim, Allah menganugerahkan potensi, bakat, dan kemampuan seperti berpikir, berbahagia, mengindra, dan lain sebagainya pada diri manusia. Setelah manusia lahir, dengan hidayah Allah segala potensi dan bakat itu berkembang. Akalnya dapat memikirkan tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan, serta hak dan batil. Dengan pen-dengaran dan penglihatan yang telah berkembang itu, manusia mengenali dunia sekitarnya, mempertahankan hidupnya, dan mengadakan hubungan dengan sesama manusia. Dengan perantaraan akal dan indra, pengalaman dan pengetahuan manusia dari hari ke hari semakin bertambah dan berkembang. Semua itu merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia yang tidak terhingga. Oleh karena itu, seharusnyalah mereka bersyukur kepada-Nya, baik dengan cara beriman kepada keesaan Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain maupun dengan mempergunakan segala nikmat Allah untuk beribadah dan patuh kepada-Nya. Hadis Nabi saw: Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah swt berfirman, "Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekat kepada-Ku seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menjalankan pekerjaan yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku selalu mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan menjalankan ibadah-ibadah sunah sehingga Aku menyukainya. Apabila Aku telah menyukainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pakai mendengar, penglihatannya yang ia pakai melihat, tangannya yang ia pakai memukul, dan kakinya yang ia pakai berjalan. Apabila ia memohon kepada-Ku, pasti akan Kukabulkan permohonannya, dan apabila ia minta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi dia. (Riwayat al-Bukhari)

3. QS. Al Kahfi ayat 66

قَالَ لَهٗ مُوسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا٦٦

Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”

Nabi Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu, yakni menjadi pengikut dan muridmu yang senantiasa bersamamu ke mana pun engkau pergi, agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku?"

Dalam ayat ini, Allah menyatakan maksud Nabi Musa a.s. datang menemui Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Khidir dan berkata kepadanya, "Saya adalah Musa." Khidir bertanya, "Musa dari Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya, benar!" Maka Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud agar Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Dalam ayat ini, Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan. Itu berarti bahwa Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau menempatkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah diberikan kepadanya. Menurut al-Qadhi, sikap demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.[6]
[6] Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005

C. Referensi Ayat (Obyek Pendidikan Islam)

1. QS. At-Tahrim ayat 6

Allah berfirman dalam Al-Quran surah AT-Tahrim Ayat 6 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Di dalam surah tersebut di perintahkan bagi manusia yang beriman selalu memerintahkan, mendidik , mengarahkan dirinya ke arah yang lebih baik serta keluarganya dari api neraka, karena di dalam surah ini sangat pentingnya pendidikan yang bernuansa Islami demi kemaslahatan dirinya dan keluarganya sehingga terpelihara dari api neraka terebut.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bagaimana pentingnya menjaga diri sendiri dan keluarga serta mendidik mereka sehingga mereka takut terhadap api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.

Abdullah bin Abbas memberikan komentar atas pengertian ayat tersebut, “kamu semua hendaknya mengajar keluargamu dalam syariat-syariat Islam.” Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik kepada keluarganya. Sebab, manusia yang sangat berat siksanya pada hari kiamat adalah orang di mana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam.

Berdasarkan salah satu hadits Rasulullah SAW, bahwa secara umum tugas dan kewajiban orangtua di rumah tangga yang terkait dengan upaya mendidik anak ada tujuh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya : Kewajiban orangtua terhadap anaknya memberi nama baik, membaguskan (mengajar) akhlaknya, mengajar baca tulis, mengajar berenang, mengajar memanah atau menembak (keterampilan), memberi makan yang halal dan menjodohkan (menikahkannya) bila telah dewasa dan orang tua mampu. Al-Qur’an memperingatkan kaum mukminin agar menjalankan kewajiban mereka di rumah, yaitu mendidik, mengarahkan, dan mengingatkan. Kaum mukminin harus menjaga keluarga mereka dari api neraka dan menjelaskan hakikat neraka berikut orang-orang kafir penghuninya.

Kewajiban mendidik anak dalam keluarga dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar, karena orangtua memang mencintai anaknya. Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam rumah tangga. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati, artinya orangtua tidak dapat berbuat lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga, karena mereka ditakdirkan menjadi orangtua dari anaknya yang dilahirkannya, sehingga harus menjadi penanggung jawab pertama dan utama.

Jika seorang ayah khawatir bila anaknya terbakar api dunia dan menyiapkan banyak antisipasi untuk melindunginya dari api, maka ketakutan ayah terhadap api akhirat haruslah lebih besar. Melindungi anak dari api akhirat adalah dengan mendidik, mengajar dan membimbing anak agar menunaikan hak-hak Islam.

Banyak amalan shalih yang dapat menjadikan seseorang masuk surga dan menjauhkan diri dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlak baik, saling tolong menolong dan sebagainya. Diantara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu adalah mendirikan shalat dan sabar, Ibnu Abbas berkata, dalam mengartikan firman Allah “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” yaitu perbanyaklah ketaatan kepada Allah, takutlah dari bermaksiat kepada Allah, serta ajaklah keluargamu untuk berdzikir kepada Allah, karena hal itulah yang akan menyelamatkanmu dari api neraka. Muqatil berkata, “Ayat tersebut bertujuan supaya seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, menyuruh mereka berbuat baik, melarang mengerjakan keburukan, serta ia bersama-sama mereka mengerjakan perintah Allah, membantu mereka dalam urusan ketakwaan kepada Allah”. Ad-Dahak berkata, “menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengajari anak, keluarga, kerabat dan budaknya mengenai hal-hal yang diwajibkan Allah kepada mereka, serta perkara-perkara yang semestinya dijauhi mereka”. Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Al-Qur'an surat At-Tahrim ayat 6 diantaranya:

1. Perintah takwa kepada Allah SWT dan berdakwa, oleh karena itu kita di wajibkan oleh Allah untuk taat kepada Allah supaya selamat dari api neraka.

2. Anjuran menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka di antaranya adalah mendirikan shalat dan bersabar.

3. Pentingnya pendidikan Islam sejak dini.

4. Keimanan kepada para malaikat.

Dan manfaat pendidikan yang baik adalah :

1. Berbakti kepada orang tua.

2. Keperwiraan dan kewanitaan yang baik.

3. Akhlak terpuji.

4. Membentuk keluarga muslim yang tangguh.

5. Merebaknya cinta di antara anak-anak.

Jadi manfaat pendidikan yang baik itu sangatlah banyak anak-anak saling.

berkasih sayang, saling peduli, dan saling mencintai. Cinta mereka tidak hanya ditujukan untuk saudara mereka saja melainkan mereka mencintai setiap orang yang mencintai Allah dan Rasul Nya.

2. QS. Asyu’ara ayat 214

“dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS: Asy-Syu‟ara [26]: 214).

Tafsir Al-Misbah

Ketika ayat ini turun, Rasul saw. naik ke puncak bukit Shafa, di Mekah, lalu menyeru keluarga dekat beliau dari keluarga besar Ady dan Fihr yang berinduk pada suku Quraisy. Semua keluarga hadir atau mengirim utusan. Abu Lahab pun datang, lalu Nabi saw. bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, jika aku berkata bahwa di belakang lembah ini ada pasukan berkuda bermaksud menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” Mereka berkata: “Ya, kami belum pernah mendapatkan darimu kecuali kebenaran.” Lalu Nabi bersabda: “Aku menyampaikan kepada kamu semua sebuah peringatan, bahwa di hadapan sana (masa datang) ada siksa yang pedih.” Abu Lahab yang mendengar sabda beliau itu, berteriak kepada Nabi saw. berkata: “Celakalah engkau sepanjang hari, apakah untuk maksud itu engkau mengumpulkan kami?” Maka turunlah surah Tabbat Yada A bi Lahab” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui Ibn Abbas).

Riwayat lain mengatakan bahwa ketika itu Nabi saw. bersabda: “Wahai suku Quraisy, tebuslah diri kamu. Aku tidak dapat membantu kamu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Shafiah (saudara perempuan ayah Rasulullah) aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Abbas putra Abdul Muththalib, aku tidak dapat membantumu sedikitpun di hadapan Allah; Wahai Fathimah putri Muhammad, mintalah apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah” (HR. Bukhari, Muslim an-Nasa‟i dan lain-lain melalui Abu Hurairah).

Demikian ayat ini mengajarkan kepada Rasul saw. dan umatnya agar tidak mengenal pilih kasih, atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti Nabi saw. dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada Rasul saw., karena semua adalah hamba Allah, tidak ada perbedaan antara keluarga atau orang lain. Bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada Allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak yang mulia.

Tafsir Al-Azhar

"Maka beri peringatanlah kaum kerabat engkau yang terdekat." (ayat 2l4). sesudah Rasulullah s.a.w. diberi peringatan supaya beliau jangan menyeru Tuhan yang lain beserta Allah, disuruhlah beliau supaya menyampaikan peringatan terutama kepada kaum keluarganya yang terdekat.

Tentang perintah Tuhan agar beliau mengutamakan terlebih dahulu menyampaikan peringatan kepada keluarganya terdekat, maka ada beberapa Hadis menjelaskan sikap beliau setelah ayat ini turun.

Dirawikan oleh al-lmam Ahmad, berkata beliau: "Menceriterakan kepada kami' Abdullah bin Numair dan al-A'masy dari 'Amer bin Murrah, dari Said bin Jubair dari Abdullah bin Abbas r.a., dia berkata: "seketika ayat memerintahkan supaya beliau menyamaikan peringatan kepada keluarganya terdekat itu, Nabi s.a.w. ke Bukit ash-Shafa, lalu naik ke atasnya. Dari sana beliau berujar, "ya Sahabat! Datanglah! Maka orang pun berkumpul ramai, ada yang datang sendiri dan ada yang mengutus utusan. Lalu Nabi s.a.w. berkata: Wahai seluruh keturunan Abdul Muthalib, wahai seluruh keturunan Fihr, wahai seluruh keturunan Lu-aiy, bagaimana pendapat kamu jika aku katakan kepadamu bahwa di balik bukit ini ada seperangkat tentara berkuda sedang hendak menyerbu ke mari menyerang kamu, apakah kamu percaya kata-kataku itu?" Semua menjawab: "Na'am! Kami percaya!" Lalu disambungnya lagi: "sekarang aku katakan kepadamu semua, bahwasanya saya berdiri di gunung ini "untuk memperingatkan kepada kamu sekalian bahwa azab siksaan Allah yang besar mengancam kamu sekalian!" Mendengar itu berkatalah Abu Lahab: "Celakalah engkau untuk seluruh hari ini! Untuk mendengar itukah kami engkau suruh berkumpul ke mari?" lnilah asal mula turun ayat "Tabbat yadaa abi lahabin" (Celaka kedua belah tangan Abu Lahab dan terkulailah)' Hadis ini dirawikan oleh Bukhari, Muslim, at- Termidzi, an-Nasa'i dari jalan al-A'masy. (Hadis Pertama). Hadis Kedua: Dari al-lmam Ahmad juga, beliau mengatakan dia menerima berita dari Waki'. Dia mengatakan menerima dari Hisyam, Hisyam menerima dari ayahnya dan ayahnya ini menerima dari Aisyah (isteri Nabi s.a.w.), dia berkata: "tatkala ayat yang menyuruh Nabi memberi peringatan kepada keluarganya yang terdekat ini turun, berdirilah Rasulullah s.a.w. lalu beliau bersabda: "Hai Fatimah anak Muhammad! Hai Shafiah anak perempuan Abdul Muthalib, hai keturunan Abdul Muthalib semua. Saya tidak mempunyai kekuasaan untuk menolong kamu sekalian. Mintalah hartaku apa yang kamu sukai!" Dirawikan oleh Muslim. Maksud Hadis, ialah kalau kiranya mereka meminta tolong kepada Rasulullah s.a.w. walaupun Fatimah anak kandungnya sendiri, hendak melepaskan mereka dari azab Tuhan kalau berdosa, tidaklah beliau dapat menolong. Sebab itu tidak dalam kekuasaannya. Tetapi kalau hartanya yang diminta, hanya itulah yang dapat beliau berikan'

Hadis Ketiga: Dari al-lmam Ahmad juga, dengan Sanadnya dari Abu Hurairah bahwa seketika ayat menyuruh memberi peringatan kepada keluarga terdekat ini turun, Rasulullah s.a.w. memanggil orang Quraisy, lepaskanlah dirimu dari api neraka! ..Hai sekalian Bani Hurri, peliharalah dirimu dari api neraka! Hai keturunan Abdi Manaf, lepaskanlah dirimu dari api neraka! Karena aku ini, demi Allah, tidaklah mempunyai kekuasaan apa- apa buat membela kamu, kecuali karena di antara kita ada hubungan rahim, yang aku akan turut basah karnanya." Dirawikan juga oleh Muslim dan at- Termidzi.

Dirawikan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah: "Hai keturunan Abdul Muthalib, bebaskanlah dirimu dari api neraka! Hai shafiah 'Ammah (saudara perempuan ayah) Rasulullah, hai Fatimah anak perempuan Rasulullah! Tebuslah diri kalian keduanya dari Allah. Karena sesungguhnya aku ini tidaklah dapat berbuat apa-apa buat menghadapi kehendak Allah. Mintalah kepadaku hartabendaku. Hanya itu yang dapat aku berikan." Dan ada lagi beberapa Hadis yang lain, yang isinya menjelaskan bahwa perhubungan keluarga dengan Nabi tidaklah akan menolong, kalau bukan amal sendiri.

3. QS. Thaha ayat 132

وَأْمُرْاَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى .١٣٢

"Dan perintahkanlah  kepada  keluargamu  mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami  tidak  meminta  rezeki kepadamu,  Kamilah  yang memberi  rezeki kepadamu.  Dan akibat (yang   baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa".

Tafsir Ibnu Katsir

Firman Allah:

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya". (QS: Thaha [20]:132)

Artinya,  selamatkanlah  mereka  dari azab  Allah dengan     mengerjakan salat  dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Semakna dengan yang disebutkan oleh Allahﷻ   dalam  ayat lain melalui firman- Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا

"Hai orang- orang yang beriman peliharalah dirimu  dan  keluargamu dari api  neraka". (QS:At- Tahrim [66] : 6)

Ibnu           Abu            Hatim            mengatakan,           telah  menceritakan          kepada        kami        ayahku  telah  menceritakan  kepada   kami Ahmad  ibnu Saleh,  telah   menceritakan     kepada   kami    Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa’d, dari  Zaid   ibnu   Aslam,   dari   ayahnya,   bahwa    ia dan    Yarfa’    pernah    menginap    di    rumah    Umar  ibnul Khattab. Dan Umar mempunyai kebiasaan mengerjakan     salat      sunat      di     tengah     malam; tetapi     adakalanya     ia tidak     mengerjakannya,   sehingga   kami  katakan, “ Dia   tidak   salat  sunat malam     hari malam   ini,     tidak       sebagaimana malam- malam sebelumnya.” Umar bila hendak mengerj akan  salat sunat       malam      hari, ia membangunkan    keluarganya    untuk   ikut   salat bersamanya,  dan   ia  membacakan firman- Nya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan  salat  dan   bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (QS:Thaha [20]:132)

Firman Allah:

لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ

"Kami tidak  meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang      memberi      rezeki      kepadamu".      (QS: Thaha [20]:132)

Yakni apabila kamu mengerjakan salat, niscaya rezeki   akan   datang   kepadamu   dari   arah   yang  tidak kamu  duga- duga. Sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain  melalui firman- Nya:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

"Barang      siapa     yang     bertakwa      kepada     Allah, niscaya   Dia   akan    mengadakan   baginya   jalan keluar.  Dan    memberinya   rezeki  dari  arah  yang  tiada disangka- sangkanya". (QS: Ath- Thalaq [65]: 2 - 3)

Dan firman Allahyang mengatakan:

وَمَا  خَلَقْتُ  الْجِنَّ  وَالْاِنْسَ  اِلَّا  لِيَعْبُدُوْنِ۝  مَآ  اُرِيْدُ  مِنْهُمْ  مِّنْ  رِّزْقٍ  وَّمَآ  اُرِيْدُ  اَنْ يُّطْعِمُوْنِ۝ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ۝

"Dan   Aku    tidak   menciptakan    jin   dan    manusia melainkan     supaya     mereka     menyembah- Ku.  Aku  tidak   menghendaki  rezeki   sedikit  pun  dari mereka      dan    Aku    tidak    menghendaki supaya mereka     memberi- Ku     makan.    Sesungguhnya  Allah,        Dialah       Maha       Pemberi rezeki Yang   Mempunyai  Kekuatan  lagi  Sangat  Kokoh".  (QS: Az- Zariyat [51]: 56-58])

Karena itulah dalam surat berikut ini  disebutkan oleh firman- Nya:

لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ

"Kami tidak meminta  rezeki kepadamu, Kamilah yang      memberi      rezeki      kepadamu". (QS: Thaha  [20]: 132)

As- Sauri      telah     mengatakan  sehubungan dengan         makna         firman- Nya: "Kami tidak meminta  rezeki    kepadamu".  (QS: Thaha  [20]: 132) Yaitu Kami tidak membebankan kepadamu  suatu permintaan.

Ibnu            Abu           Hatim            mengatakan,            telah menceritakan  kepada kami Abu  Sa'id Al- Asyaj, telah     menceritakan     kepada     kami     Hafs     ibnu  Gayyas,      dari      Hisyam,      dari      ayahnya, bahwa apabila   ia   masuk   ke   dalam  rumah   seseorang  yang   ahli   dunia   (kaya),   lalu   ia   melirik kepada  kekayaannya,   maka   sepulangnya   ke  rumah   ia membaca   firman- Nya: "Dan janganlah   kamu tujukan      kedua      matamu".     (QS: Thaha  [20]: 131) sampai     dengan firman- Nya: "Kamilah  yang  memberi  rezeki   kepadamu".  (QS: Thaha  [20]: 132)

Kemudian       ia       berkata       kepada        keluarganya,  "Dirikanlah salat, dirikanlah salat, semoga Allah merahmati kalian!"

Ibnu            Abu            Hatim           mengatakan,            telah menceritakan        kepada        kami        ayahku, telah  menceritakan  kepada  kami   Abdullah   ibnu  Abu Ziyad    Al- Qatrani,    telah   menceritakan kepada kami  Sayyar,  telah   menceritakan  kepada   kami  Ja¦far,       dari        Sabit,        bahwa         Nabiﷺ  apabila mengalami       suatu       kesusahan,       maka      beliau menyeru  kepada   keluarganya:   Hai keluargaku, kerjakanlah salat, kerjakanlah salat oleh  kalian!

Sabit      mengatakan      bahwa      para      nabi      itu  apabila        tertimpa        suatu        kesusahan,         maka  mereka bersegera mengerjakan salat.

Imam  Turmuzi    dan  Imam   Ibnu  Majah  telah meriwayatkan melalui hadis Imran  ibnu Zaidah, dari    ayahnya,    dari    Abu   Khalid   Al- Walibi,   dari Abu Hurairah yang mengatakan  bahwa Rasulullah pernah bersabda:

يَقُوْلُ اللّٰهُ تَعَالٰى يَا ابْنَ اٰدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِيْ اَمْلَأْ صَدْرَكَ غِنًى وَاَسُدَّ فَقْرَكَ وَاِنْ لَمْ تَفْعَلْ مَلَأْتُ صَدْرَكَ شُغْلًا وَلَمْ اَسُدَّ فَقْرَكَ

Allah   berfirman,  "Hai anak Adam, tekunilah  beribadah kepadaKu, tentu Aku akan memenuhi rongga    dadamu    dengan    kecukupan    dan    Aku  akan   menutupi   kefakiranmu.  Jika     kamu  tidak melakukannya,        tentu        Aku        penuhi        dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu".

Ibnu       Majah      telah      meriwayatkan       melalui hadis    Ad- Dahhak,     dari    Al- Aswad,    dari    Ibnu Mas’ud     yang     mengatakan     bahwa     ia     pernah  mendengar Nabi bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُوْمَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللّٰهُ هَمَّ دُنْيَاهُ. وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُوْمُ فِيْ اَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللّٰهُ فِيْ اَيِّ اَوْدِيَتِهٖ هَلَكَ

Barang       siapa       yang       semua       kesusahannya  hanya satu, yaitu memikirkan kesusahan di hari kemudian,      niscaya      Allah      akan      memberinya  kecukupan     dalam      kesusahan dunianya. Dan barang            siapa            kesusahannya            bercabang- cabang,  hanya  memikirkan  susahnya keadaan  di   dunia,   maka    Allah    tidak  mempedulikannya lagi di lembah mana pun ia binasa.

Telah        diriwayatkan       pula        melalui         hadis Syu¦bah,   dari   Umar   ibnu   Sulaiman,   dari   Abdur Rahman ibnu Aban,  dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit, bahwa ia pernah  mendengar  Rasulullah bersabda:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهٗ فَرَّقَ اللّٰهُ عَلَيْهِ اَمْرَهٗ وَجَعَلَ فَقْرَهٗ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهٖ مِنَ الدُّنْيَا اِلَّا مَا كُتِبَ لَهٗ. وَمَنْ كَانَتِ الْاٰخِرَةُ نِيَّتِهٖ جَمَعَ لَهٗ اَمْرَهٗ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهٖ وَاَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

Barang         siapa        yang       kesusahannya        hanya memikirkan dunia, maka Allah  akan   mencerai- beraikan urusannya dan menjadikan kefakirannya di depan     matanya,    serta      tiada yang      datang      dari      dunia      kepadanya     kecuali  hanya apa   yang telah ditakdirkan baginya.   Dan barang    siapa    yang    perhatiannya    tercurahkan  kepada akhiratnya, maka Allah akan menghimpunkan      baginya      semua      urusannya  dan           menjadikan        kecukupannya  di dalam kalbunya, serta dunia datang kepadanya dalam  keadaan terpaksa.

Firman Allah:

وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

"Dan   akibat   (yang   baik)   itu   adalah   bagi   orang  yang bertakwa". (QS: Thaha  [20]: 132)

Maksudnya,     akibat      yang     baik      di     dunia     dan akhirat  - yaitu surga-   hanyalah bagi orang yang bertakwa kepada Allah. Di dalam    sebuah hadis sahih  disebutkan  bahwa Rasulullahﷺ  pernah bersabda: Tadi     malam       aku     melihat     dalam mimpiku    seakan- akan   kita berada    di  dalam  rumah      Uqbah     ibnu     Rafi’,     lalu     kita        disuguhi hidangan    buah    kurma masak    dari kurmanya  Ibnu    Tab.   Maka     aku    menakwilkan   mimpi   itu, bahwa   sesungguhnya akibat   yang terpuji   dan  derajat  yang tinggi  adalah bagi kita  di dunia ini,  dan bahwa  agama    kita telah masak (sempurna).

4. QS. An-Nisa’ ayat 170

يٰٓاَيُّهَاالنَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمُ الرَّسُوْلُ بِالْحَقِّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَاٰمِنُوْا خَيْرًا لَّكُمْۗ وَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Wahai    manusia,      sesungguhnya    telah    datang Rasul      (Muhammad)        itu        kepadamu dengan (membawa)     kebenaran    dari    Tuhanmu,     maka berimanlah       kamu,        itulah       yang    lebih        baik bagimu.  Dan     jika   kamu  kafir,  (maka  kekafiran itu   tidak   merugikan   Allah   sedikit pun)   karena  sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah     kepunyaan      Allah.     Dan adalah Allah   Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Tafsir Ibnu Katsir

Selanjutnya Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمُ الرَّسُوْلُ بِالْحَقِّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَاٰمِنُوْا خَيْرًا لَّكُمْ

"Wahai    manusia,    sesungguhnya    telah    datang  Rasul  (Muhammad)   itu   kepada    kalian  dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan kalian, maka berimanlah  kalian,  itulah   yang   lebih     baik   bagi kalian". (QS: An- Nisa [4]: 170).

Telah    datang   Nabi    Muhammad   kepada kalian dengan membawa  hidayah, agama yang  hak,     dan     keterangan     yang     memuaskan     dari  Allah    Karena  itu,  berimanlah   kalian    kepada apa   yang   didatangkannya   kepada    kalian    dan  ikutilah dia, niscaya hal itu baik bagi kalian.

Kemudian Allah  berfirman:

وَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ

"Dan  jika  kalian  kafir,  (maka  kekafiran  itu  tidak  merugikan   sedikit    pun   kepada    Allah),  karena  sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah". (QS: An- Nisa [4]: 170)

Dengan    kata lain, Dia   tidak  memerlukan kalian dan  iman  kalian,  dan Dia tidak terkena mudarat karena        kekafiran         kalian.       Perihalnya       sama dengan makna ayat lain, yaitu firman- Nya:

وَقَالَ مُوْسٰٓى اِنْ تَكْفُرُوْٓا اَنْتُمْ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا فَاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan    Musa      berkata,     ”Jika     kalian     dan     orang- orang yang  ada  di muka   bumi   semuanya kafir,  maka sesungguhnya Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (QS: Ibrahim [14]: 8).

Dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا
"Dan adalah   Allah Maha Mengetahui". (QS: An- Nisa [4]: 170) terhadap orang yang berhak   memperoleh     hidayah      dari      kalian,     maka     Dia memberinya hidayah, dan terhadap orang   yang  berhak mendapat kesesatan, lalu Dia  menyesatkannya.

حَكِيْمًا
"lagi  Mahabijaksana".   (QS: An- Nisa [4]: 170)  dalam semua   ucapan,    perbuatan,   syariat   dan   takdir- Nya.[7]
[7] Tafsir Ibnu Katsir, Taha ayat 132 dan An-Nisa’ ayat 170.

D. Fungsi Pendidikan Islam

Pendidikan agama Islam adalah usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak, diharapkan setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sebagai pedoman dan jalan kehidupan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Pendidikan Islam memiliki banyak fungsi penting dalam kehidupan individu muslim dan masyarakat secara keseluruhan. Berikut adalah 6 fungsi pendidikan Islam :

1. Pendidikan Agama

Pendidikan Islam membantu individu untuk memahami, menghormati, dan menjalankan ajaran agama Islam dengan benar. Ini melibatkan pembelajaran tentang konsep-konsep fundamental dalam Islam, seperti iman, ibadah, akhlak, dan hukum Islam.

2. Pengembangan Akhlak

Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi yang baik dan berakhlak mulia. Melalui pendidikan Islam, individu diajarkan nilai-nilai Islam seperti kejujuran, kesabaran, toleransi, kasih saying, dan rasa tanggung jawab. Tujuannya adalah untuk membentuk individu yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat

3. Pemahaman Al-Qur'an dan Hadis

Pendidikan Islam memberikan kesempatan kepada individu untuk mempelajari dan memahami Al-Qur'an dan Hadis, sebagai sumber utama ajaran Islam. Dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadist, individu muslim dapat hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

4. Pembentukan Identitas Muslim

Pendidikan Islam membantu dalam pembentukan identitas muslim yang kuat. Individu diajarkan tentang sejarah, budaya dan peran penting islam dalam peradaban dunia.

5. Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan Islam juga berfungsi untuk memberdayakan masyarakat muslim. Melalui pendidikan Islam, masyarakat diberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan social, ekonomi, dan politik.

6. Memperkuat Kebutuhan Spritual

Pendidikan Islam membantu individu untuk memperkuat hubungan spiritual mereka dengan Allah. Ini melibatkan pemahaman tentang ibadah, do'a, dan praktik spiritual lainnya.[8]
[8] Kompasiana, 6 Fungsi Pendidikan Agama Islam, https://www.kompasiana.com/muhammadakmalzamzami8309/64a9ca22e1a167016c568c32/6-fungsi-pendidikan-agama-islam diakses pada 9 Juli 2024

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa subjek pendidikan adalah seseorang atau sesuatu yang telah mengajarkan kita ilmu. Seseorang ini bukan hanya seorang guru tapi siapapun atau apapun yang dapat mengajari kita. Sedangkan objek pendidikan adalah sasaran pokok yang dikenakan dalam praktik pendidikan yaitu peserta didik dan proses pendidikan yang ditujukan agar kedua objek tersebut mampu berlandaskan pemahaman tentang nilai-nilai material dan spiritual yang baik, dalam menghantarkan kehidupan yang seimbang antara dunia dengan akhirat.

Adapun fungsi pendidikan islam adalah membantu individu untuk memahami, menghormati, dan menjalankan ajaran agama islam dengan benar, mengembangkan akhlak, memahamkan Al-Qur’an dan Hadits, membentuk identitas muslim, memberdayakan masyarakat, memperkuat kebutuhan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

https://dewibahagia.blogspot.com/2015/01/subjek-pendidikan-islam.html diakses pada Kamis, 11 Juli 2024.

Mas’ud, Abdurrahman dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam.Semarang: Pustaka Pelajar. Hlm. 7

Mudzakkir. A. Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PKPI2 Universitas Wahid Hasyim. Hlm. 41

http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-18-20.html?m=1 diakses, Rabu 10 Juli 2024

Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, Terj. Abu Ihsan al-Atsari, Jld, V (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006)

Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005

Tafsir Ibnu Katsir, Taha ayat 132 dan An-Nisa’ ayat 170.

Kompasiana, 6 Fungsi Pendidikan Agama Islam,

https://www.kompasiana.com/muhammadakmalzamzami8309/64a9ca22e1a167016c568c32/6-fungsi-pendidikan-agama-islam diakses pada 9 Juli 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar