Sabtu, 11 Mei 2024

Kritik Hadits dan Inkarus Sunnah

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 9 Angkatan 5 :
1. Neng Hindi Hadiyani (SBA).
2. Siti Nur Jannah (PAUD).
3. Dina Zahernanda (SBA).
4. Roslina Asis (PAI).


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu wa ta’aala yang telah melimpahkan petunjuk, kesehatan, ketabahan, dan kesabaran kepada kami penulis makalah “kritik Hadits dan Inkarus Sunnah” ini terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi Mahasiswa pada umumnya, dan tidak lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.

Cibitung , 10 Mei 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 09

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar belakang.
1.2 Rumusan masalah.
1.3 Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian Kritik Hadits.
2.2 Urgensi, sebab munculnya dan sejarah perkembangannya.
2.3 Pengertian Inkarus Sunnah.
2.4 Sejarahnya.
2.5 Bantahan Ulama terhadapnya.
2.6 Korelasi antara Kritik Hadits dan Inkarus Sunnah.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang dianut oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Sehingga Islam dalam kahidupan kaum muslimin menjadi way of life yang diyakini dapat menjamin dan membimbing untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Al-Qur’an sebagai dasar yang pertama dan paling utama menjadi pegangan umat Islam memiliki satu sendi utama yang essensial: yaitu berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Petunjuk-petunjuk yang diberikan al-Qur’an dalam bentuk aqidah, syari’ah dan akhlak (Muamalah); dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan- persoalan tersebut. Dan Allah SWT menugaskan rasul saw untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Selanjutnya semua keterangan-keterangan yang disampaikan rasulullah itu disebut hadits atau sunnah.

Sementara Hadits atau sunnah Nabi saw telah disepakati oleh mayoritas ulama dan umat Islam sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Qur’an. Berbeda dengan al-Qur’an yang semua ayat-ayatnya disampaikan oleh Nabi saw secara mutawatir dan telah ditulis serta dikumpulkan sejak zaman Nabi saw masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah Abu Bakar al- Shiddiq, sebagian besar hadis Nabi saw tidaklah diriwayatkan secara mutawatir dan pengkodifikasiannya pun baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis, salah seorang khalifah Bani Umayyah.

Hal yang disebutkan terakhir, didukung oleh beberapa faktor lainnya, oleh sekelompok kecil (minoritas) umat Islam dijadikan sebagai alasan untuk menolak otoritas hadis-hadis Nabi saw sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. Dalam wacana ilmu hadits, dikenal dangan kelompok Inkar al-Sunnah. Kelompok ini dan faham-fahamnya berkembang timbul tenggelam dalam sejarah umat Islam menjadi kelompok minoritas.

Untuk membuka wawasan secara global tentang wacana pengingkaran terhadap sunnah rasulullah saw, maka dalam makalah singkat ini akan dibahas tema tentang Inkar Sunnah, mulai dari pengertian, sejarah, dan, respon para ulama tentang Ingkar Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Kritik hadits?
2. Bagaimana urgensi, sebab muncul dan sejarah perkembangannya?
3. Apa pengertian Inkarus Sunnah?
4. Bagaimana sejarah inkarus Sunnah?
5. Bagaimana bantahan ulama terhadap Inkarus Sunnah
6. Bagaimana korelasi antara kritik Hadits dan Inkarus Sunnah

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui pengertian Kritik hadits.
2. Mengetahui Bagaimana sebab munculnya dan sejarah perkembangannya.
3. Mengetahui pengertian Inkarus Sunnah.
4. Mengetahui sejarah inkarus Sunnah.
5. Mengetahui bantahan ulama terhadap Inkarus Sunnah.
6. Mengetahui korelasi antara kritik Hadits dan Inkarus Sunnah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kritik Hadits

Kata naqd dalam bahasa arab lazim diterjemahkan dengan “kritik” yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[1] Naqd dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.
[1] Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin Dan Fuqaha. ( Yogaarta: Tera, 2004), Cet ke 1, Hlm. 25.

Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan,ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[2] Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).
[2] Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan, Kmus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), Hlm. 466

Kata penelitian (kritik) dalam ilmu Hadits sering dinishbatkan pada kegiatan penelitian Hadits yang disebut dengan al Naqd (النـقـد) yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( ینقـد نقـد ) yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi".[3]
[3] Yuslem Nawir, Ummul Hadits, Hlm.329

Sementara pengertian kritik Hadits secara terminologi adalah “upaya membedakan antara Hadits-hadits shahih dari Hadits-hadits dhoif dan menentukan kedudukan para periwayat Hadits tentang kredibilitas maupun kecacatannya".[4] Penetapan status cacat atau adil pada perawi Hadits dengan mempergunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan mencermati matan-matan Hadits sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan Hadits yang sahih serta mengatasi gejala kontradiksi antara matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detil. [5]
[4] Rahman Fatur, Ihtisar Musthalahul Hadis, Cet Ke 1, (Bandung: Alma’arif, 1974) Hlm 40.
[5] Hasyim abbas, Kritik Matan hadits, hlm 10.

Jadi kritik Hadits adalah usaha untuk menguji kelayakan sanad dan matan Hadits dengan tujuan mengakui kelemahan dan kekuatan sanad dan menetapkan kebenaran dan kesalahan matan.

Adapun kawasan kritik Hadits adalah meliputi penelitian sanad dan matan Hadits, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah Hadits.

Bercermin pada perumusan kritik hadits di atas, maka hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidak benaran sabda Rasulullah saw, karena otoritas nubuwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma, tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya.

2.2 Urgensi, Sebab muncul dan sejarah perkembangannya

Urgensi Kritik Hadits

Menurut Syuhudi Ismail bahwa kajian dan penelitian hadits sangat urgent dilakukan karena adanya enam faktor, yaitu :

1. Hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
2. Tidak semua hadits tertulis pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam hidup.
3. Telah timbul berbagai pemalsuan hadits.
4. Proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama.
5. Jumlah kitab hadits yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
6. Telah terjadi periwayatan secara makna.[6]
[6] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 7-21

Sanad dan matan suatu hadis dapat diibaratkan dua sisi mata uang dimana keduanya sama memberikan nilai untuk dapat dikatakan shahihnya sebuah periwayatan. Apabila kritik sanad hadis merupakan upaya untuk menilai hadits dari aspek ekstern maka penelitian matan merupakan upaya menilai hadis dari aspek intern.

Studi kritik sanad hadits berupaya melakukan penelitian yang akurat terhadap para periwayat berkenaan dengan keadilan (integritas pribadi), maupun kedhabitan (kapasitas intelektual) mereka, serta meneliti pula ittishal (persambungan) maupun inqitha’ (keterputusan) proses periwayatan antar periwayat. Hal tersebut dilakukan karena khawatir akan adanya periwayat yang tidak bisa diakui keadilan dan kedhabitannya, atau tidak adanya bukti penerimaan langsung antara satu periwayat dengan periwayat sebelum dan sesudahnya.

Sanad sebagai bagian hadits tentu saja memiliki posisi penting dalam pelaksanaan penelitian atau kritik hadis. Bahkan terkesan para ulama ahli kritik hadis bagaikan menganakemaskan sanad hadits dan menganaktirikan matan hadits. Kesepakatan ulama untuk mendahulukan kritik terhadap sanad kemudian baru melakukan kritik terhadap matan adalah karena memang kritik matan hadis baru memilki arti setelah kritik terhadap sanad dilakukan dan memenuhi syarat sebagai hadis shahih. Sebuah matan hadits tidak akan pernah dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, jika tanpa disertai sanad. Untuk itu sangat logis apabila para kritikus hadis menempuh kritik terhadap sanad lebih dahulu baru kemudian diikuti oleh kritik matan sebagai langkah lanjutan, jadi bukan berarti kritik sanad lebih penting dari kritik matan.

Selain itu apabila kritik sanad telah melahirkan nilai shahih maka setidaknya ini dapat memberikan sedikit keyakinan akan shahihnya sebuah periwayatan (matan). Sebab seorang periwayat tsiqah yang menerima dari periwayat tsiqah lainnya dari awal hingga akhir sanad mengandung arti bahwa percaya kepada keshahihan riwayat para periwayat tsiqah tersebut. Jika tidak demikian maka penilaian tsiqah terhadap para periwayat tidak ada artinya. Dikatakan demikian sebab nilai tsiqah seorang periwayat hadis, baik menyangkut pribadi maupun kapasitas intelektualnya akan sangat berimplikasi kepada matan hadis yang diriwayatkannya dan nilai hadits secara keseluruhan. Namun demikian bukan berarti bahwa ketsiqahan periwayat telah dapat menjamin orisinalitas matan hadis yang diriwayatkan. Setidaknya kalaupun pada akhirnya pada saat melakukan kritik matan terdapat kejanggalan yang melahirkan nilai dhaif pada matan, kemungkinan hal itu terjadi tanpa unsur kesengajaan dari seorang periwayat.

Sejalan dengan adanya kritik sanad tersebut diperlukan pula adanya penelitian yang cermat terhadap matan riwayat itu sendiri. Sebab kadang-kadang ada riwayat yang tidak bisa dibayangkan berasal dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sehingga para ulama tidak dapat menerimanya tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak meskipun sanadnya shahih.

Istilah kritik matan hadits dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan suatu matan hadis yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang shahih dan yang tidak shahih. Dengan demikian kritik matan tersebut bukan dimaksudkan untuk mengoreksi ataupun menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, akan tetapi diarahkan kepada tela’ah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadits. Karena itu ia merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian sebuah matan hadits, di samping pada akhirnya juga merupakan upaya untuk, mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Maka bagi seorang praktisi dakwah, mengetahui kritik hadits dan hal-hal yang berhubungan dengan hadis sangat penting. Tanpa mengetahuinya akan menyebabakan sesuatu yang fatal. Praktisi dakwah menyampaikan ajaran agama yang salah satunya bersumber dari hadits, sedangkan hadits tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Dapat dibayangkan apabila seorang praktisi dakwah menyampaikan semua hadis yang diketahuinya tanpa mengetahui kualitasnya. Hal ini dapat menimbulkan kesalah pahaman dan keyakinan yang mungkin kurang tepat atau bahkan keliru. Dan yang lebih fatal akan menghadirkan Islam yang tidak semestinya. Ajaran Islam yang tinggi dan mulia ditutupi oleh pemahaman yang tidak tepat yang dihasilkan oleh praktisi dakwah yang tidak mengerti kritik hadis dan hal-hal yang berhubungan dengan hadits.

Sejarah Perkembangan Kritik Hadis

Kritik hadis jika dipahami sebagai upaya penyeleksian hadis, apakah ia benar atau tidak maka dapat dijumpai bahwasanya kegiatan kritik hadis merupakan sebuah kegiatan yang sudah diaplikasikan jauh-jauh hari, tepatnya ia lahir berdampingan dengan lahirnya hadis itu sendiri. Artinya kegiatan tersebut telah ada sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi kegiatan tersebut baru menjadi sebuah perhatian yang serius dikalangan para pengkaji hadits/ulama pada abad ke-3 H.[7]
[7] Sumbulah, 2008, p. 33

Kritik Hadis di Era Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam masih hidup.

Di era Rasulullah, kegiatan kritik hadits sangatlah mudah, mengingat para sahabat yang membutuhkan kejelasan sebuah hadits cukup dengan mendatangi dan menjumpai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang masih ada dan hadir berdampingan dengan mereka. Di zaman Rasulullah hanya dengan memastikan atau tatsabbut seperti kata-kata Sahabat “Apakah engkau dengar dari Rasul?” dan semisalnya. Dan keyakinan ahlusunnah, sahabat itu semuanya udul alias layak didengar bukan orang fasik, oleh sebab itu jika ada riwayat yang cuma disebutkan datang seorang laki-laki kepada Rasul (tidak ada namanya) tapi tetap haditsnya diterima karena alasan tadi. Dengan begitu maka para ulama hadis menerangkan bahwasanya yang menjadi ciri khas kegiatan kritik hadits pada periode ini cenderung menggunakan sebuah bentuk konfirmasi.[8]
[8] Sumbulah, 2008, p. 33

Kritik Hadis di Era Sahabat (Abad I)

Kritik hadits pada masa sahabat mengalami perkembangan dari masa sebelumnya, terlebih lagi dengan bertambah luasnya wilayah dakwah Islam dan juga bermunculannya orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam meriwayatkan sebuah hadits, sehingga tidak jarang hadis yang diperdengarkan kepada seseorang lainnya bukanlah datang dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Maka dengan begitu beberapa sahabat memberikan perhatian khusus dalam hal ini, di antaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi thalib dan para sahabat lainnya. Para sahabat tersebut memberikan sebuah ketentuan atau rambu-rambu khusus untuk menentukan sebuah hadits dapat diterima ataukah tidak, salah satunya dengan cara menunjukan kesaksian sahabat lainnya. Sebagai contohnya adalah sebagaimana kisah yang dijelaskan oleh riwayat hadits berikut:

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا

Artinya : Telah menceritakan kepada kami (Al Qa'nabi), dari (Malik) dari (Ibnu Syihab), dari (Utsman bin Ishaq bin Kharasyah), dari (Qabishah bin Dzuaib), bahwa ia berkata; telah datang seorang nenek kepada Abu Bakr Ash Shiddiq, ia bertanya kepadanya mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang. Kemudian Abu Bakr bertanya kepada orang-orang, lalu (Al Mughirah bin Syu'bah) berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu Bakr berkata; apakah ada orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian (Muhammad bin Maslamah) berdiri dan berkata seperti apa yang dikatakan Al Mughirah bin Syu'bah. Lalu Abu Bakr menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan keputusan yang telah diputuskan adalah untuk selainmu, dan aku tidak akan menambahkan dalam perkara faraidl, akan tetapi hal itu adalah seperenam. Apabila kalian berdua dalam seperenam tersebut maka seperenam itu dibagi di antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian berdua yang melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya. (HR.Abu Daud)

Dari hadis di atas dapat dijumpai salah satu bentuk kehati-hatian Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menerima dan meriwayatkan sebuah hadits. Ia tidak menerimanya secara langsung walau sangat kenal betul dengan sahabat yang menuturkan hadits tersebut. Selain itu apa yang dilakukan Abu Bakar di atas bukan semerta-merta untuk menentukan kebenaran sebuah hadits, melainkan bertujuan untuk menutup celah orang-orang yang tidak bertanggung jawab berkata-kata atas nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana yang dikemukakan Umar bin al-Khattab.

Beberapa peneliti mengemukakan bahwasanya kegiatan kritik hadits lainnya yang digunakan pada periode sahabat ialah dengan cara melihat apakah hadits tersebut bertentangan dengan al-Qur’an atau apakah hadits tersebut bertentangan dengan hadits lainnya yang keotentisitasannya tidak diragukan atau dengan cara membandingkan suatu riwayat sahabat dengan sahabat lainnya. Selain itu pada metode yang digunakan pada saat itu ialah dengan cara penalaran akal.[9]
[9] Suryadilaga, 2019, pp. 144–145

Pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, kegiatan kritik hadis lebih diperketat dari periode-periode sebelumnya, terkhususnya setelah terjadinya fitnah (pembunuhan Utsman bin ‘Affan), dan perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada masa tersebut banyak hadits-hadits Nabi yang dimanipulasi dan banyak juga hadits-hadits palsu yang bermunculan dengan beberapa faktor seperti faktor politik, ingin dekat dengan penguasa dan lain sebagainya.[10]
[10] Al-‘Azhimy,1990, p. 8

Kritik Hadis di Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III)

Dengan adanya konflik sosial dan politik yang terjadi di tubuh kaum muslimin pada penghujung generasi sahabat menyebabkan tercemarnya kesucian dan kemurnian sebuah hadis. Pada masa tersebut banyak bermunculan para pemalsu hadis yang didasari pada beberapa faktor, individual atau kelompok. Selain itu, beberapa bentuk hadits palsu yang beredar pada masa fitnah atau gejolak politik antara lain hadis yang membicarakan kelebihan para khalifah, ketua-ketua partai, mencaci pihak lain diluar kelompok dan lain sebagainya. Kegiatan pemalsuan hadis yang dilakukan pada masa itu tidak hanya dilakukan oleh pihak muslim, melainkan pihak-pihak luar dengan tujuan memecah belah persatuan umat muslim dan meruntuhkan Islam.

Dengan kondisi yang memperhatikan tersebut membawa para ulama pada saat itu (generasi tabi’in dan sesudahnya) untuk lebih berhati-hati dalam hal menerima sebuah hadis dan bersikap ekstra ketat dalam meneliti sebuah keotentisitasan hadits Nabi. Kondisi tersebut pula menuntut para ulama hadits melakukan kegiatan rihlah ilmiah yang dilakukan ke berbagai daerah. Para ulama juga semakin memperketat standarisasi kesahihan sebuah hadits.[11]
[11] Sumbulah, 2008, pp. 40–41

Standarisasi penerimaan hadits pada periode ini yang telah dikemukakan para ulama antara lain ialah sebagai berikut:

a. Tidak mengambil hadits dari orang yang ambisius (negatif) mementingkan hawa nafsu

b. Tidak mengambil hadis dari orang bodoh yang mana dengan kebodohan tersebut ia kerap melakukan dusta atas nama Rasulullah.

c. Tidak mengambil hadits dari seseorang yang shalih tetapi hadits yang diriwayatkan nya tidak dikenal.[12]
[12] Sumbulah, 2008,p.43

Kegiatan kritik hadis yang dilakukan oleh ulama pada masa ini tidak hanya memfokuskannya pada aspek matan (isi hadits), melainkan mereka juga memfokuskannya pada kajian kritik pada sisi rawinya (sanad). Kegiatan kritik yang dilakukan oleh para ulama pada saat itu tidak hanya dilakukan sebagian negeri Islam, melainkan di seluruh negeri Islam, mereka mengorbankan waktu dan tenaga dalam rangka mencari dan meneliti hadits-hadits nabi.[13]
[13] Sumbulah, 2008, p.41

Sebagian mengemukakan bahwasanya perbedaan perkembangan kegiatan kritik hadis pada periode abad ke-3/4 H dengan periode sebelumnya ialah aktivitasnya yang lebih sistematis serta metodologis. Hal tersebut terlihat dari adanya beragam karya para ulama terkait metodologi penelitian dan pemahaman hadits dan menjadi rujukan utama para pengkaji hadits sampai saat ini.[14]
[14] Al-Umri, 2000, p. 11

Selain itu, dengan adanya beberapa kitab hadits yang ditulis oleh para pencari hadits (mukharij), membukakan peluang baru dan mempermudah para pengkaji hadits, hal tersebut dikarenakan kitab-kitab yang memuat hadis tersebut belum sepenuhnya tersaring (ditandai) kualitas hadis antara hadis-hadis yang dapat diterima, cacat dan lain sebagainya maka tugas para pengkaji hadis cukup menilai kualitas hadits yang terkumpulkan oleh ulama lainnya. Dengan begitu para ulama mencoba melengkapinya dengan cara memberikan komentar atau catatan dalam kitab-kitab hadits yang telah dihasilkan para penghimpun hadis Nabi.

Akan tetapi cara seperti itu masih dipandang kurang efesien dalam menentukan sebuah hadis apakah dapat diterima atau ditolak. para ulama terus berupaya meningkatkan perhatian dalam mengkaji sebuah hadis dengan cara mengkaji dan meneliti setiap para periwayat hadits. Bahkan, para ulama berupaya memisahkan antara kajian isi hadits (matan) dan sanad hadits. Hal tersebut dapat dilihat dari usaha salah satu ulama hadis Ibnu Abi Hatim dengan merumuskan sebuah buku jarh wa ta’dil yang memuat sebuah rambu-rambu untuk menentukan keotisitasan sebuah hadits dari aspek sanad maupun matannya.[15]
[15] Al-Umri, 2000, p. 17

Kritik Hadis di Era setelah kodifikasi Hadis (Abad IV-VII)

Walau dipandang periodisasi perkembangan hadits pada abad ini lebih maju dari abad sebelumnya, tetapi tetap pada kenyataannya terdapat beberapa kekurangan yang harus dilengkapi oleh para ulama hadits. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadits yang sudah bermunculan, akan tetapi di dalamnya tidak jarang masih tercampurnya antara sebuah perkataan yang benar-benar datang dari Nabi dan sahabat atau ulama, atau bisa disebut antara hadis marfu, mauquf dan maqtu’.[16] Dengan adanya ketiga jenis hadis tersebut atau bersatunya antara hadits dan atsar tersebut menyebabkan sebagian masyarakat dilanda kebingungan, mana yang benar-benar hadits Nabi atau perkataan sahabat dan ulama (tabi’in).
[16] Shidiqie, 1999, p. 62

Dari kasus di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya problematika baru hadis pada saat itu selain maraknya hadits-hadits palsu ialah tercampurnya antara hadis dan riwayat-riwayat perkataan para sahabat dan ulama tabi’in dalam satu buah kitab. Sehingga para ulama harus memperhatikan dengan teliti mana hadis yang benar-benar datang dari Rasulullah ﷺ dan mana yang bukan darinya. Dua permasalahan tersebut menjadi pusat perhatian para ulama hadis pada saat itu, terlebih lagi hadits-hadits yang tidak memiliki sandaran, hadits-hadits yang bersumber dari orang-orang yang memiliki kepentingan politik (individu). Selain itu pada abad ini peredaran hadits-hadits palsu terus bertambah, ditandai dengan adanya kaum zindik atau para penyair yang berkata-kata mengatasnamakan Rasulullah agar masyarakat tertarik kepadanya. Berkaitan dengan ini Imam Malik menerangkan, “Janganlah kamu mengambil ilmu/hadis dari orang-orang yang lemah akalnya, suka mengikuti hawa nafsu, suka berdusta dan tidak memiliki keilmuan seputar hadits.” Dari ungkapan Imam Malik ini juga dapat diketahui bahwasanya pada saat itu banyak periwayat hadis yang dinilai tidak memiliki pengetahuan yang cukup/lemah.[17]
[17] Shidiqie, 1999, p. 66

Penyaringan dan penyeleksian hadis dari sisi matan dan sanad merupakan sebuah upaya yang penting pada periode ini sebagai bentuk penolakan dan menyisihkan hadits hadits shahih dan hadits-hadits dha’if atau palsu. Dalam prosesnya, seorang ulama hadis membutuhkan sebuah disiplin ilmu khusus, tidak terbatas pada penguasaannya terhadap ilmu-ilmu dirayah, melainkan unsur ilmu-ilmu riwayah atau sanad hadis, seperti ilmu rijal. Keberadaan ilmu ini pada periode abad ke-4 ini sangat penting demi menyempurnakan kegiatan kritik hadits dan memisahkan propaganda pihak yang berniat mencemari status dan kedudukan hadits dalam Islam.

Kebutuhan kajian atau ilmu rijal al-Hadis pada periode ini tidak lain untuk menentukan dan melihat biografi singkat setiap perawi hadis, kapan ia lahir dan wafat, apakah ia berjumpa dengan orang yang meriwayatkan hadis. Jika seseorang tidak memiliki hubungan atau mustahik perjumpaan antara rawi dan periwayat hadis yang dimaksud maka memungkinkan hadis yang diriwayatkan seorang rawi tersebut palsu atau perawi tersebut tidak dapat dipercaya. Ketelitian ulama pada periode ini sangat baik untuk menjaga otentisitas hadis. Banyak ulama yang melakukan hal tersebut seperti Imam al- Bukhari, sosok ulama hadis yang tidak diragukan kapasitas dan kualitasnya dalam hal periwayatan, penghapalan dan pengabdiannya terhadap hadis Nabi .

Imam al-Bukhari memiliki sebuah standar dalam menilai orisinalitas/shohihnya sebuah hadis. Akan tetapi dikatakan pula bahwasanya ia merupakan salah satu ulama hadis yang ketat terhadap penyeleksian hadis tetapi di sis lain ia tetap santun dan sopan dalam menghadapi periwayat-periwayat hadis yang dipandang lemah. Dalam kasus itu pula ia atau ulama lainnya memberikan sebuah kriteria penerimaan hadits dari periwayat yang lemah sehingga pada akhirnya sebuah hadits dapat digolongkan menjadi dua, yaitu shahih dan dhaif dengan di iringi kaidah kaidah yang dapat mendukung pernyataan sebuah hadis dapat dinilai shahih atau dha’if.[18]
[18] Shidiqie, 1999, p.79

Periode Pertengahan (Abad VII-XIII)

Pada abad ke-tujuh sampai ke-delapan kegiatan kritik hadis mencapai titik penyempurnaan dan pengembangan. Pada abad ini telah cukup banyak beredar kitab-kitab hadis. Sebagian ulama juga menerangkan bahwasanya abad ini merupakan sebuah masa pemeliharaan, penertiban dan penghimpunan hadis Nabi . Ada banyak variasi kitab-kitab hadis yang timbul dan berkembang di abad ini. Maka dari itu pada abad ini para ulama tidak hanya memfokuskan pada penyeleksian hadis shahih dan dha’if, orisinalitas hadis dan hadis palsu atau penelitian perawi hadis. Para ulama mengalihkan perhatian mereka pada menyusun dan meneliti/kitab yang telah ada. Kajian hadis yang menjadi ciri khas pada periode ini juga berbeda dengan periode-periode sebelumnya, ditandai dengan hadirnya madrasah-madrasah hadis. Maka tidak heran juga jika dikatakan bahwasanya periode abad ini merupakan periode penyempurnaan atas apa yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Para ulama pada abad ini banyak yang mengkaji, memberikan penjelasan atau memberikan keterangan kualitas hadis yang telah tertulis dalam kitab-kitab yang ada.

Periode Modern (Abad XIII hingga sekarang)

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kajian hadis terus berkembang di setiap masanya. Tokoh/ulama hadis yang hadir dimasa itu berupaya menyempurnakan kajian hadis yang dilakukan para ulama terdahulu sehingga kajian hadis tidak menjadi kajian yang menetap, melainkan terus berkembang. Pada abad ini banyak beredar dan hadis kitab-kitab yang berisi kajian/kritik hadis baik dari sisi riwayat atau dirayahnya. Akan tetapi para ulama pada masa ini para ulama melakukan sebuah kolaborasi antara kritik hadis dan pemahaman atau syar hadis.

Dengan adanya upaya tersebut maka tidak heran jika banyak lahir kitab syarh hadis. Kitab syarh yang hadir di masyarakat tidak hanya berisi penilaian kualitas/sisi matan dan rawi/sanad, melainkan dibarengi dengan pemahaman dan maksud dari sebuah redaksi hadis. Artinya walau dikatakan sebuah abad pengembangan, apa yang dilakukan ulama-ulama pada periode sebelumnya tetap dipertahankan. Beberapa aturan secara khusus yang tetap dipertahankan pada abad ini adalah upaya pengurangan periwayatan hadis-hadis, sehingga menutup celah para individu yang berniat berbohong mengatasnamakan Nabi , memaparkan dan membandingkan antara hadis dan al-Qur’an dengan tujuan melihat kesamaan atau keterkaitan antara makna hadis dan al-Qur’an, sehingga jika keduanya terdapat sebuah pertentangan maka harus ditinggalkan atau jangan diamalkan.

Dari apa yang telah diperjuangkan ulama hadis pada abad ini maka terlahirlah beberapa kitab syarh hadis yang belum ada pada abad sebelumnya, selain tu hadir pula kitab-kitab takhrij hadis, yaitu sebuah upaya pengkritikan hadis yang termuat dalam sebuah kitab. Salah satu contoh kitab yang di takhrij ialah kitab ihya al-Ulumuddin karya al-Ghazali. Dengan adanya kegiatan takhrij yang dilakukan ulama pada abad ini maka generasi sesudahnya dapat mengetahui kualitas dan kuantitas hadis-hadis yang digunakan imam al-Ghazali dalam menulis kitabnya. Selain itu perkembangan kajian hadis lainnya ialah lahirnya kitab-kitab hadis yang berisikan kajian berdasarkan tema-tema keagamaan secara khusus, seperti kitab Bulughul Maram yang berisi hadis-hadis yang berbicara seputar hukum fikih.

2.3 Pengertian Inkarus Sunnah

Secara etimologi, kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab : انكارا - ینكر - انكر yang memiliki beberapa arti diantaranya adalah: tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (Antonim kata al-Irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati)3 misalnya dalam firman Allah dalam Q.S. Yusuf ayat 58:

وَجَاۤءَ اِخْوَةُ يُوْسُفَ فَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ

Artinya : “Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir} lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf Mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.”

Al-Askari membedakan antara makna al-Inkar dan al-Juhdu. Kata “al-Inkar” terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedangkan “al-Juhdu” terhadap sesuatu yang tampak dan disertai dengan pengetahuan.[19] Demikian demikian bisa jadi orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah dikalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulumul hadits.
[19] Abi Hilal al Askari, al Lum`ah mi al Furuq, (Surabaya: al Tsaqafiyah) tth. Hlm.2

Dari beberapa kata ”Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain. Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits disebut ahli bid’ah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah dan lain lain karena mereka itu umumnya menolak sunnah.

Sedangkan pengertian ingkar sunnah secara terminology, ada beberapa definisi ingkar sunnah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasnya, di antaranya sebagai berikut:

> Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.[20]
[20] Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta. 1992. hlm. 428-429.

> Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih, baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawattir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.[21]
[21] Abdul Majid Khon, Sunnah dan Pengingkarannya di Mesir Modern, Disertasi, 2004. Hlm. 58

Dari kedua definisi di atas, dapat dipahami bahwa ingkar sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok yang menolak sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai landasan hukum Islam. Sunnah yang dimaksud mulai dari sunnah yang sahih, baik secara substansial yakni, sunnah praktis pengamalan (sunnah ‘amaliah), atau sunnah formal yang dikodifikasikan para ulama yang meliputi perbuatan (qaulan), perbuatan (fi’lan), dan persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam (taqriran).

2.4 Sejarah Inkarus Sunnah

Dalam perjalanan sejarah Islam kita dapati orang-orang baik pribadi maupun kelompok yang menolak Sunnah sebagai sumber hukum didalam Islam, dimana pemahaman mereka ini kemudian lebih dikenal dengan Inkarus Sunnah. Jika para pelaku Inkarus Sunnah ini berasal dari kalangan non muslim tentu tidaklah mengherankan, karena mereka memang akan selalu mencari upaya jitu untuk menghancurkan Islam. Langkah-langkah konspiratif guna menyerang Islam senantiasa mereka kaji dan pelajari. Dan diantara cara paling ampuh menghancurkan Islam adalah dengan menyerang salah satu dasar yang menjadi pondasi Islam, yaitu Sunnah

Namun yang menjadi masalah adalah jika pihak yang meragukan bahkan menolak Sunnah sebagai dasar hukum dalam Islam adalah dari kalangan muslim, bahkan orang yang dijadikan tokoh dalam ranah agama dan pemikiran yang sering mengklaim diri mereka sebagai modernis, mujaddid atau pembaharu. Adapun sejarah Inkarus Sunnah terbagi menjadi dua, yaitu:

Inkarus Sunnah Periode Klasik

Kemunculan bibit penolakan terhadap Sunnah telah terlihat pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Imam al-Bukhari, Muslim, dan perawi hadits lainnya meriwayatkan sebuah hadits yang dikenal dengan kisah Dzul Khuwaishirah. Dalam shahih Bukhari diceritakan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا، فَقَالَ ذُو الخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ، قَالَ: «وَيْلَكَ، مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ» فَقَالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ، قَالَ: «لاَ، إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu, dia berkata; "Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; "Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku adil". Maka beliau berkata: "Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil". Kemudian 'Umar berkata; "Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: "Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari)

Pada masa sahabat peristiwa gejala penolakan terhadap Sunnah terjadi lagi. Seorang ulama dari kalangan Tabi’in, Imam Hasan Al-Bashri menceritakan: “Ketika Sahabat Nabi, Imran bin Hushain sedang mengajarkan hadits, tiba-tiba ada seseorang yang memotong pembicaraan beliau. “Wahai Abu Nujaid”, demikian orang itu memanggil Imran, "Berilah kami pelajaran al-Qur’an saja”. Imran bin Hushain lalu meminta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau bertanya, “Tahukah Anda, seandainya Anda dan kawan-kawan Anda hanya memakai al-Qur’an saja, apakah Anda dapat menemukan dalam al-Qur’an bahwa shalat dhuhur itu empat rakaat, shalat ashar empat rakaat, dan shalat maghrib tiga rakaat?. Apabila Anda hanya memakai al-Qur’an saja, darimana Anda tahu bahwa thawaf (mengelilingi Ka’bah) dan sa’i antara Shafa dan Marwah itu tujuh kali?”. Mendengar jawaban itu orang tadi berkata, ”Anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan Anda.”

Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok inkar sunnah yang menjelma menjadi sebuah aliran. Menurut Muhammad Abu Zahrah tiga arus utama pemahaman inkar sunnah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i dapat disimpulkan sebagai berikut:

> Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam

> Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.

> Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.

Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah Argumen kelompok yang menolak sunnah secara totalitas. Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir. Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dalil. Mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang qath’i yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al- Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.

Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja.

1.) Khawarij dan Sunnah

Berdasarkan sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata khawarij yang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Adapun yang dimaksud dengan khawarij di sini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib r.a., apakah Khawarij menolak sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara ‘Ai bin Abi Thalib r.a., dan Mu’awiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi , sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu ditolak kelompok Khawarij. Ini adalah kesimpulan Mustafa As-Siba’i berdasarkan sumber-sumber yang terdapat dalam kitab Al-Farq Baina Al-Firaq karya ‘Abd. Al-Qadir Al-Baghdadi (w. 429 H). Sementara Muhammad Mustafa Azami berpendapat lain. Menurutnya, kesimpulan AsSiba’i ini perlu ditinjau kembali. Masalahnya, kitab-kitab produk mazhab Khawarij saat ini tidak dapat ditemukan lagi. Kitab-kitab mereka telah punah bersamaan dengan punahnya mazhab Khawarij itu sendiri, kecuali kelompok Ibadiyah yang merupakan salah satu kelompok dari kelompok-kelompok Khawarij yang jumlahnya dua puluh kelompok. Ditilik dalam kitab-kitab produk kelompok Ibadiyah, terdapat keterangan bahwa mereka menerima hadis Nabawi. Mereka juga meriwayatkan hadis-hadis yang berasal ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah istri Nabi , ‘Usman bin ‘Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa semua golongan Khawarij menolak hadis.

2.) Syiah dan Sunnah

Kata Syiah berarti “para pengikut” atau “para pendukung”. Sementara menurut istilah Syiah adalah golongan yang menganggap ‘Ai bin Abi Thalib lebih utama daripada khalifah yang sebelumnya (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman), dan berpendapat bahwa Ahl Bait (keluarga Nabi ) lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain. Golongan Syiah terdiri dari berbagai kelompok dan tiap kelompok menilai kelompok yang lain sudah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara kelompok Syiah ini dengan golongan ahl sunnah (golongan mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal penetapan hadit. Golongan Syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi , mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam) kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu, golongan Syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahl Bait saja.

3.) Mu’tazilah dan Sunnah

Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adala ‘sesuatu yang mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud di sini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat Islam karena berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan Ahl Sunnah berpendapat bahwa orang muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al- Basri, dan dipelopori oleh Wasil bin ‘Ata’ (w. 131H). Ada juga yang pendapat yang menuturkan bahwa golongan ini disebut Mu’tazilah karena, ketika Wasil bin ‘Ata’ sedang berguru kepada Al-Hasan Al-Basri di masjid Basrah, ada seorang yang bertana tentang status orang muslim yang berbuat maksiat. Sebelum AlH{asan Al-Basri menjawab pertanyaan itu, Wasil bin ‘Ata’ berkata, “Menurut saya, orang tersebut berada di tempat antara dua tempat (manzilah baina manzilatain), bukan mukmin dan bukan kafir.” Wasil kemudian berdiri dan meninggalkan pengajian Al-Hasan Al-Basri. Ia pergi menuju suatu tiang di dalam masjid tersebut dan menerangkan pendapatnya kepada orang-orang yang mengikutinya. Melihat kejadian itu, Al-Hasan Al-Basri berkomentar, “’Itazala ‘anna WasiI” (Wasil telah memisahkan diri dari kita). Akhirnya, kelompok Wasil ini disebut Mu’tazilah. Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syekh Muhammad Al-Khudri Beik berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Al-Syafi’i (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada ada waktu itu Basrah Irak adalah Mu’tazilah. Al-Siba’i tampaknya sependapat dengan pendapat Al-Khudari ini. Imam Al-Syafi’i memang menuturkan perdebatanya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa yang menolak sunnah itu. Sementara sumbersumber yang menerangkan sikap Mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat kerancua, apakah Mu’tailah menerima sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian sunnah saja. Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak sunnah, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar, yang popular dengan sebutan Al-Nadhdam (w. 221-223 H). Ia mengingkari kemukjizatan Al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mukjizat Nabi Muhammad , dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syariat Islam. Apabila pendapat Al-Nadhdham ini dapat diartikan sebagai penolakan hadis, tampaknya hal itu hanya pendapat pribadinya saja dan bukan merupakan pendapat resmi mazhab Mu’tazilah. Alasannya, ada ulama Mu’tazilah lain yang menerima hadis sebagai sumber syariat Islam, misalnya Abu Al-Hasan Al-Basri dalam kitabnya Al-Mu’tamad. Bahkan, mayoritas ulama Mu’tazilah, misalnya Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf (w.226 H) Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-Jubba’I (w. 303 H), justru menilai bahwa Al-Nadhdham telah keluar dari Islam. Oleh karena itu, mazhab Mu’tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar sunnah. Sebaliknya, mereka menerima sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam, tetapi mungkin ada beberapa hadis yang mereka kritik apabila hal itu berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan

Inkarus Sunnah Periode Modern

Pemikiran Inkarus Sunnah pada periode modern memiliki bentuk dan penampilan yang berbeda dengan Inkarus Sunnah pada era klasik. Penolakan terhadap Sunnah dahulunya lebih diakibatkan oleh ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah tersebut, dan kemunculannya masih bersifat perorangan, bukan dari kelompok yang terorganisir.

Lain halnya dengan kemunculan Inkarus Sunnah di era modern yang baru terlihat pada abad ke-14 hijriyah. Pemikiran ini muncul akibat pengaruh kolonialisme yang sangat gigih berupaya melumpuhkan dunia Islam. Kemunculannya dipelopori oleh para tokoh yang menamakan diri mereka mujtahid, pembaharu atau modernis. Bahkan banyak pihak pengusungnya yang muncul dalam bentuk terorganisir, sehingga pengaruh negatifnya lebih cepat tersebar di dalam tubuh umat Islam.

Al Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru Besar Fakultas Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa ahli Hadits juga mengatakan bahwa Ingkar Sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya pertama di Irak masa klasik. Tokoh tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w.1897 M), Ciragh Ali (w.1898 M), Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918 M), Ahmad Ad-Din Amratserri (w.1933M), Aslam Cirachburri (w.1955M), Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad Khan sebagai penggagas sedang Ciragh Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide ide Abu Al Hudzail pemikiran Ingkar Sunnah tersebut.Sebab utama pada awal timbulnya Ingkar Sunnah modern ini ialah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam.

2.5 Bantahan Ulama Terhadap inkarus Sunnah

Banyak ulama yang membantah argumen inkarussunnah karena mereka hanya menggunakan prasangka belaka dan menggunakan hadits yang dhoif. Berikut argumentasi inkarussunnah dan bantahan ulama terhadapnya.

Al-Siba’i menututkan bahwa argumentasi inkar Sunnah pada aspek kehujahannya dan cukup menjadikan AlQur’an sebagai dasar tunggal yang ditulis oleh Rasyīd Riḍā dan Taufīq Ṣidqi berkisar pada hal berikut:

Pertama, Firman Allah :

مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ

“Tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab.” (Q.S Al-An’am:38)

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

“Dan kami turunkan kepadamu alkitab sebagai penjelasan terhadap segala hal.” (Q.S An-Nahl:89)

Ayat ini menunjukkan bahwasanya al-kitāb telah mencakup segala hal dari urusan agama, setiap hukum sehingga tidak membutuhkan yang lain seperti Sunnah, jika tidak berarti al-kitāb telah alpa. Argumentasi pertama ini dibantah oleh al-Siba’i 9 bahwa Al-Qur’an telah mencakup dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah hukum secara umum. Sebagian dijelaskan dengan jelas dan sebagaian yang lain dijelaskan oleh Rasulullah saw. sebab, tugas pokok diutusnya Rasulullah . adalah menjelaskan bagi manusia hukum-hukum agama dan wajib mengikutinya. Di antara dalil yang digunakan oleh al-Sibā’ī adalah firman Allah .

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan telah kamu turunkan ad-Dzikr untuk menjelaskan bagi manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, semoga mereka berpikir.” (Q.S An_Nahl:44)

Al-Aẓami menuturkan apabila Allah sendiri yang telah menurunkan Al-Qur’an itu sudah membebankan kepada Nabi-Nya agar ia menerangkan isi Al-Qur’an, maka dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang isi Al-Qur’an tersebut.

Imad al-Sayyid al-Syarbaini menjelaskan bahwa ayat yang menjadi argumentasi inkar sunnah di atas adalah pendapat Taufiq Shidqi, Mahmud Abu alrayyah, Muhammad Najib dan Qasim Ahmad. Imad melakukan bantahan terhadap argumen di atas langsung kepada ayat yang dijadikan dalil bahwasanya kata al-kitāb yang terdapat di dalam surat al-An’ām ayat 83 maksudnya adalah Lauhin Mahfuz yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan makluk.

Kedua, Firman Allah :

نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan ad-Dzikr(Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami benar-benar memiliharanya.” (Q.S Al-Hijr:9)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah yang langsung memlihara Al-Qur’an tidak dengan Sunnah. Seandainya Sunnah itu adalah hujah seperti Al-Qur’an niscaya Allah juga memelihara Sunnah. Al-Sibā’ī membantah bahwa yang dijanjikan Allah untuk dipeliharanya bukan hanya Al-Qur’an saja, akan tetapi yang dimaksudkan adalah syariat Allah dan agama-Nya yang diutusnya Rasulullah. Oleh karena itu makna ad-Ẓikra lebih umum dari hanya sekedar Al-Qu’ran dan Sunnah. Jawaban ini didasarkan dengan firman Allah :

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Tanyalah Ahli ad-Dzkri jika kalian tidak mengetahui.” (Q.S An-Nahl:43)

Ahli aẓ-ẓikri di dalam ayat ini dimaksudkan adalah ahli ilmu dalam agama Allah dan syariatnya. Maka tidaklah diragukan Allah menjaga Sunnahnya sebagaimana menjaga Al-Qur’an

Imam al-Sayyid al-Syarbaini menegaskan bahwa poin penting dari ayat yang dijadikan dalil di atas adalah pada kata aẓ-ẓikri dengan membatasi maknanya pada Al-Qur’an saja tidak Sunnah. Muhammad Sayyid Nada sebagaimana dinukil oleh Imad bahwa ayat 44 dari surat an-Nahl merupakan kabar dari Allah swt bahwasanya Sunnah adalah penjelas bagi Al-Qur’an. Allah swt memelihara AlQur’an pada ayat dari surat an-hijr maka secara otomatis Allah memlihara Sunnah.

Ketiga, seandainya Sunnah itu adalah hujah niscaya Nabi saw. mengeluarkan perintah untuk menulis sunnah, niscaya para sahabat dan tabiin mengumpulkan dan mengkodifikasikannya untuk menjaga Sunnah dari kesalahan atau lupa sehingga terjaga dan sampai dengan cara yang qaṭ’i bukan ẓannī. Allah befirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S Al-Isra : 36)

اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَخْرُصُوْنَ

“Kamu tidak mengikuti kecuali persangka belaka.” (Q.S Al-An’am:148)

Tidak dapat memastikan kebenaran Sunnah kecuali dengan menulisnya sebagaimana penulisan Al-Qur’an. Berita yang pasti dari Rasulullah saw. adalah larangan menulis Sunnah dan perintah menghapus yang ditulis sebagaimana yang dilakukan Sahabat dan Tabiin.

Al-Siba’i menolak argumen ini dengan beberapa cataatan. Pertama, bahwa yang berasal dari Nabi . merupakan pelarangan penulisan hadis dan kodifikasinya secara resmi sebagaimana AlQur’an. Kedua, kehujahan tidak hanya terbatas dalam penulisan. Sesungguhnya kehujahan itu dapat dibuktikan dengan riwayat yang mutawatir, riwayat dari para perawi yang memiliki kepribadian yang baik dan kapasitas keilmuan yang tinggi. Begitu juga kehujahan dapat dibuktikan dengan penulisan. Muhammad Ajjaz al-Khaṭīb melakukan pengkajian yang panjang tentang hadits-hadits yang melarang untuk menulis hadits dan hadits-hadits yang memengizinkan menulis hadits. Di akhir pembahasan Muhammad Ajjaz al-Khaṭīb menyimpulkan bahwa larangan penulisan hadis terjadi di awal Islam takut bercampur antara Al-Qur’an dan Hadits, maka hadits larangan telah di-nasakh dengan hadits yang membolehkan, larangan penulisan Hadits apabila ditulis dalam satu tempat dengan Al-Qur’an, larangan diperuntukkan kepada orang yang kuat hafalannya ditakutkan setelah itu ia bersandar pada tulisan, dan larangan nabi sifatnya umum dan dibolehkan bagi orang yang bisa menulis dengan baik. Setelah gagal menolak Sunnah secara keseluruhan, kelompok inkar Sunnah tidak hanya berdiam diri, pengingkaran ini berlanjut kepada selanjutnya. Sunnah terbagi menjadi dua sunnah mutawatir dan sunnah ahad. Sunnah mutawatir memberikan keyakinan akan kebenaran Sunnah, sedangkan Sunnah ahad masih bersifat ẓann. Abdul Muhdi Abd al-Qadir membantah kelompok yang menolak Sunnah Ahad dengan beberapa alasan bahwa kata ẓannun bukanlah syakkun (ragu). Kata ẓann memiliki banyak makna di antarya adalah yakin. Di dalam Al-Qur’an Aurat Al-Baqarah ayat 46 Allah berfirman:

لَّذِيۡنَ يَظُنُّوۡنَ اَنَّهُمۡ مُّلٰقُوۡا رَبِّهِمۡ وَاَنَّهُمۡ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡن

”(yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Q.S Al Baqarah:46)

Makna kata ẓann pada ayat ini adalah yakin, yaitu keyakinan yang didapatkan melalui dalil-dalil. Yang meletakkan istilah ẓann untuk sunnah ahad adalah ulama. Maka untuk mengetahui makna dari kata ini melihat kepada penjelasan ulama. Ahli ilmu mengatakan bahwa makna dari ẓann adalah mendapatkan bagian yang yang kuat atau ia seikit di bawah yakin yang apabila terdapat hal-hal yang mengangkatnya maka ia akan menjadi yakin .

Keempat, Nabi Muhammad menginformasikan bahwa Sunnah bukanlah hujjah.

“Sesungguhnya hadis akan tersebar dariku, apa yang sesuai dengan Al-Qur’an maka ia benar dariku dan yang bertentangan dengan Al-Qur’an maka sesungguhnya bukan dariku.”

Al-Siba’i memberikan jawaban terhadap argumen keempat ini bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh Khālid bin AbīKarīmah dari ja’far dari Rasulullah saw. Al-Baihaqi mengatakan bahwa Khālid adalah perawi yang majhul Abu Ja’far bukan seorang sahabat. Maka sanad hadis ini terputus. Hadits ini adalah dalil kelompok yang menolak Sunnah yang telah dijawab oleh imam al-Syafi’i dan dimunculkan kembali oleh Taufiq Shidqi dan Yahya Kamil Ahmad. Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa hadis ini sanadnya terputus dari seorang perawi yang majhul dan kami tidak menerima riwayat seperti ini. Abdul Wahab bin Abd al-Laṭif mengatakan ini adalah hadis munkar sekali sebagaimana dikatakan al-‘Uqaili. Jika dilihat dengan baik atas setiap argumentasi yang dikemukakan Munkir Sunnah dan bantahan dari ulama di atas, maka akan tampak bahwa argumentasi yang dibangun oleh orang yang menolak Sunnah sangat lemah dikarenakan tidak merujuk kepada perkataan Ahli ilmu dalam memaknai Al-Qur’an dan kedua menggunakan hadits-hadits daif sebagai landasan disertai tidak mengikuti metodologi yang telah disepakati Ulama dalam mengkaji hadits.[22]
[22] Syarifah Murdika. PASANG SURUT INKAR SUNNAH: Studi Analisis pada Masa Klasik dan Modern. 2020. hal 133-137

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat kami simpulkan bahwa kritik hadits adalah upaya membedakan antara hadits-hadits shahih dari hadits-hadits dhoif dan menentukan kedudukan para periwayat Hadits tentang kredibilitas maupun kecacatannya. Dalam kritik hadits terdapat dua hal yang dianalisis yaitu meliputi penelitian sanad dan matan hadits, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah Hadits. Studi kritik sanad hadis berupaya melakukan penelitian yang akurat terhadap para periwayat berkenaan dengan keadilan (integritas pribadi), maupun kedhabitan (kapasitas intelektual) mereka, serta meneliti pula ittishal (persambungan) maupun inqitha’ (keterputusan) proses periwayatan antar periwayat. Hal tersebut dilakukan karena khawatir akan adanya periwayat yang tidak bisa diakui keadilan dan kedhabitannya, atau tidak adanya bukti penerimaan langsung antara satu periwayat dengan periwayat sebelum dan sesudahnya. Sedangkan kritik matan bukan dimaksudkan untuk mengoreksi ataupun menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam , akan tetapi diarahkan kepada tela’ah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis. Karena itu ia merupakan upaya positif dalam rangka menjaga kemurnian sebuah matan hadis, di samping pada akhirnya juga merupakan upaya untuk ,mengantarkan kepada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Kritik hadits hadits pun mengalami perkembangan dari masa Rasulullah masih hidup hingga saat ini.

Sedangkan inkarussunnah adalah paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.

Inkarussunnah memiliki beberapa argumen akan tetapi semua argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ingkarussunnah sangat lemah, sehingga dengan mudah argumen mereka terhadap pengingkaran sunnah dapat dipatahkan oleh para ulama.


DAFTAR PUSTAKA

Sumbulah, Umi, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008

Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis, Yogyakarta: T-H Press, 2009

Al-‘Azhimy, Muhammad Musthafa,Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu Riyad: Maktabat al- Kausar, 1990

Al-Umri, Muhammad Ali Qasim, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn, Yordan: Dar An-Nafais, 2000

Shidiqie, Ash, and Teungku Muhammad Hasbi. “Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis.” Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999

https://ilmuislam.id/hadits/2441/hadits-abu-daud-nomor-2507

https://www.researchgate.net/publication/335347685_URGENSI_PENGETAHUAN_KRITIK_HADIS_BAGI_PRAKTISI_DAKWAH/fulltext/5d5fe133a6fdccc32cc9fcab/URGENSI-PENGETAHUAN-KRITIK-HADIS-BAGI-PRAKTISI-DAKWAH.pdf

https://repository.radenfatah.ac.id/21999/3/BAB%20I%20buku%20kritik%20hadis%20revisi.pdf

Murdika Syarifah. 2020. PASANG SURUT INKAR SUNNAH: Studi Analisis pada Masa Klasik dan Modern. Jurnal Ilmu Hadis. Vol 3 N0 1. 133-137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar