Jumat, 19 April 2024

Model Periwayatan Hadits, Pengenalan Kitab-kitab Hadits Dan Penyusunnya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Disusun Oleh Kelompok 6 Angkatan 5 :
1. Aisyah (PAI)
2. Nurhidayati Putri (PAI)
3. Lutfi Andaristin (PAI)
4. Yuni Heri Suciasih (PAI)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan pertolongan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqamah mengikutinya hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ilmu Hadits yang berjudul “Model Periawayatan Hadits, Kitab-Kitab Hadits dan Penyusunnya”. Dengan kerja sama yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terimakasih banyak.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak sekali kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi membantu perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang luas serta dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Singkawang, 14 April 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 6

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
A. Syarat-syarat Seorang Perawi
B. Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits.
C. Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna.
D. Istilah Dalam Periwayatan Hadits.
E. Gelar Ulama Hadits.
F. Tipologi Penulisan Kitab-Kitab Hadits.
G. Derajat Kitab-kitab Hadits.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Subhanahu Wata’ala. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.

Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya.

Melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.

Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasslam. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan dari Nabi langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada periwayat.

Maka pada makalah ini akan membahas tentang Model Periwayatan Hadits, Pengenalan Kitab-Kitab Hadits Dan Penyusunnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya :
1. Apa saja syarat-syarat seorang perawi hadits ?
2. Bagaimana metode Tahammul wal ada ?
3. Bagaimana periwayatan hadits secara lafaldh dan makna ?
4. Apa saja istilah dalam periwayatan hadits?
5. Apa saja gelar ulama hadits ?
6. Bagaimana tipologi penulisan kitab-kitab hadits ?
7. Apa saja derajat kitab-kitab hadits ?

C. Tujuan

1. Mengetahui syarat-syarat seorang perawi hadits.
2. Mengetahui metode Tahammul wal ada.
3. Mengetahui periwayatan hadits secara lafaldh dan makna.
4. Mengetahui istilah dalam periwayatan hadits.
5. Mengetahui gelar ulama hadits.
6. Mengetahui tipologi penulisan kitab-kitab hadits.
7. Mengetahui derajat kitab-kitab hadits.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Seorang Perawi[1]
[1] Study hadits, Dr.H. Kamarudin Ladoma, M.Ag.

Secara bahasa, rawi berasal dari kata (رَوَى - يَرْوِي) yang berarti memindahkan atau meriwayatkan. Jadi rawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang. Sedangkan riwayat (رِوَايَةٌ) adalah masdarnya.

Secara definisi, kata riwayah (رِوَايَةٌ) adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang rawi, tetapi dia tidak menyampaikan hadits tersebut kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang telah melakukan periwayatan hadits. Demikian pula halnya dengan orang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang lain, namun ketika dia menyampaikan hadits tersebut, dia tidak menyebutkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang rawi dalam meriwayatkan hadits, di antaranya :

1. Baligh, artinya cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil saat menerima hadits tersebut.

2. Muslim, yaitu beragama islam sewaktu menyampaikan hadits tersebut.

3. ‘Adalah (عَدَالَةٌ), yaitu seorang muslim, baligh, berakal, bertaqwa, tidak mengerjakan dosa besar dan dosa kecil (bukan ahli maksiat), dan menjaga muruah (tidak tercoreng kredibilitasnya).

4. Dhabit (ضابِط), artinya tepat menangkap apa yang didengarnya dan dihafalnya dengan baik, sehingga ketika dibutuhkan ia dapat mengeluarkan atau menyebutkannya kembali. Seorang rawi harus mampu menjaga hafalan baik di dada (ضَبْطُ الصَّدْرِ) maupun tulisan (ضَبْطُ الكِتَاب).

5. Tidak syad (شاد), artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau dengan al Qur’an.

Dari syarat-syarat tersebut di atas, dua hal yang mendapat penekanan lebih yaitu keadilan dan ke-dhabit-an seorang perawi.

Untuk mengetahui keadilan seorang perawi, maka harus melihat kepada tiga hal, yaitu:
1. Populatitas dan keutamaan perawi di dalam kalangan ulama hadits.
2. Penilaian kritikus periwayat hadits.
3. Penerapan kaidah jarh wa al-ta’dil.

Sedangkan ke-dhabit-an seorang perawi didasarkan pada:

1. Kesaksian ulama hadits

2. Kesesuaian uraian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi yang telah dikenal ke-dhabit-annya.

3. Sekiranya pernah terjadi kekeliruan, maka kekeliruan yang dilakukan oleh perawi tidaklah sering.

Syarat-syarat kualitas dan kapasitas perawi, yaitu:

1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.

2. Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya, perilaku dan keadaan dirinya, apabila shalat, perilaku dan keadaan orang tersebut tidak baik, riwayat haditsnya tidak diterima.

3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkan.

4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.

Sedangkan kualitas perawi terbagi ke dalam sembilan tingkatan, yaitu:

1. Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi, baik mengenai keadilannya dan ke-dhabit-annya.

2. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabit-an yang menengah.

3. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabit-an yang paling rendah.

4. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabit-an yang paling tinggi.

5. Perawi yang mencapai derajat menengah baik keadilan dan ke-dhabit-annya.

6. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabit-an yang paling rendah.

7. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat ke-dhabit-an yang paling tinggi.

8. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat ke-dhabit-an yang menengah.

9. Perawi yang mencapai derajat paling rendah baik keadilan dan ke-dhabit-annya.

Klasifikasi tersebut menunjukan bahwa kualitas seorang perawi merupakan faktor yang sngat berpengaruh dalam menetapkan kualitas suatu hadits.

B. Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits

Penerimaan dan penyampaian periwayatan hadits dalam bahasa ahli hadits disebut dengan tahammul wal ada’ al-hadits. Tahammul secara bahasa تحمّلَ-يتحمَّلُ-تحمُّلاً yang berarti membawa atau memikul dengan berat. Sedangkan secara istilah tahammul adalah mengambil dan menerima hadits dari seorang syaikh dengan metode tertentu dari beberapa metode tahammul. Dalam tahammul dijelaskan bagaimana cara atau metode penerimaan hadits, karena metode ini akan berpengaruh dalam menentukan validitas suatu hadits apakah benar hadits tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.

Sedangkan kata Ada’ أداء berasal dari kata أدّى-يؤدّي-تأديةً yang berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya, membayar pada waktunya atau menyampaikan kepadanya. Sedangkan pengertian ada’ secara istilah adalah meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu.[2]
[2] Jamaludin Fitah, “Diktat Mata Kuliah Ilmu Musthalah Hadis”, IAIN JEMBER, 2021, hlm 78

Ada’ adalah menyampaikan hadits dan meriwayatkannya, sedangkan ada’ al-hadits adalah menyampaikan hadits kepada orang lain dan meriwayatkannya sebagaimana ia mendengar sehingga dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan sesuai dalam periwayatan. Tidak boleh lafal حَدَّثَنِيْ tetapi diganti dengan أَخْبَرَنِيْ atau سَمِعْتُ atau persamaannya karena berbeda makna dalam istilah.

1. Kelayakan Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits

Sebagian besar ahli cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedangkan senagian mereka tidak memperbolehkannya. Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena Sahabat, Tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat Sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti: Hasan Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, Mahmud bin Rabi’ dan yang lainnya tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah usia baligh.

Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil tersebut. Dan tamyiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil.

Berkaitan dengan batas usia anak kecil untuk bisa dianggap mumayyiz terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat-pendapat tersebut adalah:

1.1. Batas usia minimalnya adalah lima tahun.

Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Muhammad bin Rabi’ Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Aku masih ingat siraman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari timba ke mukaku, dan aku ketika itu berusia lima tahun”. (HR Bukhari)

1.2. Bisa membedakan antara sapi dengan keledai.

Al-Hafidz Musa bin Harun al-Hammal berpendapat bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai sah bila ia sudah sanggup membedakan antara sapi dengan keledai. M. ‘Ajaz al Khathib meyakini bahwa yang dimaksud oleh al-Hammal adalah tamyiz. Ia menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan sekitar.

1.3. Mumayyiz

Keabsahan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Apabila seorang anak telah memahami pembicaraan dan dapat memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak mampu memberikan jawaban, maka kegiatan mendengar hadits tidak sah, sekalipun usianya di atas lima tahun.

Memperhatikan beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa mereka hampir sepakat bahwa anak kecil yang mumayyiz sah dalam mendengar periwayatan hadits. Namun apabila anak kecil belum dapat memahami pembicaraan atau belum dapat memberikan jawaban, maka sekalipun ia berusia di atas lima tahun belum dapat dikategorikan sebagai anak mumayyiz dan belum sah dalam mendengar hadits.

2. Kelayakan Ada’

Orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah baik laki-laki maupun perempuan harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

2.1. Islam.

Tidaklah bisa diterima riwayat dari orang kafir, berdasarkan kesepakatan ulama, baik diketahui bahwa agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak. Dan sangatlah tidak logis bila riwayatnya diterima, sebab menerima riwayat berarti membiarkan hinaannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam diterma? Di samping itu, Allah ‘azza wa jalla juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (٦)

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS Al-Hujurat: 6)

2.2. Baligh.

Ini merupakan usia taklif (baligh dan berakal). Karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai implementasi atas perkataan Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رُفِعَ القَلَمُ عنْ ثَلَاثَةٍ عنِ المجْنُونِ المغْلُوبِ علَى عَقْلِهِ حتَّى يَبْرَأَ و عنِ النَّائِمِ حتَّى يَسْتَيْقِظَ و عنِ الصَّبِيِّ حتَّى يَحْتَلِمَ.

“Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tertidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah”. (HR Abu Dawud)

Usia baligh merupakan usia dugaan danya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum syari’at. Karena itu keberadaan taklif dikaitkan dengannya. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Kadang-kadang ia berdusta karena ketidaktahuannya atas dampak dan siksaan dari berbuat dusta itu sendiri.

2.3. Sifat Adil (عدالة)

Adil merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya kepada kejujurannya. Menjauhi dosa besar dan dosa kecil juga termasuk ke dalam kategori sifat adil.

2.4. Dhabit (ضابط)

Dhabit artinya keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits, langsung memahami ketika mendengarkannya, dan menghafalnya sejak menerima hadits sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabit mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal dan tepat menangkap apa yang didengarnya, sehingga ketika dibutuhkan ia dapat mengeluarkan atau menyebutkannya kembali. Seorang perawi harus mampu menjaga hafalan baik di dada (ضَبْطُ الصَّدْرِ) maupun tulisan (ضَبْطُ الكِتَاب).

Cara mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan perawi dengan hadits perawi lain yang tsiqah, dhabit, dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya, meskipun hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun jika ada banyak perbedaan dan sedikit kesamaan, maka ke-dhabit-an nya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Maka dapat disimpulkan bahwa suatu hadits tidak akan diterima bila perawinya tidak memenuhi kriteria yang telah disyaratkan oleh ulama hadits, maka keempat syarat tersebut harus terpenuhi, yaitu: Islam, Taklif (baligh dan berakal), Adil, dan Dhabit. Sedangkan, ketika menerima hadits, cukup baginya hanya memiliki sifat tamyyiz.[3]
[3] Ladoma H. Kamarudin, “Studi Hadits”, Deepublish Publisher, 2023 hlm 238-242

Metode Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits

Dalam melakukan Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits ada delapan cara atau metode yang harus diperhatikan, di antaranya:

1. السِّماع (Mendengar)

Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya, sementara hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ (dikte) ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat yang paling tinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada hanya mendengar saja. Sebab seorang guru sibuk membacakan hadits sementara murid menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla’. Dan mendengar adalah cara yang mula-mula ditempuh oleh periwayat.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Sima’, diantaranya:

· حدَّثَنَا (telah menceritakan kepada kami) atau حدَّثَنِيْ (telah menceritakan kepadaku).

· سَمِعْنَا (kami mendengar) atau سَمِعْتُ (saya mendengar).

· أَخْبَرَنَا (telah memberitakan kepada kami) atau أَخْبَرَنِيْ (telah memberitakan kepadaku).

2. قراءة على الشَّيخ (Membaca di hadapan guru).

Sebagian ulama hadits menyebutnya العَرَضُ (penyodoran). Ada juga yang menyebutnya ‘ard al-qira’ah (menyodorkan bacaan), karena dalam konteks ini, seorang murid menyodorkan bacaannya kepada gurunya. Maksudnya, seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti, sedangkan guru memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Imam Ahmad mensyaratkan pembaca harus mengerti dan memahami bacannya. Sementara Imam al-Haramainmensyaratkan seorang guru harus menguasai dan mampu meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Jika tidak, maka tahammul-nya tidak sah.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Qira’ah ‘ala Syaikh, diantaranya:

· قَرَأْتُ عَلَى فُلاَنٍ : saya telah membaca pada fulan.

· قُرِئَ عَلَى فُلاَنٍ وَ أَنَا أَسْمَعُ : dibacakan kepada fulan dan saya mendengarnya.

· حَدَّثَنِيْ بِقِرَاءَةِ عَلَيْهِ : telah menceritakan kepadaku bacaannya.

3. الإجازة (Sertifikasi atau Rekomendasi)

Metode ini merupakan metode tahammul yang baru dan berbeda dengan metode sima’i dan qira’ah. Namun masih tetap pada batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang, tanpa membacakan semua haditsyang telah diijazahkan. Oleh karena itu, ada ulama yang memperbolehkan ada yang tidak.

Contoh metode ijazah ini adalah, seorang ahli hadits berkata kepada sebagian muridnya, “Aku ijazahkan (aku perbolehkan) kamu meriwayatkan kitab al-Buyu’ dari Shahih al-Bukhari dariku”, “Saya telah mendengar dari seseorang”, tanpa membaca sedikitpun atau membaca sebagiannya, dan mengijazahkan selebihnya.

Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah kecuali bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqah, dan hadits yang diijazahkan tidak lebih dari beberapa hadits atau juz atau kitab. Hafidz al-Maghrib Abu ‘Umar bin ‘Abd al-Barr menyatakan, “Ijazah tidak diperbolehkan kecuali bagi orang yang sudah ahli dalam bidang ini, cerdas, dan mengetahui dengan baik bagaimana mendapatkannya serta berkenaan dengan hadits-hadits tertentu yang tidak mengandung problem dalam sanad-nya".

Imam Malik memakruhkan ijazah bagi yang tidak ahli ilmu dan bagi yang tidak memiliki ketekunan dalam bidang tersebut, sama seperti mengijazahkan banyak hadits kepada murid dalam waktu yang relatif singkat atau dalam satu majlis. Tabi’in dan generasi sesudahnya tidak memberikan ijazah kecuali kepada ahli ilmu yang berstatus tsiqah dan memang ahli dalam bidang tersebut dan kepada mereka yang mengetahui ketinggian status menerimanya. Namun ulama muta’akhirin menempuh cara yang longgar, bahkan gegabah dalam masalah ijazah, sehingga membuat para siswa justru tidak terlalu bersemangat untuk mendengar secara utuh kitab-kitab dari para hafidz dan penulisnya.

Ada beberapa jenis ijazah. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada muridnya, “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dari fulan, dan aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Dan ini termasuk dari jenis “al-ijazah min mu’ayyan li mu’ayyan fi mu’ayyan” (ijazah dari guru tertentu kepada murid tertentu dan juga mengenai bahan tertentu).

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Ijazah, diantaranya:

· حَدَّثَنِيْ إِجَازَةً : telah menceritakan kepadaku melalui ijazah

· أَخْبَرَنِيْ إِجَازَةً : telah memberitakan kepadaku melalui ijazah

4. المناوَلَة (Al-Munawalah)

Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkan darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata, “Inilah haditsku atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar”, tanpa mengatakan, “Riwayatkanlah dariku, atau aku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku”. Sebagian ulama membolehkan metode ini dan sebagian lainnya tidak membolehkannya. Munawalah yang paling tinggi statusnya adalah munawalah yang disertai ijazah (al-Munawalah al-Maqrunah bi al-Ijazah).

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Munawalah, diantaranya:

· حَدَّثَنِيْ مُنَاوَلَةً : telah menceritakan kepadaku melalui munawalah.

· أَخْبَرَنِي مُنَاوَلَةً : telah memberitakan kepadaku dengan cara munawalah.

5. المكَاتَبَة (Al-Mukatabah)

Maksudnya, seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau memerintahkan orang lain menulis sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada di hadapannya atau murid yang berada di tempat lain, lalu guru itu mengirimkan kepada sang murid yang dapat dipercaya. Mukatabah terdiri atas dua bagian:

1) Disertai dengan ijazah. Misalnya, guru menulis beberapa hadits untuk muridnya seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.

2) Tanpa disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih membolehkannya. Demikian pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akhirin.

Al-Khatib al-Baghdadi menganjurkan agar penulisan dilakukan oleh ahli hadits sendiri, namun tidak menilainya sebagai suatu kewajiban. Apabila ahli hadits meminta orang lain menulis untuknya, maka sewaktu memberikan kepada sang murid, ia harus mengatakan: “Kitabku ini yang aku berikan kepadamu ditulis oleh fulan”. Semua itu merupakan bukti kehati-hatian. Maksudnya, yang diberi hadits dengan cara mukatabah akan merasa yakin apakah kitab yang didapatkannya itu hasil tulisan gurunya sendiri atau hasil tulisan orang lain yang diperintahkan oleh sang guru.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Mukatabah, diantaranya:

· حَدَّثَنِيْ خِطَابَةً : telah menceritakan kepadaku dengan khithabah.

· أَخْبَرَنِي خِطَابَةً : telah memberitakan kepadaku dengan khithabah.

6. إعْلاَم الشَّيْخ (I’lam as-Syaikh)

Maksudnya, seorang Syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang (tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya). Sebagian ulama berpendapat bahwa metode semacam itu harus disertai dengan ijazah agar periwayatan darinya bisa berstatus shahih. Perbedaan pendapat dalam masalah ijazah tidak boleh mempengaruhi pengamalan hadits, karena mengamalkan isinya wajib bagi yang mendengarnya apabila sanadnya shahih.

Al-Qadi Iyad dari ahli ushul menyatakan bahwa mereka tidak berselisih pendapat tentang kewajiban mengamalkan isinya. Dan mayoritas ulama juga mewajibkannya.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode I’lam as-Syaikh, diantaranya:

· حَدَّثَنِيْ إِعْلَامًا : telah menceritakan kepadaku dengan pemberitahuan.

· أَخْبَرَنِيْ إِعْلَامًا : telah memberitakan kepadaku melalui cara pemberitahuan.

7. الوَصِيَّة (wasiat)

Maksudnya, seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Al-Washiyyah, diantaranya:

· حَدَّثَنِيْ وَصِيَّةً : telah menceritakan kepadaku dengan wasiat.

· أَخْبَرَنِي وَصِيَّةً : telah memberitakan kepadaku dengan cara wasiat.

8. الوِجَادَة (Penemuan)

Yaitu, ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah (lembaran-lembaran) tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, ada seorang menemukan hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Apabila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar.

Pada masa terdahulu, periwayatan dengan metode wijadah sangat langka, karena mereka lebih mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah.

Adapun kata-kata (shighat) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan metode Al-Wijadah, diantaranya:

· وَجَدْتُ بِخَطِ فُلَانِ قَالَ أَخْبَرَنِي : saya mendapati melalui tulisan fulan yang berkata bahwa ia memberitakan kepadaku

· وُجِدَ بِخِطَابٍ ذُكِرَ أَنَّهُ لِفُلَانِ قَال أَخْبَرَنِي : ia mendapat tulisan dan ia menyebutkan bahwa untuk fulan ia berkata ia memberitakan kepadaku

· وَجَدْتُ بِخَطٍ قِيْلَ أَنَّهُ لِفُلَانٍ قَال أَخْبَرَنِي : saya mendapatkan tulisan, dikatakan untuk fulan, ia berkata, ia memberitakan kepadaku.[4]
[4] Ibid, hlm 242-250

C. Periwayatan Hadits Secara Lafadz Dan Makna

1. Periwayatan Hadits Secara Lafadz

Periwayatan hadits dengan lafadz artinya bahwa hadits diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan lafadz (redaksi) yang diterima dari orang yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya, tanpa ada perubahan sedikitpun. Para ulama sepakat bahwa periwayatan dengan cara ini adalah paling baik dan paling tinggi nilainya, sebab lebih menjamin kemurnian dan keutuhan makna hadits.

Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang periwayatannya dimungkinkan dengan lafadz, pada periode sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadits dalam bentuk qauliyyah, sedangkan hadits-hadits fi’liyyah dan taqririyah hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan dengan makna, artinya redaksinya dibuat oleh sahabat yang meriwayatkannya. Hadits yang dalam bentuk qauliyyah pun tidak seluruhnya dapat diriwayatkan dengan lafadz. Kesulitan periwayatan secara lafadz bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiyyah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan kecerdasan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama.[5]
[5] Ali M. Sayuthi, “Periwayatan Hadis Dengan Lafaz Dan Makna”, Al-Qalam, 1996, hlm 21-22

2. Periwayatan Hadits Secara Makna.

Periwayatan hadits secara makna artinya periwayatan hadits yang redaksi matan-nya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun isi atau maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ada perubahan sedikitpun.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, dengan persyaratan memahami bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, mengerti makna kandungan hadits, memahami kata-kata yang dapat mengubah makna dan yang tidak mengubah makna serta menghindari pergeseran hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Menurut Imam Asy-Syafi’i orang yang meriwayatkan hadits harus kuat agamanya, mengetahui dengan benar haditsnya, memahami apa yang diriwayatkannya dan benar-benar mengerti kata-kata yang dapat mengubah makna. Disamping itu ia juga harus menyampaikan hadits dengan huruf-hurufnya seperti yang didengarnya, tidak meriwayatkannya dengan makna.[6]
[6] Ladoma H. Kamarudin, “Studi Hadits”, Deepublish Publisher, 2023 hlm 250

Syarat-syarat Meriwayatkan Hadits Dengan Makna:

Ulama yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna memberikan beberapa persyaratan tertentu secara ketat, diantaranya:

ü Orang yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian periwayatan matan hadits akan terhindar dari kekeliruan atau kesalahan yang membawa kepada perubahan makna atau maksud hadits.

ü Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan lafadznya secara harfiyyah.

ü Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi, misalnya dzikir, do’a, adzan, takbir dan syahadat, serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan dalam bentuk jawami’ al-kalam.

ü Periwayat yang meriwayatkan hadits secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan, agar menambah kata-kata أو كما قال / أو نحوَ هذا atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.[7]
[7] Ali M. Sayuthi, “Periwayatan Hadis Dengan Lafaz Dan Makna”, Al-Qalam, 1996, hlm 27-28

D. Istilah Dalam Periwayatan Hadits[8]
[8] Study hadits, Dr.H. Kamarudin Ladoma, M.Ag.

Dalam periwayan hadits, antar periwayat satu dengan periwayat lainnya tidak sama. Terkadang sebuah hadits diriwayatkan oleh oleh dua, tiga, empat, lima atau lebih dari itu, bahkan ada hadits yang hanya diriwayatkan dari satu perawi saja. Oleh karena itu, muncul istilah -istilah dalam periwayatan hadits, di antaranya:

أخرجه البخاري وَ المسلم : Hadits tersebut yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan muslim.

أخرجه الشّيخان : Hadits tersebut diriwayatkan dan dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

أخرجه الثّلاثة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi (Abu Dawud, al-Turmudzi, dan al-Nasa’i). Ketiga perawi tersebut adalah penyusun kitab as-Sunan.

أخرجه الأربعة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i dan Ibnu Majah. Keempat perawi ini disebut juga dengan ashab al-Sunan (penyusun kitab al-Sunan).

أخرجه الخمسة :Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.

أخرجه السّتّة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah.

أخرجه السّبْعة : Hadits tersebut diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.

أخرجه الجماعة : Hadits tersebut diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadits.

متّفق عليه : Keshahihan hadits disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dalam periwayatan hadits, di antara ulama ada juga yang menggunakan istilah rawa-hu (رواه), misalnya : rawa-hu al-syaikhan, rawa-hu al-tsalatsah, rawa-hu al-arba’ah dst.

Istilah-istilah yang berhubungan dengan kitab-kitabnya, antara lain:

Kutub al-Sab’ah : tujuh kitab hadits yang disusun oleh tujuh ulama hadits yaitu kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, al-Nasa’i, dan Sunan Ahmad.

Kutub al-Sittah : Enam kitab hadits yang disusun oleh enam ulama hadits yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, dan al-Nasa’i.

Kutub al-Khamsah : Lima kitab hadits yang disusun oleh lima ulama hadits yaitu Sunan Abu Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, al-Nasa’i dan Sunan Ahmad.

E. Gelar Ulama Hadits

1)  Al-Musnid

Al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadis dengan isnadnya, baik dia memiliki pengetahuan pada hadis yang diriwatkan atau tidak. al-Musnid ini juga disebut dengan at-Thalib, al-Mubtadi, dan ar-Rawi.

2)  Al-Muhaddis

Ibnu Sayyidin-Nas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Muhaddis adalah orang yang menyibukkan diri dengan hadis dari segi periwayatan, dirayah, mengumpulkan para rawi, serta mengetahui banyak rawi dan riwayat pada masanya. Dia juga fokus di bidang itu sehingga peran dan kealimannya dikenal banyak orang. Diapun menjadi rujukan untuk belajar hadis dan para rawinya. Adapun menurut Ibnu Jazari Muhaddis adalah orang yang menghafal hadis secara riwayah dan memiliki kepedulian tinggi secara dirayah.

Adapun ulama yang mendapat gelar Al-Muhaddis di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Atha’ bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Makkah).
2. Imam Zabidiy (seorang ulama yang meng-ikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim).

3) Al-Hafidz

Al-Hafidz lebih tinggi dari al-Muhaddis. al-Hafidz adalah orang yang begitu luas ilmunya dalam bidang hadis dan fan-fannya. Sekiranya hadits dan illat hadis yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahui. Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat mengenai definisi al-Hafidz ini. Sampai-sampai salah satu mereka mengatakan bahwa al-Hafidz hanya muncul satu orang di setiap 40 tahun. Ulama yang mendapat gelar Al-Hafidz diantaranya adalah:
1. Al-Iraqi.
2. Syarafuddin ad-Dimyathi.
3. Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
4. Ibnu Daqiqil Id.

4) Al-Hujah

Al-Hujjah sama dengan Al-Hafidz. Bedanya, ulama yang mendapat gelar Al-Hjjuah lebih kuat dan lebih tertancap dalam hati dalam menghafal sanad dan matan hadis. Ulama Muta’akhirin memberi kereteria bahwa orang yang mendapat gelar Al-Hujjah adalah orang yang menghafal 300.000 hadis serta mengetahui sanad dan matannya. Ulama yang mendapat gelar al-Hujjah sebagai berikut:
1. Hisyam bin ‘Urwah
2. Abu Handzil Muhammad bin Al-Walid
3. Muhammad bin Abdullah bin Amr

Menurut Abu Zar’ah ad-Dimisyqi ulama yang mendapat gelar al-Hujjah dalam keilmuan hadis sebagai berikut:
1. Ubaidillah bin Umar
2. Imam Malik bin Anas
3. Al-Auza’i
4. Sa’id bin Abdul Aziz

5)  Al-Hakim

Al-Hakim adalah orang yang pengetahuannya meliputi semua hadis, sehingga dia mengetahui semua hadis kecuali sediktit saja

Ulama Ahli Hadis yang mendapat gelar al-Hakim antara lain adalah:
1. Ibnu Dinnar.
2. Al-Laist bin Sa’ad.
3. Imam Malik.
4. Imam Syafi’i.

6)  Amirul Mu’minin

Gelar ini merupakan gelar tertinggi dalam ilmu hadis. Sebenarnya, gelar ini diberikan kepada Khalifah setelah Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq. Namun, gelar ini juga disematkan kepada para rawi hadis yang telah memenuhi syarat. Hal ini berdasarkan pada jawaban Rasulullah saw. ketika ditanya tentang siapa yang dikatakan Khalifah. Rasulullah saw. menjawab bahwa Khalifah adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis beliau ketika beliau sudah wafat. Para rawi hadis pada masa itu seolah-olah menjadi Khalifah (pengganti) Rasulullah dalam menyampaikan sunah-sunah beliau.

Adapun Ahli hadis yang mendapatkan gelar Amirul Mu’minin dalam hadis adalah:
1. Sufyan at-Tsauri
2. Syu’bah bin Hujjaj,
3. Hmmad bin Salamah
4. Abdullah al-Mubarok
5. Ahmad bin Hanbal
6. Imam Bukhari
7. Imam Muslim.

Adapun ulama muta’akhirin yang mendapat gelar Amirul Mu’minin adalah al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani.

F. Tipologi Penulisan Kitab-Kitab Hadits

Dalam menghimpun hadis dan mengkodifikasinya, para kodifikator hadis memiliki tipe dan cara-cara tersendiri dalam penyusunan hadis-hadisnya. Dengan berbagai tipe dan cara tersebut maka lahirlah beberapa tipologi kodifikasi hadis yang secara besar-besar terjadi di abad ke dua dan ke tiga hijriyah. Adapun macam- macam tipologi kodifikasi tersebut adalah:

1. Kitab Al-Jawāmi’ (الجوامع)

Secara bahasa, Al-Jawāmi’ merupakan bentuk plural (al-jama’) dari kata al jāmi’ yang dalam kamus Arab-Indonesia memiliki arti: mencakup, menyeluruh, mengumpulkan, umum. Bisa juga bermakna pengumpul, kolektor dan ada juga yang bermakna masjid raya.[9] Kata al-Jāmi’ kalau disandingkan dengan kata kitāb menjadi kitāb al-jāmi’ dan artinya kitab atau buku yang menghimpun. Sedangkan menurut istilah, kitab al-Jawámi’ atau al-jámi’ adalah kitab hadis yang bersanad dan bab-babnya disusun berdasarkan tema-tema keagamaan, seperti akidah, fiqih, tafsir, akhlaq, sejarah Islam, biografi, dst.[10] Berdasarkan definisi istilah, bisa dipahamai bahwa kitab dengan tipe aljawami’ sangat akomodatif atas semua tema-tema keagamaan, sehingga para pengkaji hadis akan lebih mudah menemukan hadis-hadis yang diperlukan dalam sebuah kajian, terlebih kitab dengan tipe ini disusun sangat sistematis dengan babbab tematis. Pencarian atau pelacakan sebuah hadis via kitab dengan tipe aljawami’ hanya membutuhkan filing yag kuat dari seorang pengkaji tentang kategori hadis yang dilacaknya, apakah masuk dalam bab fiqh, aqidah, akhlaq, sejarah dan bab-bab yang lain.[11] 
[9] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Krapyak: Multi Karya Grafika, n.d.). 646
[10] Muhammad bin Ja’far Al-Kuttani, Ar-Risalah Al-Mustatrafah Li Bayan Masyhur Kutub As-Sunnah AlMushannafah (Bairut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyah, 1986). 43
[11] Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007). 36

Diantara Kitab-Kitab Al-Jawámi’ Yang Paling Populer adalah: 1) Al-Jámi’ al Shahíh (Sahih Al-Bukhari), karya Imam al-Bukhari, 2) Al-Jámi’ al-Shahíh (Sahih Muslim), karya Imam Muslim, 3) Al-Jámi’ al-Shahíh (Jámi’ atau Sunan al-Turmudzi), karya Imam al-Turmudzi.

2. Kitab al-Sunan ( السنن)

Kata as-sunan merupkan bentuk jama’ dari kata as-sunnah. Dalam Kamus Kontemporer as-sunnah memiliki banak arti, yaitu: perilaku, perikehidupan, sunnah (lawan makruh), jalan, metode, cara, syariat, norma, hukum, tabi’at dan watak.[12] Kata as-sunnah dalam ilmu hadis merupakan sinonim dari kata hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupu sifat, atau sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, baik perkataan atau perbuatan.[13] Adapun as-sunan sebagai nama dari salah satu tipe kitab dalam pengkodifikasian hadis memiliki pengertian, setiap kitab hadis yang bersanad dan bab-babnya disusun berdasarkan tema-tema fiqih. Dalam kitab dengan tipe ini tidak akan ditemukan bab-bab di luar fiqih kecuali sedikit. Di antara kitab-kitab al-Sunan yang paling populer adalah: 1) Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud (w. 275 H.), 2) Sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Nasa’I (w. 303 H.), 3) Sunan Ibn majah, karya Imam Ibn Majah (w. 273 H.), dan 4) Sunan al-Dárimí, karya Imam al-Dárimí (w. 255 H.). Kitab al-Muwattha’át (الموطآت (dan al-Mushannafát (المصنفات). Kitab al-Muwattha’át dan al-Mushannafát adalah kitab hadis yang bersanad dan bab-babnya disusun berdasarkan tema-tema fiqih. Tidak ada perbedaan antara keduanya, walaupun namanya berbeda. Adapun perbedaan antara keduanya dengan kitab Sunan terletak pada koleksi hadisnya, yaitu al Muwattha’át dan al Mushannafát mengoleksi hadis-hadis marfu’, mauquf dan maqtu’, sedangkan kitab Sunan lebih banyak mengoleksi hadis-hadis marfu’ dan jarang di dalamnya hadis mawquf dan maqtu’.Di antara kitab-kitab al-Muwattha’át dan al-Mushannafát yang paling populer adalah: 1) Al-Muwattha’, karya Imam Malik (w. 179 H.), 2) Al-Muwattha’, karya Imam al-Madani (w. 154 H.). dan 3) Al-Muwattha’, karya Imam al-Maruzi (w. 293 H.). Adapun kitab-kitab al-Mushannafát yang paling populer adalah: 1) AlMushannaf, karya Imam Abd Al-Razzak (w. 211 H.), 2) Al-Mushannaf, karya Imam Ibn Abi Syaibah (w. 235 H.), 3) Al-Mushannaf, karya Imam Baqí al-Qurtubi (w. 276 H.).
[12] Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. 1092
[13] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasit Fi Ulum Wa Musthalah Al-Hadis (t.tp: Dar AlFikr Al-Arabi, n.d.). 24

3. Kitab al-Masáníd (المسانيد)

Al-Masáníd merupakan bentuk plural (jama’) dari kata al-musnad. Kitab alMasáníd atau al-musnad adalah kitab hadis yang bersanad yang menghimpun hadis hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi saw. Semua hadis yang bersumber dari seorang sahabat terhimpun dalam satu kelompok tanpa diklasipikasi tematemanya. Setelah selesai mengkodifikasi riwayat seorang sahabat kemudian berpindah ke hadis-hadis sahabat yang lainnya.

Di antara kitab-kitab al-Musnad yang paling populer adalah: 1)Musnad Abí Daud al-Thayálisí, karya Abu Daud Sulaiman bin Daud al-Thayálisí (w. 204 H.), 2)Musnad Ahmad bin Hanbal, karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), 3)Musnad Abí Ya’lá, karya Abú Ya’lá Ahmad bin al Mutsanná (w. 307 H.)

4. Kitab al-Ma’ájim (المعاجم)

Al-Ma’ájim merupakan bentuk plural (jama’) dari kata al-mu’jam. Kitab al-Ma’ájim atau al-mu’jam adalah kitab hadis yang bersanad yang disusun berdasarkan musnad-musnad sahabat atau kitab yang disusun berdasarkan nama guru-gurunya, berdasarkan urutan huruf hijaiyah atau terkadang juga disusun berdasarkan tempat asal mereka.

Di antara kitab-kitab al-mu’jam yang paling populer adalah: 1) Al-Mu’jam alKabír, karya Abu al-Qásim Sulaiman bin Ahdam al-Thabráni (w. 360 H.), 2) Al-Mu’jam al-Awsath, karya Imam al-Thabráni juga dan 3) Al-Mu’jam al-Shagír, karya Imam al-Thabráni juga.

5. Kitab al-Mustadrak ( المستدرك )

Kata al-mustadrak dalam kajian bahasa Arab merupakan isim maf’ul dari fi’il madli istadrak yang artinya menyusul atau mengejar.[14] Adapun secara istilah dalam studi hadis al-mustdarak merupakan salah satu tipe penghimpunan dan kodifikasi hadis-hadis Nabi Muhammad saw. sesuai dengan persyaratan salah seorang penyusun kitab tetapi belum ditakhrij di dalam kitabnya.[15] Dalam kodifikasi dan penyusunan kitab dengan tipe al-mustdarak setidaknya ada empat manfaat yang bisa diambil, yaitu: 1) menampilkan ragam hadis yang diabaikan oleh para kodifikator kitab hadis sebelumnya, baik pengabain tersebut secara sengaja maupun tidak, 2) menampakkan adanya penuturan yang berbeda terhadap matan hadis tertentu, dan 3) menunjukkan transmisi hadis tertentu yang secara subjektif dinilai sahih oleh penulis mustadrak, 4) menambah hazanah keilmuan dan koleksi hadis-hadis Nabi bagi umat Ismam. Adapun kitab tipe mustadrak yang paling populer adalah Al-Mustadrak `ala As-Shahihain, karya Abi Abdillah al-Ḥakim alNaisaburi (w. 405 H).
[14] Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.99
[15] Muhammad Muhammad Abu Zahu, Al-Hadis Wa Al-Muhadditsun (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1378). 407

G. Derajat Kitab-kitab Hadits

Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits, secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits dapat di bagi sebagai berikut:

1. Kitab hadist ash-Shahih

Yaitu kitab-kitab hadist yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadist-hadist yang shahih saja.

2. Kitab-kitab Sunan

Yaitu kitab-kitab hadist yang tidak sampai kepada derajat mungkar. Walaupun mereka memasukan juga hadis-hadist dhaif (yang tidak sampai kepada mungkar).

3. Kitab-kitab Musnad

Kitab-kitab musnad yaitu kitab-kitab hadist yang jumlah nya sangat banyak sekali. Para penghimpun nya memasukan hadits-hadist tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti oleh karena itu di dalam nya bercampur-baur diamtara hadist-hadits yang shahih, yang dhaif, dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada,maka shahih Bukhari lah yang terbaik dan menjadi sumber kedua setekah alquran, dan kemudian menyusul shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik dari pada Buhkari, tetapi ternyata kurang dapat di pertanggung jawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadist, kitab muslim lebih baik dari pada Bukhari, sedang syarat-syarat hadist, yang di gunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti dari pada apa yang ditempuh Muslim seperti tentang syarat yang di haruskan Buhkari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, di mana bagi Muslim hanya cukup dengan muttshil (bersambung saja).[16]
[16] Suntiah, Maslani Ratu. Ikhtisar Ulumul Hadits.Bandung : Sega Arsy. 2011. Hal. 72

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian sebuah hadits hal yang perlu dilakukan agar dapat mengetahui keabsahan sebuah hadits tersebut yaitu salah satunya dengan cara mengetahui bagaimana model periwayatan hadits, pengenalan nama-nama kitab hadits dan bagaimana proses penyusunannya, karena hadits memiliki peran yang sangat penting dalam memahami pokok ajaran islam, yang mana hadits memberikan penjelasan, konteks, dan panduan yang praktis dalam menjalankan agama islam yang tidak tercantum dalam al-Qur’an. Studi hadis memungkinkan memberi pemahaman pada umat muslim untuk memahami islam secara komprehensif, mengaplikasikan hukum hukum islam dengan baik, mengambil teladan dari akhlak nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam dan memastikan keabsahan hadis sebagai sumber hukum ajaran islam.

DAFTAR PUSTAKA

‘Ubadi, Nahad Abdul Halim, Mu’jam al-Musthalah al- Haditsiyah, Versi Maktabah Syamilah

Ali M. Sayuthi, “Periwayatan Hadis Dengan Lafaz Dan Makna”, Al-Qalam, 1996, hlm 21-28

as-Syayiji, Abdurrozaq Khalifah,

Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadist, Dar al-Fikr, Damaskus, Suriyah

Jamaludin Fitah, “Diktat Mata Kuliah Ilmu Musthalah Hadis”, IAIN JEMBER, 2021, hlm 78

Ladoma, H. Kamarudin, “Studi Hadits”, Deepublish Publisher, 2023 hlm 238-250

Ladoma, H. Kamarudin, Study Hadits, Deepublish Publisher:2023

Rahman, Fathur, Ikhtishar Musthalahul Hadis, Alma’arif, Bandung.

Salamah, Muhammad Khalaf, Lisan al-Muhadditsin, Versi Maktabah Syamilah

Thahan, Mahmud Ahmad,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar