Jumat, 14 Juni 2024

Hakikat Pendidikan Dalam Al-Quran

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu : Muh. Ihsanuddin, M. Phil
Disusun Oleh Kelompok 1 Angkatan 5 :
1. Binty Sholikhah (SBA)
2. Nurul Izzah Razali (PAI)
3. Raisa salsabila (PAI)
4. Aisyah (PAI)
5. Nurul Hasanah (PAI)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kami senantiasa haturkan atas kehadirat Allah subhanahu wata’aalaa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Hakikat Pendidikan Di Dalam Quran", sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi.

Sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassallam, beserta keluarga beliau, dan sahabat-sahabat beliau, Insya Allah sampai kepada kita yang senantiasa berusaha mengamalkan sunnah-sunnah beliau.

Kami menyadari masih banyak celah dan kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi perbaikan makalah ini.

Segala kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik kami penyusun dan segala kelebihannya milik Allah Subhanahu Wta’alaa. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

Jakarta, 3 Juni 2024

Pengusun
Kelompok 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Hakikat Pendidikan.
2.2 Tarbiyah.
Bentuk-bentuk Tarbiyah.
Pendidikan Dalam Al-Qur’an.
2.3 Ta’lim.
2.4 Tadris.
2.5 Ta’dib.
2.6 Tazkiyah.
BAB III PENUTUP.
Kesimpulan.
KRITIK DAN SARAN.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi seperti sekarang ini segala informasi dengan mudah dapat kita akses. Kita dapat mengakses berbagai informasi di segala penjuru dunia dengan menggunakan internet. Perkembangan zaman ini tidak bisa kita tolak, kita harus memfilter apa yang baik untuk kita gunakan.

Manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah dalam QS. At – Tin ayat 4 : Artinya: Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia sebagai mahluk ciptaan Allah telah diberikan potensi yang luar biasa berupa jasmani dan rohani yang sempurna. Dengan potensi tersebut manusia mengembangkan diri untuk menggunakan seluruh potensinya hingga mencapai derajat kesempurnaan atas kemanusiaannya.

Dengan bekal potensi itu manusia diberikan kebebasan jalan hidupnya oleh Allah. Namun demikian atas segala kemurahan dan kasih sayang Allah kepada manusia agar tidak ke jalan keburukan Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk dan sumber pengetahuan sebagai bekal menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya.

Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa hakikat dari pendidikan?
2. Apa yang dimaksud Tarbiyah?
3. Apa yang dimaksud Ta’lim?
4. Apa yang dimaksud Tadris?
5. Apa yang dimaksud Ta’dib?
6. Apa yang dimaksud Tazkiyah?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui hakikat dari pendidikan.
2. Mengetahui yang dimaksud Tarbiyah.
3. Mengetahui yang dimaksud Ta’lim.
4. Mengetahui yang dimaksud Tadris.
5. Mengetahui yang dimaksud Ta’dib.
6. Mengetahui yang dimaksud Tazkiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Pendidikan

Pendidikan Islam adalah salah satu aspek dari ajaran Islam, karenanya tujuan Pendidikan Islam menjadi tujuan manusia yang diharapkan dalam Islam, yaitu mencipatakan pribadi sebagai hamba Allah yang bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Pendidikan pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang didasari oleh nilai-nilai Islam di dalam al Qur‟an dan al-Hadis. Karena itu sangat penting teori-teori agar dapat mengetahui dan memahami hakikat pendidikan Islam itu sendiri. Hakikatnya adalah proses pendidikan yang didasari oleh nilai-nilai Islam di dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Karena itu sangat penting teori-teori agar dapat mengetahui dan memahami hakikat pendidikan Islam itu sendiri.[1]
[1] Ujang Sayuti, Al Ikhlas, Andi Fery, Zulmuqim, M. Zalnur, Journal on Education, Volume 05, No. 01, September-Desember 2022, pp. 834-841

Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran sebagai upaya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dengan interaksi yang menghasilkan pengalaman belajar. Pendidikan dapat dikatakan berhasil dan mencapai tujuan jika terjadi perubahan. Perubahan tersebut ialah perubahan tingkah laku, yang memiliki beberapa aspek yaitu: 1) pengetahuan, 2) pengertian, 3) kebiasaan, 4) keterampilan, 5) apresiasi, 6) emosional, 7) hubungan sosial, 8) jasmani, 9) budi pekerti, 10) sikap (Hamalik, 2008: 30).

Secara umum, teori pendidikan Islam berpusat pada asal usul kata, disini dibahas ada lima istilah khusus mengenai proses pendidikan yakni: Tarbiyah, Ta’lim, Tadris, Ta’dib, dan Tazkiyah. Di sini kita akan menguraikan apa yang kita maksud ketika kita berbicara tentang pendidikan dalam istilah Tarbiyah, Ta’lim, Tadris, Ta’dib, dan Tazkiyah.

2.2 Tarbiyah

Tarbiyah menurut Syaikh Abdurrahman Albaaniy rahimahullah yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali bin Abdul Hamid al Halabiy, adalah sebagai berikut:

“Kata Tarbiyah terdapat pada tiga asal kata, yaitu:

Pertama, رَبا – يربُو yang artinya: tumbuh.

Kedua, ربَى – يَربَى yang artinya: berkembang.

Ketiga, رَبَّ – يَرُبُّ yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengetur dan memelihara.

Dalam Lisan al-Arab, karya Ibnu Manzhur dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata yang pertama):

رَبَا الشَّيْءَ يَرْبُوْ رَبْوًا و رِبَاءً

Artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Arbaituhu: aku menumbuhkannya.

Al-Ashma’iy berkata:

قَدْ رَبَوْتُ في بني فُلاَنٍ أَرْبُو

Aku tumbuh (terbentuk) di tengah keluarga Bani Fulan”.

Sedangkan kalimat:

رَبَّيْتُ فُلاَنًا أُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةً

“Aku menumbuh kembangkan (mentarbiyah atau mendidik) Fulan.

Adapun tentang asal kata: Rabba-Yarubbu, maka dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur mengatakan: Rabba Waladahu wash-Shabiya-Yarubbuhu-Rabban. Wa Rabbabahu-Tarbiban wa Taribbatan; maknanya: memperbaiki, mengurus dan memelihara seorang anak.

Dijelaskan dalam Mufradat ar-Raghib al-Ashfahaniy kata Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang dipinjam untuk digunakan sebagai fa’il (pelaku perbuatan).

Dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Murabbi atau pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Ta’ala karena Dia-lah al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang dan bekerjanya fitrah serta bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syari’at agar fitrah-fitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus dan menjadi berbahagia.

2. Tarbiyah atau pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syari’at Allah Ta’ala dan selaras dengan hukum-hukum syari’at Allah Ta’ala.

3. Tarbiyah harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan tahap berikutnya.

4. Aktifitas seorang murabbi atau pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan juga harus mengikuti syari’at serta hukum-hukum Allah Ta’ala.

Jadi, makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah “Kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syari’at islam dengan maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan kepemimpinan yang diatur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah Ta’ala saja secara sempurna.[2]
[2] Ali Ahmad bin Umar, “Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Dalam Bingkai Pendidikan Terpadu”, Pustaka ‘Ali, Pekanbaru-Riau, 2022, hlm 26-29

At-Tarbiyah juga berarti sebagai proses menumbuhkan dan mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial estetika dan spiritual) yang terdapat pada peserta didik sehingga dapat tumbuh dan terbina secara optimal, melalui cara memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengaturnya secara terencana sistematis dan berkelanjutan. Istilah at-Tarbiyah dapat diartikan sebagai pendidikan. Maka tarbiyah mencakup pendidikan jasmani, akal, akhlak, perasaan, keindahan dan kemasyarakatan.[3]
[3] Ridwan Muhammad, “KONSEP TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB DALAM AL-QUR’AN”, Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, Vol 1 No. 1, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Maret 2018, hlm 43

Bentuk-bentuk Tarbiyah

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan: “Asas-asas tarbiyah dalam masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang mulia dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan Rabb-Nya, dengan pendidiknya, dengan temannya, dengan kantor lembaga pendidikannya dan dengan lingkungan keluarganya”.

Adapun bentuk-bentuk tarbiyah sebagai berikut:

> Tarbiyah Dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

Tarbiyah dari Allah Ta’ala yang bersifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para wali-Nya hingga keimanan mereka menjadi semakin sempurna dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan. Allah adalah Rabbul-‘Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah Allah pentarbiyah dan murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.

> Tarbiyah Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tarbiyah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga melalui penyampaian-penyampaian Beliau yang jelas serta melalui bimbingan-bimbingan Beliau, seseorang menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab untuk mengamalkannya. Orang-orang muslim yang baik dan taat juga tentunya melalui proses tarbiyah atau pendidikan. Maka tarbiyah juga merupakan proses adanya transfer ilmu dan pengetahuan dari seorang guru kepada murid, yang diiringi dengan motivasi untuk mengamalkan dan mendakwahkan ilmu tersebut.

Pendidikan Dalam Al-Qur’an

Penjelasan mengenai tarbiyah atau pendidikan juga telah tercamtum dalam firman Allah Ta’ala:

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ (١٨)

“Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”. (Q.S Asy-Syu’ara’: 18)

Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan:

Setelah Musa Alaihissalaam mengatakan demikian, maka Fir’aun berpaling dan sama sekali tidak mengindahkannya, lalu memandang kearah Musa ‘Alaihissalaam dengan pandangan yang sinis seraya berkata seperti yang diceritakan oleh firman-Nya:

أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ

“Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”.

Yakni, bukankah kamu orang yang pernah kami asuh di rumah kami dan di atas pelaminan kami, serta kami buat kamu hidup senang selama beberapa tahun. Tetapi setelah itu kamu balas kebaikan itu dengan perbuatanmu itu; kamu telah membunuh seseorang dari kami dan mengingkari kesenangan yang pernah kuberikan kepadamu.

Dan dalam firman Allah Ta’ala:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S Al-Isra’: 24)

Maksudnya, berendah diriiah  kepada  keduanya di saat  keduanya  telah berusia lanjut,  dan  doakanlah  keduanya  dengan  doa ini bilamana keduanya telah meninggal dunia.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa   kemudian Allah menurunkan  firman- Nya:  Tiadalah sepatutnya  bagi  Nabi  dan  orang- orang  yang  beriman  memintakan  ampun    (kepada    Allah) bagi  orang- orang  musyrik. (At- Taubah, [9:113]), hingga akhir ayat.

Hadits-hadits yang menyebutkan tentang berbakti kepada kedua Orang Tua cukup banyak, diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur, dari Anas dan lainnya yang mengatakan: bahwa pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar, kemudian Beliau mengucapkan kalimat Aamiin sebanyak tiga kali. Maka ketika ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau Aamiin kan? Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Jibril datang kepadaku, lalu mengatakan: “Hai Muhammad, terhinalah seorang lelaki yang namamu disebut di hadapannya, lalu ia tidak membaca shalawat untukmu. Ucapkanlah Aamiin. Maka saya mengucapkan Aaamiin, lalu Jibril berkata lagi: “Terhinalah seorang lelaki yang memasuki bulan Ramadhan, lalu ia keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan masih belum beroleh ampunan baginya”. Katakanlah Aamiin. Maka aku ucapkan Aamiin. Jibril melanjutkan perkataannya, “Terhinalah seorang lelaki yang menjumpai kedua Orang Tuanya atau salah seorangnya, lalu keduanya tidak dapat memasukkannya ke surga”. Katakanlah Aamiin. Maka aku ucapkan Aamiin.[4]
[4] Tafsir Ibnu Katsir, Q.S Asy-Syu’ara’: 18 dan Q.S Al-Isra’: 24

2.3 Ta’lim

Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Jalal memberikan alasan bahwa proses taklim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah.

Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya.

Kedua, kata taklim tidak berhenti hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat atau cerita-cerita dusta.

Ketiga, kata taklim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Dengan demikian kata taklim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata taklim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata taklim lebih dekat kepada pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.[5]
[5] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, (Yogyakarta : Aperion Philotes, 2006), h. 55

Kata ta‟lim dengan kata kerja allama juga sudah digunakan pada zaman Nabi baik di dalam al-Qur‟an maupun dalam Hadis serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering digunakan daripada tarbiyah. Kata "allama" memberi pengertian sekadar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan.

Rasulullah SAW diutus sebagai Mua‟llim, sebagai pendidik dan Allah subhanahu wata’ala sendiri menegaskan posisi Rasul-Nya yang demikian itu dalam al-Qur’an dalam Q.S Al-Baqarah : 151

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.

Pada prinsipnya, asas utama dan tertinggi yang menjadi dasar atau landasan bagi pelaksanaan pendidikan Islami adalah al-Qur’an. Karenanya, dalam konteks ini, seluruh aktivitas manusia Muslim dalam bidang pendidikan, dari mulai konsep, program, hingga praktik atau implementasinya, harus merujuk kepada konsep- konsep kunci sebagaimana dikandung al-Qur’an.[6]
[6] Zakiah Darajat 1992:26

Al-qur‟an sebagai kalam Allah yang telah diriwayatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bagi pedoman masing-masing merupakan petunjuk yang lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang Universal yang mana ruang lingkupnya mencakup ilmu pengetahuanyang luas dan nilai ibadah bagi yang membacanya, yang isinya tidak dapat dimengerti kecuali dengan dipelajari kandungan yang Mulia itu. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh malaikat jibril kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menggunakan lafadz arab dan makna yang benar. Agar menjadi hujjah bagi Nabi Muhammad bahwa ia benar-benar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadi undang-undang manusia sebagai petunjuk dan sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah bagi pembaca . Maka pendidikan yang didasari al-Quran adalah pendidikan yang mementingkan pembinaan pribadi dari segala seginya dan menekankan kesatuan manusia yang tidak ada perpisahan antara jasmani, akal dan perasaan.

2.4 Tadris

Tadris dari akar kata darrasa, artinya pengajaran, adalah upaya menyiapkan murid (mutadaris) agar dapat membaca, mempelajari dan mengakaji sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkapkan dan mendiskusikan makna yang terkandung didalamnya sehingga mutadrris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridho Allah.

Al-Juzairi memakai tadarrusu dengan membaca dan menjamin agar tidak lupa, berlatih dan menjamin sesuatu. Menurut Rusiadi dalam tadris tersirat adanya mudarris. Mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan-durusan-dirasatan yang artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih dan mempelajar. Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya. [7]
[7] Rusiadi, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet. Ke II, (Jakarta: Sedaun, 2012), hal. 13

Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaruhi pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[8]
[8] Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. Ke I, (Jakarta: Sedaun, 2011), 65

Tadris adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh mudarris untuk membacakan dan menyebutkan suatu kepada mutadarris (murid) dengan berulang-ulang dan sering. Tadris bertujuan agar materi yang dibacakan atau disampaikan itu mudah dihapal dan diingat. Ia merupakan kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.

a. Kegiatan dalam tadris tidak sekedar membacakan tau menyebutkan materi, tetapi juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan mendiskusikan isi dan maknanya.

b. Tadris adalah suatu upaya menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya mau membaca, mempelajari, dan mengakaji sendiri.

c. Dalam tadris, seorang murid (mutadarris) diharapkan mengetahui dan memahami benar yang disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat mengamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.

d. Tadris dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan mendapat ridhaNya.

e. Kegiatan belajar dalam tadris bisa berlangsung dengan cara saling bergantian atau bergilirian, yaitu sebagian membaca sebagian lainnya memperhatikan dengan saing mengoreksi, membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar dari kekeliruan dan lupa.

f. Tadris menunjukan kegiatan yang terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.

Tadris merupakan taklim secara mendalam dan dengan kajian khusus Al Kitab. Makna kata tadris dapat kita baca dalam firman Allah Q.S. al-Qalam: 37) :

أَمْ لَكُمْ كِتَٰبٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ

“Adakah kamu kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?”

وَمَآ ءَاتَيْنَٰهُم مِّن كُتُبٍ يَدْرُسُونَهَا ۖ وَمَآ أَرْسَلْنَآ إِلَيْهِمْ قَبْلَكَ مِن نَّذِيرٍ

“Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca…” (Q.S. Saba’: 44) “

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحُكْمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا۟ عِبَادًا لِّى مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُوا۟ رَبَّٰنِيِّۦنَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ ٱلْكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Q.S. Ali Imran: 79)

Kata tadris berkonotasi pada proses mempelajari al-Kitab (atau alQur’an). Kata ini telah diserap dalam khazanah bahasa dan budaya bangsa dengan istilah nderes, atau tadarusan. Nderes itu belajar dengan cara mengulang, menghapal, dan melestarikan ide, nilai, dan ajaran yang bersifat absolut.

Tempat untuk mempelajari kitab suci Al Qur’an itu disebut madrasah. Dari sisi bahasa Arab, madrasah adalah bentuk isim makan dari kata tadris yang berarti tempat nderes. Meskipun demikian, penggunaan kata madrasah di Indonesia sama sekali berbeda dengan penggunaannya dalam tradisi Islam klasik. Dalam bahasa Indonesia modern, madrasah menunjuk pada lembaga pendidikan dasar dan menengah orang Islam untuk mempelajari bahasa Arab dan isi kandungan al-Qur’an serta ilmu keislaman lainnya secara klasikal. [9]
[9] Ma’zumi, Syihabudin, dan Najmudin, PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib dan Tazkiyah Indonesian Journal of Islamic Education – Vol. 6 No. 2 (2019)

2.5 Ta’dib

Kata "ta'dib" berasal dari kata Arab "addaba" dan "yuaddibu," yang keduanya berarti "mengajar" atau "mendisiplinkan" seseorang dengan menyuruh mereka mengikuti hukum atau seperangkat aturan (hukuman) (Nata, 2010).

Ada juga yang menafsirkan ta'dib berarti "bersikap hormat" atau "bertindak dengan hormat” (Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2006)

Menurut Lisan al-'Arab, "addaba" secara harfiah berarti "di bawah hukum" (ad-du'a'). Dalam konteks ini, kata-kata tersebut berfungsi sebagai ajakan untuk mengikuti pesta pernikahan atau pertunangan. Kata "addaba" memiliki arti yang berbeda dalam kitab Ibrahim Anis Mu'jam al-Was:

Mendorong perilaku yang baik dan menghindari ekstrem yang berbahaya.

Menyelenggarakan pesta atau pernikahan yang melibatkan memasak dan makan bersama, olah raga dan percintaan. Langkah ketiga adalah mendidik, melatih, memperbaiki, disiplin, dan memberikan arahan (Ibrahim Anis, 1972).

Secara etimologis, ta'dib adalah bentuk masdar yang berasal dari kata kerja (addaba) dan guru (yuaddibu-ta'diban), yang kemudian diterjemahkan menjadi pendidikan agama (sunni) (adab). Dari segi etimologis, jelas bahwa ta'dib berkaitan dengan ranah integritas pribadi, moralitas, dan etika. Dalam Islam, budi pekerti, moral, dan etika semuanya terjalin sebagai satu rumpun dengan akhlak (Mila Wati, 2022).

Pengertian teknis ta'dib adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar keterampilan belajar siswa dan berpuncak pada mengasah akhlaknya. Sesuai dengan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti."

Menurut al-Attas (attas, 1984) kata ta'dib adalah kata yang paling tepat dan tepat untuk menggambarkan pendidikan Islam. Pandangan ini sesuai dengan pandangan Hasan Langgulung (Langgulung, 1992) dengan alasan kata ta'lm terlalu sempit karena berarti "mengajar" (pengajaran), sedangkan kata tarbiyah terlalu luas karena digunakan juga. berarti "tumbuh" (binatang).

Menurut Pasal 4 UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003), “Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik agar didik secara aktif mengembangkan potensi” atau “Pendidikan adalah ikhlas dan usaha yang terencana dengan baik untuk menciptakan suatu”. Ketiga istilah ini biasanya terkait dengan pendidikan, tetapi setelah diamati lebih dekat, menjadi jelas bahwa sebenarnya mereka memiliki arti yang sama sekali berbeda. Menurut al-Attas (1992),

Kalimat ta'dib adalah yang paling tepat karena maknanya lebih sempit untuk menggambarkan proses Pendidikan manusia dari pada kalimah tarbiyah yang maknanya sangat luas sehingga memasukkan haiwan sebagai konsep tambahan (al- Attas 1992; Rosnani 2006).

Lebih banyak kekuatan ditambahkan pada firman Allah dengan menjelekjelekkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa’sallam, sebagaimana hadist rasul “Tuhanku telah mendidikku, maka ia menjadikan pendidikanku menjadi baik”(HR.Ibnu Hibban). Yang menggunakan istilah ta'dib untuk merujuk pada pendidikan yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para sahabat Rasulullah.

Menurut al-Zarkany dalam Rasyidin(Al-Rasyidin), bahwa ada empat jenis ta'dib yang dapat dijadikan landasan adab:

Ta'dib al-akhlaq, yaitu pendidikan tatakrama spiritual dalam hukum, meniscayakan pengetahuan tentang manifestasi eksternal hukum, wujud kebenaran, di mana segala sesuatu memiliki hukumnya sendiri dan dengannya segala sesuatu diciptakan.

Pendidikan spiritual dalam konteks tajwid (Ta'dib al-khidmah). Manusia diwajibkan untuk menyembah alMalik dengan tatakrama yang lengkap dan teguh agar dianggap sebagai hamba.

Pendidikan spiritual kaum syria, atau ta'dib al-syari'ah, yang metodenya telah diwahyukan oleh Allah melalui wahyu.

Ta'dib al-shuhbah, yang berarti "pendidikan hubungan spiritual", mengharuskan mitra saling menghormati dan melindungi satu sama lain dalam konteks kemitraan yang berkomitmen.[10]
[10] https://pusdikra-publishing.com/index.php/jbhs/article/download/1394/1243/4400. Diakses pada 4 juni 2024 pukul 16.00

2.6 Tazkiyah

Ibn Manzur dalam Lisan al-’arab menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari zakka-yuzakki-tazkiyatan, yang berarti menyucikan.

Makna tazkiyah, seperti yang disampaikan Mutawalli al-sya’rawi dalam tafsir al-sya’rawi, adalah upaya untuk membersihkan diri atau jiwa manusia dari hal-hal yang dapat mengotori hati seperti kefasikan dan menyekutukan Allah, yang dilakukan secara terus menerus.

Ibn Manzur dalam lisan al-’arab menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari kata zakah yang bermakna tumbuh dan berkembang berdasarkan berkah dari Allah.

Makna tersebut dapat digunakan dalam konteks duniawi maupun ukhrawi sebagaimana dalam firman-Nya :

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

“Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”. (Q.S Al-baqarah : 43)

Menurut Ahmad Munir, kata tazkiyah yang berubah menjadi zakah yang dikaitkan dengan nafs terulang sebanyak 26 kali, dimana 24 kali dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan 2 kali dalam bentuk masdar yang dinisbahkan kepada manusia. Hal ini termaktub dalam Q.S Al-a’la ayat 14 :

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ

“Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri (dari kefakiran)”.

Selain itu, kata tazkiyah juga dinisbahkan kepada Allah, yaitu dalam Q.S An-nisa’ ayat 49 :

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikitpun”.

Kata tazkiyah juga dinisbatkan kepada Nabi, sebab ia menjadi wasilah (perantara) untuk memperoleh kesucian diri atau jiwa sebagaimana dalam Q.S at-taubah ayat 103 :

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌلَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketentraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Juga disematkan pada peribadatan sebagaimana dalam Q.S Maryam ayat 13 :

وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا

“(Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Diapun adalah seorang yang bertakwa”.

Jadi serangkaian proses pendidikan dan aktifitas belajar mengajar harus diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin. Penyucian ini dimulai dari hal-hal yang kecil seperti meninggalkan sifat-sifat buruk, kemudian menghiasi dengan sifat terpuji.[11]
[11] Senata Adi Prasetia, "Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam" https://tafsiralquran.id/menilik-makna-tazkiyah-dalam-pendidikan-islam/ di akses pada tanggal 5 Juni 2024 pukul 15.28

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Istilah ta’lim’, ta’dib, tadris, dan tarbiyah jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainny, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampaian ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. ta’lim disini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik. Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimibangan anak supaya (punya potensi) serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi. Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Tadris, titik tekannya adalah upaya menyiapkan anak didik tidak hanya sekedar dalam hal membaca, tetapi juga disertai dengan investasi inernalisasi nilai-nilai moral dan spritual yang diemban oleh guru untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik, mencerdaskan serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Sedangkan tazkiyah menjadi role value dan ultimate goal pendidikan Islam. Kelimanya mendasari tujuan, metode, kurikulum pendidikan, dan manajemenya, yang akan menghantarkan anak didik mampu mengarungi kehidupan ini baik sekarang maupun akan datang dengan baik.

KRITIK DAN SARAN

Harapan kami penulis dan siapa yang membaca makalah ini bisa memahami dan mengambil manfaatnya sebaik-baiknya. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dari pembaca krik dan saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad bin Umar, “Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Dalam Bingkai Pendidikan Terpadu”, Pustaka ‘Ali, Pekanbaru-Riau, 2022, hlm 26-29

Ridwan Muhammad, “KONSEP TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB DALAM AL-QUR’AN”, Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam, Vol 1 No. 1, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Maret 2018, hlm 43

Tafsir Ibnu Katsir, Q.S Asy-Syu’ara’: 18 dan Q.S Al-Isra’: 24

Wayudhi ,M. Jindar. 2006. Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta : Aperion Philotes.

Darajat Zakiah 1992-26

https://pusdikra-publishing.com/index.php/jbhs/article/download/1394/1243/4400

Ma’zumi, Syihabudin, dan Najmudin, PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib dan Tazkiyah Indonesian Journal of Islamic Education – Vol. 6 No. 2 (2019)

Tafsiralquran.id, (2021, 14 November), Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam, https://tafsiralquran.id/menilik-makna-tazkiyah-dalam-pendidikan-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar