Sabtu, 06 Juli 2024

Formulasi Kebijakan Pendidikan

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Pendidikan
Dosen Pengampu : Ust. Sabar, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 4 Angkatan 5:
1. Tanti R.Apadu (SBA).
2. Harnum Suri (PAI).
3. Siti Nur Jannah (PAUD).
4. Fitrianti. A (PAI).

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan pertolongan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqamah mengikutinya hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Kebijakan Pendidikan yang berjudul “Formulasi Kebijakan Pendidikan”. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak sekali kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi membantu perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang luas serta dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dalam upaya merencanakan sistem pendidikan yang lebih baik kedepannya.

Mempawah, 03 Juli 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Formulasi Kebijakan Pendidikan.
2.2 Konsep Dasar Formulasi Kebijakan.
2.3 Teori Perumusan Kebijakan.
2.4 Model Formulasi Kebijakan.
2.5 Proses Formulasi Kebijakan.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan pada dasarnya adalah sistem perubahan. Dalam sistem perubahan tersebut pendidikan diwajibkan untuk memberi tunjangan terbaik bagi perubahan dalam terciptanya masyarakat madani. Pembelajaran bertujuan untuk menunjang perkembangan dan proses kemajuan hidup masyarakat. Pada kegiatan pembelajaran, pendidikan berupaya mewujudkan individu dan masyarakat yang religius yang dengan satu sisi mempunyai integritas dan intelektual.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 menetapkan bahwa segala kegiatan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam suatu sistem yang mengupayakan secara maksimal tercapainya tujuan pendidikan Nasional, yaitu mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia, baik sosial, intelektual, spiritual, maupun kemampuan profesional. Akan tetapi, masalah pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia masih terus meningkat. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya sekolah dasar dan sekolah menengah atas.

Beragam cara telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan Nasional, baik melalui pengembangan kurikulum Nasional dan lokal, peningkatan kompetensi pendidik melalui pengajaran dan pelatihan-pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, bahkan juga peningkatan mutu manajemen sekolah. Meskipun begitu, mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Nyatanya, pendidikan perlu dirumuskan dengan baik dengan memperhatikan karakteristik, keinginan, dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan pendidikan.

Pendidikan seharusnya mampu memberikan jawaban kontekstual sesuai dengan orientasi pembangunan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan-keputusan pendidikan hendaknya memperhatikan apa yang menjadi cita-cita atau keinginan di dalam masyarakat. Dengan perkembangan pendidikan saat ini, formulasi kebijakan pendidikan yang baik sangat dibutuhkan. Secara harfiah, formulasi berkaitan dengan strategi, dan strategi berkaitan dengan taktik, semua saling terhubung dan berkorelasi.

Formulasi menjadi bagian yang penting dalam kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan berkaitan erat dengan formulasi. Oleh karena itu, formulasi yang tepat dan akurat diperlukan dalam hal perumusan kebijakan dalam pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan pendidikan?
2. Apa konsep dasar dari formulasi kebijakan?
3. Apa saja teori perumusan kebijakan?
4. Apa saja model formulasi kebijakan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui arti formulasi kebijakan pendidikan
2. Mengetahui konsep dasar formulasi kebijakan
3. Mengetahui teori perumusan kebijakan
4. Mengetahui model formulasi kebijakan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Formulasi Kebijakan Pendidikan

Definisi formulasi berarti perumusan, sedangkan pengertian kebijakan secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari kata “bijak” yang berarti “selalu menggunakan akal budidaya; pandai; mahir”.[1] Selanjutnya dengan memberi imbuhan ke- dan -an, maka kata kebijakan berarti “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan”.[2] Termasuk juga cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 149
[2] Ibid

Pengertian ini setidaknya memberikan dua poin penting yang perlu dipahami, yaitu: Pertama, pengambilan keputusan mesti didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan logis sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang menjadi sasaran keputusan tersebut. Kedua, pengambilan keputusan yang pada gilirannya melahirkan satu atau lebih keputusan dapat dijadikan sebagai garis-garis besar untuk melakukan suatu pekerjaan, profesi atau kepemimpinan.

Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I dijelaskan, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kebijakan pendidikan berasal dari dua kata yakni “kebijakan” dan “pendidikan”. Tilaar dan Nugroho merupakan ahli dibidang pendidikan mempunyai pendapat bahwa kebijakan pendidikan ialah keseluruhan dari seluruh rangkaian proses yang dilaksanakan serta hasil dari perumusan mengenai langkah pasti dalam pendidikan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi pendidikan dalam rangka untuk menyongsong pendidikan dalam menggapai tujuan bersama dalam suatu masa tertentu.

Dalam membuat kebijakan, pada umumnya pemerintah melakukan sebuah perumusan masalah supaya kebijakan tersebut tepat sasaran. Ciri khas dari perumusan masalah itu sendiri ialah dengan menjabarkan suatu masalah yang dihadapi dan memperoleh data-data terkait kondisi masalah tersebut sehingga menyebabkan adanya sebuah kebijakan. Perumusan masalah kebijakan yang ada di pendidikan ialah dengan mengusulkan serangkaian tindak nyata dinilai sebagai upaya lebih baik untuk dapat berkompromi serta otorisasi pengawasan yang saling menerima petuah serta tindakan kolektif.

Berdasarkan dari pengertian di atas, maka kebijakan dalam pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan, yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu.[3]
[3] H.A.R Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), Hal.140

Maka definisi formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan juga ia merupakan cara untuk dapat memutuskan suatu kendala yang dibentuk oleh aktor-aktor yang berwenang dalam membuat kebijakan dalam menghadapi kendala yang ada serta dari banyaknya cara dan alternatif yang ada maka dipilihnya alternatif kebijakan yang paling baik.

2.2 Konsep Dasar Formulasi Kebijakan

Dalam formulasi kebijakan pendidikan diperlukan konsep dasar atau rencana dalam melaksanakan suatu kegiatan dan cara bertindak baik itu dalam pekerjaan, pemerintahan begitupun dalam suatu pendidikan. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu serta mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.[4]
[4] Formulasi Kebijakan Pendidikan- https://journal.unismuh.ac.id/index.php/pilar/article/download/7794/4821 (diakses pada 03 Juli 2024, pukul 09.00 Wib)

Formulasi kebijakan merupakan tahap yang krusial karena penerapan dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilakukan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, akan tetapi gagalnya suatu kebijakan dalam mencapai tujuannya sebagian besar terjadi pada ketidaksempurnaan pengelolaan tahap formulasi. Tahapan formulasi kebijakan adalah mekanisme yang sesungguhnya untuk memecahkan masalah yang telah masuk dalam agenda pemerintah. Tahapan tersebut lebih bersifat teknis berbanding tahapan agenda setting yang lebih bersifat politis. Proses formulasi kebijakan berdasarkan sistem politik mengandalkan masukan dari tuntutan dan dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan.[5]
[5] Aminuddin Bakry, dalam buku Analisis Kebijakan Pendidikan, 2010, Hal. 29.

Formulasi kebijakan pendidikan yang baik haruslah memenuhi kriteria berikut. Pertama, formulasi kebijakan pendidikan tidak memerintahkan keputusan yang hanya spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, formulasi kebijakan pendidikan dapat dipergunakan ketika menghadapi sebuah masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini menunjukkan bahwa waktu, biaya, dan tenaga yang telah banyak dihabiskan, tidak hanya dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu situasi.[6]
[6] Dr. H. A. Rusdiana, M. M. Kebijakan Pendidikan dari Filosofi ke Implementasi, Hal. 108.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan formulasi kebijakan pendidikan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang dibentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

2.3 Teori Perumusan Kebijakan

Secara teoritik, dalam usaha kebijakan pendidikan, Prof. H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu teori perlembagaan, proses, kelompok, elit, demokratis, rasional, incremental, permainan, pilihan publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif.[7] Di dalam makalah kami ini hanya akan menjelaskan lima teori saja diantaranya :
[7] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 190-191

1. Teori Incremental, teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan di masa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja baik yang telah dicapai, teori ini memiliki sifat pragmatis.[8]
[8] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 198-199

2. Teori demokratis, teori ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Apabila teori ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.[9]
[9] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 201

3. Teori Strategis, inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan.[10]
[10] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 202

4. Teori pilihan publik, teori ini sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna. Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan.[11]
[11] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 206

5. Teori sistem, formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.[12]
[12] H.A.R. Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Hal. 208

Perumusan kebijakan pendidikan adalah tahapan kedua dalam tahap kebijakan pendidikan. Sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari tahapan agenda setting. Secara fundamental tahapan ini terjadi tatkala pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan pendidikan, persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan (policy problems) dan merancang langkah-langkah pemecahannya (solution).

Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau menerjemahkan problema kebijakan secara benar, sedang merumuskan langkah pemecahan menyangkut perancangan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik tersebut. Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William Dunn mengatakan bahwa ada empat macam fase proses yang saling bergantung yaitu: pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian masalah.

2.4 Model Kebijakan Pendidikan

Ada beberapa model perumusan kebijakan pendidikan yaitu model kelembagaan, model sistem, model penyelidikan campuran, model proses, model teori elite, model rasional, model inkrementalis, model analisis kebijakan pendidikan, dan model pendekatan implementasi kebijakan publik. Adapun pembahasannya sebagai berikut: diantaranya :

1. Model Kelembagaan, model kelembagaan ini berprinsip bahwa pemerintah adalah penanggung jawab pembuatan kebijakan, (Wibowo, 2013). Apapun yang dihasilkan oleh pemerintah merupakan kebijakan publik. Model kelembagaan ini didasari oleh fungsi kelembagaan dari setiap sektor pemerintah dalam merumuskan kebijakan, (Nurain et al, 2016). Pemberian kebijakan oleh pemerintah dicirikan dengan lembaga negara memberikan legitimasi, kebijakan negara bersifat universal dan kebijakan tersebut dapat dimonopoli dan dipaksakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat yang menyatakan bahwa model lembaga merupakan model yang digunakan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan (Fatem, 2020). Maka oleh sebab itu model kelembagaan ini dapat diterapkan dalam merumuskan kebijakan pendidikan di sektor pemerintah. Berdasarkan pengkajian yang penulis lakukan ditemukan bahwa model kelembagaan ini memiliki keunggulan yaitu pemerintah dapat menuntun masyarakat untuk dapat melaksanakan kebijakan melalui kekuatan dan monopoli kekuasaan yang sah. Namun model ini juga memiliki kelemahan yaitu model ini tidak memperhatikaan hubungan antar lembaga dan substansi dari kebijakan itu sendiri.

2. Model Sistem, model sistem ini dikembangkan oleh ahli yang bernama Paine dan Naumes, (Triastuti, 2003). Model sistem merupakan model yang menggambarkan kejadian nyata yang terjadi saat pembuatan kebijakan. Model sistem ini disebut juga dengan model deskriptif. Model sistem ini dirumuskan dari sudut pandang pembuat kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan dengan model ini pembuat kebijakan dilihat perannya dari proses perancangan maupun pengkoordinasian dalam menemukan pemecahan masalah yang akan 1) memformulasikan kesempatan dan menggunakan bantuan dari aspek internal maupun aspek internal, 2) memberikan kepuasan sesuai dengan permintaan lingkungan, dan 3) dapat memberikan kepuasan terhadap pembuat kebijakan, (Paiane and Naumes, 1975). Model sistem mendeskripsikan bahwa adanya interaksi antara pembuat kebijakan dan lingkungan sebagai hal yang dinamis. Interaksi tersebut dapat berbentuk inputs dan outputs. Outputs yang dihasilkan akan menjadi bahagian dari lingkungan yang akan melakukan interaksi dengan organisasi. Model sistem mempercayai bahwa kebijakan politik yang timbul dari interaksi dianggap sebagai masukan sedangkan yang dikeluarkan merupakan respon dari setiap tuntutan yang dianggap sebagai luaran sistem politik. Agar setiap tuntutan dapat menjadi kebijakan maka diperlukan penyelesaian dari pihak-pihak yang bertentangan. Maka sebuah sistem dapat dibangun dari aspek-aspek yang mendukung sistem tersebut. Selain itu juga di dukung oleh sub sistem yang saling berhubungan (Walukow, 2012). Dengan saling berinteraksinya sebuah sistem maka sistem tersebut akan menghasilkan luaran yang jelas, memiliki akar-akar sistem yang kuat, dan memiliki penggunaan yang bersifat otoritas, (Toha dan Himy, 2020). Maka dari penjabaran model sistem tersebut maka model sistem dapat di aplikasikan pada kebijakan pendidikan namun perlu adanya keikutsertaan masyarakat secara menyeluruh agar dapat memetakan permasalahan untuk dicarikan solusi yang tepat. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan ditemukan bahwa model sistem memiliki kelebihan yaitu memiliki input dan proses yang jelas dan sesuai prosedur sehingga menghasilkan output yang jelas. Sedangkan efisiensi waktu menjadi kelemahan dari model ini dikarenakan membutuhkan waktu yang banyak dalam menampung input dan melaksanakan proses sebelum dilahirkannya kebijakan.

3. Model Penyelidikan Campuran, model penyelidikan campuran disebut juga dengan model mixed scanning yang menggunakan aspek-aspek dari dua pendekatan maupun dua sudut pandang. Model penyelidikan campuran menuntut pembuat kebijakan untuk menggunakan teori rasional yang bersifat menyeluruh dan inkrementalisme dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berbeda, (Mulyana et al, 2019). Pada beberapa kasus penggunaan pendekatan inkrementalisme sangat tepat untuk digunakan namun pada kasus lainnya pendekatan yang bersifat komprehensif lebih tepat untuk digunakan. Penggunaan model penyelidikan campuran dapat digunakan pada proses kebijakan pendidikan dengan mengambil keputusan yang dilakukan secara inkremental dan rasional (Ismail, 2016). Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model penyelidikan campuran memiliki kelebihan yaitu melihat dari dua sisi utama dan khusus dalam merumuskan kebijakan sehingga kebijakan yang ditemukan lebih terperinci namun hal ini menjadi kelemahan karena pembidikan permasalahan tersebut hanya difokuskan kepada beberapa daerah saja sehingga banyak daerah yang akan luput dari pantuan.

4. Model Proses, model proses mengansumsikan bahwa politik merupakan kegiatan yang memiliki proses. Adapun tahapan perumusan kebijakan dengan model proses yaitu mengindentifikasi masalah, menyusun agenda, merumuskan perancangan kebijakan, pengesahan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penilaian kebijakan, (Thomas, 2011). Penerapan model proses ini dalam kebijakan pendidikan dapat dilaksanakan dengan mengikuti setiap tahapan agar mendapatkan kebijakan yang tepat. Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model proses memiliki kelebihan yaitu kebijakan yang lahir merupakan bentuk kefokusan terhadap elemen irasional perumus kebijakan dengan memperhatikan setiap kebutuhan masyarakat namun yang menjadi kelemahanya adalah membutuhkan waktu yang lama hingga kebijakan dapat di sahkan.

5. Model Teori Elite, teori elite mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok pemegang kekuasaan (penguasa/ elite) dan kelompok yang tidak memegang kekuasaan (masa), (Suryono, 2014). Teori elite ini berpandangan bahwa demokrasi yang dijalankan secara penuh akan memungkinkan adanya bias dalam merumuskan kebijakan. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dihasilkan merupakan bagian dari preferensi politik kaum elite, (Sjoraida, 2017). Model ini lebih banyak mempertimbangkan kepentingan elit dibandingkan tuntutan dari masyarakat. Maka isu kebijakan yang akan dimasukan dalam proses perumusan kebijakan pendidikan menjadi hasil konflik dan kesepakatan dari kaum elit politik tersebut sedangkan masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk dapat mencampuri kebijakan yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlunya kebijaksanaan kaum elit politik untuk dapat merumuskan kebijakan yang berlandasan kepentingan umum. Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model elit memiliki kelebihan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih cepat yang dilandasi dengan konsep dan teori pakar ahli namun kebijakan tersebut tidak ditampung dari bawah sehingga masyarakat hanya mengetahui bahwa kebijakan telah ada dan wajib untuk dilaksanakan.

6. Model Rasional, model rasional merupakan kebijakan yang didapatkan dari perolehan sosial maksimum. Artinya bahwa model rasional yang digunakan oleh pemerintah harus mampu untuk menghasilkan kebermanfaatan yang maksimal bagi masyarakat, (Latifa, 2016). Teori ini mendeskripsikan berbagai bentuk prosedur dalam mengambil keputusan yang diperoleh dari cara yang dianggap efisien dalam merumuskan kebijakan. Model rasional berasal dari pemikiran rasionalisme dan positifisme yang bersifat ilmiah, (Susanto, 2016). Hal ini dikarenakan model rasional meyakini bahwa permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan melalui metode yang ilmiah dan rasional. Maka dapat disimpulkan bahwa keputusan publik tidak mengoptimalkan manfaat di atas, namun hanya memenuhi kriteria pembuat kebijakan sedangkan rasionalitas manusia memiliki keterbatasan. Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model rasional memiliki kelebihan yaitu kebijakan yang akan dilahirkan sesuai dengan kondisi di lapangan namun model ini memiliki kelemahan yaitu keterbatasan rasional intelektual dari si pembuat kebijakan.

7. Model Inkrementalis, model inkrementalis merupakan bentuk dari kritik model rasional. Model ini beranggapan bahwa pembuat kebijakan tidak memungkinkan melaksanakan proses seperti model rasional dikarenakan adanya keterbatasan pada pembuat kebijakan seperti keterbatasan waktu, intelektual dan biaya, (Handrian et al, 2021). Model ini melakukan penyesuaian dengan realistis kehidupan demokratis dan pluralitas serta keterbatasan yang dimiliki manusia. Model ini berlandasan bahwa adanya perubahan inkrementalis mengakibatkan adanya proses keamanan apabila terjadinya perubahan kebijakan. Segala bentuk pengetahuan yang dipercaya dilandaskan kepada satu-satunya acara untuk memperoleh keputusan tanpa memunculkan resiko, (Maulana et al, 2018). Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa model inkrementalis merupakan model yang yang tidak melakukan proses sehingga kurang tepat digunakan dalam proses perumusan kebijakan dikarenakan kebijakan dalam pendidikan bersifat kontinu dan memakan waktu yang lama. Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model inkremantalis memiliki kelebihan yaitu kebijakan yang dilahirkan lebih cepat karena kebijakan yang dilahirkan merupakan kebijakan yang dianggap paling tepat tanpa memikirkan alternatif lainnya namun yang menjadi kelemahannya adalah kebijakan hanya dapat diterapkan pada permasalahan yang bersifat rutin.

8. Model Analisis Kebijakan Pendidikan, model analisis kebijakan merupakan suatu upaya dalam memperoleh dan menghasilkan kebijakan melalui proses argumentasi dan metode inkuiri dalam pendekatan disiplin ilmu sosial terapan dengan pengambilan keputusan politis dalam upaya memecahkan permasalahan dalam sebuah kebijakan, (Chabibi, 2019). Proses analisis dimanfaatkan untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman dasar dalam memecahkan permasalahan yang tidak hanya sekedar argumentasi. Model ini terdiri dari 3 bentuk yaitu model prospektif, model retrospektif dan model integratif. Model prospektif merupakan model analisis yang dilakukan sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan, (Igbal and Salomo, 2018). Model retrospektif merupakan model analisis kebijakan yang dilakukan setelah kebijakan tersebut diterapkan. Model integratif merupakan model yang menggabungkan kedua analisis kebijakan sebelumnya. Model ini disebut juga dengan model analis holistic atau komprehensif. Artinya model ini melakukan analisis sebelum dan sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan. Maka dalam kebijakan pendidikan diperlukan analisis yang dilakukan secara menyeluruh baik sebelum dan sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan. Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model ini memiliki kelebihan bahwa kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat namun kebijakan ini akan membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.

9. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik, model pendekatan Implementasi kebijakan publik terdapat dua pendekatan kontrol dan komando (top down) serta pendekatan pasar (bottom up), (Nasiri and Hermawan, 2017). Pendekatan ini mengacu kepada model kerangka kerja yang saling berhubungan antara kebijakan dan hasilnya. Pendekatan top down merupakan pendekatan yang dilahirkan dari tingkat atas (pusat) sedangkan pendekatan buttom up lebih bersifat rasional, (Akib, 2012). Model ini diasumsikan sebagai sebuah alur maupun proses. Model ini memandang proses dari perubahan politik dan sosial yang mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merupakan hal untuk memperbaiki permasalahan yang terdapat pada masyarakat. Maka dapat penulis simpulkan bahwa penerapan model ini harus disesuaikan dengan kebutuhan serta tujuan yang akan dicapai dalam pengimplementasian pada dunia pendidikan. Dari penjelasan mengenai model perumusan kebijakan pendidikan tersebut maka dapat kita lihat terdapat banyak model yang bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Masing-masing model memiliki kekuatan dan kelemahan yang bisa kita maksimalkan agar dapat melahirkan kebijakan yang tepat dengan sasaran. Namun berdasarkan kajian penulis model yang tepat digunakan adalah model analisis kebijakan pendidikan dan model implementasi kebijakan publik. Hal ini dikarenakan bahwa kedua model tersebut menghasilkan kebijakan menggunakan metode saintifik. Artinya bahwa kebijakan tersebut lahir dari metode ilmiah. Sebelum kebijakan dilahirkan, pembuat kebijakan akan menghimpun data dari hal yang mendasar hingga hal yang lebih luas sehingga data yang dimiliki lebih komprehensif. Pada saat proses perumusan kebijakan juga dilakukan uji coba secara saintifik sehingga pada proses uji coba tersebut didapatkan kelemahan-kelemahan yang dapat diperbaiki. Selain itu juga ada bentuk evaluasi terpadu yang digunakan untuk menilai keberhasilan kebijakan tersebut.[13]
[13] Henni Marsari, Dkk. Model Perumusan Kebijakan Pendidikan, Vol. 6, JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 2021, No.1, Hal. 90-93

2.5 Proses Formulasi Kebijakan

Secara teknis, merumuskan kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang penting dari analisis kebijakan yang sedang berlaku. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika proses pembuatan kebijakan pendidikan sering disebut sebagai siklus kebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Perumusan kebijakan pendidikan harus hati-hati, karena tidak akan menimbulkan masalah pada pendidikan baru, dan masalah ini lebih besar dan kompleks daripada masalah pendidikan yang harus diselesaikan. (Asmad Hanisy,2013).

Dibandingkan dengan tahapan penyusunan agenda politik, melalui berbagai analisis teknis untuk pengambilan keputusan yang terbaik, perumusan kebijakan pendidikan bersifat teknis (Hasbullah, 2015). Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang dirumuskan oleh pejabat yang berwenang untuk pengembangan kebijakan alternatif bertujuan untuk menyelesaikan masalah pendidikan. Alternatif kebijakan pendidikan mempertimbangkan kebutuhan untuk merumuskan perintah administratif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif terkait dengan penyelesaian masalah kompleks di bidang pendidikan (Willian N Dunn, 2004).

Menurut Dunn (2000:24) tahapan atau proses perumusan kebijakan pendidikan terdiri dari beberapa rangkaian dan tindakan yakni ;

- Pertama adalah tahap perumusan masalah, adanya pengakuan mengenai keberadaan masalah yang terjadi. Tahap perumusan masalah terdiri dari empat fase yaitu pencarian, pendefinisian, spesifikasi lalu pengenalan.

- Kedua tahap penyusunan agenda, pada tahap ini suatu masalah yang terjadi akan diagendakan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti dampak yang terjadi pada masyarakat sehingga perlu segera untuk ditangani.

- Ketiga tahap formulasi kebijakan, pada tahap ini adanya usulan-usulan oleh para aktor-aktor kebijakan. Menurut (Islamy,2001:92) usulan kebijakan merupakan menyusun serta mengembangkan kegiatan yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah.

- Keempat adalah tahap adopsi kebijakan, keputusan kebijakan yang telah dibuat akan disepakati dan dipertimbangkan oleh pemerintah apakah suatu keputusan tersebut dapat diterima atau ditolak, apabila rancangan keputusan tersebut ditolak maka harus merumuskannya kembali dan jika rancangan keputusan tersebut dapat diterima maka kebijakan tersebut dapat disahkan kemudian diimplementasikan (Soenarko, 1998:179).

- Kelima tahap implementasi kebijakan, melaksanakan kebijakan oleh bidang-bidang administrasi dan pemerintahan di tingkat bawah.

- Keenam tahap penilaian dan evaluasi kebijakan, kegiatan untuk menilai program yang telah dilaksanakan apakah program tersebut efektif atau tidak dan akan menjadi bahan masukan untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang telah ada atau yang akan datang (Islamy, 2001:112)

Perumusan kebijakan pendidikan di sekolah biasanya melalui proses koordinasi dengan dewan guru, karyawan, dan juga komite. Perumusan kebijakan dilakukan di saat rapat dinas pada setiap awal semester yang dihadiri juga oleh wakil komite sekolah. Tahapan proses perumusan kebijakan pendidikan di sekolah dimulai Pertama, dengan adanya rapat dinas. Kedua, musyawarah mufakat. Ketiga, implementasi kebijakan kepada seluruh warga sekolah. Proses pelaksanaan formulasi kebijakan pendidikan tersebut haruslah berjalan secara baik dan benar sesuai dengan standar dan regulasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI).[14]
[14] Ambar Wati Ningsih,Dkk. Perumusan Kebijakan Pendidikan Di SMP Negeri 3 Patuk, Vol. 8, Jurnal Pendidikan Islam, 2021, No. 2, Hal. 3

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Formulasi kebijakan pendidikan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang dibentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Secara teoritik, dalam usaha kebijakan pendidikan, Prof. H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu teori perlembagaan, proses, kelompok, elit, demokratis, rasional, incremental, permainan, pilihan publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif.

Dalam formulasi kebijakan juga memiliki beberapa model perumusan kebijakan pendidikan yaitu model kelembagaan, model sistem, model penyelidikan campuran, model proses, model teori elite, model rasional, model inkrementalis, model analisis kebijakan pendidikan, dan model pendekatan implementasi kebijakan publik, sedangkan proses perumusan kebijakan pendidikan yaitu dengan tahap perumusan masalah, tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, tahap adopsi, tahap implementasi kebijakan dan tahap penilaian.

DAFTAR PUSTAKA

BP, Abdul Rahman.Dkk. (2022). Formulasi Kebijakan Pendidikan. Jurnal Pilar: Jurnal kajian Islam Kontemporer, 13(1)

https://journal.unismuh.ac.id/index.php/pilar/article/download/7794/4821

Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Halaman 149

Madjid, Abd. (2018). Analisis Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Samudra Biru.

Marsari, Henni.Dkk. (2021). Model Perumusan Kebijakan Pendidikan. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), Vol. 6, No. 1, Halaman 90-93

Ningsih, Ambar Wati.Dkk. (2021). Perumusan Kebijakan Pendidikan Di SMP Negeri 3 Patuk. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 8, No. 2, Halaman 3

Rusdiana, Ahmad. (2015). Kebijakan Pendidikan ”dari Filosofi ke Implementasi”, Bandung: Pustaka Setia.

Tilaar, H.A.R. (2008). Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, Halaman 140

Tilaar, H.A.R & Nugroho, Riant. (2012). Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar