Kamis, 23 November 2023

Thaharah Dari Najis dan Dari Hadas

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 1 Angkatan 5 :
1. Binty Sholikhah (SBA)
2. Harnum Suri (PAI)
3. Futty Nayu Soka Kemala (PAI)
4. Siti Nur Jannah (PAUD)
5. Nila Sari (PAI)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan hidayah serta nikmat-Nya, terutama nikmat sehat dan waktu luang sehingga kami bisa menyelesaikan makalah mata kuliah “Ilmu Fiqih”.

Sholawat serta salam tidak lupa kita sampaikan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ustadz Humaidi Tamri, Lc, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Fiqih dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini maka itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 23 November 2023 M / 9 Jumadil Ula 1445 H

Penyusun Makalah
Kelompok 1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Thaharah.
2.2 Macam-Macam Thaharah.
2.3 Thaharah dari najis dan alat yang digunakan.
2.4 Tata cara Thaharah dari najis.
2.5 Thaharah dari hadats dan alat yang digunakan.
2.6 Tata cara Thaharah dari hadats
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama islam sangat memberikan perhatian terhadap kebersihan dan kesucian diri, baik yang bersifat lahir maupun batin. Syariat islam mengajarkan kita agar selalu menjaga kesucian batin dengan cara mentauhidkan Allah . meyakini bahwa Allah Rabb pengatur seluruh makhluk. Allah juga satu-satunya Illah yang wajib kita ibadahi. Allah juga mempunyai asmaul husna dan sifat-sifat yang sempurna.

Syariat islam juga mengajarkan kita agar menjaga kebersihan lahir dengan cara bersuci dari segala najis dan hadas, serta menjaga kebersihan lingkungan kita.

Kebersihan lahir tercermin dengan bagaimana kita sebagai umat muslim selalu dalam keadaan bersuci sebelum melakukan ibadah menghadap Allah . Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah agar kita umat muslim terhindar dari najis dan hadas yang menempel pada badan kita, sehingga secara sadar atau tidak dapat membatalkan ibadah kita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang perlu dijelaskan dan dikaji dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian thaharah?
2. Apa saja macam-macam thaharah?
3. Apa yang dimaksud dengan thaharah dari najis dan alat yang digunakan?
4. Bagaimana tata cara pelaksanaan thaharah dari najis?
5. Apa yang dimaksud dengan thaharah dari hadas dan alat yang digunakan?
6. Bagaimana tata cara bersuci dari hadas?

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun berdasarkan rumusan masalah diatas, manfaat dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian thaharah.
2. Untuk mengetahui macam-macam thaharah.
3. Untuk mengetahui thaharah dari najis dan alat yang digunakan.
4. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan thaharah dari najis.
5. Untuk mengetahui thaharah dari hadas dan alat yang digunakan.
6. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan bersuci dari hadas.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thaharah

Menurut bahasa, thaharah ( طهارة ) artinya; bersih dari kotoran, baik lahir maupun batin. Adapun menurut syariat, thaharah berarti mengangkat hadats (raf'ul hadats) dan menghilangkan najis (izaatalunnajasah). Tepatnya adalah menghilangkan sifat yang ada pada tubuh yang menghalangi seseorang dari shalat.[1] Definisi inilah yang dikenal sebagai Thaharah Hissiyah (suci lahir).
[1] Al-Mughni, Ibnu Quddarah, 1/12 . Lihat juga Al-Mulakhash al-fiqhi, Syeikh Sholeh Al-Fauzan, hal.16

Menurut Madzhab Hanafi, thaharah secara syar'i adalah bersih dari hadats maupun kotoran dan najis. Dalam pandangan madzhab Hanafi, thaharah atau bersuci dapat berupa perbuatan seseorang membersihkan sesuatu yang najis atau kotor, sebagaimana thaharah dapat pula berupa bersihnya sesuatu yang kotor atau najis dengan sendirinya. Misalnya, karena benda tersebut tersiram air bersih tanpa ada orang yang menyiramnya. Sementara hadats meliputi hadats kecil dan hadats besar.

Hadats kecil dapat berupa keluarnya angin melalui lubang dubur, air kencing, dan semacamnya. Hadats kecil dapat dihapus dengan berwudhu. Adapun hadats besar adalah berupa keadaan junub yang dapat dihilangkan dengan cara melakukan mandi wajib. Madzhab Hanafi mengartikan hadats sebagai sesuatu yang bersifat syar'i yang dapat dihapus dengan cara membersihkan sebagian anggota badan maupun seluruh tubuh.

Dengan demikian, maka thaharah tersebut dapat menghapus hadats. Sebagian dari kalangan Hanafi mengartikan hadats sebagai najis maknawi (non fisik). Dalam hal ini, seolah-olah pembuat syariat menghukumi hadats sebagai najis yang menghalangi sahnya shalat, sebagaimana halnya najis fisik yang juga menghalangi sahnya shalat.

Sedangkan menurut Madzhab Maliki, thaharah adalah sifat maknawi yang memungkinkan orang yang disifati boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian yang dikenakannya, serta tempat di mana shalat tersebut dikerjakan. Makna dari sifat maknawi adalah bahwa thaharah merupakan keadaan (kondisi) yang ditetapkan Allah sebagai syarat sahnya shalat dan atau semacamnya. Manakala sifat tersebut terdapat pada tempat yang akan digunakan untuk shalat, maka seseorang boleh melaksanakan shalat di tempat tersebut. Begitu pula ketika sifat tersebut ada pada pakaian yang akan digunakan untuk shalat, maka orang tersebut boleh mengenakan pakaiannya untuk melakukan shalat.

Menurut Madzhab Asy-Syafi'i, thaharah secara syar'i mencakup dua makna. Pertama; Melakukan sesuatu yang mengakibatkan dibolehkannya mengerjakan shalat. Sesuatu di sini berupa wudhu, mandi, tayamum, serta membersihkan kotoran (najis), atau perbuatan dalam makna serta bentuk yang sama dengan wudhu dan mandi, misalnya melakukan tayamum, mandi sunnah, ataupun berwudhu saat masih dalam keadaan suci. Penjelasan dari definisi ini bahwa membasuhkan air pada wajah dan anggota badan lain dengan niat berwudhu dapat dikatakan sebagai thaharah. Jadi thaharah merupakan tindakan seseorang.

Sedangkan maksud dari 'atau perbuatan dalam makna serta bentuk yang sama dengan wudhu dan mandi' mengandung arti bahwa perbuatan tersebut juga merupakan thaharah. Artinya, thaharah merupakan sebutan atau nama dari perbuatan seseorang. Akan tetapi thaharah seperti ini tidak berdampak pada bolehnya melakukan shalat. Pasalnya, dibolehkannya shalat adalah karena telah terpenuhinya wudhu yang dilakukan saat seseorang berhadats, atau yang disebut wudhu pertama.

Sedangkan wudhu yang dilakukan saat seseorang sudah dalam keadaan suci atau yang biasa disebut wudhu setelah wudhu tidak berdampak pada boleh tidaknya melakukan shalat.

Kedua; Thaharah adalah menghilangkan hadats, atau membersihkan kotoran, atau sesuatu dalam pengertian serta bentuk yang sama dengan hal itu. Misalnya, tayamum, mandi sunnah, dan semacamnya. Di sini, thaharah diartikan sebagai semacam sifat maknawi yang berdampak pada munculnya suatu perbuatan. Jadi hadats dapat dihilangkan dengan wudhu atau mandi jika itu adalah hadats besar, di mana arti menghilangkan atau dihilangkan didasarkan pada perbuatan seseorang.

Sedangkan najis atau kotoran dapat dihilangkan dengan cara menyiramnya. Ini adalah makna thaharah yang dimaksud. Adapun makna thaharah yang pertama sebagai suatu perbuatan tidak lain merupakan makna kiasan.

Menurut Madzhab Hambali, thaharah secara syar'i adalah menghilangkan hadats atau semacamnya, membersihkan najis atau menghilangkan hukumnya. Maksud dari menghilangkan hadats adalah menghilangkan segala sifat yang menghalangi dapat dilaksanakannya shalat atau sejenisnya. Sebab, hadats merupakan semacam sifat maknawi yang melekat pada seluruh anggota badan ataupun sebagian. Jadi thaharah berarti mengangkat sifat tersebut.

Sementara yang dimaksud dengan ‘atau semacamnya' dalam pengertian thaharah adalah tindakan yang mengandung makna seperti menghilangkan hadats. Misalnya, memandikan mayat, meskipun hal itu tidak mengangkat hadats, akan tetapi itu merupakan perkara ibadah. Contoh lain adalah melakukan wudhu ketika masih memiliki wudhu, hal mana juga bukan untuk menghilangkan hadats. Semua itu masuk dalam pengertian seperti menghilangkan hadats meskipun tidak menghilangkan hadats.

Sedangkan yang dimaksud dengan 'membersihkan najis' dalam pengertian di atas mencakup baik perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang seperti menyiramkan air di tempat yang terkena najis, ataupun najis yang hilang dengan sendirinya. Sedangkan maksud dari 'menghilangkan hukumnya' dalam pengertian thaharah di sini adalah menghilangkan hukum hadats maupun najis atau apa saja yang semakna dengan itu. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan debu (tanah), yaitu tayamum dari hadats maupun kotoran. Jadi, tayamum dapat menghilangkan hukum hadats maupun hukum najis, yang mana dapat menghalangi pelaksanaan shalat.[2]
[2] https://staia.ac.id/wp-content/uploads/2021/11/Fikih-Empat-Madzhab-Jilid-1-PDFDrive-.pdf

Menjaga kebersihan juga termasuk hal yang dianjurkan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَهِّرُوا أفْنِيَتَكُمْ ، فإِنَّ اليَهُوْدَ لَا تُطَهِّرُ أَفْنِيَتَهَا

“Bersihkanlah halaman rumah kalian karena orang-orang Yahudi tidak suka membersihkan halaman rumah mereka”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath, 4/231, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no.236).[3]
[3] Syafiq Riza Basalamah Official – Telegram https://t.me/s/SRB_Official?before=1383

Thaharah merupakan syarat utama bagi seseorang untuk dapat melaksanakan shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطَّهُوْرُ

"Kunci shalat adalah bersuci.”

(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورِ

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci”

(HR. Muslim)

Dalam tataran yang lebih luas, selain thaharah hissiyyah, seorang muslim juga harus melakukan thaharah bathiniyah (suci batin). Thaharah (suci) secara batin adalah apa yang harus diwujudkan dalam aqidah kita, yaitu dengan membersihkannya dari berbagai "kotoran" (baca:kemusyrikan), yang dapat menghilangkan kesucian diri kita dari segi aqidah dan akhirnya berakibat tidak diterimanya seluruh amal kita. Juga membersihkan hati dan jiwa kita dari berbagai penyakit hati, seperti dengki, iri, sombong dan segala bentuk kemaksiatan hati lainnya.

Bahkan sesungguhnya kesucian dari sisi ini jauh lebih penting untuk diperhatikan. Karena jika seseorang tidak suci fisik, maka ibadah yang tidak diterima hanyalah ibadah yang saat itu dia lakukan dalam keadaan tidak suci fisiknya, sementara ibadah lainnya yang dia lakukan dalam keadaan suci fisiknya tetap diterima. Namun jika aqidah seseorang telah rusak oleh prilaku kemusyrikan, maka yang gugur adalah semua amal ibadah yang dia lakukan tanpa terkecuali.[4]
[4] Lihat Fatawa Arkanul Islam, Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, hal.208

Allah Ta'ala berfirman :

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۚ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Artinya : "Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi". (Q.S. Az-Zumar:65)

2.2 Macam – Macam Thaharah

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa inti thaharah (bersuci) ada dua, yaitu:

- Bersuci dari hadats (Thaharah Hukmi).
- Bersuci dari najis (Thaharah Haqiqi).

1. Bersuci dari Hadats (Thaharah Hukmi)

Thaharah dari hadats sering diistilahkan dengan thaharah hukmi ( حكمي ). Thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual. Seperti seseorang yang tertidur batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti sholat, tawaf dan lainnya.

2. Bersuci dari Najis (Thaharah Haqiqi)

Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat sholat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang sholat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah sholatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.

Ada beberapa hikmah tentang disyariatkannya thaharah sebagaimana disarikan dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.

Pertama, bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu yang kotor dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah, maka ia pun memerintahkan hal-hal yang selaras dengan fitrah manusia.

Kedua, menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya tersingkir atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. Seriusnya Islam soal perintah bersuci ini menunjukkan komitmennya yang tinggi akan kemuliaan para pemeluknya.

Ketiga, menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar umumnya juga disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah mengungkapkan, "kebersihan adalah pangkal kesehatan".

Keempat, menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah: tidak hanya bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba memang seharusnya dalam keadaan suci secara lahir batin, bersih jasmani dan rohani, karena Allah yuhhibbut tawwâbîna wayuhibbul mutathahhirîna (mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri).

2.3 Thaharah dari najis dan alat yang digunakan

Najis secara bahasa berarti sesuatu yang menjijikkan (al-mustaqdzaroh). Najis secara istilah syar’i berarti segala sesuatu yang menjijikkan dan mencegah sahnya shalat, di mana tidak ada sesuatu yang jadi rukhshah (membolehkannya).

Hal ini berbeda jika ada rukhshah (yang membolehkannya) seperti seseorang yang tidak mendapati air dan debu, sedangkan dirinya terkena najis, maka diperbolehkan baginya shalat untuk menghormati waktu (hurmah al-waqt) dan harus diulang shalatnya (al-i’adah).

Najis adalah semua benda yang dianggap kotor di mana peletak syariat memerintahkan agar dihindari, sesuai dengan jenisnya ada cara-cara tersendiri untuk menghilangkannya.

Pada dasarnya, alat bersuci yang dengannya najis dihilangkan adalah air, karena ia adalah dasar dalam menyucikan, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa ta’ala

وَيُنَزِلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّماَءِ ماَءً لِيُطهِّرَ كُم بِهِ

“Dan Dia menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengannya.” (Al-Anfal ayat 11)

Najis terbagi tiga berdasarkan hukumnya:
1. Najis mughallazhah (berat)
2. Najis mukhaffafah (ringan)
3. Najis mutawassithoh (sedang) [5]
[5] Salim bin Samir Al- hadromi, Matan Safinnatun Najah Fiima Yajibu ‘Alal abdi Limaulih, (hlm. 27-28).

l Mughallazhoh adalah najis anjing dan babi beserta anak-anaknya.

l Mukhaffafah adalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun sempurna.

بَوْلُ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَطْعَمْ غَيْرَ اللَّبَنِ وَلَمْ يَبْلُغِ الْحَوْلَيْنِ

“kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun”

Terkait hal ini, yang termasuk najis adalah ; Buang air besar bayi laki-laki, air kencing bayi perempuan, air kencing bayi laki-laki yang telah makan makanan pokok selain ASI. Kecuali sesuatu yang dimakan untuk berobat, maka air kencingnya tetap masuk dalam mukhaffafah, bila ragu apakah bayinya telah mencapai dua tahun ataukah belum, kencingnya termasuk mutawassithoh menurut sebagian ulama. Selain najis mughallazhoh dan mukhaffafah dimasukkan dalam najis mutawassithoh.

l Mutawassithoh adalah seperti Khamar, darah, nanah, bangkai selain bangkai manusia, ikan dan belalang, air kencing selain air kencing bayi laki-laki sebagaimana disebutkan diatas (masuk najis mukhaffafah), madzi, wadi (cairan kental, keruh berwarna putih, yang biasanya keluar setelah buang air kecil), kotoran dan kencing dari manusia dan hewan, air susu dari hewan yang tidak boleh dimakan (selain manusia).

Catatan:

l Bagian tubuh dari hewan yang hidup yang terpisah, hukumnya sesuai hukum bangkainya, baik suci atau najis.

l Kecuali rambut dan bulu hewan yang hidup dan hewannya boleh dimakan, maka itu termasuk suci walaupun bangkainya najis [6].
[6] https://rumaysho.com/31074-safinatun-naja-seputar-najis-dan-cara-menghilangkannya.html diakses pada tanggal 22 November 2023, pukul 21:30 WIB.

Catatan:

Yang terkena najis mughallazhoh disucikan dengan tujuh kali basuhan, tidak kurang dari itu. Setelah dihilangkan dzat najisnya dan sifat-sifatnya, salah satu basuhan itu dicampur dengan debu yang terpenuhi syaratnya untuk tayammum.

Yang terkena najis mukhaffafah disucikan dengan dipercikkan air hingga menyeluruh. Diperintahkan baik bentuk dan sifat najis hilang terlebih dahulu.

Sedangkan najis mutawassithoh dibagi dua yaitu (1) ‘ainiyyah (dapat dipegang, dilihat, dirasa, dicium baunya), dan (2) hukmiyyah (sesuatu yang tidak diketahui sifat-sifatnya sehingga tidak ada warna, bau, atau rasa).

l Sesuatu yang terkena najis ‘ainiyyah tidak dapat disucikan kecuali jika hilang rasa, warna, dan baunya.

l Sesuatu yang terkena najis hukmiyyah cukup menyucikannya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja. Termasuk hukmiyyah dalam cara membersihkannya adalah najis ‘ainiyyah yang tidak tersisa kecuali bekasnya saja dan hilang dengan dialirkan air di atasnya.

Alat thaharah adalah sesuatu yang biasa digunakan untuk bersuci. Berdasarkan jenisnya, alat thaharah dibagi menjadi tiga, yaitu air, batu dan debu.

1). Air yang bisa digunakan untuk thaharah adalah air suci yang menyucikan. Air ini disebut juga dengan air mutlak. Air mutlak adalah air murni yang belum tercampuri oleh suatu najis. Berdasarkan ayat dan hadist, ada beberapa jenis air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci, di antaranya air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air es, dan air embun.

Rasulullah bersabda:

الماء لاينجسه شيئ الّا ما غلب على طعمه اولونه اوريحه

“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika berubah rasanya, warnanya, atau baunya.” (HR. Ibn Majjah dan Baihaqi).

2). Debu

Jika seorang Muslim hendak bersuci, namun ia tidak bisa menemukan air, maka diperbolehkan baginya untuk thaharah menggunakan debu yang suci. Bersuci dengan debu ini dalam Islam disebut juga dengan istilah tayamum.

3). Benda yang Dapat Menyerap Kotoran

Selain air dan debu, alat thaharah selanjutnya adalah benda yang dapat menyerap kotoran. Benda yang dimaksud dalam hal ini di antaranya batu, tisu, kayu, daun, dan sejenisnya. Dalam Islam, benda ini dikhususkan untuk menghilangkan najis, seperti beristinja' dan beristijmar.

2.4 Tata cara thaharah dari najis

1. Menyucikan najis mughallazhoh dari hewan anjing dan babi

Menyucikan bekas jilatan anjing adalah dengan cara membasuh tujuh kali basuhan, dan salah satunya menggunakan debu. Sedangkan apabila ada suatu wadah atau bejana kemudian terkena sentuhan babi maka mayoritas dari Ulama’ Syafi’iyah menyamakan dengan mengqiyaskan babi dengan anjing, sehingga juga mengharuskan membasuh tujuh kali dengan disertai debu di basuhan salah satunya, pada wadah yang tersentuh maupun terjilat oleh hewan babi. Ulama Syafi’iyah dan Hanafilah, keduanya berpendapat bahwa anjing dan babi serta segala sesuatu yang keluar dari keduanya, seperti anak, sisa minuman, dan keringat adalah najis zatnya dan sesuatu yang terkena najisnya harus dicuci tujuh kali dengan salah satunya dicampur dengan tanah. Karena dengan ditetapkannya kenajisan dalam teks hadis pada hadis di atas yang telah diterangkan terlebih dahulu dalam Najis dan Jenisnya, yang artinya “Sucinya wadah salah seorang diantara kamu apabila dijilat oleh anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali, dan pada cucian pertama dicampur dengan tanah” padahal mulut merupakan bagian dari tubuhnya yang paling baik, karena banyak mengeluarkan ludah, maka bagian tubuh yang lainnya secara keseluruhan lebih utama dihukumi najis. Dari ketentuan diatas berbeda dengan pandangan Ulama’ Hanafiyah yang menyatakan bahwa anjing itu bukan najis zatnya, karena ia dapat dimanfaatkan sebagai penjaga dan untuk berburu. Adapun babi adalah najis zatnya. Sedangkan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa anjing merupakan secara mutlak adalah Suci, baik yang diperbolehkan dimiliki, seperti untuk menjaga ladang pertanian dan penjaga binatang ternak, maupun tidak boleh dimiliki. Hanya disebabkan karena jilatannya saja yang mewajibkan pencucian tujuh kali, dan bukan karena yang lainnya, seperti memasukkan kakinya ataupun mulutnya yang tidak disertai gerakan atau menetes air liurnya. Hal tersebut merupakan riwayat yang Paling Masyhur dikalangan mereka. Dari kalangan Ulama’ Malikiyah juga ada yang berpendapat bahwa tidak ada hewan yang najis ‘ain secara mutlak. Maka anjing, babi dan apa apa yang dilahir dari keduanya adalah suci semua. Manakala ada bejana yang dibasuh tujuh kali ketika ada jilatan anjing maka hal tersebut tidak karena najis dari anjing tersebut akan tetapi karena semata-mata untuk Ta’abbud (beribadah).

2. Menyucikan najis kencing (ompol) di kasur

Yaitu dengan menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis.

3. Menyucikan kulit bangkai

Yaitu dengan disamak

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.” ( Diriwayatkan oleh An-Nasa'i)

Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:

1). kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.

2). kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak. Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.

4. Menyucikan bejana yang dijilat anjing

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

5. Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh

Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,

إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ

“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari )

Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.

6. Menyucikan ujung pakaian wanita

Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,

إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.

“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”

Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud )

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.[7]
[7] https://rumaysho.com/929-cara-membersihkan-najis-1.html diakses pada tanggal 22 November 2023, pukul 21:30 WIB.

7. Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengkonsumsi makanan

Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud )

Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.

Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut,

عنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ قَالَتْ دَخَلْتُ بِابْنٍ لِى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.

“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki pada bekas kencing tadi. (Diriwayatkan oleh Bukhari )

8. Membersihkan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,

كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذْىِ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِى مِنْهُ قَالَ « يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تُرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ ».

“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’. (Diriwayatkan oleh Abu Daud )

9. Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

« إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »

“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya". (Diriwayatkan oleh Abu Daud )

10. Menyucikan tanah

Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »

“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan untuk mempersulit”.
[8] (Diriwayatkan oleh Bukhari)
[8] https://rumaysho.com/930-cara-membersihkan-najis-2.html diakses pada tanggal 22 November 2023, pukul 21:30 WIB.

2.5 Thaharah dari hadats dan alat yang digunakan

Pengertian hadats adalah suatu sebab yang menghentikan thaharah. Hadats juga bisa disebut suatu sifat yang menempel pada badan yang menghalangi shalat dan ibadah semisalnya yang disyaratkan harus thaharah.

Hadats terdiri dari dua macam :

1) Hadats kecil

Yaitu hadats yang mengharuskan wudhu, misalnya hilang akal, dan keluarnya sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur) kecuali mani.

2) Hadats Besar

Yaitu hadats yang mengharuskan mandi, contohnya seperti haidh dan junub.

Maka bersuci dari hadats besar dengan cara mandi. Dan bersuci dari hadats kecil dengan cara berwudhu. Sedangkan pengganti keduanya ketika ada udzur adalah tayammum.[9]
[9] Lihat asy-Syarh al-Mumti’, 1/19; dan al-Figh al-Islam wa Adillatuhu, 1/2328

Yang dimaksud dengan mengangkat hadats atau bersuci dari hadats adalah ; Menghilangkan sifat yang menghalangi shalat dengan menggunakan air yang disiramkan ke seluruh badan jika berhadats besar. Jika berhadats kecil, maka cukup dengan membasuh anggota-anggota wudhu disertai niat. Jika tidak mendapati air atau tidak mampu menggunakan air (karena sakit), maka ia bisa menggunakan pengganti air yaitu debu sesuai dengan cara yang diperintahkan secara syar’i.

Adapun alat yang dapat digunakan sebagai sarana untuk menghilangkan hadats dari badan ialah dengan :

1. Wudhu atau mandi menggunakan ;

· Air yang bisa digunakan untuk bersuci yang disebut dengan al-Ma’ ath-Thahur, yaitu air yang suci pada dirinya (ath-Thahir Fi Dzatihi) dan menyucikan untuk selainnya (al-Muthahhir li Ghairihi). Air ini adalah air yang masih tetap sebagaimana ia diciptakan (lestari), yakni sesuai dengan sifat di mana ia diciptakan padanya, baik ia turun dari langit seperti air hujan, lelehan salju dan embun, atau air yang mengalir di bumi, seperti air sungai, mata air, sumur, dan laut.

Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala,

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُم بِهِ

"Dan Allah menurunkan bagi kalian hujan dari langit untuk menyuci- kan kalian dengannya." (Al-Anfal: 11).

Dan Firman Allah,

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

"Dan Kami turunkan dari langit air yang suci." (Al-Furqan: 48).

1)  Air yang tercampur dengan najis

Air bila tercampur dengan najis, lalu najis tersebut mengubah salah satu dari tiga sifatnya, baunya, rasanya atau warnanya, maka air tersebut najis berdasarkan ijma’, tidak boleh menggunakannya, ia tidak dapat menghilangkan hadats dan tidak pula membersihkan najis, sama saja, air itu sedikit atau banyak.

Adapun bila air itu tercampur najis dan salah satu sifatnya tidak berubah, maka bila airnya banyak, maka ia tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci, tetapi bila airnya sedikit, maka ia najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci. Batasan air yang banyak adalah dua qullah atau dua gentong ke atas, sedangkan yang sedikit adalah yang kurang dari itu.

Dalilnya adalah hadits Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata Rasulullah bersabda,

إِن الْمَاءَ طَهُورُ، لَا يُنَجِّسُهُ شَيْء

"Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya." 
(Diriwayatkan oleh Ahmad,3/15)

Dan hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

"Bila air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis".
(Diriwayatkan oleh Ahmad,2/27)

2)  Air yang tercampur dengan (benda) yang suci

Air yang tercampur dengan benda yang suci seperti daun-daun pohon, sabun, al-usynan, bidara, atau benda-benda suci lainnya dan air tersebut tidak didominasi oleh benda yang mencampurinya, maka pendapat yang shahih adalah bahwa ia suci dan menyucikan, bisa digunakan untuk menghilangkan hadats dan melenyapkan najis.

Berdasarkan sabda Nabi kepada para wanita yang memandikan jenazah putri beliau,

اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذُلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ [ذُلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَانُوْر

"Mandikanlah dia tiga atau lima kali atau lebih dari itu bila menurut kalian [memang harus demikian] dengan air dan daun bidara, dan gunakan pada basuhan akhir kapur barus atau sebagian dari kapur barus." (Muttafaq alaih)

3) Hukum air musta'mal (yang telah digunakan) dalam thaharah

Air yang sudah digunakan dalam thaharah-seperti air yang terjatuh dari anggota (badan) orang yang berwudhu atau mandi adalah air suci dan menyucikan menurut pendapat yang shahih. la dapat menghilangkan hadats dan melenyapkan najis selama salah satu sifat dari tiga sifatnya tidak berubah, bau, rasa, dan warnanya

Dalil kesuciannya adalah,

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ إِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُوْنَ عَلَى وَضُوئِهِ

"Bahwa Nabi apabila berwudhu, maka para sahabat hampir ber-tikai untuk (memperebutkan bekas) air wudhu beliau." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari,no189)

Juga karena Nabi menuangkan air wudhunya kepada Jabir saat dia sakit."Seandainya air musta'mal tersebut najis, niscaya beliau tidak memperbolehkan untuk melakukannya , serta berdasarkan tindakan Nabi, para sahabat beliau, dan para istri beliau yang biasa berwudhu dari bejana kayu dan bejana minum, dan mereka mandi dari ember besar. Tindakan seperti ini tidak selamat dari kemungkinan jatuhnya sebagian percikan air ke dalam bejana dari orang yang menggunakan- nya. Juga berdasarkan sabda Rasulullah kepada Abu Hurairah,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

"Sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak najis." (Diriwayatkan oleh Muslim, no.371)

Bila demikian (yakni seorang mukmin itu tidak najis), maka aır tersebut tidak akan kehilangan kesuciannya dengan sekedar sebab seorang mukmin menyentuhnya.

4)  Air sisa (as-Su’ru) manusia dan hewan ternak

As-Su’ru adalah air yang tersisa dalam bejana setelah ada yang meminumnya. Manusia itu suci, maka sisa minumnya suci, sama saja, baik dia seorang Muslim atau kafir. Demikian juga orang junub dan wanita haid. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

"Sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no.371)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha,

أنَّهَا كَانَتْ تَشْرَبُ مِنَ الْإِنَاءِ، وَهِيَ حَائِضُ، فَيَأْخُذُهُ رَسُولُ اللَّهِ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيهَا

"Bahwa dia pernah minum dari bejana manakala dia haid, lalu Rasulullah mengambilnya, lalu meletakkan mulutnya pada tempat (bekas) mulut Aisyah." (Diriwayatkan oleh Muslim, no.300)

Para ulama telah berijma' atas sucinya air sisa minuman hewan yang dagingnya halal dimakan, baik hewan ternak atau lainnya. Adapun hewan yang dagingnya tidak halal dimakan, seperti binatang buas, keledai, dan yang sepertinya, maka pendapat yang shahih adalah bahwa sisanya juga suci, tidak berpengaruh terhadap air, khususnya bila airnya banyak. Namun bila airnya sedikit dan ia berubah karena diminum oleh hewan tersebut, maka ia najis.

Dalil dari hal ini adalah hadits di atas, di mana Nabi ditanya tentang (kolam) air yang didatangi berulang-ulang oleh hewan-hewan dan binatang buas, beliau bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبْتَ

"Bila air mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis.”

Dan sabda Nabi tentang kucing yang minum dari bejana,

الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَات إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنجس، إِنَّمَا هِيَ مِنَ

"Sesungguhnya kucing itu tidak najis, la hanyalah termasuk binatang jantan dan betina yang berada disekitar kalian (yang jinak dan tinggal didalam rumah).” (Diriwayatkan oleh Ahmad,5/296)

Dan juga karena menghindarinya secara umum sangat sulit. Seandainya kita berpendapat bahwa sisa minumannya najis dan mewajibkan membasuh tempatnya, niscaya pada hal tersebut terdapat kesulitan, padahal kesulitan diangkat dari umat ini.

Adapun air sisa minuman anjing, maka ia najis, demikian juga babi. Berkaitan dengan anjing, maka diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

صُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أَوْلَاهُنَّ بالتراب

"Sucinya bejana salah seorang dari kalian bila ia dijilat anjing adalah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertama darinya adalah dengan tanah." (Muttafaq ‘alaih)

Adapun babi, maka karena ia najis, buruk, dan kotor. Allah berfirman,

فَإِنَّهُ رِجْسٌ

"Karena sesungguhnya ia kotor." (Al-An'am: 145).

2. Bertayamum dengan debu, bila sangat sulit menemukan air atau ketika udzur sakit yang menyebabkan tidak boleh terkena air,

Berdasarkan firman Allah,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"...lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)." (Al-Ma'idah: 6).

Dan juga firman-Nya

وَإِن كُنتُم تَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَابِطِ أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم

"Dan jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan debu yang baik (suci) sapulah muka dan tangan kalian.” (An-Nisa’:43)

3. Bejana

Bejana adalah wadah tempat penyimpanan air dan lainnya, baik terbuat dari besi atau selainnya. Hukum asalnya adalah boleh, berdasarkan Firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

"Dia-lah Allah Yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al-Baqarah: 29)

Boleh menggunakan segala macam bejana untuk makan, minum, dan penggunaan lainnya, bila ia suci lagi mubah, sekalipun ia mahal, karena ia masih tetap di atas hukum dasar, yaitu mubah, kecuali bejana emas dan perak; karena sesungguhnya haram makan dan minum dengan menggunakan bejana emas dan perak secara khusus, tanpa penggunaan yang lainnya, berdasarkan sabda Nabi,

لَا تَشْرَبُوْا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ.

"Janganlah kalian minum menggunakan bejana emas dan perak, dan jangan pula kalian makan menggunakan piring besar (yang terbuat dari) keduanya, karena sesungguhnya ia (bejana emas dan perak) un- tuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat." (Muttafaq alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5426; Muslim, no.2067)

Dan sabda Nabi,

الَّذِي يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرِّجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

"Orang yang minum menggunakan bejana perak, sejatinya ia hanya menggelagakkan api Neraka Jahanam di dalam perutnya," (Muttafaq alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.5634; Muslim, no.2065)

Hadits ini adalah dalil yang menetapkan pengharaman makan dan minum (dengan menggunakan bejana emas dan perak), tanpa penggunaan yang lain, maka hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan keduanya dalam thaharah (bersuci). Larangan ini bersifat umum, mencakup bejana emas dan perak murni atau yang disepuh dengan keduanya atau yang padanya ada bagian dari emas dan perak.

2.6 Tata cara bersuci dari hadats

1. Wudhu

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat)[10], maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat” (HR.Bukhari dan Muslim.)
[10] Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu” Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr

Dari hadits ini, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.

a. Berniat –dalam hati- untuk menghilangkan hadats.

b. Membaca basmalah: ‘bismillah’.

c. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.

d. Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.

e. Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.

f. Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.

g. Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani). Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.

h. Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki.

2. Tayamum

Tayamum adalah di antara bentuk thaharah (bersuci) sebagai pengganti wudhu dan mandi ketika tidak mendapati air atau khawatir menggunakan air, Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا

“Dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat untuk bersuci ….” (HR. Muslim no. 522).[11]
[11] Shalih bin fauzan bin Abdullah al Fauzan, Al Mulakhos Al Fiqhi, Riyadh: Dar Alamus sunah 1423H,1:70

Dalil bolehnya tayamum karena tidak mendapati air sudah diisyaratkan dalam ayat,

فلمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) … ” (QS. An Nisa’: 43)

Sedangkan dalil bahwa tayamum dibolehkan ketika khawatir menggunakan air akan menimbulkan dhoror atau bahaya dapat dilihat dalam hadits berikut.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ »

Dari Jabir, ia berkata, “Kami pernah keluar pada saat safar, lalu seseorang di antara kami ada yang terkena batu dan kepalanya terluka. Kemudian ia mimpi basah dan bertanya pada temannya, “Apakah aku mendapati keringanan untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati padamu adanya keringanan padahal engkau mampu menggunakan air.” Orang tersebut kemudian mandi (junub), lalu meninggal dunia. Ketika tiba dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menceritakan kejadian orang yang mati tadi. Beliau lantas bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membinasakan mereka. Hendaklah mereka bertanya jika tidak punya ilmu karena obat dari kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya bertayamum dan mengusap lukanya.” (HR. Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad 1: 330. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan selain perkataan ‘cukup baginya bertayamum’)

Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

1)  Menetup telapak tangan ke sho’id (contoh: debu) sekali tepukan.
2)  Meniup kedua tangan tersebut.
3)  Mengusap wajah sekali.
4)  Mengusap punggung telapak tangan sekali.

Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

3. Tata cara bersuci dari hadas besar dengan mandi

a. Niat, sebagai syarat sahnya mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no.1 dan Muslim no. 1907)

b. Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit. Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,

هَذَا التَّأْكِيد يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيع جَسَدِهِ بِالْغُسْلِ

“Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[12]
[12] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Bari, Beirut: Darul Ma’rifah, 1379H, 1:369

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى

“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[13]
[13] https://rumaysho.com/1118-tata-cara-mandi-wajib-1.html, Diakses pada 22 November 2023, 12.00

c. Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.

Hadits pertama:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut:

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran. Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[14]
[14] Idem

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[15]
[15] Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392, 3/23

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[16]
[16] Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani , Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Riyad: Darul ‘Aqidah, 1425 H. hal. 61

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,

“Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[17]
[17] Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, maktabah taufiqiyah, 1/175-176

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ

“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”

(HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[18]
[18] ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Thaharah sebagai kunci ibadah dalam islam. Dengan melakukan thaharah kita dapat mengambil manfaatnya, yaitu kita bersih dari kotoran najis dan hadats, juga dapat menghilangkan bau yang tidak sedap yang menempel pada tubuh kita. Terdapat juga hikmah yang terkandung didalamnya yaitu mendekatkan diri kita kepada Allah, menambah ketaqwaan dan keimanan.

Thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar. yaitu pertama, thaharah hakiki yang mana maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat sholat dari najis, boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis, kedua, thaharah hukmi yaitu sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah atau haid). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum.

Maka diwajibkan bagi seorang muslim untuk selalu memperhatikan keadaan dirinya sebelum beribadah, agar terbebas dari hadats maupun najis. Hadats berkaitan dengan suatu keadaan tidak suci pada anggota badan, sedangkan najis berkaitan dengan segala sesuatu yang menjijikan berwujud benda cair atau padat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Salim Bin Samir Al-Hadromi, Matan Safinnatun Najah Fiima Yajibu ‘Alal abdi Limaulah, Labanon Bairut, Darul Minhaj, Tahun terbit 2009 / 1430

2. Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, Abdul Karim Bin Shunaitan Al-Amri, Abdullah Bin Fahd Asy-Syarif, Faihan Bin Syali Al-Muthairi, Fikih Muyassar, Jakarta, 2018, Darul Haq

3. Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, Mawqi’ Misykatul Islamiyah

4. Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.

5. http://repo.uinsatu.ac.id/16687/5/BAB%20II.pdf

6. https://www.nisaa-assunnah.com/2016/04/al-fiqh-al-muyassar-pertemuan-7-kitab.html?m=1

7. https://rumaysho.com/16272-manhajus-salikin-istijmar-dan-istinja.html

8. https://yufidedu.com/kitab-safinatun-najah-29-macam-macam-hadas-dan-aurat-ustadz-aris-munandar-m-pi/

9. https://rumaysho.com/929-cara-membersihkan-najis-1.html

10. https://rumaysho.com/930-cara-membersihkan-najis-2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar