Jumat, 15 Maret 2024

Sejarah Perkembangan Hadits pada Zaman Nabi, Sahabat dan Tabi'in, serta Sejarah Kodifikasi Hadits.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 3 Angkatan 5 :
1. Futty Nayu Soka Kemala (PAI)
2. Siti Fauzia Tis Sakinah (SBA)
3. Tanti R.Apadu (SBA)
4. Nanda Nur Azizah (PAI)
5. Nurul Izzah Razali (PAI)

KATA PENGANTAR

انَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ

Segala puji hanya milik Allah semata Rabb alam semesta yang sudah melimpahkan rahmat serta taufik-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Hadits dengan baik serta tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alihiwasallam,

Adapun makalah ini tentang “Sejarah Perkembangan Hadits pada zaman Nabi, sahabat dan Tabi’in, serta Sejarah Kondifikasi Hadits” telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan rekan-rekan kelompok 3, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada rekan-rekan sekalian yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Penyusun berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat kkhususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bengkulu, 13 Maret 2024

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Hadits Pada Periode Rasullulah.
2.2 Hadits Pada Periode Sahabat.
2.3 Hadits Pada Periode Tabi’in.
2.4 Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadits.
2.5 Penyempurnaan dan Pengembangan Sistem Penyusunan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA .

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadis Rasulullah adalah sebagai pedoman hidup yang utama bagi umat Islam setelah Alquran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut dalil yang masih mutlak dalam Alquran, hendaklah dicarikan penyelesiannya dalam Hadis.

Sejak masa lalu umat Islam telah mengakui bahwa hadis Nabi saw adalah sumber kedua syariat Islam setelah Alquran.[1] Hal itu tercatat dalam warisan ilmu pengetahuan Islam dan dijelaskan oleh ilmu usul fikih dalam semua mazhab. Telah banyak kitab yang ditulis untuk menjelaskan hal itu, baik pada masa lampau maupun masa modern ini. Ini merupakan masalah yang tidak diperselisihkan oleh semua orang yang bertuhankan Allah, beragama Islam, dan mengakui bahwa Muhammad SAW. adalah Rasulullah.
[1] Mu¡’af al-Sib, al-Sunnah Wa MaknatuhFi al-Tasyri’ al-Islam (Beirut: al-Maktab al-Islam³, 1978), h. 376

Pengkajian terhadap Hadis selalu menarik perhatian. Menarik karena dalam sejarahnya, pernah terjadi konflik yang menimpa sejumlah kalangan yang sejatinya sebagai sanad Hadits. Dilihat dari kodifikasinya, Hadits baru terkumpul sekitar seratus tahun setalah Nabi Muhammad wafat. Belum lagi, masalah pemalsuan Hadis yang berdasarkan kepentingan individu maupun kelompok, terutama kepentingan politik dan mazhab fikih. Karena itu, untuk memurnikan Hadis dari noda-noda tersebut, diperlukan kritik dan penelitian yang sangat mendalam.

Sebagai sebuah kajian ilmu Hadis, wacana kritik Hadis memang dipandang perlu untuk menambah keyakinan dan kemantapan terhadap Hadis itu. Dengan semakin banyak informasi yang diperoleh, baik dari sisi riwayat dan pesan yang terkandung di dalamnya, maka akan semakin mantap dan yakin untuk menjadikan sebagai dasar dalam kehidupan sehari-hari. Studi kritik Hadits difungsikan untuk menguji kualitas dan otensitasnya agar dapat dibedakan dan diambil yang terbaik dari sekian Hadits-hadits yang ada, sehingga ajaran Islam selamat dari segala kepalsuan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hadits pada Masa Periode Nabi, Sahabat dan Tabi’in ?
2. Bagaiman Penyempurnaan Hadits pada masa Nabi Muhammad SAW ?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Kodifikasi Hadits ?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui Perkembangan Ilmu Hadits Pada Masa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
2. Mengetahui Penyempurnaan Hadits Pada Masa Rasullulah صلى الله عليه وسلم
3. Mengetahui Sejarah Hadits Pada periode Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, para sahabat dan tabi’in.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hadits Pada Masa Rasulullah SAW

Hadits pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan menyebarluaskan hadits-hadits. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan, namun beliau juga banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain. Hal itulah yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan hadits, disamping para sahabat adalah orang Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca-tulis, namun demikian mereka mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa, karena menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya.

Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadits sangat fleksibel, terkadang hadits disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis ilmu, yakni tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadits yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadits tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath al-Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits.

Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadits tidak selalu sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama bersama Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.

Hadits yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa cara, menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama, menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mempraktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya.

Pada masa Nabi SAW, hadits tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan menulis hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاتكتبوا عنّي شيئا غير القران فليمحه (رواه أحمد)

Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, kecuali al-Qur’an, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapuskannya.”

Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur dengan catatan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi nama al-Sahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya dipercaya kebenarannya. Begitu juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki catatan hadits. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan hadits, namun karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Dari Malik, ia berkata Rasulullah pernah bersabda, “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidal akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah-ku”

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”

Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat lain menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini, para ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ayat al-Qur’an.Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak bertentangan.

Mereka menyatakan bahwa larangan itu dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan hadits dan al-Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau dalam kata lain Rasul melarang penulisan hadits secara resmi, tetapi tetap mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu. Demikianlah, hadits pada masa Rasul tidak tertulis kecuali hanya sedikit saja.[2]
[2] Leni Andariati, "Hadist dan Sejarah Perkembangannya", Vol. 4 No. 2 (2020), hal 3-7

2.2 Hadits periode sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat. Khususnya masa al-Khulafaur al-Rasyidin. Masa ini terhitung sejak tahun 11 sampai 40 Hijriyah yang disebut juga "Masa sahabat besar". Pada masa ini, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an yang mana mendapat prioritas pertama untuk terus disebarluaskan keberbagai pelosok wilayah Islam dan keseluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan dibatasi periwayatannya. Oleh karena itu masa ini dianggap oleh para ulama sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan.

Para sahabat sebagai generasi pertama yang menerima amanat bagi keberlangsungan syariat Islam bekerja keras untuk melaksanakan amanat tersebut. Amanat itu esensinya tertuang dalam Al-Qur'an dan hadits. Menjelang akhir hayatnya Rasulullah bersabda:

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat tidak lagi menetap dikota Madinah. Mereka menyebar menjelajahi kota-kota lain. Konsekuensinya penduduk di kota-kota lain pun mulai menerima ajaran Islam termasuk hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, periwayatan hadits mulai berkembang dikalangan tabi'in.

Sebaliknya, periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat masih terbatas sekali. Seseorang yang menerima hadits tidak harus menyampaikan hadits itu kecuali jika diperlukan. Artinya jika masyarakat menghadapi suatu masalah yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur'an dan membutuhkan penjelasan hadits, maka pada saat itu periwayatan hadits dapat dilakukan.

Kebijaksanaan ini dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr dan Umar bin Khattab. Namun demikian, tidak berarti bahwa kegiatan periwayatan terhenti sama sekali. Sebab kegiatan pencatatan dan penghafalan riwayat yang dilakukan atas inisiatif sendiri kalangan sahabat tetap ada, dengan satu keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam sesuai perintah Nabi shalallahu alaihi wasallam.

1. Masa Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq

Menurut Muhammad al-Djahabi(w 748/1347 Masehi) Abu Bakr merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Suatu ketika, Abu Bakr menghadapi kasus waris tentang seorang nenek. Pada saat itu seorang nenek menghadap Abu Bakr meminta waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakr menjawab bahwa ia tidak melihat petunjuk Al-Qur'an dan praktik Nabi yang memberikan bagian harta waris nenek. Abu Bakr lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu'bah berkata kepada Abu Bakr bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakr meminta agar Aal-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian pernyataan Al-Mughirah tersebut. Akhirnya Abu Bakr menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan bagian seperenam berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh Al-Mughirah tersebut.

Bukti lain tentang sikap kehati-hatian Abu Bakr dalam periwayatan hadits terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits yang berada ditangan putrinya (Aisyah Radhiyallahu Anha) yang berisikan sekitar 500 hadits.

Dari kejadian-kejadian diatas, dapat dipahami bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakr relatif lebih sedikit jumlahnya. Meskipun beliau merupakan salah satu seorang sahabat yang bergaul dengan Nabi dan sangat akrab, namun kerena kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits menyebabkan hal itu terjadi.

2. Masa Khalifah Umar bin Khattab

Seperti Abu Bakr, Umar pun sangat berhati-hati dalam masalah periwayatan hadits. Ketika dia menjadi Khalifah, dia mengintruksikan kepada para sahabat agar berhati-hati dalam melakukan periwayatan hadits. Demikian juga, ketika dia mengirim utusan ke irak, dia mewasiatkan supaya utusan itu mengajarkan dan menyebarkan Al-Qur'an dan menahan diri untuk tidak memperbanyak riwayat.

Dijelaskan bahwa pernah seseorang bertanya kepada Abu Hurairah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits dimasa Umar, Abu Hurairah menjawab, "Sekiranya saya memperbanyak riwayat, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya".

Bukti lain bahwa Umar sangat hati-hati dalam periwayatan hadits terlihat, misalnya, Ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka'ab, Umar baru bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain (diantaranya Abu Djazrr) memperkuat bahwa ia telah mendengar pula hadist yang disampaikan Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay, "Demi Allah, sesungguhnya saya tidak menuduhmu berdusta, saya melakukan demikian karena saya ingin berhati-hati dalam melakukan periwayatan terhadap hadits-hadits Nabi".

Dari keterangan diatas tampak adanya persamaan antara Umar dengan Abu Bakr dalam meneliti kebenaran suatu riwayat, yakni mengharuskan adanya saksi. Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat dalam memperbanyak periwayatan hadits sesungguhnya tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadist, tetapi larangan itu dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian masyarakat kepada Al-Qur'an tidak terganggu.

Pernyataan ini didasarkan pada sejarah bahwa Umar pernah merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Tetapi, tak lama kemudian beliau mengurungkan rencana tersebut. Diriwayatkan dari Urwah bin Al-Zubair bahwa Umar bin Khattab hendak menulis, lalu beliau meminta pertimbangan kepada para sahabat. Para sahabat mengusulkan tetap menulisnya. Tetapi setelah satu bulan, Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan sholat istikharah akhirnya dia mengurungkan niatnya itu dan bertekad memalingkan perhatiannya kepada Al-Qur'an.

Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Umar sesungguhnya berada diantara dua keinginan, disatu sisi, dia ingin mengembangkan periwayatan hadits, sementara disisi lain, dia ingin hadits tetap terpelihara dari kebohongan dan manipulasi. Bagi Umar kedua keinginan itu kelihatannya sulit terwujud dalam waktu bersamaan sehingga dia menetapkan pilihannya untuk memelihara kemurnian hadits dengan memperketat kegiatan periwayatan.

3. Masa Khalifah Usman bin Affan

Hal yang terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Secara umum, kebijaksanaan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidak setegas langkah Umar, dalam satu khotbahnya, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah dengar pada zaman abu Bakr dan Umar. Ini menunjukkan pengakuan Usman atas sikap kehati-hatian kedua pendahulunya.

Pada zaman Usman, umat Islam periwayatan hadits lebih banyak jika dibandingkan dengan zaman Umar bin Khattab. Hal ini terjadi karena secara pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah meluas sehingga banyak para sahabat berpencar keberbagai wilayah-wilayah diluar jazirah Arab, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan untuk mengadakan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.

4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Hal ini tidak jauh berbeda keadaannya pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara umum, Ali bersedia menerima riwayat hadits Nabi setalah periwayatan hadits yang bersangkutan diperkuat dengan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dipercayainyalah, Ali tidak meminta periwayat hadits untuk bersumpah, misalnya ketika beliau menerima riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi sumpah periwayatan hadits bagi Ali bukanlah merupakan syarat mutlak bagi keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak mungkin keliru.

Dilihat dari kebijakan dan kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits, masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam telah berbeda dengan situasi sebelumnya. Pada masa Ali pertentangan politik dikalangan umat Islam semakin meluas peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu'awiyah sering terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits, yakni timbulnya pemalsuan-pemalsuan hadits.[3]
[3] H. Kamaruddin, Studi Hadis(Yogyakarta: 2023), hal. 54-59

2.3 Hadits pada Periode Zaman Tabien

Sebagaimana pada masa sahabat, pada masa Tabi’în juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadis. Meskipun keadaan mereka tidak seberat seperti keadaan yang dialami oleh para Sahabat, yang mana pada masa ini, Al-Qur’ân sudah dikumpulkan dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampur dengan hadîts-hadîts Nabi. Selain itu, pada akhir periode al-Khulafa’ al-Râsyidîn, para Sahabat yang mengetahui dan menghafal banyak hadis dan telah banyak menyebar ke beberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini menimbulkan kemudahan bagi para Tâbi’în untuk mempelajari hadits dari mereka.

Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para Sahabat ke daerah tersebut pun terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran hadits. Oleh karena itu, masa inidikenal dengan masa penyebaran periwayatan Hadis (instisyâr al-riwayah). Maka, tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para Tâbi’în dalam mencari hadits-hadits Nabi, dan kota-kota ini kemudian menjadi pusat kegiatan para Tâbi’în dalam meriwayatkan hadis-hadis mereka kepada murid-muridnya. Di antara kota-kota tersebut adalah:

1. Madinah

Di antara tokoh-tokoh hadis di kota Madinah dari kalangan Sahabat adalah Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ustman, ‘Alî (sebelum pindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibn ‘Umar, Abu Sa’îd al-Khudrî, dan Zaidbin Tsabit.

.Di antara ulama-ulama dari kalangan Tabi’in yang belajar pada Sahabat-Sahabat di atas adalah Sa’îd, ‘Urwah, al-Zuhrî, ‘Ubaidillâh ibn ‘Abd Allâh ibn ‘Utbah ibn Mas’ûd, Sâlim ibn ‘Abd Allâh ibn‘Umar, al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abâ Bakr, Nâfî’, Abû Bakribn ‘Abd al-Rahmân ibn al- Hâris ibn Hisyâm, dan ‘Abd Zinâd.

2. Makkah

Tokoh hadits di Makkah adalah Mu’âdz ibn ‘Abbâs, dan di antara Tabi’in yang belajar padanya adalah Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Athâ’ ibn Abi Rabbah, Abu Zubair Muhammad ibn Muslim.

3. Kufah

Ulama dari kalangan sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Sa’id ibn Zaid, Salman al- Farisî, al-Mughirah, dan lain-lain

4. Basrah

Golongan sahabat yang memimpin di Basrah ialah: Anas bin Malik, ‘Utbah, Abu Bakr, ‘Abd Allâh ibn Syikhrîn, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan hadis mulai berkembang, sejalan dengan banyaknya ulama yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari para Sahabat dan Tabi’în dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya hadits-hadits Nabi, karena adanya hadits-hadits palsu yang menyebar di kalangan umat Islam, ditambah dengan banyaknya para ulama dari kalangan sahabat yang wafat dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan hadits semakin keras dilakukan para ulama di kalangan Tabi’in. Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz yang terkenal dengan kearifan, keadilan dan ketaatannya terhadap Islam, ia memberikan perhatian pada usaha penulisan hadits ini, dan secara resmi memerintahkan kepada gubernur Madinah Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm untuk menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi mengingat telah banyak ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang telah wafat sehingga dikhawatirkan ajaran-ajaran Nabi akan lenyap begitu saja. Di samping itu, khalifah ‘Umar juga mengirim surat-suratnya kepada para gubernur yang berada di bawah kekuasaannya, supaya membukukan hadits yang ada pada ulama yang berdiam di wilayah mereka masing-masing.

Dengan adanya perintah resmi dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz tersebut, para ulama mulai menulis dan membukukan hadits dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi oleh ulama yang melakukan pengkajian dan pembahasan hadits. Perintah tersebut diikuti dengan kebijaksanaan penggunaan sebagian bait al-mal untuk membiayai kegiatan penulisan hadits. Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang pertama yang melaporkan pengumpulan hadits pada permulaan abad ke-2. Kemudian disusul oleh ulama-ulama lainnya bersamaan dengan kegiatan Ulama dalam bidang ilmu-ilmu agama lainnya seperti di antaranya, ilmu fikih, ilmu kalam, dan sebagainya. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan ‘ashr al-tadwin (masa pembukuan).

Di antara ulama hadîts yang menghimpun hadits pada masa ini adalah:

1. Ibn Juraij (w. 150 H di Makkah)
2. Al-Awza’i di Syiria (w. 156 H)
3. Sufyan al-Tsawri di Kufah (w. 161 H)
4. Imam Malik di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.

Pembukuan hadits mengalami perkembangan yang beragam sesuai dengan perubahan situasi dan kondisinya. Pertama-tama para Sahabat membukukan hadits yang telah bercampur dengan perkataan para Sahabat dan fatwa-fatwa Tabi’in. Kemudian abad ke-3 H menyaksikan kegiatan pengkodifikasian hadits. Pada masa inilah, lahirnya tokoh-tokoh hadits besar yang melakukan penyusunan kitab-kitab hadits dan melakukan kritik atas perawi-perawi hadits. Pada masa ini muncullah al-Kutub al-Khamsah, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan al-Turmidzî. Kemudian kitab mereka ini menjadi pegangan bagi para ahl al-istinbath dan para ulama.

Pada abad ke-4 H, para ulama hadits tidak banyak lagi mengadakan perlawatan ke daerah-daerah sebagaimana yang biasa dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Maka, di penghujung tahun 300 H ini, mereka hanya memelihara kitab-kitab hadits yang telah ada dan mengembangkannya dengan mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanad-sanadnya serta menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan dan telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada. [4]
[4] H. Kamaruddin, Studi Hadis (Yogyakarta:2023), hal 59-62

2.4 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI HADITS

Penulisan dan penyebaran Hadits sebagaimana telah diketahui dalam abad pertama hijriyah, mulai dari zaman Rasul, Khulafa al-Rasyidin hingga abad pertama hijrah, masih bersandar pada hafalan para sahabat dan tulisan-tulisan hadits pribadi dari sahabat yang tersebar dalam beberapa catatan mereka. Saat pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau tergerak hatinya untuk mulai membukukan hadits, dikatakan resmi dan massal karena kegiatan penghimpunan itu adalah kebijakan dari kepala Negara dan perintah Negara itu ditujukan kepada gubernur serta ulama hadits pada masa itu.

Beberapa aspek yang melatarbelakangi gagasan Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadits secara resmi, diantaranya adalah:

1. Sebelumnya, hadits tersebar dalam lembaran dan catatan sahabat, dimana masing-masing sahabat memiliki catatan sendiri, seperti sahifah Abdullah ibn Umar, Jabir, dan Hammam ibn Munabbih. Para ahli hadits menyerahkan urusan penulisan hadits kepada hafalan-hafalan para sahabat yang lafaznya diterima dari Nabi, ada juga sahabat yang hanya tahu maknanya tetapi tidak hafal lafaznya, sehingga terjadilah perselisihan riwayat penukilan sekaligus perowinya. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz khawatir jika nanti hadits Rasulullah disia-siakan oleh umatnya (ash-Shiddiqey, 1999:68).

2. Pada masa Nabi ataupun masa Sahabat, penulisan dan penyebaran hadits masih bersifat kolektif individual, ditambah lagi dengan kemampuan para sahabat yang berbeda-beda dalam menerima hadits. Dengan melihat kondisi, maka dikhawatirkan terjadinya penambahan atau pengurangan pada lafaz-lafaz hadits yang diriwayatkan.

3. Dengan semakin luasnya kekuasaan Islam di berbagai Negara serta memiliki pengaruh besar di tiga benua, yaitu Asia, Afrika, dan sebagian benua Eropa. Hal ini membuat para sahabat tersebar luas di berbagai Negara, disamping kecintaan para sahabat dalam mencari ilmu pengetahuan mereka melakukan perjalanan di berbagai Negara, ditambah lagi berbagai masalah yang kompleks membuat hafalan para sahabat berkurang, apalagi banyak juga para sahabat yang meninggal saat di medan perang dalam membela Islam menjadi perhatian Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau merasa khawatir dan cemas terhadap hilangnya hafalan hadits yang berbeda pada sahabat.

4. Bermunculannya hadits palsu terutama setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, mendorong setiap golongan untuk menghadirkan keterangan hadits yang diperlukan untuk mengesahkan kebenaran golongan mereka.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan qadhi-nya di Madinah, yaitu Abu Bakar ibn Hjm, yang menjadi guru Ma’mar, al-Lais, al-Auza’I, Malik ibn Anas, Ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin, untuk mencatat hadits Nabi yang terdapat pada penghafal wanita terkenal, Amrah bint Rahman ibn Saad Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli fiqh murid dari Aisyah ra. Surat perintah tersebut berbunyi:

“Lihatlah atau periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Nabi, lalu tulislah, karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama.”

Atas perintah kepala Negara, Ibn Hazm menjadi penulis kitab hadits pertama. Namun, kitab hadits tersebut tidak seluruhnya membukukan peredaran hadits yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadits di Madinah adalah Muhammad ibn Shihab al-Zuhri, seorang ulama ternama pada masanya. Kemudian, generasi baru melanjutkan upaya pembukuan. Di antara ulama yang melanjutkan itu adalah: Abu Muhammad Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz Ibn Zuraij al-Basyri (150 H) di Makkah, Muhammad ibn Ishaq (151 H) dan Malik ibn Anas (151 H) di Madinah, Said ibn Abi Arobah (156H), Rabi’ ibn Shabi’ (160 H), dan Hammad ibn Salamah (167 H) di Basrah, Sofyan al-Sauri (161 H) di Kufah, Abu Umar al-Auza’I (157 H) di Syam, Hasyim (173 H), dan Ma’mar ibn Asyid (153 H) di Yaman, Jarir ibn Abdul Hamid (188 H) di Ray, dan Abdullah ibn Wahhab (125-197 H) di Mesir.

Beberapa nama di atas adalah para ahli hadits yang telah membukukan hadits pada abad ke-dua hijriyah, selanjutnya mereka mengembangkan pengajaran hadits di berbagai kota di mana mereka berada, dan kemudian menjadi pusat pengembangan kajian hadis. Namun, ahli sejarah belum dapat menentukan siapa tokoh pelanjut pertama dalam penulisan hadis setelah Shihab al-Zuhri, karena ulama-ulama tersebut di atas seluruhnya adalah hidup semasa. Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, proses pembukuan hadis masih terus berlanjut, akan tetapi menjadi sempurna ketika datangnya Bani Abbas, yaitu sekitar pertengahan abad kedua. Munculnya kembali Imam Malik dengan kitabnya al-Muwatta’, Musnad Imam Syafi’i, dan Asar Imam Muhammad Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis secara lengkap mulai dari hadis Nabi Saw sampai dengan perkataan Sahabat dan fatwa Tabi’in. (Jurji Jaidan, Jilid III:75)

Pembukuan hadis pada abad ke-II belumlah sistematis dan belum tersusun dalam bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in disamping hadits. Semua itu dibukukan secara bersama-sama, dengan demikian terdapatlah dalam kitab-kitab itu ditulis hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqtu’. Oleh karena itu, sepeninggal tabi’in, yaitu pada permulaan abad ke-III H, para ulama berusaha menyusun kitab-kitab musnad yang memuat hadis Nabi dan memisahkannya dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Penyusunan kitab demikian adalah Abu Daud al-Tayalisi (202 H), kitab sejenis yang paling memadai dan paling luas adalah Musnad Imam Ahmad ibn Hambal, kendati demikian Imam Ahmad hidup pada masa sesudahnya. Beliau wafat sesudah tahun 202 H, walaupun sudah dipisahkan dari fatwa sahabat dan tabi’in, namun hadis-hadis dalam kitab musnad itu masih bercampur antara yang shahih dan dengan yang tidak shahih. Dengan demikian, pada pertengahan Abad ke-III Hijriyah disusunlah kitab-kitab yang benar-benar hanya memuat hadits shahih, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Majah, dan Sunan al-Nasa’i.

Menurut para penulis, orang pertama yang menulis dan mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu adalah al-Jalil Amir al-Sya’ibi (19-130 H), beliau menyusun kitab hadis khusus mengenai masalah talak. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufi, Musaddad al-Basry, Asad ibn Musa, dan Na’im ibn Hammad al-Khaza’i. Pada abad ke-tiga ini mulai bermunculan kitab-kitab hadis, maka digelarlah kritik sanad dan matan hadits serta jarh wa ta’dil suatu hadits. Usaha ini lebih dikenal dengan sebutan pentashihan hadits dan penyaringan hadits dengan kriteria tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan selanjutnya diteruskan oleh beberapa muridnya, sehingga terjaringlah hadits-hadits dengan skala nilai. Menurut al-Siba’I setelah masa al-Bukhari ke bawah, pembukuan dan pengumpulan hadits terhenti. Adapun yang berkembang kemudian adalah tradisi penyempurnaan hadits.[5]
[5] Yunitasari, R. (2020). MASA KODIFIKASI HADIS Meneropong Perkembangan Ilmu Hadis Pada Masa Pra-Kodifikasi hingga Pasca Kodifikasi. Jurnal Ilmiah Ar-Risalah: Media Ke-Islaman, Pendidikan Dan Hukum Islam, 18(1), 101-113.

2.5 Penyempurnaan dan pengembangan sistem penyusun hadits

1. Masa penyaringan Hadits

Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode ini, karena periode sebelumnya yaitu periode tadwin belum bisa memisahkan hadits mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’ serta hadis dhaif dari yang shahih. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis dan akhirnya berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf dan yang maqthu’ dari yang marfu’.

2. Masa Pengembangan dan penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadits

Penyusunan hadits pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Di antara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Bukhori dan Muslim, seperti yang dilakukan Muhammad ibn Abdillah Al-Jauzaqi dan ibn Al-Furat (w 414 H). Masa perkembangan hadits yang terakhir ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.[6]
[6] Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), Cet.,hlm. 73.

1. Pengembangan Hadits Pada Masa Rasullulah

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam secara langsung menerima hadits dari Rasul SAW tanpa hijab. Allah menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Kedudukan Nabi yang demikian itu secara otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi para sahabat. Para sahabat secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah)[2] Ada beberapa cara Rasul menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu :

Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui hadis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi.

Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewujudkan hadis,para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,baik karena disengaja oleh Rasul sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang,seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash

Ketiga, cara yang dilakukan Rasul adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,seperti ketika haji wada’ dan fathul Makkah.[7]
[7] Mushtafa Al- Siba’i, op.cit.,hlm. 64-65

2. penyempurnaan Hadits

· Menghafal hadits

Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul menempuh jalan yang berbeda. Yaitu menghafal dan menulis. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praislam dan mereka terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul banyak memberikan spirit melalui do’a-do’anya; ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada yang menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.

· Menulis Hadis

Beberapa sahabat yang memiliki catatan dan penulisan terhadap hadis : Abdullah ibn Amr Al-‘Ash,Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari, Abu Hurairah Al-Dausi, Abu Shah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari).

· Mempertemukan Dua Hadits yang Bertentangan

Dengan melihat dua kelompok hadits yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti para hadits dari Abu Sa’id Al-Hudri di satu pihak, dengan hadits dari Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash. Diantara mereka ada yang menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berkompromi keduanya sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).

Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits,yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadits-hadits rasul tidak diriwayatkan. Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul) dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).

A. Periwayatan Lafdzi

Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.

B. Periwayatan Maknawi

Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun. Namun para sahabat tetap hati-hati dalam melakukannya. Ibn Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakan untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul SAW hakadza (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul SAW qariban min hadza.[8]
[8] Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.130.Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t) hlm.106


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan.

Tulisan kali ini tidak befokus pada status hadis. Penulis ingin membahas bagaimana sejarah pertumbuhan hadis, perkembangan hadis, penyebaran hadis, hingga kondifikasi hadits itu sendiri.

Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw baik itu dari perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) nya. Hadis merupakan sumber rujukan hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hadits berfungsi sebagai dalil naqli dalam penetapan sebuah hukum.

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pengajaran hadist pada masa Nabi Muhammad saw. menggunakan beberapa metode yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktek disertai dengan beberapa langkah-langkah penyebarannya.dan sejarah sejarah yang sudah kita ketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baghdadi Al- Khattib, Al-Jami’ li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al- Misiriyah,t.t)

H.Kamaruddin. (2023). Studi Hadis . Yogyakarta: Deeppublish Digital (Grup Penerbit CV Budi Utama)

Mathar Al-Zahrani Ibn Muhammad , Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H)

Shalih, A.-S. (1997). 'Ulum Al-Hadis wa Musthalahu. Malayin: Dar Al-'Ulum.

Sariyunita , R. (2020). MASA KODIFIKASI HADIS Meneropong Perkembangan Ilmu Hadis Pada Masa Pra-Kodifikasi hingga Pasca Kodifikasi. Jurnal Ilmiah Ar-Risalah: Media Ke-Islaman, Pendidikan Dan Hukum Islam, 18(1), 101-113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar