Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 5 Angkatan 5 :
1. Raisa Salsabila (PAI)
2. Nida Labibah (PAI)
3. Nila Sari (PAI)
4. Efni Redho (PAI)
KATA PENGANTAR
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ اَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ وَهَدَىنَا عَلَى الدِّيْنِ الْاِسْلَامِ صَلَاةُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ وَءَالِهِ وَصَحْبِهَ اَجْمَعِيْنَ، أمَّا بَعْدُ
Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah subhanahu wa ta’ala atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.
Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Hadits berjudul “Pembagian Hadits Dari Sisi Kualitas Sanadnya” dan bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.
Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Ilmu Hadits yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Bangkinang, 25 Maret 2024
Penyusun Makalah
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if.
2.2 Hadits Maudhu’.
2.3 Awal Mula Terjadinya Pemalsuan Hadits.
2.4 Faktor Penyebab Pemalsuan Hadits.
2.5 Kriteria Hadits Maudhu’.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-qur’an. Sebelum menerapkan sesuatu dalam hidup ada kalanya kita harus mengetahui asal muasal dan kualitas dari sesuatu itu. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan islam, terutama kajian tentang ilmu hadits, banyak sekali bahasan dalam ilmu hadist yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah pembagian hadits dari sisi kualitas sanadnya.
Hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua, dalam menerapkannya sebagian orang masih kebingungan karena melihat jumlah hadist yang banyak dan beragam,. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah mempelajari pembagian hadist. Pembagian hadits bisa dilihat dari berbagai tinjauan dan pandangan. Misalnya hadist ditinjau dari segi kualitas sanadnya, apakah hadits itu shahih, hasan, dha’if bahkan maudhu’ (palsu). Untuk kehati-hatian dalam mengamalkan hukum islam, oleh karena itu dalam makalah ini kita akan membahas pembagian hadis ditinjau dari kualitas sanadnya tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits shahih, hasan dan dha’if?
2. Apakah pengertian hadits maudhu’?
3. Bagaimana awal mula terjadinya pemalsuan hadits?
4. Apa saja faktor penyebab pemalsuan hadits?
5. Apa saja kriteria hadits maudhu’?
1.3 Manfaat Penelitian
1. Memahami apa itu hadits shahih, hasan dan dha’if.
2. Mengetahui apa itu hadits maudhu’.
3. Mengetahui awal mula terjadinya pemalsuan hadits.
4. Dapat mengetahui faktor-faktor penyebab pemalsuan hadits.
5. Mengenal apa saja kriteria hadits maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hadits Shahih, Hasan dan Dha’if
Ø Hadits Shahih
a. Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artinya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafadz, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafadz, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat), kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
b. Syarat-syarat Hadits Shahih
1. Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits.
2. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapat merusak harga dirinya.
3. Perawinya Dhabith
Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya.
5. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6) Shahih Ibn As-Sakan.
Ø Hadits Hasan
a. Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
b. Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya.
c. Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.[1]
[1] https://www.konsultasisyariah.in/2017/04/hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html?m=1
Ø Hadits Dha’if
a. Pengertian Hadits Dha’if
Kata dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang sakit dan yang tidak kuat. Hadist dha’if merupakan hadist yang tidak memenuhi kriteria hadist shahih dan hasan.
b. Macam-macam hadist dha’if
Ditinjau dari sebab-sebabnya :
1. Karena terputusnya sanad, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a. Terputus yang jelas :
Sanad yang lengkap yaitu: Sabda Nabi --> Sahabat --> Tabi’in --> Tabiit Tabi’in --> Perawi --> Penyusun.
- Mudal : Terputus dua rawi atau lebih secara berturut-turut.
Contoh : Sabda Nabi --> Sahabat --> Perawi --> Penyusun.
- Munqati : Satu rawi terputus.
Contoh : Sabda Nabi --> Sahabat --> Tabiit tabi’in --> Perawi --> Penyusun.
- Mursal : Tabi’in meriwayatkan dari nabi.
Contoh : Sabda Nabi --> Tabi’in --> Tabiit tabi’in --> Perawi --> Penyusun.
- Muallaq : Terputus dari penulis kitab.
Contoh : Sabda Nabi --> Sahabat --> Tabi’in --> Tabiit tabi’in --> Penyusun.
b. Terputus yang samar :
- Al mursal al khafi : sebuah hadist yang diriwayatkan seorang perawi dari perawi lain yang pernah ditemuinya atau semasa dengannya. Padahal dia tidak pernah mendengar hadist darinya. Dengan lafaz yang mengandung kemungkinan bahwa dia mendengar hadist secara langsung darinya. Misalnya dengan lafaz : dia berkata, dari. Contoh sebuah sanad : dari Umar bin Abdul Aziz, dari Uqbah bin Amir. Umar bin Abdul Aziz ini memang hidup satu masa dengan Uqbah bin Amir. Namun Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mendengar hadist dari Uqbah bin Amir.
- Al-Mudallas : menurut bahasa, mudallas berasal dari kata dallasa yang berarti menyembunyikan, mudallas berarti sesuatu yang disembunyikan. Adapun menurut istilah, maka sebagian ulama ahli hadist memiliki beberapa pengertian. Ada yang berpendapat “Hadist mudallas adalah menyamarkan aib atau cacat seorang rawi di dalam isnadnya dan menampakkan kebaikan rawi di dalam isnadnya". Dan ada juga yang berpendapat “Hadist mudallas adalah hadits yang diriwayatkan berdasarkan adanya rekayasa bahwa tidak ada aib (cela) di dalamnya.” Contoh :
“Dari At-Thajawi, dari Abu Umayyah At-Tharsusi, dari Muhammad bin Wahab bin Athiyah, Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, Al-Auza’i menceritakan kepada kami, dari Hassan bin Athiyah, dari Abu Munib Al-Jurasyi, dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku diutus (menjelang hari kiamat) dengan pedang sehingga Allah disembah tanpa ada sekutu bagi-Nya, rizkiku detempatkan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kerendahan dijadikan bagi orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka.”
Dalam hadist tersebut, Walid bin Muslim sengaja menggugurkan seorang rawi yang dha’if di antara Al-Auza’i dan Hassan bin Athiyah, rawi dha’if tersebut bernama Abdur Rahman bin Tsabit. Hal itu dilakukan agar hadist tersebut terbebas dari sanad yang dha’if, sebagaimana pengakuan Walid bin Muslim sendiri ketika Hutsaim bin Kharijah menanyakan kepadanya. Sebagian ulama hadist ada yang menolak dan ada yang masih mempertimbangkan, jika hadist tersebut dialafadzkan dengan kalimat “سَمِعْتُ” (aku mendengar) atau sebagainya, maka masih dipertimbangkan untuk diterima. Sedangkan jika menggunakan lafadz “عَنْ” (dari), “قَالَ” (mengatakan), atau sebagainya, maka semestinya tidak diterima.
2. Berkaitan dengan kredibilitas perawi, yang terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Karena perawinya bermasalah :
- Maudhu (karena perawinya pendusta), sebabnya : zindiq (ingin merusak islam), fanatik terhadap aqidahnya, fanatik terhadap amzhabnya, karena perkara dunia, ada yang niatnya baik agar orang rajin ibadah.
- Mathluk (ditinggalkan oleh para hadist).
- Dha’if jiddan (hadist dha’if nya parah karena perawinya ada yang sangat buruk hafalannya).
- Dha’if (dha’if ringan karena perawinya kurang hafalannya atau sebab-sebab yang ringan, inilah yang jika dikuatkan dengan jalan yang lain bisa naik menjadi hasan).
- Syaadz (perawi tsiqoh menyelisihi yang lebih tsiqoh darinya atau menyelisihi banyak perawi tsiqoh lainnya).
- Munkar (perawi dha’if menyelisihi perawi yang tsiqoh).
b. Karena jahalah (kemajhulan)
- Majhul al-a’in (dzat perawinya tidak diketahui atau perawi yang tidak ada meriwayatkan darinya kecuali satu orang).
- Majhul al-wash (dzatnya diketahui tetapi sifatnya tidak diketahui atau yang meriwayatkan dari nya ada 2 perawi tetapi biografi yang menjelaskan kredibilitasnya tidak ada).[2]
[2] Firanda Andirja. Macam-macam Hadist Dhoif. Youtube Video, 49.44. 2021. Dari https://youtu.be/Q4_dGK-T4Fg?si=OZtxPQcaed1PtB5
2.2. Hadits Maudhu’
Pengertian Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, kata Maudhu’ (موضوع) adalah isim maf’ul dan fi’il madhi wadha’a (وضع) mudhari’nya yadha’u (یضع) yang mempunyai banyak arti sesuai menurut konteks dari kalimat itu sendiri, antara lain menggugurkan isqath seperti (وضع الجناية عنه) artinya menggugurkan jinayah dari padanya. Adakala bermakna meninggalkan الترك seperti ابل الموضوعة في المرعى artinya onta yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya dan ada pula yang bermakna memalsukan contohnya dalam kalimat وضع فلان هذه القصة artinya si pulan membuat-buat atau menerka-nerka kisah ini.
Sedangkan menurut istilah Ulumul Hadits, sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa ahli, seperti Muhammad ‘Ajjjaj al-Khatib, Hasbi ash-Shiddieqi dan Subhi ash-Shahih adalah sebagai berikut :
Muhammad ‘Ajjjaj al-Khathib menjelaskan :
ما نسب إلى الرسول صلى الله علیھ وسلم أختلافا وكذبا مما لم یقلھ أو یفعلھ أو یقرره
Artinya : sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ. Secara bohong dan dusta, padahal Rasulullah ﷺ. Tidak pernah mengatakan, mengerjakan atau menyetujuinya.
Hasbi ash-Shiddieqi, mengatakan bahwa hadits Maudhu’ adalah hadits dibuat-buat, yakni hadis yang dianggap cacat disebabkan kedustaan para rawi. Subhi ash-Shalih, mendefinisikan bahwa hadits Maudhu’ itu adalah:
الموضوع هو الخبر الذى يخلتقه الكاذبون وينسبونه إلى رسوو ل االله صلى االله عليه وسلم افتراء عليه
Artinya : Hadits Maudhu’ adalah berita yang diciptakan oleh para pembohong, mereka menisbahkan kepada Rasulullah ﷺ. Secara tidak benar.
Ada definisi lain yang lebih lengkap dan ketat, yang disampaikan oleh Mahmud Abu Rayah adalah sebagai berikut:
. الموضوع هو المختلق المنسوب إلى رسول االله صلى االله عليه وسلم ذورا و تانا سواء كان
Artinya: hadits Maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat oleh seorang pendusta dan dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ. Secara palsu dan dusta baik disengaja atau tidak.
Dari keempat pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hadits Maudhu’ itu adalah apabila di dalam hadits terdapat tiga unsur pokok yaitu :
1. Hadits itu dibuat-buat dan diciptakan oleh seorang pendusta.
2. Hadits itu dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ.
3. Hadits yang dibuat-buat itu dilibatkan Rasulullah ﷺ. Oleh pendusta baik di sengaja atau tidak.
2.3. Awal Mula Terjadinya Pemalsuan Hadits
Sejarah Timbulnya Hadits Maudhu’ Para pakar hadits telah berbeda pendapat tentang awal mulanya fungsi hadits Maudhu’, ada yang menyatakan hadits Maudhu’ terjadi pada awal 10 H atau setelah wafatnya rasulullah dan mulai muncul fitnah. Seperti yang telah disampaikan oleh Mushthafa As-Siba’iy dalam bukunya al-Sunnah Wamakanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Usaha pemalsuan ini disebabkan kepentingan pribadi, primordial, politik seperti pertentangan politik (khalifah) antara Ali dan Mu’awiyah.
Sedangkan dalam kitab Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Shubhi al-Shahih menyatakan hadits Maudhu’ itu lahir pada 41 H. Pada saat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, dan pada masa itu pula terpecah umat Islam kepada tiga golongan yaitu : Syiah, Mu’awiyah dan Khawarij.
Golongan Syi’ah yang setia kepada’ Ali juga kepada Ahlul Bait beranggapan bahwa Ali yang berhak memegang tampuk khalifah. Agar konsep ini berjalan mulus maka mereka membuat ceritera tentang keutamaan ‘Ali dengan menciptakan hadis-hadis maudhu’. Demikian juga golongan Mu’awiyah dan Khawarij. Sebagai contoh golongan Syi’ah menetapkan adanya pesan dari Rasulullah kepada ‘Ali sebagai pengganti khalifah sesudahnya, sehingga mereka berani menciptakan satu hadis seperti berikut:
" يا علي إن االله قد غفر لك ولذريتك ولولدك ولأهلك ولشيعتك ولمحبي شيعتك فابشر فانك الأترع الطلق "
فيه داود الوضاع.
Hadist tersebut jelas mendominasi posisi ‘Ali sebagai khalifah, dan ia berhak menduduki kursi khalifah sesudah Nabi Muhammad ﷺ. Wafat. Bukan Abu Bakar, ‘dan bukan pula ‘Usman Bin Affan ataupun Mu’awiyah, Setelah diteliti ternyata hadis ini adalah hadis maudhu’, dan tersiar pada pihak lawan politik, yaitu kaum Syi’ah. Mereka turut juga membuat hadis lain untuk menandingi Kaum ‘Aliyin serta mengkukuhkan derajat Abubakar, Umar, Usman dan Mu’awiyah, dengan hadis versi mereka.
Pada akhirnya Mushthafa As-Siba’i menyimpulkan bahwa sejak periode tabi’in usaha pemalsuan hadis telah dimulai, baik di masa kibaru At-tabi’in (para tabi’in yang pada masa sahabat telah dewasa), maupun pada masa Shighar At- Tabi’in (Pra-tabi’in di masa sahabat masih anak-anak). Pada masa kibaru At- Tabi’in usaha pembuatan hadits palsu masih relative kecil bila dibandingkan dengan masa shigharu at-tabi’in, dengan alasan :
1. Para tabi’in besar lebih menghayati wibawa Rasulullah dibandingkan dengan para tabi’in kecil.
2. Prilakunya lebih memancarkan nilai ketaqwaan dan keta’atan beragama.
3. Perbedaan suhu politik tidak begitu tajam dan belum meluas.
4. Masih banyak di antara sahabat dan tabi’in yang memancarkan nilai keilmuan dan kejujuran.
5. Ketelitian mereka dalam memisahkan mana hadis shahih dan maudhu’ itu lebih dekat dengan kebenaran.
6. Mereka lebih membuka rahasia yang baik dan meluruskan sesuatu yang tidak baik, untuk terhindarnya hadits-hadits palsu.
Menurut Abu Rayah, hadits maudhu’, sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah masih hidup. Beliau membuat alasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’iy, Ibnu Majah yaitu:
ان كذبا على ليس ككذب على احد ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ معقده من النار
Pengertian hadits ini adalah berdusta atas namaku tidaklah sama dengan atas nama orang lain, barang siapa yang berdusta terhadap diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati neraka sebagai tempat tinggalnya.
Imam Sayuthi menjelaskan dalam kitabnya Tahzir Al-Khawasi, tentang asbabul wurud datangnya hadits tersebut di atas sebagai berikut : telah datang seorang laki-laki kepada suatu kaum yang dekat dengan kota Madinah ia bermaksud melamar seorang wanita dari kaum itu, tetapi tanpa diduga famili si wanita menolak lamarannya. Kemudian ia datang lagi menemui family itu dengan membawa pakaian baru sambil memberitahukan bahwa Nabi ﷺ telah memberikan pakaian itu untuknya. Lalu family si wanita mengirim utusan menghadap Nabi untuk meneliti kebenaran laki-laki itu. Jawab Nabi, bahwa itu bohong dan musuh Allah dan beliau mengutus seorang sahabat seraya berkata : Bila anda mendapatkan dalam keadaan hidup bunuhlah ia, akan tetapi kamu tidak akan mendapatkannya dalam keadaan hidup, jika kamu mendapatkan nya dalam keadaan mati bakarlah ia. Ternyata bahwa orang itu di dapati dalam keadaan mati karena tersengat binatang berbisa dan ia telah mati, maka sahabat itu membakarnya. Berdasarkan latar belakang inilah Rasulullah ﷺ. Bersabda dengan hadits tersebut di atas.
Asbabul wurud datangnya hadits ini merupakan suatu instrument yang awal mula timbul hadits palsu. Masyarakat semakin sehari semakin kompleks menghadapi berbagai kepentingan politik, pribadi, maka mereka tidak segan-segan menciptakan pernyataan yang dilabelisasi dengan istilah hadits. Disini dapat disimpulkan bahwa hadits palsu telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup, walaupun dalam batas-batas relative tidak banyak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ, karena rekaan atau dusta tentang sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan baik karena dengan sengaja atau bukan.
2. Hadits maudhu’ ini timbul ada sejak Rasulullah masih hidup dan setelah wafatnya nabi muhammad dan ada sebahagian pendapat pada sekitar tahun 40 H, atau 41 H. Setelah terjadi fitnah besar antara Ali dan Mu’awiyah yang mengakibatkan banyak korban umat manusia dengan munculnya syiah, khawarij dan mu’tazilah.
3. Para ulama Muhadditsin telah berupaya untuk mengatasi tersebarnya hadits maudhu dalam masyarakat. Usaha dilakukan dengan mengisnadkan hadits kepada sumbernya sampai ke Rasulullah, meningkatkan pencarian hadits ke berbagai daerah, mengambil tindakan tegas terhadap pemalsu hadits. Menerangkan perawi hadits melalui ilmu rijalul hadits, membuat kaedah-kaedah umum serta syarat-syarat hadits shahih, hasan dan dhaif.[3]
[3] Gani, Burhanuddin A. Historical Hadis Maudu’. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Arraniry Banda Aceh . Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
2.4. Faktor Penyebab Pemalsuan Hadits
Bertitik tolak dari hadis-hadis maudhu yang tersebar, nampaknya motivasi dan tujuan pembuatan hadis maudhu bervariasi, diantaranya :
a. Faktor Politik
Pertentangan di antara umat Islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib menyebabkan Umat Islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifahan Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah, masing-masing mereka mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing- masing ingin mempertahankan[4] kelompoknya, dan mencari simpati massa yang paling besar dengan cara mengambil dalil Al Qur’an dan Hadist. Jika tidak ada dalil yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba mentakwilkan dan memberikan interpretasi (penafsiran) yang terkadang tidak layak. Sehingga mereka membuat suatu hadist palsu seperti Hadist-Hadist tentang keutamaan para khalifah, pimpinan kelompok, dan aliran-aliran dalam agama. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadist maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah. Kelompok syi’ah membuat hadis tentang wasiat nabi bahwa Ali adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah beliau dan mereka menjatuhkan orang-orang yang dianggap lawan-lawan politiknya, yaitu Abu Bakar, Umar, dan lain-lain.
[4] Robi’atul Aslamiah,” Hadist Maudhu dan Akibatnya, Alhiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwal Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016 hal.25
Diantara hadis maudlu tersebut:
وصيي و موقع ي سر و خليفيت يف أهلي خري من أخلف بعدي علي
Artinya: “Yang menerima wasiatku, dan yang menjadi tempat rahasiaku dan penggantiku dari keluargaku adalah Ali". Di pihak Mu’awiyah ada pula yang membuat hadis maudhu sebagai berikut:
االمناء عند اللة ثال ثه انا وجربيل ومعا ويه
Artinya: “Orang yang dapat dipercaya disisi Allah ada tiga yaitu: Aku, Jibril dan Mu’awiyah”.
b. Faktor Kebencian dan permusuhan.
Keberhasilan dakwah Islam myebabkan masuknya pemeluk agama lain kedalam Islam, namun ada diantara mereka ada yang masih menyimpan dendam dan sakit hati melihat kemajuan Islam. Mereka inilah yang kemudian membuat hadis-hadis maudhu. Golongan ini terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam dan benci terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini, yaitu menciptakan sejumlah hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam dan menghilangkan kemurnian dan ketinggiannya dalam pandangan ahli fikir dan ahli ilmu. Diantara hadis yang dibuat kelompok ini yang artinya: “Melihat (memandang) kepada muka yang indah, adalah ibadat".
Ada yang berpendapat bahwa faktor ini merupakan faktor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bukti bahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat ulama masih hidup. Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’tentang hukum halal haram, ia membuat hadis untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far Al Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.
c. Faktor Kebodohan
Ada golongan dari ummat Islam yang suka beramal ibadah namun kurang memahami agama, mereka membuat at hadist-hadis maudlu (palsu)[5] dengan tujuan menarik orang untuk berbuat lebih baik dengan cara membuat hadis yang berisi dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan dari amalan tertentu tanpa dasar yang benar melalui hadist targhib yang mereka buat sendiri. Biasanya hadis palsu semacam ini menjanjikan pahala yang sangat besar kepada perbuatan kecil. Mereka juga membuat hadis maudhu (palsu) yang berisi dorongan untuk meninggalkan perbuatan yang dipandangnya tidak baik dengan cara membuat hadis maudhu yang memberikan ancaman besar terhadap perbutan salah yang sepele. Diantaranya hadis palsu itu :
[5] Ibid, hal.26
افضل االيام يوم عرفة اذا وافق يوم اجلمعة وهو افضل من سبعني حجة يف غري مجعة
Artinya :
“Seutama-utama hari adalah hari wukuf di Arafah, apabila (hari wukuf di arafah) bertepatan dengan hari jum’at, maka hari itu lebih utama daripada tujuh puluh haji yang tidak bertepatan dengan hari jum’at.” Menurut al Qur’an yang dimaksud haji akbar adalah ibadah haji itu sendiri ( Al Qur’an Surah Attaubah : 3) dengan pengertian bahwa ibadah umrah disebut dengan haji kecil. Hadis maudhu itu dibuat oleh muballig /guru agama yang ingin memberi nilai lebih kepada ibadah haji yang wukufnya bertepatan dengan hari jum’at.
d. Fanatisme yang keliru.
Sikap sebagian penguasa Bani Umayah yang cenderung fanatisme dan rasialis, telah ikut mendorong kalangan Mawali untuk membuat hadits-hadits palsu sebagai upaya untuk mempersamakan mereka dengan orang-orang Arab.
Misalnya: ابغض الكالم إىل اهلل الفارسية... وكالم أهل اجلنة العربية
Artinya: “Percakapan yang paling dimurkai Allah adalah bahasa Persia dan bahasa penghuni surga adalah bahasa Arab” Selain itu,Fanatisme Madzhab dan Teologi juga menjadi factor munculnya hadis palsu, seperti yang dilakukan oleh para pengikut Madzhab Fiqh dan Teologi,
diantaraya: من رفع يده يف الركوع فال صالة له
Artinya “Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku’, maka tiadalah shalat baginya” Hadis ini diduga dibuat oleh pengikut mazhab yang tidak mengangkat tangan ketika ruku’.
e. Faktor Popularitas dan Ekonomi
Sebagian tukang cerita yang ingin agar apa yang disampaikan nya menarik perhatian orang, dia berusaha mengumpulkan orang dengan cara membuat hadits-hadits palsu yang membuat masyarakat suka dan tertarik kepada mreka, menggerakkan keinginan, juga memberikan harapan bagi mereka.
Misalnya:
من قال آلإله إال اهلل, خلق اهلل من كل كلمة طا ئرا, منقاره من ذهب و ريشه من مرجان
Artinya: “Barang siapa membaca la ilaha illallah, niscaya Allah menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas dan buahnya dari marjan”. Demikian juga para pegawai dan tokoh masyarakat yang ingin mencari muka (menjilat ) kepada penguasa membuat hadsi-hadis maudhu untuk tujuan supaya lebih dekat dengan penguasa agar mendapatkan fasilitas tertentu atau popularitas saja. Misalnya Ghiyadh Ibn Ibrahim ketika datang kepada khalifah Al Mahdi yang pada saat itu sedang mengadu burung merpati, Ghiyadh memalsukan hadis yang artinya: “Tidak ada perlombaan kecuali pada panah, unta kuda dan burung”. Kata “Janah” adalah tambahan yang dibuat oleh Ghiyadh untuk menarik simpati dari Khalifah al Mahdi. Para pedagang barang-barang tertentu juga membuat hadis- hadis palsu tentang keutamaan barang dagangannya misalnya. الديك االبيض حبييب وحبيب حبييب جربيل Artinya: "Ayam putih adalah kekasihku dan kekasih oleh kekasihku Jibril” Hasbi Assiddiqy menjelaskan bahwa golongan yang membuat hadis maudhu itu ada sembilan golongan yaitu:
Zanadiqah (orang orang zindiq), penganut-penganut bid’ah, orang-orang dipengaruhi fanatik kepartaian, orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kenegerian dan keimanan, orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub mazhab, para Qushshas (ahli riwayat dongeng). para ahli Tasawuf zuhhad yang keliru, orang-orang yang mencarai pengahrgaan pembesar negeri, Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadits yang diperoleh orang lain. ( Hasbi Ashshiqqiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis: 255)[6]
[6] Ibid, ha.27
2.5. Kriteria Hadits Maudhu’
Indikasi ke-maudhu’an hadits adakalanya berkaitan dengan rawi/sanad dan mungkin pula berkaitan dengan matan.
a. Ciri yang berkaitan dengan rawi / sanad:
1) Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang periwayatnya tsiqoh meriwayatkan hadist itu. Misalnya, Ketika saad ibn Dharif mendapati anaknya pulang sekolah sedang menangis dan mengatakan bahwa dia dipukul gurunya, maka Saad ibn Dharif berkata : Bahwa Nabi saw bersabda:
معلموا صبيانكم شراركم اقلهم رمحة لليتيم واغلظهم على املسكني
Artinya: "Guru anak kecil itu adalah yang paling jahat diantara kamu, merekka paling sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan paling kasar terhadap orang miskin." Al Hafdz Ibnu Hibban mengatakan bakwa Saad ibn Dharif adalah seorang pendusta/ pemalsu hadits. (Mustahafa Zahri, Kunci memahami Musthalahul Hadits : 101).
2) Periwayatnya mengakui sendiri membuat hadist tersebut. Maisarah ibn Abdirrabih al Farisi mengaku bahwa dia telah membuat hadis maudhu tentang keutamaan Al qur’an.., dan ia juga mengaku membuat hadis maudhu tentang keutamman Ali ibn Abi Tahalib sebanyak 70 buah hadis. (Musthafa Zahri, : 100).
3) Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan orang yang memalsukan hadist, seperti seorang periwayat yang mengaku meriwayatkan hadist dari seorang guru yang tidak pernah bertemu dengannya. Karena menurut kenyataan sejarah guru tersebut dinyatakannya wafat sebelum ia sendiri lahir. Misanlnya, Ma’mun ibn Ahmad al Harawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam ibn Hammar. Al hafiz ibn Hibban menanyakan kapan Ma’mun datang ke Syam? Ma’mun menjawab: tahun 250. Maka ibnu Hibban mengatakan banwa Hisyam ibn Ammar wafat tahun 254. Ma’mun menjawab bahwa itu Hisyam ibn Ammar yang lain. (Musthafa Zahri, : 100).
b. Ciri-ciri yang berkaitan dengan Matan
Kepalsuan suatu hadis dapat dilihat juga pada matan, berikut ciri-cirinya:
1) Kerancuan redaksi atau Kerusakan maknanya.
2) Berkaitan dengan kerusakan ma.na tersebut, Ibnu Jauzi berkata: Saya sungguh malu dengan adanya pemalsuan hadis. Dari sejumlah hadis palsu, ada yang mengatakan: “ Siapa yang salat, ia mendapatkan 70 buah gedung, pada setiap gedung ada 70.000 kamar, pada setiap kamar ada 70 000 tempat tidur, pada setiap tempat tidur ada 70 000 bidadari. Perkataaan ini adalah rekayasa yang tak terpuji. ( Nuruddin : 323)
3) Setelah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis. Misalnya perkataan yang berbunyi: اهلل اخذ امليثاق علي كل مؤمن ان يبغض على منا فق وعلي كل منا فق ان ان يبغض كل مؤمن Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mengambil Janji kepada setiap orang mukmin untuk membenci kepada setiap munafik, dan kepada setiap munafik untuk membenci kepada setiap mukmin”
4) Perkataan diatas tidak diketahui sumbernya[7]
[7] Ibid, hal.28
Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti ketentuan akal, tidak dapat ditakwil, ditolak oleh perasaan, kejadian empiris dan fakta sejarah. Misalnya perkataan yang berbunyi: اذا عطشس الرجل عند احلديث فهودليل صدقه Artinya “Jika seseorang bersin ketika membacakan suatu hadis, maka itu menandakan bahwa pembicaraanya benar”.
5) Hadisnya bertentangan dengn petunjuk Al-Quran yang pasti.
Misalnya: ولد الزنا اليدخل اجلنة ايل سيعة ابناء Artinya: “Anak zina tidak masuk syurga hingga tujuh turunan” Hadis tersebut bertentangan dengan ayat al Qur’an :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya: “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[526]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(QS Al An’am :164).
Musthafa Assiba’i memuat tujuh macam ciri Hadis palsu yaitu:
1) Susunan Gramatikanya sangat jelek.
2) Maknanya sangat bertentangan dengan akal sehat.
3) Menyalahi Al qur’an yang telah jelas maksudnya.
4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi saw.
5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatic terhadap mazhabnya.
6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata diberitakan oleh seorang saja.
7) Mengandung berita tentang perberian pahala yang besat untuk perbuatan kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti (Syuhudi Ismail : 178).
Menurut Hasbi Ashshddiqy, ciri Hadis palsu apabila:
1) Maknanya berlawanan dngan hal-hal yang mudah dipahami.
2) Berlawanan dengan ketentuan umum dan akhlak atau menyalahi kenyataan.
3) Berlawanan denga ilmu kedokteran.
4) Menyalahi peraturan- peaturan akal terhadap Allah.
5) Menyalahi ketentuan Allah dalam menjadikan alam.
6) Mengandung dongengan- dongengan yang tidak dibenarkan akal.
7) Menyalahi keterangan Al Qur’an yang terang tegas.
8) Menyalahi kaedah umum.
9) Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi saw.
10) Sesuai dengan mazhab yang dianut perawi, sedang perawi itu orang sangat fanatic mazhabnya.
11) Menerangkan urusan yang seharusnya kalau ada dinukilkan oleh orang banyak.
12) Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap suatu perbuatan kecil atau siksaan yang amat besar terhadap suatu amal yang tak berarti: (Hasbi Ashshiddiqy, pokok-pokok ilmu Dirayah Hadits: .369-374).[8]
[8] Ibid, hal.29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut para ulama dalam ilmu hadits sanad merupakan posisi penting untuk mengetahui otensitas suatu sumber. Bagaimana asal riwayat sumber tersebut yang menyandarkan konteksnya kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'allaihi wasallam, haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga orang terakhir yang meriwayatkannya.
Berdasarkan kualitas sanadnya, hadits terbagi beberapa bagian. Hadits shahih yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya. Dalam sanad dan matannya tidak ada syadz (kejanggalan) dan 'ilat (cacat). Selanjutnya ialah hadits hasan, terbilang lebih lemah dari shahih namun masih kerap dianggap boleh menjadi dasar hukum. Perbedaannya dengan hadits shahih hanya pada kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat hadits shahih. Kategori hadits yang terakhir ialah hadits dhaif atau lemah. Hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. hadits dhaif tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.
Hadits palsu atau hadits maudhu' adalah perkataan dusta yang dibuat dan direkayasa oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Awal kemunculan hadits palsu melibatkan orang Syiah. Faktor penyebab pemalsuan hadits diantaranya, politik, kebencian dan permusuhan, kebodohan dan lain sebagainya.
3.2. Saran
Dengan penyusunan makalah ini, kami berharap kepada pembaca, khususnya para mahasiswa berikutnya dapat mengembangkan makalah ini supaya lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti serta semoga pengetahuan mengenai pembagian hadits dari sisi kualitas sanad ini dapat dijadikan rujukan ilmu dalam mengaplikasikan hadits dalam keseharian kita.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.konsultasisyariah.in/2017/04/hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html?m=1
Andirja. Firanda. Macam-macam Hadist Dhoif. Youtube Video, 49.44. 2021. Dari https://youtu.be/Q4_dGK-T4Fg?si=OZtxPQcaed1PtB5
Gani, Burhanuddin A. Historical Hadis Maudu’. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Arraniry Banda Aceh . Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
Robi’atul Aslamiah,” Hadist Maudhu dan Akibatnya, Alhiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwal Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016 hal.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar