Sabtu, 23 Maret 2024

Pembagian Hadits dari Sisi Kuantitas Sanadnya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 4 Angkatan 5 :
1. Rama Hidayat (PAI).
2. Farhan Maulana Al-Atsari (PAI).
3. Willy Rahman (SBA).
4. Uu Ubaidillah (MPI).
5. Muhammad Miftahuddin (PAI).

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Ta’ala. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Pembagian Hadits dari Sisi Sanadnya” dapat kami selesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang Ilmu Hadits. Begitu pula kami mengucap syukur atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah ta’ala karuniakan kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun dengan baik melalui beberapa sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kami bantuan, semangat dan doa sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menjadi pengetahuan dan ilmu untuk kami dan para pembaca.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya ketidaks esuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Serang , 20 Maret 2024 M
               09 Ramadhan 1445 H
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai kitab suci dibukukan sejak dini oleh para sahabat dan disakasikan oleh mereka yang menerima langsung dari Nabi Muhammad tentang ayat-ayat yang telah diwahyukan kepada beliau. Dengan pembukuan dini dan disaksikan oleh mereka yang hadir langsung bersama Rasulullah dalam proses penerimaan wahyu selama duapuluh tiga tahun, maka keotentikan dan validitas Al-Qur’an tidak diragukan lagi. Riwayat Al-Qur’an dinyatakan sebagai riwayat yang mutawatir sehingga kebenaran yang ada berkualitas ilmu pasti (dzaruri), yaitu ilmu yang kebenarannya sudah nyata dan tidak ada keraguan di dalamnya.

Berbeda dengan Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dibukukan oleh para ulama pada abad ke satu hijriah `atas gagasan khalifah Umar bin Abdil Aziz. Pada abad kedua dan ketiga hijriah para ulama melakukan pembukuan besar-besaran terhadap hadits-hadits Nabi, sehingga kitab-kitab induk hadits yang menjadi rujukan primer dalam kajian hadits merupakan hasil pembukuan para ulama pada kedua abad tersebut. Di antara kitab-kitab induk hadits yang dibukukan pada abad kedua dan ketiga tersebut; Kitab Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad, Shahih al-Bukhari karya Imam Al-Bukhari, Shahoh Muslim Karya Imam Muslim, Sunan Abi Daud Karya Imam Abu Daud, Sunan Al-Turmudzi karya Imam Al-Turmudzi, Sunan Al-Nasa’I karya Imam Al-Nasa’I, dan Suanan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah.

Dilihat dari jarak waktu antara masa Rasulullah sebagai pemilik hadits dan masa para ulama yang membukukan hadits-hadits beliau, tentunya ada mata rantai periwayatan karena penulis yang membukukan hadits tidak semasa dengan beliau. Mereka hidup sebagai generasi setelah sahabat dan masuk kategori sebagai tabi’in atau tabi’ tabi’in. Tentunya hadits-hadits yang mereka bukukan tidak didengar secara langsung dari Rasulullah, tetapi didapat atau didengar dari para gurunya yang gurunya pun juga tidak mendengar langdung dari baginda Nabi, sehingga ada runtutan mata rantai perawi yang bersambung kepada para sahabat, dan para sahabat menerima langsung dari baginda Nabi Muhammad saw. Dalam Ilmu Hadits runtutan mata rantai para perawi yang menjadi jalur penyambung periwayatan menuju pemilik redaksi hadits, yaitu Rasulullah, matan dikenal dengan istilah sanad.

Dari banyaknya para ulama yang membukukan hadits dengan jalur periwayatan mereka masing-masing, maka sebuah hadits bisa jadi memilki dua, tiga, empat, lima jalur sanad atau lebih, walaupun dalam faktanya juga ada yang hanya memiliki satu jalur sanad. Dari fakta ini, para ulama hadits melakukan pemetaan macam-macam hadits ditinjau dari kuantitas atau banyak tidaknya jalur sanad yang dimiliki. Pemetaan hadits berdasarkan kuantitas sanad sangat urgen dalam kajian kualitas hadits, karena kualitas sebuah hadits juga banyak yang ditentukan bedasarkan kuantitas sanad yang dimilikinya. Dalam kajian ilmu hadits dirayah, pemetaan hadits berdasarkan kuantitas sanad termasuk materi kajian utama yang harus dikuasi oleh para pengkaji hadits, karena hadits bisa dikatakan berkualitas hasan li ghairih atau shohih lighairih akan diketahui kalau dilihat hadits tersebut memiliki jalur sanad hadits yang lebih dari satu.

A. Rumusan Masalah

1. Apa Hadits Mutawatir.
2. Apa Hadits Ahad.
3. Apa Hadits Masyhur.

B. Manfaat Penelitian

1. Mengetahui Hadits Mutawatir dan Jenisnya.
2. Mengetahui Hadits Ahad dan Jenisnya.
3. Mengetahui Hadits Masyhur dan Jenisnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemetaan Hadits Berdasarkan Kuantitas Sanad

Secara garis besar, hadits dilihat dari kuantitas sanad ada dua macam, Hadits Mutawatir, dan Hadits Ahad. Keduanya terbagi menjadi beberapa bagian lagi, hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir lafdzi dan hadits mutawatir maknawi. Adapun hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib. Masing-masing dari hadits masyhur dan hadits gharib terbagi menjadi dua macam : hadits masyhur terbagi menjadi hadits masyhur istilahi dan non istilahi, adapun hadits gharib terbagi menjadi hadits gharib mutlak dan hadits gharib nisbi. Sedangkan hadits aziz tidak ada pemetaan dalam pembahsannya.

1. Hadits Mutawatir

a. Definisi Hadits Mutawatir

Secara bahasa, kata mutawatir bermakna mutatabi dalam terjemahan bahasa Indonesia memiliki arti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Secara termenologi, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Dari terminologi ini, para ulama menentukan empat syarat sebuah hadits bisa dikatakan mutawatir. Adapun empat syarat tersebut adalah:

Pertama: Harus diriwayatkan oleh perawi yang banyak. Para ulama berbeda pendapat mengenai batas minimal banyaknya jalur perawi. Ada yang mengatakan tidak boleh kurang dari dua, karena dua merupakan batas minimal persaksian harta. Ada yang mensyaratkan empat sesuai dengan jumlah saksi dalam perzinahan. Ada yang mematok minimal lima jalur sanad, sesuai dengan jumlah nabi ulu al-’azmi. Ada yang berpendapat sepuluh sesuai ketentuan awal jama’ kastrah, dan pendapat ini merupakan pendapat yang paling ideal (al-mukhtar) menurut Imam Al-Usthahrí, sebagaimana dikutip oleh al-Suyúthí.[1]
[1] Abdurrahmán bin Abí Bakar al-Suyūthī, Tadrīb al-Rāwī, juz 2 (Riyad: Maktabah Riyādh al-Hadītsah, t.th), 176

Ada pula yang berpendapat dua puluh dengan mengacu kepada ketentuan yang disebut al Qur’an, ayat 65, surat al-Anfal: “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” Menurut jumhur ulama, jumlah jalur perawi mutawatir tidak harus ditentukan dengan angka tertentu. Yang menjadi persyaratan adalah jumlah jalur perawi tersebut banyak serta tidak mungkin bersepakat berdusta. Terkadang informasi dari tujuh orang akan lebih meyakinkan dari pada dua puluh orang, karena sifat-sifat tertentu yang dimiliki tujuh orang tersebut dan tidak dimiliki oleh yang berjumlah dua puluh orang atau lebih.[2]
[2] Musthafa Muhammad Abu ‘Imárah, Al-Tahqíq wa al-ídháh li Masáil min ‘Ulúm al-Isthiláh (t.t: t.p, 1427 H./2007 M.), 8-9

Kedua, Adanya konsistensi jumlah perawi yang banyak tersebut pada setiap thabaqh (tingkatan generasi). Apabila salah satu dari tingkatan sanad tidak mencapai jumlah minimal bilangan mutawatir, maka sanad tersebut tidak dikategorikan mutawatir, tetapi termasuk dalam kategori sanad hadits ahad.

Ketiga, Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan secara bersama-sama. Seperti mereka (para perawi) yang datang dari daerah yang berbeda-beda, tidak saling mengenal, tidak pernah berkomunikasi antara satu dengan yang lain.

Keempat, Periwayatan tersebut disandarkan pada panca indera; baik indera pendengaran, penglihatan dan lainnya. Riwayat mutawatir harus disandarkan pada panca indera, yaitu indera pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba dan perasa. Sebuah riwayat atau berita yang tidak disandarkan pada panca indera, maka tidak bisa dikategorikan mutawatir, seperti berita yang disandarkan atau didasarkan pada argumen logika atau masalah-masalah keyakinan (i’tiqad). Alasan yang menjadikan berita yang disandarkan pada logika tidak bisa dikatakan mutawatir, karena berita tersebut bisa diketahui melalui proses berfikir, bukan karena adanya periwayatan, seperti informasi yang mengabarkan bahwa tiga puluh merupakan separuh dari enam puluh. Diketahuinya tiga puluh merupakan separuh dari enam puluh tidak didapat dari informasi tersebut, tetapi melalui berfikir.

Selain itu pula, berita yang berkaitan dengan masalah keyakinan tidak bisa dikatakan mutawatir juga, karena keyakinan tersebut belum tentu benar walaupun dibawa oleh orang banyak yang sampai pada tingkatan mutawatir. Walaupun benar, hal tersebut bukan karena proses periwayatan, tetapi karena hasil berfikir. Di antara contoh informasi yang salah walaupun disampaikan oleh orang banyak adalah informasi orang-orang Buddha yang mengatakan bahwa Buddha adalah Tuhan. Berita ini menurut akal sehat tidak benar, karena Buddha tidak berbeda dengan manusia-manusia yang lain. Ia butuh makan, minum dan lain - lain, Sedangkan Tuhan tidak mungkin membutuhkan hal tersebut. Berita yang dibawa oleh jutaan pemeluk agama Buddha ini tidak bisa dikatakan mutawatir, karena penilaian benar tidaknya disandarkan pada logika, bukan riwayat.

b. Macam-macam Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi dua macam, yaitu : mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.

1. Mutawatir Lafdzi

Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits mutawatir yang memiliki lafadz dan makna yang sama dari semua jalur periwayatan, seperti hadits:

"من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار"

“Barang siapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, maka ia mempersiapkan tempat duduk di neraka.” Menurut Musthafa Abu ‘Imarah, hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 60 orang sahabat, termasuk di antaranya sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.[3]
[3] Ibid, 19.

2. Mutawatir Maknawi

Hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang lafadznya berbeda antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi riwayat-riwayat tersebut memiliki sisi kesamaan makna, seperti hadits-hadits mengangkat kedua tangan ketika berdo’a. Menurut Ahmad Umar Hasyim, ada sekitar seratus riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.[4] Riwayat-riwayat tersebut dalam moment yang berbeda, sehingga secara redaksional berbeda pula. Tetapi dari riwayat-riwayat tersebut ada kesamaan makna, yaitu mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.
[4] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawá’id ‘Ushúl al-Hadíts (Kairo: Dár al-Syabáb, 1995), 147.

3. Faedah, Kualitas dan Hukum Hadits Mutawatir

Mayoritas ulama berpendapat hadits mutawatir berfaedah sebagai ilmu dharuri, yaitu ilmu yang kebenarannya sudah pasti. Kedudukannya sama dengan keyakinan yang didapat melalui kesaksian langsung di lapangan, sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya dan wajib mengamalkan petunjuk yang diperoleh darinya.

2. Hadits Ahad

a. Definisi Hadits Ahad

Secara bahasa ahad artinya satu, hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Tetapi dalam makna istilahnya hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir. Dari definisi istilah ini, hadits ahad bukan hanya diriwayatkan oleh satu orang tetapi bisa juga diriwayatkan oleh dua orang, tiga orang atau lebih selama tidak memenuhi empat syarat-syarat dari mutawatir yang telah dijelaskan di atas.

b. Faedahnya dan hukum Hadits Ahad

Hadits Ahad memiliki faedah sebagai ilmu nadlari, yaitu ilmu yang kebenarannya harus diuji melalui penelitian. Artinya kebenaran hadits ahad hanya didapat dari hasil dugaan kuat para pengkaji atau peneliti, sehingga kebenarannya tidak memberikan faedah ilmu yakin. Atas dasar ini maka hukum hadits ahad ada yang shahih, hasan dan dla’if. Adapun statusnya dalam agama, apabila hadits ahad berkualitas shahih atau hasan, maka wajib mengamalkan petunjuk-petunjuk yang didapat darinya, sebaliknya apabila dla’if maka harus ditolak.

c. Macam-macam Hadits Ahad

Para ulama memetakan hadits ahad berrdasarkan kuantitas sanadnya menjadi tiga bagian, yaitu:

Ø Hadits Masyhur.
Ø Hadits Aziz, dan
Ø Hadits Gharib.

3. Hadits Masyhur

Definisi Hadits Masyhur Menurut istilah, Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan dengan tiga jalur perawi (sanad) atau lebih, namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Periwayatan dengan minimal tiga jalur sanad tidak harus di semua tingkatan sanad, tetapi bisa jadi hanya di satu tingkatan saja. Umpamanya di tingkatan atau jalur sahabat hanya diriwayatkan oleh tiga orang saja, sedangkan ditingkatan berikutnya ada empat perawi atau lebih, maka hadits tersebut tetap dinamakan hadits masyhur.

a) Macam-macam Hadits Masyhur

Hadits Masyhur ada dua macam: Masyhur Secara Istilah (masyhur isthilahí) dan Masyhur Non Istilah (masyhur ghair isthilahí).

Masyhur Secara Istilah (masyhur isthilahí) adalah hadits masyhur sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan tiga jalur perawi atau sanad atau lebih, namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Dinamakan masyhur secara istilah karena hadits tersebut sesuai dengan kriteria istilah atau definisi ulama hadits.

Masyhur Non Istilah (masyhur ghair isthilahí) adalah hadits yang terkenal atau masyhur dari mulut ke mulut. Jumlah atau kuantitas perawi tidak menjadi persyaratan dalam definisi ini, yang penting hadits tersebut masyhur atau terkenal dari mulut ke mulut. Pada hakikatnya hadits masyhur non istilah tidak termasuk bagian dari hadits ahad, karena yang menjadi pertimbangan kemasyhurannya bukan kuantitas sanad, sebagaimana hadits ahad.

Aspek kemasyhuran dari mulut ke mulut yang menjadi tolak ukur hadits ini. Bisa jadi hadits gharib, hadits aziz atau yang tidak memiliki sanad masuk kategori masyhur non istilah dilihat dari aspek kemasyhurannya di tengah masyarakat atau komunitas tertentu. Demikian pula hadits masyhur istilahí belum tentu masuk kategori hadits masyhur non istilah karena tidak banyak orang yang mengenal hadits masyhur istilahí tersebut.

Kemasyhuran hadits masyhur non istilah bisa terjadi di tengah masyarakat umum dan bisa jadi hanya di komunitas atau kelompok tertentu, seperti masyhur di kalangan ulama fiqih, masyhur di kalangan masyarakat umum, masyhur di kalangan ulama Nahwu dan lainnya.

b) Kualitas Hadits Masyhur

Istilah masyhur tidak mengindikasikan bahwa hadits masyhur; baik yang masyhur secara istilah atau yang non istilah, merupakan hadits sahih. Kualitas dari dua macam hadits masyhur tersebut tergantung pada keterpenuhan syarat-syarat hadits maqbul. Oleh karena itu kualitas hadits masyhur ada yang shahih, hasan, dha’if dan bahkan ada yang mawdhu’.

1) Contoh Hadits Masyhur Secara Istilah:

Nabi saw. bersabda:

بقبض العلماء، حتى إذا لم يبق عالما إن هللا ال يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن
يقبض العلم فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. اتخذ الناس رؤوسا ُجهاال،

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga jika Allah tidak menyisakan orang pandai, maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin lalu mereka ditanya dan mereka memberi fatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.”

Hadits ini ditinjau dari kuantitas sanad dinamakan hadits masyhur karena memiliki tiga jalur perawi yang berbeda atau lebih, tetapi tidak sampai pada tingkatan mutawatir.

2) Contoh Hadits-hadits Masyhur Non Istilah:

Di antara contoh-contoh hadits masyhur non istilah sebagai berikut:

a. Hadits Masyhur di kalangan ulama hadits

قنت النبي صلى هللا عليه وسلم شهرا يدعو على رعل وذكوان

“Nabi Muhammad saw. melakukan qunut (nazilah) selama sebulan mendo’akan (celaka) bagi kelompok Ri’l dan Dzikwan” (HR: al-Bukhari-Muslim).[5]
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1 (Bairut: Dár Ibn Katsir, 1987), 340; Muslim bin Hujjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, juz 3 (Bairut: Dár al-Jayl, t.th), 135.

b. Hadits Masyhur di kalangan ulama fiqih

أبغض الحالل إلى هللا الطالق (أخرحه أبو داود)

“Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak” (HR: Abu Daud).[6]
[6] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ast, Sunan Abi Daud, juz 2 (Bairut: Dár al-Kitab, t.th), 220.

c. Hadits Masyhur di kalangan para da’i

علماء أمتي كأنبياء بني إسرائيل

“Ulama-ulama umatku seperti nabi-nabi Bani Israil” [7]
[7] Hadis tersebut di atas tidak memiliki sanad, bahkan tidak terdapat dalam kitab-kitab yang mu’tabar (lihat: Abdurrahman al-Sakhawi, al-Maqáshid al-Hasanah fimá Isytahar ‘alá al-Alsinah, juz 1 (t.t: Dár alKitáb al-‘Arabí, t.th), 459.

d. Hadits Masyhur di kalangan ulama nahwu

أنا أفصح من نطق بالضاد بيد أني من قريش

“Saya orang yang paling fasih mengucapkan dhad walaupun saya dari golongan Quraisy”[8]
[8] Hadis tersebut di atas maknanya sahih, tetapi tidak memiliki sanad (lihat: Muhammad bin Abdillah alZarkasyi, Al-La’áli al-Mantsúrah fi al-Ahádíts al-Masyhurah (t.t: Al-Maktab al-Islami, t.th); Ismail bin Muhammad al-‘Ajluní, Kasyf al-Khafá’ wa Muzíl al-Ilbás (t.t: Dár Ihyá’ al-Turats al-‘Arabí, t.th), 200.

c) Nama-nama Kitab Yang Mengoleksi Hadits-Hadits Masyhur:

Tidak ada kitab khusus yang mengoleksi hadits masyhur secara istilah. Ulama hadits hanya menyusun kitab secara ekslusif atau khusus untuk hadits masyhur non istilah saja. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:

1. Al-Maqashid al-Hasanah fima Isytahar ‘ala al-Alsinah, karya Imam al-Sakhawi.

2. Al-La’ali al-Mantsúrah fi al-Ahadíts al-Masyhurah, karya Muhammad bin Abdillah al Zarkasyi

3. Kasyf al-Khafa’ wa Muzíl al-Ilbas fi ma Isytahara min al-Hadíts ‘Ala Alsinah al-Nas, karya Ismail bin Muhammad al-‘Ajluní.

4. Hadits Aziz.

a. Definisi Hadits Aziz

Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan dengan dua jalur perawi. Periwayakan dengan dua jalur perawi, sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas, tidak harus di semua tingkatan sanad, tetapi cukup di satu tingkatan saja dengan syarat ditingkatan sanad yang lain tidak kurang dari dua perawi. Sebagai contoh, di tingkatan atau jalur sahabat ada tiga orang sahabat yang meriwayatkan. Di tingkatan tabi’in ada dua orang, sedangkan di tingkatan berikutnya ada empat atau lebih perawinya, maka hadits tersebut dinamakan hadits aziz, bahkan menurut Ibn Hajar, tidak ada satu pun hadits aziz dengan dua jalur sanad secara utuh di semua tingkatan sanadnya.[9]
[9] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nadlr, tahqiq Nuruddin ‘Itr, 49

1) Contoh Hadits Aziz Nabi saw bersabda:

ل يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

“Tidak beriman salah seorang dari kalian, sehingga saya lebih dicintai olehnya dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya.”

Hadits tersebut di atas dikatakan hadits aziz karena di jalur sahabat hanya diriwayatkan oleh dua orang sahabat Nabi, yaitu Anas bin Malik dan Abu Hurairah, walaupun di jalur sanad berikutnya diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.

2) Kualitas Hadits Aziz

Kualitas hadits aziz ada yang shahih, hasan atau yang dha’if. Adapun masalah kitab yang mengoleksi atau menghimpun secara khusus hadits-hadits aziz tidak ada ulama yang mengarangnya. Hal tersebut bisa jadi karena pertimbangan aspek kemanfaatannya yang kurang signifikan.

5. Hadits Gharib.

a. Definisi Hadits Gharib dan Pembagiannya

Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan satu jalur perawi atau sanad; baik di semua tingkatan sanad (thabaqah) atau di sebagian tingkatan sanad saja.

Selain istilah gharib, para ulama juga mengenal hadits gharib dengan nama hadits fard. Secara etimologi dan terminologi keduanya sama, tetapi ahli istilah membedakan keduanya dalam pemakaiannya. Kata “fard” lebih banyak dipakai untuk fard mutlak, sedangkan kata “gharib” untuk fard nisbi.[10] Dari ulasan ini dapat dipahami bahwa hadits gharib ada dua macam, yaitu: Gharib Mutlak atau fard mutlak dan, Gharib Nisbi atau fard nisbi.
[10] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nadlr, tahqiq Nuruddin ‘Itr (Damaskus: Mathba’ah al-Shabáh, 1414 H), 57

b. Gharib Mutlak atau Fard Mutlak

Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau satu jalur sanad saja, walaupun hanya di salah satu tingkatan sanadnya. Hadits gharíb inilah yang diistilahkan oleh Imam al-Turmudzi dengan ungkapan :
غريب ال نعرفه إال من هذا الوجه

“(hadits) gharib yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.”

diantara contohnya sebagai berikut:
"اإليمان بضع وستون شعبة
“Iman memiliki enam puluh lebih cabang …”

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Abu Shaleh dari Abu Hurairah. Selanjutnya, yang meriwayatkan dari Abu Shaleh hanya Abdullah bin Dinar, dan berikutnya diriwayatkan dengan jalur sanad yang lebih dari satu.

c. Gharib Nisbi atau Fard Nisbi

Hadits yang ke-ghariban-nya karena aspek-aspek tertentu.[11] Artinya, hadits tersebut pada dasarnya memiliki banyak jalur sanad atau diriwayatkan oleh banyak perawi, tetapi dari aspek tertentu hadits tersebut dinilai gharib yang sifatnya nisbi (anggapan, bukan sesungguhnya).
[11] Muhammad bin ‘Alawí al-Hasaní, al-Manhal al-Lathíf, h. 84

Hadits gharíb nisbí ini diistilahkan oleh Imam al-Turmudzi dengan ungkapan:

غريب من هذا الوجه
“(hadits) gharib dari jalur ini.”

diantara contoh dari hadits gharib nisbi sebagai berikut:

"كان النبي صلى هللا عليه وسلم يقرأ فى األضحى والفطر بقاف واقتربت الساعة"

“Nabi Muhammad saw. membaca surat qaf dan iqtarabat al-sa’ah di shalat idul adha dan idul fitri.”

Tidak seorang pun dari para perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits ini selain Dhamrah bin Sa’id dari Ubaidillah, dari Abu Wáqid al-Laytsí perawi yang meriwayatkan dari Rasulullah saw.[12]
[12] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawá’id ‘Ushúl al-Hadíts, 177.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh perawi lain tetapi tidak tsiqah, yaitu Ibnu Luhai’ah. Mayoritas ulama menilai dia sebagai perawi yang dha’if. Dia meriwayatkan hadits tersebut dari Khalid bin Yazid, dari Zuhri, dari ‘Urwah, dari Rasulullah saw. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Daraquthni.[13]
[13] Ali bin Umar al-Dárruquthní, Sunan al-Dárruquthní, juz 2, tahqiq Abdullah Hasyim al-Yamani (Bairut: Dár al-Ma’rifah, 1966), 46.

Dilihat dari jumlah jalur sanadnya hadits ini pada dasarnya tidak gharib. Tetapi dilihat dari aspek tertentu, yaitu tidak adanya perawi tsiqah yang meriwayatkan kecuali Dhamrah, maka hadits ini dianggap hadits gharib nisbi.

d. Kualitas Hadits Gharib dan Nama-nama Kitab Yang Mengoleksi Hadits Gharib

Kualitas hadits gharib bisa shahih, hasan dan dha’if sesuai dengan keterpenuhan syarat-syarat hadits maqbul. Cuma umumnya hadits gharib berstatus sebagai hadits yang lemah.

Adapun kitab-kitab yang mengoleksi hadits-hadits gharib secara khusus di antaranya: Gharaib Malik, karya al-Daraquthni, Al-Afrad, karya al-Daruquthni juga dan Al-Sunan al-Latí Tafarrade Bikulli Sunnah Minha Ahl Baldah, karya Abu Daud al-Sijistaní

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Pemetaan hadits berdasarkan kuantitas sanad sangat urgen dalam kajian kualitas hadits, karena kualitas sebuah hadits juga banyak yang ditentukan berdasarkan kuantitas sanad yang dimilikinya. Dari pemetaan yang dilakukan oleh ulama menyatakan bahwa hadits dilihat dari kuantitas sanad secara garis besar dibagi dua yaitu, hadits mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki jalus sanad yang sangat banyak, sedangkan hadits ahad adalah hadits yang memiliki jalur sanad yang lebih sedikit. Apabila memiliki tiga jalur sanad tiga atau lebih selama tidak sampai pada batas mutawatir maka hadits ahad tersebut dikenal dengan hadits masyhur, kalau memiliki dua jalur sanad diistilahkan dengan hadits aziz dan kalau hanya memiliki satu jalur sanad saja maka dikenal dengan hadits gharib.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ast (al), Abu Daud Sulaiman bin, Sunan Abi Daud, juz 2, Bairut: Dar al-Kitab, t.th

Asqalání (al), Ibn Hajar, Nuzhah al-Nadlr fi Taudhíh Nukhbah al-Fikr, tahqíq Núr al-Dín ‘Itr (Damaskus:

Bukharí (al), Muhammad bin Isma’il Abú Abdillah, Shahíh al-Bukharí, juz 1, Dár Ibn Katsír, Bairut, 1987.

Darruquthni (al), Ali bin Umar, Sunan al-Darruquthní, juz 2, tahqiq Abdullah Hasyim al-Yamani, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1966.

Imárah, Musthafa Muhammad Abú, al-Tahqíq wa al-Ídhah li Masail Min ‘Ulúm al-Ishthiláh, t.p, t.t, 1427 H./2007 M.

Mathba’ah al-Shabáh, 2000 M), 49

Hasaní (al), Muhammad bin ‘Alawí , al-Manhal al-Lathíf Fí Ushúl al-Hadíts al-syaríf, t.p, t.t, 1421 H.

Hásyim, Al-Husainí Abd al-Majíd , Ushúl al-Hadíts al-Nabawí, Dár al-Syabáb, Kairo, 1406 H./1986 M

Suyuti (al), Abdurrahman, Tadríb al-Ráwí, Juz 1, Dár Thíbah, t.t, t.th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar