Kamis, 18 Januari 2024

Wajib, Rukun, Kaffarah, Dam Haji, dan Umroh

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 8 Angkatan 5 :
1. Suci Mardhotilla (PAUD)
2. Aisyah (PAI)
3. Ega Cahya Ningrum (PAI)
4. Nurul Haslinda (PAI)
5. Tanti R. Apadu (PAI)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami senantiasa haturkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Wajib, Rukun, Kaffarah, Dam Haji dan Umrah sebagai salah satu tugas mata kuliah ilmu fiqih.

Sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, beserta keluarga beliau, dan sahabat-sahabat beliau Insya Allah sampai kepada kita yang senantiasa berusaha mengamalkan sunnah-sunnah beliau.

Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu fiqih serta bisa membuat kita semua yang membaca makalah ini mengetahui apa itu wajib, rukun, kaffarah, dam haji dan umrah

Kami menyadari masih banyak celah dan kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi perbaikan makalah ini.

Segala kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik kami penyusun dan segala kelebihannya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penyusun khususnya dan bagi para pembaca.

Lahat, 18 Januari 2024 M
           06 Rajab 1444 H

Penyusun Makalah
Kelompok 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Miqat Haji dan Umrah.
2.2 Ihram Haji dan Umrah.
2.3 Thawaf Haji dan Umrah.
2.4 Mabit.
2.5 Melempar Jumrah.
2.6 Tahallul.
2.7 Dam dan Kaffarah Haji dan Umrah.
2.8 Sunnah yang Harus Dalam Manasik Haji dan Umrah.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib untuk ditunaikan oleh seorang muslim, setidaknya sekali dalam seumur hidup. Namun, terdapat penjelasan bahwa ibadah haji wajib hukumnya jika seseorang tersebut mampu. Ketentuan mampu yang dimaksud adalah seorang umat muslim dinilai mampu secara finansial dan juga secara kesehatan. Dengan kata lain, orang yang memiliki kemampuan, seperti finansial dan juga kesehatan wajib menunaikan ibadah haji untuk menyempurnakan rukun Islam sebagai seorang muslim yang taat.

Untuk ibadah umrah, perbedaan haji dan umrah ini terletak pada bahasanya. Makna bahasa umrah ini dipahami sebagai aktivitas ziarah. Secara singkat, ibadah umrah berarti melakukan ziarah ke Baitullah untuk menunaikan amalan tertentu yang sudah ditetapkan. Amalan atau rukun umrah ini meliputi thawaf, sa’i, dan juga bercukur. Perbedaan haji dan umrah ini mengacu pada hukum-hukum dalam menjalankan ibadah, rukun yang harus diikuti, serta perbedaan waktu dalam pelaksanaannya.

Wajib dalam ibadah haji atau umrah adalah sesuatu yang jika diabaikan secara keseluruhan, atau tidak memenuhi syaratnya maka haji atau umrah tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan. Misalnya, kewajiban melempar jumroh, bila ia diabaikan, maka ia harus diganti dengan membayar dam (denda).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun membuat rumusan masalah sebagai barikut:
1. Apa itu miqot haji dan umroh?
2. Apa saja larangan dan sunnah-sunnah Ihrom haji dan umroh?
3. Bagaimana syarat dan tata cara thawaf haji dan umroh?
4. Apa itu mabit?
5. Apa syarat dan sunnah-sunnah melempar jumrah?
6. Apa itu tahallul?
7. Apa saja dam dan kaffarah haji dan umroh?
8. Apa saja sunnah dalam manasik haji dan umroh?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui apa itu miqot haji dan umrah.
2. Mengetahui apa saja larangan dan sunnah-sunnah ihrom haji dan umrah.
3. Mengetahui syarat dan tata cara thawaf haji dan umrah.
4. Mengetahui apa itu mabit.
5. Mengetahui syarat dan sunnah-sunnah melempar jumrah.
6. Mengetahui apa itu tahallul.
7. Mengetahui apa itu dam dan kaffarah haji dan umrah.
8. Mengetahui Sunnah dalam manasik haji dan umrah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Miqat Haji dan Umroh

Miqoot adalah tempat atau waktu yang ditentukan oleh syariat Islam untuk melaksanakan suatu ibadah. Dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan haji dan umroh.

Pertama, Miqat Makani (tempat), yaitu tempat-tempat melaksanakan ihram yang telah ditetapkan oleh syariat. Bagi setiap orang yang hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah dilarang melewati Miqat Makani sebelum melakukan ihram. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ المَدِين َةِ ذَا الحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ ق َرْنَ المَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ اليَمَنِ يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ، وَلِمَنْ أَْ أَ تَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ، وَمَ نْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ، فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِن ْ مَكَّةَ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah, dan bagi penduduk Syam adalah Al-Juhfah, dan bagi penduduk Najd adalah Qarnul Manazil, bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam". Lalu beliau berkata, “Semua miqat-miqat ini diperuntukkan bagi penduduknya dan orang-orang yang melaluinya yang hendak melaksanakan haji atau umrah. Dan siapa yang tinggal di bawah miqot-miqot tersebut (yaitu lokasinya antara Mekah dan Miqot-Miqot tersebut) maka mereka boleh berihram dari tempat mereka seperti penduduk Makkah yang berihram dari Kota Makkah.” (HR Al-Bukhari no 1524)

Kalau kita lihat posisi kota Mekkah sebagaimana kita lihat di gambar peta, disana ada titik-titik miqat yang mengitari Mekah.

Kedua, Miqat Zamani yaitu waktu pelaksanaan ibadah haji dan ibadah umroh.

1. Miqat Zamani bagi ibadah haji. Bulan-bulan haji yaitu, bulan Syawal, Dzulqa'dah, dan sepuluh hari di bulan Dzulhijjah (karena sesoerang terakhir mungkin untuk berihram haji adalah sebelum subuh tanggal 10 dzulhijjah).

2. Miqat Zamani bagi Ibadah umrah : Sepanjang tahun. Miqot-miqot :

1). Dzulhulaifah

Dzulhulaifah terletak disebelah utara kota Mekkah, merupakan miqat terjauh, Dzulhulaifah ini lebih dikenal dengan nama Bir 'Ali. Bir 'Ali letaknya di kota Madīnah, jarak antara Mekkah dan Bir 'Ali kira-kira 450 Km. Dzulhulaifah adalah miqatnya penduduk Madinah.

2). Al-Juhfah

Al-Juhfah adalah miqatnya penduduk Syām, Mesir dan Maroko. Jarak Al-Juhfah sampai kota Mekkah kurang lebih sekitar 157 Km. Akan tetapi sekarang orang-orang mengambil miqot dari Rabigh yang posisinya sedikit sebelum Al-Juhfah, dan para ulama sepakat bahwa barang siapa yang berihram sebelum miqot maka ihramnya sah. Hal ini dikarenakan al-Juhfah sekarang adalah lokasi yang rusak dan tidak ada penghuninya. Dahulu kota Madinah adalah kota wabah demam, namun Nabi berdoa kepada Allah agar menyelamatkan wabah tersebut ke al-Juhfah. Beliau berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا المَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا، وَصَحِّحْهَا لَنَا، و َانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الجُحْفَةِ

“Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada kota Madinah sebagaimana cinta kami kepada kota Mekah atau lebih lagi. Ya Allah berkahilah shoo' dan mudd kami (yaitu alat-alat takaran di kota Madinah-pen), jadikanlah kota Madinah tempat yang sehat bagi kami, dan pindahkanlah demamnya ke al-Juhfah” (HR Al-Bukhari No. 1889 dan Muslim No. 1376)

Akhirnya al-Juhfah sejak saat itu tidak lagi menjadi tempat hunian, bahkan al-Imam An-Nawawi berkata :

الْجُحْفَةَ مِنْ يَوْمِئِذٍ مُجْتَنَبَةٌ وَلَا يَشْرَبُ أَحَدٌ مِنْ مائها إِلاَّحُمَّ

“Sesungguhnya al-Juhfah sejak saat itu dijauhi, dan tidak seorangpun yang minum dari udara nya kecuali demam” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 9/150)

3). Yalamlam

Dibawah Al-Juhfah yaitu di sebelah selatan kota Mekkah ada miqat Yalamlam. Yalamlam adalah miqat bagi penduduk negeri Yaman, jarak Yalamlam ke Mekkah kira-kira 130 Km.

4). Qorn Al-Manazil (as-Sail al-Kabiir)

Qorn Al-Manazil terletak di timur kota Mekkah. Qarn Al-Manazil adalah miqat bagi penduduk Najed. Jarak antara Qarn Al-Manazil dengan kota Mekkah kira-kira 80-90 Km. Inilah miqot terdekat yang jaraknya sekitar 2 marhalah.

5). Dzatu 'Irq

Dzatu 'Irq adalah miqatnya bagi penduduk Irak. Para ulama khilaf tentang miqat Dzatu 'Irq ini. Apakah miqat Dzatu 'Irq yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam ataukah merupakan ijtihad 'Umar radhiyallāhu Ta'ala 'anhu?. Karena di zaman 'Umar datang penduduk Irak, mereka ingin melaksanakan haji atau umrah. Jika mereka (penduduk Irak) harus berputar ke arah Qarn al-Manazil terlalu jauh, sehingga 'Umar pun membuat miqat bagi mereka yang sejajar dengan Qarn al-Manazil dan menetapkan Dzatu 'Irq yang jaraknya kira-kira sama sejajar dengan Qarn al-Manazil sebagai miqat mereka.

Namun dalam sebagian riwayat disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam -lah yang menentukan Dzatu 'Irq. Sebagian ulama mengkompromikan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alahi wa sallam pernah menentukan Dzatu 'Irq namun 'Umar tidak mengetahuinya.

Kemudian tatkala datang penduduk Irak yang ingin bermiqat dari tempat selain dari Qarn Al-Manazil (karena kalau dari Qorn al-Manazil terlalu jauh, mereka harus berputar) maka 'Umar pun menentukan bagi mereka Dzatu 'Irq. Dan ternyata ijtihad 'Umar sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam.[1]
[1] Dr. Dr. Firanda Andirja, Lc., M. A, BEKAL HAJI Panduan Haji Lengkap Sesuai Sunnah, (Jakarta : Perisai Qur'an, 2019), hlm. 95-100.

Miqat Bagi Jama’ah Indonesia

Perlu Anda ketahui bahwasanya miqat bagi jama’ah haji atau umrah yang bertolak dari Indonesia adalah Yalamlam atau lokasi yang sejajar dengannya, dan bukan di Jeddah. Oleh sebab itu, jika Anda berangkat umrah dengan pesawat terbang, maka tidak boleh melewati miqat ini tanpa berihram. Anda harus berihram dari atas pesawat dengan bantuan informasi dari awak pesawat, yaitu pramugari atau pilot.

Adapun jika Anda pergi ke Jeddah untuk suatu keperluan seperti bisnis, atau tugas kenegaraan, atau berobat, atau silaturahim kepada keluarga tanpa berniat umrah ketika bertolak dari Indonesia atau dari suatu tempat di luar miqat, maka Anda boleh berihram untuk umrah dari tempat tinggal sementara di kota ini. Sebab saat itu, Anda terhitung sebagai penduduk Jeddah. Wallahu a’lam.[2]
[2] Mubarak Bamualim, Lc. M. Hi, MANASIK UMRAH dan DOA, (Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2017), hlm. 28.

2.2 Ihrom Haji dan Umrah

Ihram secara bahasa berarti masuk pada sesuatu yang diharamkan. Sedangkan ihram secara istilah adalah berniat dan bermaksud melaksanakan haji atau umrah, atau haji dan umrah sekaligus. Ketika haji atau umrah ada pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimanakah seorang hamba bisa taat pada aturan Allah. Ihram adalah kondisi di mana sudah berniat melakukan manasik haji atau umrah sehingga tidak boleh melakukan berbagai larangan yang telah ditetapkan. Dan hanya dihalalkan kembali atau boleh dilakukan kembali jika telah melakukan tahallul.

Ihram merupakan rukun haji dan umrah. Ihram dengan niat haji karena Allah Ta’ala sambil mengatakan:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan melaksanakan haji.”

Dan berihram dengan niat masuk ke dalam ibadah umrah dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dengan melaksanakan umrah.”

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إنّما الأعمال بالنّيّات

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [3]
[3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Manasik Haji & Umrah Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunnah Dan Pemahaman As-Salafush Shalih, (Pustaka Imam Asy-Syafi’i : Jakarta, 2010), hlm. 41.

a). Larangan-larangan Dalam Ihram

Berikut ini perkara-perkara yang dilarang untuk dilakukan ketika seseorang sedang berihram:

1. Memotong atau mencukur rambut atau bulu

Memotong atau mencukur atau mencabuti rambut atau bulu badan (baik rambut, kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, bulu di badan, bulu hidung, kumis dan jenggot). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوْسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“Janganlah kalian mencukur rambut-rambut kalian sampai hewan hadyu tiba pada tempatnya, barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau gangguan dikepalanya (lalu dia bercukur) maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu puasa 3 hari atau sedekah (memberi makan kepada 6 orang fakir miskin) atau nusuk (menyembelih kambing).” (QS Al Baqarah: 196)

2. Memotong kuku

Larangan ini adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama (kecuali Ibnu Hazm) Ibnul Mundzir berkata:

وَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوْعٌ مِنْ أَخْذِ أَظْفَارِهِ

“Para ulama sepakat, bahwasanya orang yang sedang ihram, dilarang untuk memotong kukunya.” (Al-Ijmaa’ hal 52)

Larangan ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَ أَظْفَارِهِ

“Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya dia tidak mencukur rambutnya dan tidak memotong kukunya.” (HR Muslim no 1977)

Sabda Nabi ini berlaku bagi orang yang hendak berkurban, dan para ulama menyebutkan bahwa orang yang berkurban dilarang untuk memotong rambut dan kuku adalah untuk meniru orang yang ihram dari sebagian sisi. Jika orang yang berkurban dilarang memotong kuku, tentunya yang sedang ihram lebih utama untuk dilarang.

3. Memakai minyak wangi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ

“Janganlah kalian memakai baju atau kain yang terkena za’faran atau wars.” (HR Bukhari no 5803)

Za’faran dan wars adalah nama-nama minyak wangi.

4. Menutup kepala

Larangan ihram berikutnya adalah larangan untuk menutup kepala, dan ini khusus untuk para lelaki. Bagi wanita tentunya tidak mengapa menutup kepala mereka karena mereka berjilbab, yang dilarang bagi wanita adalah memakai cadar dan kaos tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ

“Seseorang yang sedang ihram tidak boleh memakai gamis dan jubah dan tidak boleh memakai imamah (surban).” (HR Bukhari no 1842 dan Muslim no 1177)

Seseorang tatkala sedang ihram tidak boleh menempel kepalanya dengan sesuatu yang menempel. Seperti bila ia menutup kepalanya dengan kain ihramnya. Adapun jika menutup kepalanya (berteduh), tidak menempel, seperti memakai paying atau kain kemah, maka ini tidak menjadi masalah.

5. Memakai pakaian yang berjahit

Lelaki yang sedang ihram tidak boleh memakai pakaian yang dijahit yang membentuk potongan tubuh manusia seperti qomis (jubah), sirwal (celana), khuf (sepatu), kaos kaki, kaos dalam, celana dalam dan yang lainnya. Ibnu ‘Umar berkata:

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَلْبَسُوا القُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيْلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ

Ada seorang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai oleh seorang yang sedang ihram?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang ihram tidak boleh memakai Jubah, surban, celana panjang, baranis (pakaian yang diletakan dibagian pundak dan ada tutup kepalanya) dan tidak boleh memakai khuf (sepatu) kecuali seseorang yang tidak mempunyai sandal, kalau tidak punya sandal maka dia boleh memakai sepatu dengan syarat sepatu tersebut dipotong sampai bawah mata kaki. Tidak boleh memakai baju yang tercampur dengan minyak wangi za’faran dan wars.” (HR Bukhari no 1842 dan Muslim no 1177)

Adapun bagi wanita, maka yang dilarang adalah memakai cadar dan dua kaos tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تَنْقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

“Tidak boleh seorang wanita yang sedang ihram memakai cadar dan tidak boleh juga memakai dua kaos tangan.” (HR Al Bukhari no 1838)

Dan jika ternyata ada seorang wanita dihadapan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) maka dia boleh menjulurkan khimarnya namun tidak boleh memakai cadar. Cadar adalah pakaian yang ditempelkan diwajah kemudian di ikat dibelakang. Adapun seseorang menjulurkan khimarnya, yaitu kain yang dari atas kepala menjulur kebawah tanpa menempel dan tanpa diikat maka ini boleh.

6. Berburu hewan buruan darat

Yang dimaksud dengan hewan buruan darat adalah hewan yang sering diburu di darat (liar). Adapun ayam, kambing, sapid an onta maka itu bukanlah hewan buruan. Adapun hewan laut maka tidak mengapa diburu, seperti ikan. Seseorang tatkala sedang ihram kemudian menangkap ikan maka tidak menjadi masalah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.” (QS Al-Maidah: 95)

Adapun setelah selesai bertahallul dari ihram maka diperbolehkan untuk berburu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواۚ

“Dan apabila kalian telah bertahallul, maka bolehlah berburu.” (QS Al-Maidah: 2)

7. Melakukan akad nikah, menikahkan dan melamar

Larangan ini berlaku bagi pria maupun wanita yang sedang ihram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

“Tidak boleh seseorang yang sedang ihram menikah, tidak boleh juga menikahkan dan tidak boleh juga melamar.” (HR Muslim no 1409)

Maka, tidak boleh dia melaksanakan akad nikah meskipun calon wanitanya tidak sedang ihram. Demikian juga, dia tidak boleh menikahkan orang lain, tidak boleh jadi wali, atau menjadi perwakilan dari wali untuk melangsungkan akad nikah, ini juga tidak boleh. Demikian juga tidak boleh dia melamar seorang wanita tatkala dia sedang dalam kondisi ihram.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang seseorang yang sedang berihram dalam firmannya:

فَلَا رَفَثَ

“Tidak boleh berbuat rafats.” (QS Al Baqarah: 197)

Kita tahu bahwasanya rafats adalah jima’ dan perkara-perkara yang mengarahkan atau mengantarkan kepada jima’. Demikian juga dengan hal-hal yang bisa membawa (mengantarkan) kepada syahwat, semuanya dilarang tatkala ihram.

8. Melakukan hubungan suami istri

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ

“Sesungguhnya haji itu ada bulan-bulan yang telah diketahui, barang siapa yang menetapkan hatinya untuk berhaji pada bulan-bulan tersebut maka tidak boleh melakukan rafats.” (QS Al Baqarah: 197)

Rafats ini mencakup:

- Jima’ (berhubungan suami istri).

- Al-Mubasyarah (bercumbu, menikmati tubuh istri tapi tidak sampai pada hubungan badan).

- Perkataan-perkataan yang menimbulkan rangsangan seperti rayuan, demikian perkataan seorang lelaki yang sedang berihram kepada istrinya “kalau sudah bertahallul nanti kita akan begini dan begitu”,

- Perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkan pada jima’ seperti sentuhan-sentuhan yang menimbulkan rangsangan. (Adhwaaul Bayaan 5/13).

Ini semua dilarang tatkala sedang berihram ibadah haji. Jika seseorang melakukan pelanggaran berhubungan dengan istrinya tatkala sedang haji, maka ada beberapa perkara yang menimpanya, diantaranya:

1). Hajinya rusak atau batal, jika seseorang tersebut berhubungan dengan istrinya sebelum wukuf di padang Arafah.

2). Harus tetap melanjutkan ibadah hajinya. Dia harus melanjutkan ibadah hajinya, bersama dengan jama’ah haji yang lain seperti melempar jamarah, thawaf ifadhah sampai thawaf wada’ (sampai selesai).

3). Harus membayar fidyah.

Maksudnya fidyah disini adalah fidyah mughaladhah (fidyah yang berat) menurut jumhur ulama’ dia harus membayar unta. Berbeda bila dia berhubungan dengan istrinya setelah tahallul awwal, hajinya tidak rusak dan dia cukup membayar kambing.

Adapun jika terjadi jima’ tatkala sedang umrah, jika hubungan tersebut sebelum thawaf atau sa’i, maka umrahnya batal. Tetapi dia tetap wajib melanjutkan umrahnya sampai selesai kemudian melakukan umrah yang lain sebagai gantinya. Dan dia harus membayar fidyah yaitu kambing dibagikan kepada fakir miskin di haram. Tetapi jika dia melakukan hubungan suami istri setelah thawaf dan sa’i namun sebelum mencukur rambut maka umrahnya tidak rusak, karena kita tahu bahwasanya mencukur rambut bukan rukun umrah. Yang kita ketahui yang termasuk rukun adalah ihram, thawaf dan sa’i.

9. Bercumbu (tidak sampai jima’)

Sebagaimana jima’ dilarang maka sekedar bercumbu juga dilarang karena termasuk dalam makna rafats. Hanya saja jika seseorang mencumbui (menyentuh) atau mencium istrinya namun tidak sampai pada perbuatan jima’ maka harus membayar fidyah (yaitu memilih antara berpuasa tiga hari atau memberi makan enam fakir miskin atau menyembelih kambing). (Majmuu’ Fataawaa wa Rasaail As-Syaikh Al-Utsaimin 22/179-180)

b) Sunnah-sunnah Sebelum Ihram

1. Mandi sebelum ihram

Ibnu Umar berkata:

مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ

“Termasuk sunnah adalah seseorang mandi jika hendak berihram.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya no 6158 dan At-Thobroni di al Mu’jam al Awshoth no 8046)

2. Memakai minyak wangi di badan sebelum berihram

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لإِحْرَامِهِ حِيْنَ يُحْرِمُ, وَ لِحِلِّهِ قَبْلَ أَن يَطُوفَ بِالْبَيْتِ

“Aku memakaikan minyak wangi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau hendak berihram, aku juga memakaikan minyak wangi setelah Nabi bertahallul (yaitu tahallul awal setelah Beliau melempar jamrah dan mencukur rambut) sebelum Beliau berthawaf di Ka’bah.” (HR Bukhari no 1539 dan Muslim no 2040).

3. Berihram setelah shalat

Ada dua pendapat ulama’ dalam hal ini;

1). Disunnahkan shalat sunnah dua raka’at sebelum berihram.

2).    Disunnahkan berihram setelah shalat fardhu, dan jika tidak bertepatan dengan selesai shalat fardhu maka tidak disunnahkan shalat khusus 2 raka’at sebelum berihram. Memang benar Nabi berihram setelah shalat, akan tetapi shalat tersebut adalah shalat fardhu, bukan shalat khusus ihram.

Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yaitu jika seseorang berihram setelah shalat fardhu maka itu yang terbaik, akan tetapi jika waktunya tidak pas dengan selesai shalat fardhu maka hendaknya ia melakukan shalat sunnah yang disunnahkan seperti shalat sunnah wudhu atau ketika di masjid miqat ia melakukan shalat tahiyyatul masjid baru kemudian ia berihram. (Fatawa Nuur ‘ala ad-Darb, Bin Baaz 17/240-242)

4. Ber-ihlaal (bertalbiyah)

Tatkala sudah berada di atas tunggangan (kendaraannya) dengan menyebutkan tujuan nusuknya. Misalnya berkata, لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً yang artinya “Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu untuk menjalankan umrah.”

Dan termasuk diantara amal Sunnah Muakkadah tatkala ihram, yakni membaca talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَ الْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji kenikmatan dan kerajaan adalah hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.” (HR Al Bukhari no 1549, Muslim no 1184 {20-21}) dari Abdullah bin Umar.

Disunnahkan bacaan talbiyah dimulai ketika telah berniat ihram saat haji atau umrah. Akhir waktu talbiyah, untuk umrah, saat akan memulai thawaf. Sedangkan untuk haji, bacaan talbiyah berhenti ketika melempar jumrah aqabah pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah).

c) Kesalahan-kesalahan Dalam Ihram

Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi diantaranya:

1). Keyakinan bahwa semua yang ada jahitannya maka tidak boleh dipakai. Sehingga sebagian jama’ah tidak mau pakai sandal yang berjahit, tidak mau pakai ikat pinggang yang berjahit atau tas yang berjahit. Padahal yang dilarang adalah pakaian yang dijahit membentuk belahan bagian tubuh manusia.

2). Keyakinan bahwa wanita haid tidak boleh berihram, dan boleh lewat miqat tanpa berihram, dengan menunda ihramnya di Makkah nanti setelah suci.

3). Keyakinan sebagian wanita bahwa untuk wanita ada pakaian khusus atau warna khusus untuk ihram, padahal untuk wanita bebas menggunakan pakaian apa saja yang syar’i.

4). Lelaki yang berihram selalu dalam kondisi idthiba’ (membuka bahu kanan), padahal itu hanya disyari’atkan ketika thawaf qudum.

5). Keyakinan sebagian orang bahwa mandi atau berwudhu tatkala mau berihram hukumnya wajib, padahal hukumnya adalah sunnah.

6). Keyakinan sebagian orang bahwa selama dalam perjalanan dari Madinah menuju Makkah dalam kondisi ihram maka harus selalu dalam kondisi suci (jika batal wudhu harus segera berwudhu kembali). Padahal menjaga wudhu hukumnya sunnah tidak sampai wajib.

7). Keyakinan sebagian orang bahwa tidak boleh mengganti baju ihram, padahal tidak mengapa mengganti baju ihram dengan kain yang lain. Demikian juga para wanita boleh mengganti bajunya meski dalam kondisi ihram.

8). Keyakinan sebagian orang jika tiba di Makkah harus segera melakukan umrah meskipun di malam hari. Padahal jika memang lelah atau ada halangan yang lain maka seseorang boleh menunda umrahnya meski keesokan harinya, namun aturan-aturan ihram dan larangan-larangan ihram tetap berlaku.[4]
[4] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit., hlm. 112-128.

2.3 Thawaf Haji dan Umroh

Thawaf secara bahasa berarti berputar mengelilingi sesuatu, seperti kita sebut pada thawaf keliling Ka’bah. Secara istilah, thawaf berarti berputar mengelilingi baitul haram (Ka’bah).

Thawaf merupakan salah satu dari rukun haji dan umrah. Thawaf sah dilakukan jika yang melakukannya adalah berakal, mumayyiz (bisa membedakan yang baik dan buruk) walaupun masih kecil, dan tentunya dalam keadaan yang suci.[5]
[5] Muhammad Abduh Tuasikal, Mengenal Thawaf, https://muslim.or.id/18438-mengenal-thawaf.html. Diakses pada 10 Januari 2024

a) Keutamaan Thawaf

Thawaf adalah ibadah yang sangat mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma’il: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.” (QS Al Baqarah: 125)

وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS Al Hajj: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ, لاَ يَضَعُ قَدَمًا وَلاَ يَرْفَعُ أُخْرَى إِلَّا حَطَّ اللهُ عَنْهُ خَطِيْئَةً, كَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً

“Barang siapa yang thawaf di Ka’bah ini sebanyak 7 putaran lalu ia menyempurnakannya maka seperti (pahala) memerdekakan seorang budak. Tidaklah ia meletakkan kakinya dan tidak pula ia mengangkat kaki yang lain kecuali Allah akan menghapuskan satu dosanya dan mencatat baginya satu kebaikan.” (HR At-Tirmidzi no 959 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

b). Macam-macam Thawaf

1. Thawaf Qudum (Kedatangan)

Thawaf qudum yaitu thawaf yang dikerjakan tatkala seseorang yang haji atau umrah masuk Makkah. Hukumnya berbeda-beda:

- Bagi yang haji qiran dan haji ifrad maka sunnah, dan sebagian ulama berpendapat wajib. Adapun penduduk Makkah yang melakukan haji ifrad dan haji qiran maka tidak bisa melakukan thawaf qudum (kedatangan) karena ia sudah tinggal di Makkah.

- Bagi yang haji tamattu’ maka wajib baginya melakukan umrah terlebih dahulu. Maka jika ia telah melakukan thawaf umrah ketika masuk Makkah, maka sudah gugurlah thawaf qudum baginya. Karena sebagian ulama menamakannya dengan thawaf tahiyyat. Maka analoginya seperti shalat tahiyyatul masjid, maka jika seseorang sudah langsung shalat fardhu maka gugurlah shalat tahiyyatul masjid.

2. Thawaf Umrah

Thawaf umrah yaitu thawaf yang merupakan rukun dari umrah. Maka thawaf ini wajib dilakukan oleh orang yang umrah, baik umrah biasa maupun umrah untuk tamattu’, dan sudah mewakili thawaf qudum.

3. Thawaf Ifadhah atau Ziaroh atau Haji

Thawaf ini merupakan rukun haji, thawaf ini dilakukan setelah wuquf di padang Arafah. Hal-hal yang berkaitan dengan thawaf ifadhah:

- Disunnahkan untuk dikerjakan pada siang hari tanggal 10 Dzulhijjah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi.

- Waktu awal boleh mengerjakan thawaf ifadhah adalah setelah lewat tengah malam, yaitu bagi orang-orang yang lemah yang diizinkan untuk keluar dari Muzdalifah setelah lewat tengah malam.

- Tidak ada batas akhir waktu mengerjakan thawaf ifadhah. Kapan seseorang mengerjakannya maka sah.

- Bagi yang telah melakukan tahallul awal (setelah melempar dan mencukur) maka silahkan thawaf dengan baju biasa. Bagi yang belum bertahallul awal dan dari Muzdalifah langsung menuju thawaf maka tetap thawaf dengan menggunakan kain ihram

- Dalam thawaf ifadhah tidak disyari’atkan ar-Romal dan Idhthibaa’, karena keduanya hanya disyari’atkan dalam thawaf qudum atau thawaf umrah.

- Setelah thawaf disunnahkan untuk shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim, bila memungkinkan, namun bila tidak maka boleh shalat di tempat lain dari Masjidil haram.

4. Thawaf Wada’ (Perpisahan)

Thawaf wada’ yaitu thawaf yang dilakukan tatkala selesai haji dan hendak meninggalkan kota Makkah. Setelah meninggalkan Mina maka jama’ah haji kembali ke Makkah untuk melakukan thawaf wada’ sebelum meninggalkan kota Makkah. Ibnu ‘Abbas berkata:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بالْبَيْتِ, إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ

“Orang-orang diperintahkan agar kegiatan terakhir yang mereka lakukan sebelum meninggalkan kota Makkah adalah thawaf di Ka’bah, hanya saja diberi keringanan kepada wanita yang haid.” (HR Al-Bukhari no 1755 dan Muslim no 1328)

Ibnu ‘Abbas juga berkata:

كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ, فَقَال رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: { لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ}

“Orang-orang pergi (setelah dari Mina) ke segala arah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Janganlah seorangpun pergi (meninggalkan Makkah untuk pulang) hingga kegiatannya yang terakhir adalah ia thawaf di Ka’bah.” (HR Muslim no 1327)

Hukum-hukum yang berkaitan dengan Thawaf Wada’:

1). Thawaf wada’ hukumnya wajib bagi orang yang haji, karena hadits-hadits di atas menyebutkan “perintah”, dan hukum asal perintah adalah untuk wajib. Namun thawaf wada’ tidak wajib bagi orang-orang yang umrah.

2). Thawaf wada’ hanya disyari’atkan bagi jama’ah haji yang datang dari luar Makkah, sehingga butuh untuk thawaf perpisahan, adapun penduduk kota Makkah yang haji maka tidak perlu untuk thawaf perpisahan karena ia tinggal di Makkah. Demikian pula tidak wajib bagi jama’ah haji yang datang dari luar Makkah lalu setelah haji ia berniat untuk bermuqim atau menetap di kota Makkah.

3). Disyari’atkan bagi wanita harus dalam keadaan suci dari haid dan nifas. Karena wanita yang haid dan nifas gugur kewajiban thawaf wada’ atas mereka. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتُ حُيَيٍّ – زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم – حَاضَتْ, فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم, فَقَالَ: { أَحَابِسَتُنَا هِيَ } قَالُوا: إِنَّها قَدْ أَفَاضَتْ قَالَ: { فَلَا إِذًا }

“Bahwasanya Shafiyyah bintu Huyay –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- haid, maka akupun menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi berkata: “Apakah Shafiyyah akan menahan kita (sehingga tidak bisa pulang ke Madinah)?”. Mereka berkata, “Shafiyyah telah melakukan thawaf ifadhah”. Nabi berkata, “Kalau begitu ia tidak menahan kita untuk pulang.” (HR Al-Bukhari 1757 dan Muslim 1211)

Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid, sehingga gugur juga kewajiban thawaf wada’. Jika seorang wanita sebelum meninggalkan bangunan kota Makkah ternyata haidnya berhenti maka wajib baginya untuk kembali untuk thawaf wada’. Namun jika ia suci setelah melewati jarak safar (80 km) maka tidak perlu kembali untuk thawaf wada’.

4). Waktu pelaksanaan thawaf wada’ adalah setelah semua kegiatan selesai dan hanya tinggal pulang. Akan tetapi tidak mengapa jika setelah thawaf wada’ ia melakukan kegiatan yang merupakan persiapan safar seperti membeli perbekalan safar, menunggu bis, mengangkat barang ke bis, dan menunggu rombongan safar. Karena kegiatan-kegiatan ini tidak merubah statusnya menjadi muqim.

5). Setelah thawaf wada’ tidak boleh melakukan kegiatan yang menunjukkan seakan-akan kegiatan seorang yang hendak muqim (tinggal), seperti tidur, dll.

6). Bagi orang yang telah melakukan thawaf wada’ lalu berjalan menuju keluar Makkah (menuju ke hotel atau penginapan) menunggu bis jemputan, ternyata bis nya datang terlambat hingga harus bermalam, atau ia ternyata tersibukkan memperbaiki mobil yang rusak, atau ia mencari keluarganya yang hilang, dengan niat kapan ia ketemu keluarganya tersebut ia langsung meninggalkan Makkah, maka ia tidak perlu mengulangi thawaf wada’ nya karena ia telah berniat keluar dari Makkah, hanya saja ada halangan udzur.

7). Setelah thawaf wada’ disunnahkan shalat dua raka’at.

8). Boleh menggabungkan thawaf wada’ dengan thawaf ifadhah, dengan syarat:

- Niatnya bukan niat thawaf wada’, akan tetapi niatnya adalah niat thawaf ifadhah, atau meniatkan keduanya (menurut sebagian ulama).

- Agar thawaf ifadhahnya sudah mencukupkan dari thawaf wada’ maka thawaf ifadhahnya harus dikerjakan yang paling terakhir sebelum meninggalkan kota Makkah. Dan bagi yang belum sa’i haji maka boleh melakukan sa’i haji setelah thawaf ifadhah, karena sa’i mengikuti thawaf.

9). Sebagian orang menyangka bahwa jika setelah thawaf wada’ tidak boleh lagi shalat di masjidil haram. Ini adalah persangkaan yang keliru, karena Nabi setelah thawaf wada’ beliau masih mengimami shalat shubuh. Karenanya jika setelah thawaf wada’ ternyata sebentar lagi tiba waktu shalat maka tidak mengapa ia menunggu waktu shalat di masjidil haram. Demikian juga jika ternyata setelah thawaf wada’ bertepatan dengan waktu shalat jum’at lalu ia pun menunggu untuk shakat jum’at.

10). Barang siapa yang sakit dan masih mampu untuk thawaf dalam keadaan diangkat atau di dorong memakai kursi roda maka kewajiban thawaf wada’nya tidaklah gugur. Berbeda jika ia sakit parah dan tidak bisa thawaf meskipun diangkat atau di dorong dengan kursi roda, maka gugurlah kewajiban thawaf wada’nya. Namun jika dia diberi kelapangan maka lebih baik ia membayar dam dengan memotong seekor kambing untuk dibagikan kepada kaum fuqara di Makkah.

11). Barang siapa yang keluar dari Makkah dengan jarak safar (sekitar 80 km) maka hendaknya ia thawaf wada’ sebelum keluar, meskipun ia akan kembali lagi ke Makkah. Sebagai contoh adalah jama’ah haji yang setelah selesai seluruh amalan hajinya lalu hendak jalan-jalan ke Madinah atau ke Jeddah, meskipun ia akan kembali lagi ke Makkah, maka ia hendaknya thawaf wada’sebelum keluar ke Madinah atau Jeddah, dan ini pendapat kebanyakan ulama dan merupakan pendapat yang lebih hati-hati. Jika setelah kembali ke Makkah lalu ia hendak pulang ke tanah air maka lebih hati-hati ia thawaf wada’ lagi.

5. Thawaf Nadzar

Thawaf nadzar yaitu thawaf yang dikerjakan karena bernadzar kepada Allah.

6. Thawaf Sunnah

Thawaf sunnah yaitu thawaf yang dilakukan kapan saja untuk mendekatkan diri kepada Allah.

c) Syarat-syarat Thawaf

Syarat-syarat sah nya thawaf adalah:

1). Niat untuk melaksanakan thawaf.

2). Menutup aurat.

3). Bersuci dari hadats.

4). Putaran thawaf dimulai dari hajar aswad. Maka putaran thawaf yang dimulai setelah lewat hajar aswad tidak sah.

5). Menjadikan Ka’bah di sebelah kiri tatkala thawaf.

6). Memutari Ka’bah secara utuh, maka tidak boleh masuk di Al Hijr tatkala thawaf.

7). Thawaf harus di Masjidil Haram, tidak boleh diluar Masjidil Haram.

8). Thawaf 7 putaran, tidak sah jika kurang dari 7 putaran sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

d). Sunnah-sunnah Thawaf

Berikut ini beberapa sunnah-sunnah dalam thawaf, diantaranya:

1). Disunnahkan tatkala thawaf qudum atau thawaf umrah untuk melakukan idthibaa’ yaitu menampakkan bahu kanan dan lengan kanan dan menutup bahu kiri dan lengan kiri dengan kain ihram.

2). Disunnahkan tatkala thawaf qudum atau thawaf umrah untuk melakukan ar-Romal, yaitu berjalan dengan cepat dengan langkah kaki yang pendek disertai dengan menggoyangkan kedua pundak.

3). Memulai thawaf dengan mengusap atau menyentuh hajar aswad

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اضْطَبَعَ فَاسْتَلَمَ وَكَبَّرَ

“Sesungguhnya Nabi melakukan Idhtibaa’. Lalu menyentuh hajar aswad dan bertakbir.” (HR Abu Dawud no 1889)

4). Setelah thawaf, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّىۖ

“Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (QS Al Baqarah:125)

Lalu Beliau menjadikan maqam Ibrahim antara Beliau dan Ka’bah. Beliau membaca pada dua raka’at tersebut “قل هو الله احد” dan “قل يا أيها الكافرون”, lalu Beliau kembali lagi ke hajar aswad maka Beliaupun mengusap hajar aswad. (HR Muslim no 1218).

- Seusai thawaf, maka posisi kain ihram dikembalikan seperti sedia kala, yaitu menutupi kedua bahunya

- Shalat dua raka’at setelah thawaf disunnahkan untuk seluruh jenis thawaf, termasuk thawaf ifadhah dan thawaf sunnah. Ibnu Abbas berkata:

عَلَى كُلِّ سُبُعٍ رَكْعَتَانِ

“Setiap 7 putaran thawaf hendaknya melaksanakan shalat dua raka’at.”

- Boleh mengerjakan shalat sunnah ini meskipun di waktu terlarang.

- Jika tidak memungkinkan shalat di belakang maqam Ibrahimkarena begitu padatnya manusia di Masjidil haram maka ia boleh shalat dimanapun dari bagian Masjidil Haram.

- Bahkan jika lupa maka boleh di qada’ meskipun diluar Masjidil Haram.

e). Tata Cara Thawaf

Dimulai dengan sejajar dengan hajar aswad lalu mencium hajar aswad, kalau tidak memungkinkan maka mengusapnya, kalau tidak memungkinkan maka memberi isyarat dan mengucapkan (الله أكبر), lalu setelah itu berjalan mengitari Ka’bah dengan menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya, lalu mengitari Al-Hijr, lalu melewati rukun yamani sambil mengusapnya tanpa menciumnya, tanpa mengucapkan apa-apa, dan jika tidak memungkinkan maka tidak perlu memberi isyarat, lalu melanjutkan hingga sampai hajar aswad. Dengan demikian ia telah selesai dari satu putaran thawaf lalu ia lanjutkan hingga putaran ke tujuh.

f). Do’a Thawaf

Tidak ada do’a khusus tatkala thawaf kecuali antara rukun yamani hingga hajar aswad maka disunnahkan untuk membaca:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Allah, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka.” (QS Al Baqarah: 201)

Sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin A-Saaib radhiyallahu ‘anhu (HR Ahmad no 15398)

Adapun selai do’a di atas maka seorang yang sedang thawaf bebas untuk berdo’a apapun, demikian juga untuk berdzikir apapun.

g). Kesalahan-kesalahan Dalam Thawaf

1. Tidak menjadikan Ka’bah sebelah kiri ketika thawaf.

2. Meyakini bahwa setiap putaran Ka’bah ada do’a khusus

3. Berhenti dengan waktu yang lama tatkala berhadapan dengan hajar aswad lalu berdo’a disitu

4. Berdo’a dengan suara yang keras terlebih lagi secara ramai-ramai, karena ini bisa mengganggu jama’ah yang lain

5. Tetap memaksa untuk berlari-lari kecil padahal kondisi tempat thawaf sangat padat, maka hal ini akan mengganggu jama’ah yang lainnya

6. Mencium rukun yamani tatkala melewatinya, padahal sunnahnya hanyalah diusap

7. Memberi isyarat kepada rukun yamani tatkala tidak bisa mengusapnya. Padahal ini hanya berlaku pada hajar aswad. Adapun rukun yamani jika tidak bisa mengusapnya maka cukup dilewati tanpa memberi isyarat dari jauh.

8. Mencium-cium dan mengusap-usap bagian Ka’bah yang lain, padahal hal ini tidak disyari’atkan. Yang disyari’atkan untuk diusap hanyalah hajar aswad dan rukun yamani.

9. Tatkala thawaf masih sibuk foto-foto dan berselfie ria sehingga lupa untuk banyak berdo’a.

h). Peringatan-peringatan Terkait Dengan Thawaf

Pertama: Jika seseorang ragu tatkala thawaf maka:

- Jika keraguannya muncul tatkala sedang thawaf, misalnya ia ragu apakah thawafnya sudah 4 atau 5 putaran maka hendaknya ia membuang keraguan dan ia memegang yang pasti. Dalam hal ini ia anggap saja baru thawaf 4 putaran, karena yang ke 5 diragukan.

- Jika dia ragu tatkala thawaf lantas ada orang lain yang dipercaya mengabarkannya tentang jumlah putaran thawaf maka ia boleh menerima berita orang tersebut.

- Jika keraguannya muncul setelah selesai thawaf maka tidak usah dipedulikan.

Kedua: Jika tatkala thawaf tiba-tiba iqamah shalat maka seseorang boleh menghentikan thawafnya untuk shalat dan setelah shalat melanjutkan kembali thawafnya dari tempat dimana dia berhenti.

Ketiga: Jika seseorang mendapati kepadatan yang sangat tatkala thawaf maka ia boleh melanjutkan thawafnya di lantai yang lain di Masjidil Haram. Karena thawafnya tetap sah selama masih di Masjidil Haram.

Keempat: Jangan lupa setelah thawaf kembali lagi menutup bahu kanan sebelum melaksanakan shalat sunnah dua raka’at di belakang maqam Ibrahim. Karena makruh seseorang shalat dalam kondisi bahunya tersingkap.[6]
[6] Dr. Firanda Andirja, Loc. Cit.

2.4 Mabit

Mabit di Muzdalifah adalah salah satu rangkaian ibadah haji yang dilakukan oleh jamaah haji. Mabit berasal dari kata Arab “mabith” yang artinya adalah bermalam. Mabit di Muzdalifah dilakukan setelah melakukan wukuf di Arafah dan sebelum melempar jumrah.

Muzdalifah adalah wilayah yang terletak di antara Mina dan Arafah, yang memiliki jarak sekitar 9 kilometer dari Arafah. Setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah, para jamaah haji akan menuju Muzdalifah untuk melakukan mabit.

Mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam hari tanggal 9 Dzulhijjah, setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah. Saat mabit, para jamaah haji akan melakukan sholat Maghrib dan Isya secara berjamaah, dengan memadukan waktu sholat Maghrib dan Isya. Setelah itu, para jamaah haji akan bermalam di Muzdalifah dengan cara tidur di atas sajadah di bawah langit terbuka.

Selain bermalam, saat mabit di Muzdalifah, para jamaah haji juga akan mengumpulkan batu kerikil sebanyak 70 butir sebagai persiapan untuk melontarkan jumrah di hari-hari berikutnya. Setelah selesai mabit di Muzdalifah, para jamaah haji akan melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melontarkan jumrah.

Menurut hadits, Rasulullah SAW juga pernah melakukan mabit di Muzdalifah. Beliau dan para sahabatnya bermalam di tempat yang sama dengan jamaah haji saat ini.

Mabit di Muzdalifah memiliki makna yang dalam bagi jamaah haji. Selain sebagai persiapan untuk melontarkan jumrah, mabit di Muzdalifah juga mengajarkan pentingnya ketaatan dan ketabahan dalam melaksanakan ibadah haji. Para jamaah haji diajarkan untuk sabar dan tawakal dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan dalam menunaikan ibadah haji.[7]
[7] Aaron, Apa Itu Mabit di Muzdalifah, https://www.nabawimulia.co.id/apa-itu-mabit-di-muzdalifah/. Diakses pada 09 Januari 2024

2.5 Melempar Jumrah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan melempar jumrah :

1. Al-jamroot As-Sughro, yang terletak paling dekat dengan mina

2. Al-jamroot al-Wustho, yang terletak setelah al-jamroot as-sughro, yaitu letaknya dipertengahan

3. Al-jamroot al-kubro (dinamakan juga dengan jamrot al-Aqobah), yang terletak paling jauh dari mina, yang terakhir, yang paling dekat dengan mekkah. Dan lokasi al-jamroh ini bukan bagian dari mina. (yang tidak termasuk dari mina ialah areal dibalik fisik jumroh yang kearah mekkah, adapun bagian jumroh yang kearah mina maka itu termasuk mina).[8]
[8] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit. hlm. 196

1. Pelemparan Jumrah ‘Aqabah

Waktunya: dari pertengahan malam hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga matahari tenggelam pada hari tasyrik terakhir.

a) Syarat pelemparan Jumrah ‘Aqabah (10 Dzulhijjah):

1. Harus dengan tujuh batu, dengan melempar satu demi satu. Jika dilempar tujuh batu sekaligus, maka dianggap melempar satu kali sehingga harus ditambahkan hingga tujuh kali pelemparan.

2. Harus melempar dengan tangan.

3. Harus dengan melempar, tidak hanya sekedar diletakkan.[9]
[9] Muhammad Abduh Tuasikal, Waktu dan Cara Pelemparan Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah bagi Jamaah Haji, https://rumaysho.com/37106-waktu-dan-cara-pelemparan-jumrah-ula-wustha-dan-aqabah-bagi-jamaah-haji.html. Diakses pada 12 Januari 2024.

4. Yang digunakan untuk melempar harus berupa batu kerikil, tidak boleh melempar dengan menggunakan tanah, logam, pasir dan aspal.

5. Kerikilnya harus masuk kedalam sumur. Adapun tiang/dinding yang dibuat hanyalah sebagai petunjuk, bukan tujuan. Jika lemparan terlalu kuat dipinggiran sumur sehingga kerikilnya mental keluar sumur jamarat maka tidak sah.

6. Harus niat melempar. Jika tangan seseorang tersenggol oleh orang lain sehingga kerikilnya terjatuh masuk dalam sumur jamarot maka tidak sah, karena tidak ada niat melempar.[10]
[10] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit. hlm. 198.

b). Sunnah pelemparan Jumrah ‘Aqabah (10 Dzulhijjah):

1. Melempar sebelum mencukur, thawaf, dan penyembelihan.

2. Melempar setelah matahari meninggi setinggi tombak dan sebelum zawal (sebelum Zhuhur).

3. Melempar pada saat pertama kali sampai di Mina.

4. Menjadikan Mina di sebelah kanan dan Makkah di sebelah kiri.

5. Mengangkat tangan hingga terlihat putihnya ketiak seseorang.

6. Kerikil yang digunakan untuk melempar ukurannya sedang, tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar.

7. Hendaknya melempar dengan tangan kanan disertai takbir setiap kali lemparan kerikil.

2. Pelemparan Tiga Jumrah Pada Hari Tasyrik

Waktunya adalah dari waktu zawal (masuk Zhuhur) setiap hari tasyrik hingga matahari tenggelam pada hari tasyrik terakhir (13 Dzulhijjah).

a) Waktu pelemparan jumrah yang tiga:

1. Waktu fadilah (utama): setelah zawal (masuk Zhuhur).

2. Waktu ikhtiyar (pilihan): hingga matahari tenggelam.

3. Waktu jawaz (boleh): hingga tenggelam matahari pada hari tasyrik terakhir.

b) Syarat pelemparan jumrah yang tiga:

1. Dilakukan setelah pelemparan Jumrah ‘Aqabah pada hari Nahr.

2. Melempar setiap Jumrah dengan tujuh batu, totalnya adalah 21 batu.

3. Melempar jumrah dengan urutan: Ula (Shughra), Wustha, ‘Aqabah (Kubra) masing-masing dengan tujuh batu setelah melempar Jumrah ‘Aqabah.

4. Melempar jumrah yang dilakukan setelah zawal (masuk Zhuhur).

5. Harus dengan menggunakan tangan.

6. Harus dengan melempar, tidak hanya sekedar diletakkan.[11]
[11] Muhammad Abduh Tuasikal, Loc. Cit.

7. Yang digunakan untuk melempar harus berupa batu kerikil, tidak boleh melempar dengan menggunakan tanah, logam, pasir dan aspal.

8. Kerikilnya harus masuk kedalam sumur. Adapun tiang/dinding yang dibuat hanyalah sebagai petunjuk, bukan tujuan. Jika lemparan terlalu kuat dipinggiran sumur sehingga kerikilnya mental keluar sumur jamarat maka tidak sah.

9. Harus niat melempar. Jika tangan seseorang tersenggol oleh orang lain sehingga kerikilnya terjatuh masuk dalam sumur jamarot maka tidak sah, karena tidak ada niat melempar. [12]
[12] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit. hlm. 198.

c). Sunnah pelemparan jumrah yang tiga:

1. Mandi dahulu (masuk waktunya ketika terbit fajar Shubuh, afdalnya bakda zawal).

2. Menghadap kiblat.

3. Kerikil yang digunakan untuk melempar ukurannya sedang, tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar.

4. Hendaknya melempar dengan tangan kanan disertai takbir setiap kali lemparan kerikil.

5. Berdoa setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha saja pada hari-hari tasyrik.[13]
[13] Muhammad Abduh Tuasikal, Loc. Cit.

Catatan:

1. Jika seseorang tidak mampu melemparkan jumrah karena sakit atau udzur yang sulit diharapkan hilangnya hingga akhir waktu melempar, maka boleh baginya untuk mewakilkan lemparannya kepada orang lain. Yang perlu diperhatikan :

- wakilnya yang mau melemparkan hendaknya sudah melempar untuk dirinya terlebih dahulu.

- Jika dia hendak mengambil nafar awal, maka janganlah ia keluar dari mina kecuali setelah wakilnya tersebut melempar.

2. Tidak mengapa kerikil diambil dari manapun, karena tetap saja namanya adalah kerikil. Hanya saja para ulama khilaf dari mana lebih utama untuk diambil, apakah dari muzdalifah ataukah dari perjalanannya dari muzdalifah menuju mina.

3. Kerikil-kerikil tersebut tidak perlu dicuci terlebih dahulu, Karena ketika Nabi memerintahkan Ibnu Abbas mencari kerikil posisi beliau sedang berada diatas onta beliau dan tidak diriwayatkan bahwa beliau mencuci kerikil tersebut.

4. Jika memang dalam kondisi yang mendesak maka boleh untuk menunda melempar kehari berikutnya (jamak takhir). Misalnya seseorang menunda lemparan hari 11 dzulhijjah untuk digabungkan dengan lemparan hari 12 zulhijjah. Demikian juga boleh menunda lemparan hari 12 dzulhijjah digabungkan dengan lemparan hari 13 dzulhijjah. Demikian juga boleh menunda lemparan hari 11 dan lemparan hari 12 dzulhijjah untuk digabungkan dengan lemparan hari 13 dzulhijjah, yaitu seluruh lemparan 3 hari digabungkan jadi satu hari. Adapun caranya :

- Setelah tiba waktu dzuhur maka dimulai dengan melempar untuk hari sebelumnya, yaitu melempar ketiga jumrah. Setelah itu balik lagi ke al-jamrot as-shugro untuk mulai melempar untuk hari yang selanjutnya.

- Batas melempar pada hari 13 dzulhijjah adalah sebelum terbenam matahari.[14]
[14] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit. hlm. 200.

3. Hikmah melempar jumrah

1. Hikmah dari melempar Jumrah adalah: mengenang apa yang dialami Nabi Ibrahim ‘alaihis salam di mana ia menolak permintaan setan agar tidak melakukan penyembelihan pada putranya Ismail, di mana setan memberikan godaan. Akhirnya setan di lempar. Maka untuk keturunannya diperintahkan melakukan seperti itu.

2. Hikmah pelemparan jumrah dengan batu untuk melempar batu adalah karena ‘ubudiyyah, maksud ibadah. Di dalam ibadah ada bentuk ketaatan dan ketundukan, di mana seorang hamba merendahkan diri kepada Allah. Melempar jumrah ini mengajarkan agar menjadi hamba Allah sejati. Demikian dijelaskan oleh Syaikhunaa Prof. Dr. Sa’ad Al-Khatslan.[15]
[15] Muhammad Abduh Tuasikal, Loc. Cit

2.6 Tahallul

Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam yaitu tahallul awwal (tahallul shugro)dan tahalluts tsani (tahallul kubro).

1. Tahallul awwal ketika telah melakukan:

1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah),

2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.

2. Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).[16]
[16] Muhammad Abduh Tuasikal, Ringkasan Panduan Haji, Ihram dan Tahallul, https://rumaysho.com/2641-ringkasan-panduan-haji-5-ihram-dan-tahallul323.html. Diakses pada 12 Januari 2024

Penjelasan tentang Tahallul :

1. Menggundul kepala lebih afdol daripada mencukur pendek.

2. Wanita hanya cukup memotong rambutnya seukuran ruas jari. Jika ia bisa menggabungkan rambutnya semua lalu mencukur seruas jari, jika tidak maka dia mencukur ujung-ujung rambutnya dari sisi-sisi yang berbeda-beda seruas jari.

3. Para ulama telah sepakat bahwa mencukur atau menggundul dari seluruh bagian kepala itu yang terbaik. Akan tetapi mereka berselisih berapa kadar minimal mencukur pendek rambut atau menggundul kepala ? Tentu yang lebih hati-hati adalah menggundul atau mencukur pendek dari seluruh bagian isi kepala.

4. Disunnahkan untuk mencukur atau menggundul bagian kanan kepala terlebih dahulu baru kemudian bagian kiri kepala.

5. Meskipun menggundul lebih baik daripada mencukur pendek, akan tetapi jika seseorang melakukan umroh tamattu’ menjelang pelaksanaan haji, maka ia tidak menggundul kepalanya, akan tetapi cukup mencukur pendek agar menyisakan rambutnya untuk digundul tatkala tanggal 10 Dzulhijjah.

Kesalahan-kesalahan saat tahallul :

Pertama : tidak benar persepsi yang berkembang di masyarakarat bahwasanya yang boleh mencukur hanyalah orang yang sudah bertahallul, jika tidak maka tidak boleh. Bahkan jika seseorang mencukur kepalanya sendiri maka sah.

Kedua : sebagian wanita langsung mencukur rambut mereka dibukit marwa begitu selesai sa’i sehingga banyak diantara mereka yang tersingkap rambutnya, padahal rambut adalah aurat.

Ketiga : sebagian jamaah lelaki begitu sampai di marwa mencukur sedikit rambut mereka dengan niatan akan melanjutkan untuk menggundulnya di salon. Sesungguhnya ini hanya pekerjaan sia-sia, hendaknya langsung saja ke salon untuk mencukur pendek atau gundul.[17]
[17] Dr. Firanda Andirja, Op. Cit. hlm.

2.7 Dam dan Kaffarah Haji dan Umroh

Haji dan umrah adalah ibadah yang pelaksanaannya telah diatur dalam syariat. Apabila melanggar salah satu ketentuan yang berkenaan dengan ibadah tersebut, maka akan dikenakan denda. Denda karena melanggar salah satu ketentuan yang berkenaan dengan ibadah haji atau umrah disebut dam.

Kafarat adalah salah satu bentuk permaafan Allah kepada hamba-Nya yang lalai dalam berbuat. Namun jika kelalaian itu sebagai bentuk kesengajaan maka Allah tidak menerima kafarat tersebut meskipun secara fiqih apabila ia telah melakukan hukumnya sudah sah. Allah akan menilai hamba-Nya masing-masing sesuai apa yang ada didalam hatinya.

a) Sebab Membayar Dam

Seseorang yang melanggar larangan dalam haji dan umrah wajib membayar dam.
Berdasarkan Mukhtashar Ihya' Ulumuddin karya Imam Ghazali, berikut adalah larangan dalam ibadah haji dan umrah beserta dendanya:

1. Mengenakan kemeja, celana, sepatu, dan serban. Melainkan menggunakan sarung, selendang, dan sandal.

2. Memakai wewangian. Jemaah haji dan umrah hendaknya menghindari segala jenis wewangian. Jika mengenakan wewangian dan pakaian yang dilarang, maka denda atau dam yang dikenai adalah seekor kambing.

3. Mencukur rambut dan memotong kuku. Keduanya dikenakan fidyah yaitu dam seekor kambing.

4. Tidak diperbolehkan bercampur dengan istri. Hal ini membatalkan sebelum tahallul pertama. Dam atau dendanya adalah seekor unta betina, atau seekor sapi, atau tujuh ekor kambing. Namun apabila dilakukan setelah tahallul, maka dam yang dikenai adalah seekor unta betina dan tidak membatalkan haji.

5. Diharamkan juga segala hal yang merupakan pendahuluan berhubungan dengan istri atau bersentuhan dengan yang membatalkan wudhu. Damnya adalah seekor kambing.

6. Membunuh binatang darat juga diharamkan. Maksudnya adalah binatang yang dimakan dagingnya atau hasil kawin silang antara binatang yang halal dan haram. Jika membunuh buruan maka dikenai dam dengan binatang serupa dengan memperhatikan lebih kurang dalam bentuknya.

b) Ketentuan Dam bagi Badal Haji

Dalam Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 3 karya Wahbah az-Zuhaili, jika orang yang disuruh mewakili berhaji melakukan suatu perbuatan yang mengharuskan pembayaran dam (misalnya dengan menyembelih kambing) atau lainnya, maka dia yang menanggungnya. Jika dia melakukan haji qiran atas nama si penyuruh dan pelaksanaannya sesuai dengan perintah orang ini, maka dam qiran ditanggung olehnya. Kesimpulannya, semua dam yang terkait dengan ihram ditanggung oleh harta si pelaksana haji, kecuali dam ihshar.

Dam ihshar ditanggung oleh harta orang yang diwakili berhaji sebab dialah yang memasukkan si pelaksana haji dalam tanggungan ini, maka dalam ihshar ini terhitung sejenis dengan biaya haji, dan ini ditanggung oleh harta orang yang diwakili berhaji.

Jika si pelaksana haji, yang mewakili orang lain berhaji, melakukan jimak sebelum wukuf di Arafah, hajinya rusak; tapi dia masih harus meneruskan hajinya dan nafkah diambil dari hartanya sendiri, serta dia harus mengganti harta orang yang diwakilinya yang sudah dipakainya sebelum kejadian itu, dan dia pun harus mengqadha haji ini dengan memakai hartanya sendiri.

Menurut mazhab Syafi'i apabila tidak ada kambing pada waktu pembayaran dam, maka dia wajib membayar penggantinya sama seperti dam tamattu' dan lainnya, yaitu makanan pokok yang senilai dengan harga kambing. Jika dia tidak sanggup membeli makanan, dia boleh berpuasa sehari untuk setiap mudd, dan ini diibaratkan dengan dam yang wajib lantaran meninggalkan suatu perkara yang diperintahkan.

Secara ringkas, syarat-syarat wajibnya dam atas pelaksana haji tamattu' ada lima, yaitu:

1. Berihram umrah dalam bulan-bulan haji. Jika dia berihram umrah di luar bulan-bulan haji, dia bukan pelaksana haji tamattu'.

2. Melaksanakan haji pada tahun yang sama. Jika dia berumrah pada bulan-bulan haji tapi tidak berhaji pada tahun yang sama melainkan pada tahun berikutnya, dia bukan pelaksana haji tamattu'.

3. Tidak melakukan perjalanan jauh dalam tempo antara umrah dan hajinya sejauh jarak qashar salat. Menurut mazhab Syafi'i dan Ahmad, jika dia kembali ke miqat, dia tidak wajib membayar dam.

4. Bertahallul dari ihram umrah sebelum memulai ihram haji.

5. Dia bukan penduduk yang tinggal di sekitar Masjidil Haram.[18]
[18] Nilam Isneni, Membayar Dam dan Denda Pelanggaran Dalam Ibasah Haji atau Umrah, https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-6713186/membayar-dam-denda-pelanggaran-dalam-ibadah-haji-atau-umrah. Diakses pada 12 Januari 2024

2.8 Sunnah yang Harus Dalam Manasik haji dan Umroh

Abu Syuja dari mazhab Syafi'i menyebut ada tujuh sunnah, yaitu:

1. Ifrad
Ifrad adalah mendahulukan haji dibandingkan umrah. Artinya, jemaah lebih baik memisahkan antara ibadah haji dan umrah. Setelah semua amalan haji selesai, jemaah lalu bisa melaksanakan umrah.

2. Membaca Talbiyah
Bacaan talbiyah disunnahkan dibaca secara lantang bagi laki-laki dan pelan bagi perempuan. Berikut ini bacaan talbiyah yang bisa diamalkan:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Artinya:
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujian dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan (juga milik-Mu).

3. Tawaf Qudum
Berdasarkan buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah karya Ahmad Sarwat, tawaf qudum adalah tawaf yang dilakukan jemaah yang bukan merupakan penduduk Makkah. Tawaf ini sebagai bentuk penghormatan pada Ka'bah. Ibadah inni disunnahkan dilaksanakan terlebih dahulu saat baru tiba di Makkah.

4. Mabit di Muzdalifah
Mabit di Muzdalifah berarti bermalam di Muzdalifah yang berada di antara Arafah dan Mina. Setelah tengah malam, jemaah haji berangkat dari Arafah menuju Mina. Di Muzdalifah, jemaah haji berhenti walaupun sebentar.

5. Shalat Sunnah Tawaf
Shalat sunnah tawaf ini dilakukan sebanyak dua rakaat setelah melaksanakan tawaf. Pelaksanaannya dapat di mana saja di tanah haram, tetapi akan lebih baik dilakukan di belakang maqam Ibrahim.

6. Mabit di Mina
Mabit di Mina dilakukan selama hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah). Jemaah boleh meninggalkan Mina lebih awal pada tanggal 12 Zulhijah setelah melempar jumrah. Hal ini disebut dengan nafar awwal. Namun akan lebih sempurna jika jemaah meninggalkan Mina pada 13 Zulhijah.

7. Tawaf Wada'
Tawaf wada' adalah tawaf perpisahan atau sebagai penutup semua rangkaian ibadah haji.

Namun pendapat Syekh Abu Syuja diatas mendapat catatan dari ulama mazhab Syafi'i setelahnya. KH Afifuddin Muhajir menyampaikan bahwa ulama sesudah Syekh Abu Syuja tidak memasukkan tiga amalan di atas sebagai sunnah, namun masuk sebagai wajib haji. Sehingga sunnah haji berdasarkan pemaparan KH Afifuddin Muhajir menurut ulama Syafi'iyah setelah Syekh Abu Syuja ada empat, yaitu Ifrad, Talbiyah, Tawaf qudum dan Shalat sunnah tawaf.

Haji dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga cara manasik:

1. Ifrod, yaitu meniatkan haji saja ketika berihram dan mengamalkan haji saja setelah itu.

2. Qiron, yaitu meniatkan umroh dan haji sekaligus dalam satu manasik. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik qiron untuk menyembelih hadyu.

3. Tamattu’, yaitu berniat menunaikan umroh saja di bulan-bulan haji, lalu melakukan manasik umroh dan bertahalul. Kemudian diam di Makkah dalam keadaan telah bertahalul. Kemudian ketika datang waktu haji, melakukan amalan haji. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik tamattu’ untuk menyembelih hadyu.

Manakah dari tiga tata cara manasik tersebut yang lebih utama? Dalam hadits mengenai tata cara manasik haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda,

لَوْ أَنِّى اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِى مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْىَ وَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ لَيْسَ مَعَهُ هَدْىٌ فَلْيَحِلَّ وَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً

“Jikalau aku mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku maka aku tidak akan membawa hewan hadyu dan aku akan jadikan ihramku ini umrah, maka barangsiapa dari kalian yang tidak bersamanya hewan hadyu maka hendaklah dia bertahallul dan menjadikannya sebagai umrah.” (HR. Muslim no. 1218). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabat untuk memilih tamattu’ dan berkeinginan dirinya sendiri melakukannya. Tidaklah beliau memerintahkan dan berkeinginan kecuali menunjukkan tamattu’ itu afdhol (lebih utama) (Fiqhus Sunnah, 1: 447-448). Selain itu, manasik dengan tamattu’ itu lebih banyak amalannya dan lebih mudah secara umum (Syarhul Mumthi’, 7: 76-77)[19]
[19] Muhammad Abduh Tuasikal, Fikih Haji 5 : Larangan Ketika Ihram, https://muslim.or.id/10165-fikih-haji-5-larangan-ketika-ihram.html. Diakses pada 12 Januari 2024

Manasik haji tidak hanya sekedar aktivitas yang seolah olah untuk memposisikan diri pada saat sudah sampai di tanah suci. Namun, semua lebih dari itu, manasik haji juga umroh dibutuhkan untuk bisa memberikan pemahaman kepada setiap calon jamaah haji dan juga umroh terkait dengan tujuan utama pada keberangkatan mereka menuju tanah suci, terutama para calon jamaah haji dan umroh karena setelah menjalankan manasik para jamaah akan bisa memahami berbagai hal apa saja yang nantinya harus dilakukan saaat menjalankan ibadah haji dan umroh.[20]
[20] Bayu Ardi Isnanto, Sunnah Haji yang Bisa Diamalkan Untuk Menyempurnakan Haji, https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-6751039/sunnah-haji-yang-bisa-diamalkan-untuk-menyempurnakan-pahala. Diakses pada 12 Januari 2024

BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Ibadah haji dan umrah tidak sah jika tidak menyempurnakan syarat-syarat sah dari ibadah haji dan umrah. Dalam pelaksanaan haji dan umrah ada sunnah-sunnahnya untuk menyempurnakan pahala ibadah haji dan umrah. Serta juga ada larangan-larangan yang apabila larangan-larangan ini dilakukan saat melakukan ibadah haji dan umrah maka dikenakan denda(dam) dan kaffarah.

DAFTAR PUSTAKA

Aaron (2023). Apa Itu Mabit di Muzdalifah. Diakses pada 09 Januari 2024, dari https://www.nabawimulia.co.id/apa-itu-mabit-di-muzdalifah/.

Bayu Ardi Isnanto (2023). Sunnah Haji yang Bisa Diamalkan Untuk Menyempurnakan Haji. Diakses pada 12 Januari 2024. dari https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-6751039/sunnah-haji-yang-bisa-diamalkan-untuk-menyempurnakan-pahala.

Dr. Firanda Andirja, Lc., M. A (2019). BEKAL HAJI Panduan Haji Lengkap Sesuai Sunnah. Jakarta : Perisai Qur'an

Mubarak Bamualim, Lc. M. Hi (2017). MANASIK UMRAH dan DOA. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi'i

Muhammad Abduh Tuasikal (2013). Mengenal Thawaf. Diakses pada 10 Januari 2024, dari https://muslim.or.id/18438-mengenal-thawaf.html.

Muhammad Abduh Tuasikal (2011). Ringkasan Panduan Haji, Ihram dan Tahallul. Diakses pada 12 Januari 2024, dari https://rumaysho.com/2641-ringkasan-panduan-haji-5-ihram-dan-tahallul323.html.

Muhammad Abduh Tuasikal (2023). Waktu dan Cara Pelemparan Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah bagi Jamaah Haji. Diakses pada 12 Januari 2024, dari https://rumaysho.com/37106-waktu-dan-cara-pelemparan-jumrah-ula-wustha-dan-aqabah-bagi-jamaah-haji.html.

Muhammad Abduh Tuasikal (2023). Fikih Haji 5 : Larangan Ketika Ihram. Diakses pada 12 Januari 2024, dari https://muslim.or.id/10165-fikih-haji-5-larangan-ketika-ihram.html.

Nilam Isneni (2023). Membayar Dam dan Denda Pelanggaran Dalam Ibasah Haji atau Umrah. Diakses pada 12 Januari 2024, dari https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-6713186/membayar-dam-denda-pelanggaran-dalam-ibadah-haji-atau-umrah.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2010). Panduan Manasik Haji & Umrah Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunnah Dan Pemahaman As-Salafush Shalih. Pustaka Imam Asy-Syafi’i : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar