Kamis, 30 November 2023

Syarat dan Rukun Shalat Fardhu

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 1 Angkatan 5 :
1. Rama Hidayat (PAI).
2. M. Nawaf Bahanan (PAI).
3. Agis Sugiana (SBA).
4. Farhan Maulana Al-Atsari (PAI).


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Ta’ala. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Syarat dan Rukun Shalat Fardu” dapat kami selesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang ketentuan-ketentuan penting dalam pelaksanaan ibadah shalat. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah ta’ala karuniakan kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun dengan baik melalui beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan do'a sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menjadi pengetahuan dan ilmu untuk kami para penyusun makalah dan para pembaca.

Demikian makalah ini dibuat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, maka kami mohon maaf. Kami menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Bekasi, 27 November 2023 M
13 Jumadil Ula 1445 H

Penyusun Makalah
Kelompok 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Shalat.
2.2 Dasar Shalat.
2.3 Syarat Sah Shalat.
2.4 Rukun Shalat.
2.5 Waktu-Waktu Shalat.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Shalat merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat muslim dan shalat merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta'ala sebagai suatu bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat sebuah amalan yang tersusun dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, dan dilakukan sesuai dengan syarat maupun rukun shalat yang telah ditentukan (Imam Bashari Assayuthi, 30). 

Dalam sebuah hadits dikatakan, shallu kama ra’aitumuni ’ushalli, shalatlah sebagaimana engkau melihat diriku melakukannya. Hadits sahih riwayat al-Bukhari ini mengajarkan bahwa tidak ada cara shalat selain seperti yang pernah Nabi lakukan berdasarkan riwayat para sahabatnya.

1.2 Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang perlu dijelaskan dan dikaji dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian shalat?
2. Apa dasar hukum shalat?
3. Apa hukum bagi yang meninggalkan shalat?
4. Apa syarat dan rukun shalat?
5. Apa tujuan dan hikmahnya melaksanakan shalat?
6. Apa saja macam-macam shalat?
7. Kapan waktu-waktu shalat?

1.3 Manfaat Penelitian.

Adapun berdasarkan rumusan masalah diatas, manfaat dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui pengertian shalat.
2.
 Mengetahui dasar hukum shalat.
3. Mengetahui hukum bagi yang meninggalkan shalat.
4. Mengetahui syarat dan rukun shalat.
5.
 Mengetahui tujuan dan hikmahnya melaksanakan shalat.
6.
 Mengetahui saja macam-macam shalat.
7.
 Mengetahui kapan waktu-waktu shalat.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Shalat :

Shalat secara bahasa berarti ad-du’aa’ bi khair, doa kebaikan. Hal ini bisa ditemukan dalam ayat,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah kebaikan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).

Maksud dari “sholli ‘alaihim” adalah doakan kebaikan kepada mereka.[1]
[1]. https://rumaysho.com/36049-matan-taqrib-pengertian-shalat-secara-bahasa-dan-istilah-dalam-islam.html, diakses tanggal 23 November 2023, Jam 19:00 WIB.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Rafi’i, shalat secara syari berarti:

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ

“Perkataan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam dengan memenuhi syarat tertentu.” (Fath Al-Qarib Al-Mujiib fi Syarh Alfaazh At-Taqriib, hlm. 163)

1). Aqwaal (perkataan) dalam shalat: Allahu Akbar, membaca Al-Qur’an, tasbih, bacaan tasyahud, salam.

2). Af’aal (perbuatan) dalam shalat: rukuk, berdiri, sujud, duduk antara dua sujud, tasyahud.


2.2 Dasar Hukum Shalat

a. Dasar Hukum Shalat

Dasar hukum dalam Al-quran tentang shalat sangat banyak, diantaranya:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS.al Baqarah(2) : 43)

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

Artinya: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS.al Baqarah(2) : 45)

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Artinya: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. at-Taubah (9): 11)

Selain ayat diatas, juga terdapat banyak hadits yang membahas tentang kewajiban shalat, diantaranya adalah yang tercantum dalam Arba'in nawawiyyah:

بيْنِي الْإِسْلَامُ عَلَى خَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ مُحَمَّدًا رَسُولُ رَمَضَانَ وَحَجَ الْبَيْتِ

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda: "Islam didirikan di atas lima pondasi, yaitu: memberi kesaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah." (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari Abdurrahman bin Auf).

Hadits kedua:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang muslim dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat". [HR. Muslim, no: 82, dari Jabir]

b. Hukum meninggalkan Sholat

Hukum meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya

Para ulama sepakat, bahwa meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya adalah sebuah kekafiran dan mengeluarkan dari Islam.

Hukum meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya

Adapun jika meninggalkannya namun tetap meyakini kewajibannya, dimana ia meninggalkannya karena malas atau disibukkan oleh urusan yang lain yang tidak dipandang udzur secara syariat, maka telah ada hadits-hadits yang menyebut kekafirannya dan wajibnya dibunuh.

Dari Jabir ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ»
“Batas pemisah antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dari Buraidah, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»

“Perjanjian yang mengikat antara kami dengan mereka adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4143)

Dari Abdullah bin Syaqiq Al Uqailiy ia berkata, “Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang amalan yang jika ditinggakan mengakibatkan kafir selain shalat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan dishahihkan oleh Al Albani)

2.3  Syarat Shalat :

a. Syarat wujub (diwajibkan shalat) ada enam:

1). Muslim,
2). Baligh,
3). Berakal,
4). Bersih dari haidh dan nifas,
5). Telah sampainya dakwah,
6). Sehat panca indera.[2]
[2] Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah, hlm. 207.

Udzur shalat ada dua, yaitu : 1). Tidur, dan 2). Lupa. Jika kondisinya demikian maka kepadanya diwajibkan melaksanakan shalat ketika telah tersadarnya. 

Catatan dari Syaikh Dr. Labib:

Orang kafir ketika kafirnya tidaklah dituntut untuk shalat karena shalatnya dianggap tidak sah. Ia tidaklah diperintah untuk mengqadha’ shalatnya kalau kafirnya adalah kafir asli. Sedangkan orang murtad, ia diperintahkan mengqadha’ shalatnya ketika kembali masuk Islam.

Shalat bagi orang yang lahir dalam keadaan buta dan tuli tidaklah wajib, ia tidak perlu mengqadha kalau akhirnya bisa melihat atau mendengar.

b. Syarat yang khusus untuk shalat:

Disebutkan dalam kitab Safiinatun Najaah (Dasar-dasar Fiqih Madzhab Syafi'i) bahwa syarat sahnya shalat ada 8 (delapan), yaitu : yaitu [1] suci dari dua hadats (besar dan kecil), [2] suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, [3] menutup aurat, [4] menghadap qiblat, [5] masuk waktu, [6] mengetahui bahwa shalat itu fardhu, [7] tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah, dan [8] menjauhi pembatal-pembatalnya.[3]
[3] https://rumaysho.com/31111-safinatun-naja-syarat-sah-shalat.html, diakses tanggal 26 November 2023, Jam 21:16 WIB.

Pertama: Suci dari dua hadats

Maksudnya adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar dengan air atau debu (dengan syaratnya). Shalat dari orang yang tanpa bersuci padahal air atau debu itu ada, lalu dalam keadaan sengaja dan tahu, ia berdosa. Kalau dalam keadaan lupa, ia diberi ganjaran karena niatnya. Adapun yang luput dari air atau debu, ia wajib shalat dalam rangka menghormati waktu dan shalatnya tetap diulang.

Shalat dalam keadaan berhadats:

1). Siapa yang shalat dalam keadaan lupa atau tidak tahu kalau ia masih dalam keadaan berhadats, maka shalatnya wajib diulangi. Hal ini disepakati oleh para ulama sebagaimana ada ijmak yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Rajab.

2). Siapa yang tidak mendapati air, juga tidak mendapati debu karena ada uzur yang teranggap (seperti karena ditawan atau sakit), maka ia shalat sesuai kondisinya, dan shalatnya tidak perlu diulang. Inilah pendapat dalam madzhab Hambali, pendapat ulama Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah, dipilih pula oleh Imam Bukhari, Ibnu Hazm, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu ‘Utsaimin, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (komisi fatwa KSA).

Kedua: Bersuci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat

Maksudnya adalah suci dari najis ghair al-ma’fuu ‘anhaa, najis yang tidak termaafkan.

As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar menjelaskan, “Bersuci dari najis maksudnya adalah membersihkan najis yang tidak dimaafkan yang ada pada pakaian orang yang shalat dan semacamnya, termasuk juga yang dibawa, atau menempel dengan sesuatu yang dibawa. Begitu pula yang dimaksud adalah bersuci dari najis yang ada pada badan, termasuk yang ada dalam bagian dalam mata, mulut, dan hidung. Begitu pula tempat yang digunakan untuk shalat harus suci karena bertemu langsung dengan badan dan sesuatu yang dibawa.” (Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah, hlm. 207).

Rincian pendapat ulama, shalat dalam keadaan bernajis:

1). Jika tidak mampu atau ada bahaya sehingga tidak bisa menghilangkan najis, maka shalat dalam keadaan seperti itu, dan shalatnya tidak perlu diulangi. Inilah pendapat ulama Hanafiyyah, salah satu pendapat Hambali, pendapat Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.

2). Jika mendapati najis pada badan atau pakaian ketika shalat, maka hendaklah najis tersebut dihilangkan tanpa tersisa, maka shalatnya tetap sah. Seperti ini adalah ijmak sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar.

3). Jika seseorang shalat terkena najis dalam keadaan lupa, tidak tahu, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulang. Inilah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Imam Syafi’i yang qadim, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.

Ketiga: Menutup aurat

Syarat sah shalat yang ketiga adalah menutup aurat dengan sesuatu yang menyelimutinya dan dapat mencegah untuk mengetahui warna kulitnya dilihat dari jarak pembicaraan biasa bagi orang yang normal pandangannya. Apabila penutup itu menampakkan bentuk tubuhnya (seperti celana ketat), masih diperbolehkan untuk shalat (tetapi disertai hukum makruh). Sesuatu yang tidak ada jizmnya (konkritnya) tidak bisa dijadikan penutup aurat seperti gelap malam, bekas pacar, atau pewarna yang tidak wujud konkrit menutup.

Apabila seseorang tidak mendapati sesuatu yang menutupi seluruh auratnya, maka dahulukan menutup qubul dan dubur, kemudian menutupi qubul (kemaluan). Bila tidak mendapati apa pun, maka diperbolehkan mengerjakan shalat dalam keadaan telanjang dan tidak perlu diqadha shalatnya.

Catatan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengenai syarat menutup aurat:

1). Menutup aurat ini termasuk syarat sah shalat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, baik shalat di hadapan orang lain maupun shalat sendirian, berlaku dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, shalat jenazah maupun thawaf, termasuk pula ketika melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.

2). Jika aurat orang yang shalat itu terbuka, tidak sah shalatnya baik terbuka banyak maupun sedikit, atau itu sebagian saja. Walaupun ia shalat dalam keadaan tertutup dari pandangan orang, kemudian setelah selesai shalat, ada bagian yang terbuka auratnya, wajib shalatnya diulang, terserah ia mengetahuinya sebelum shalat lalu ia lupa, ataukah ia tidak mengetahuinya sama sekali.

3). Jika aurat terbuka karena angin, lalu ditutup seketika itu juga, shalatnya tidak batal. Namun, jika tidak segera ditutup, shalatnya batal karena kelalaian.

4). Jika tidak mampu menutup aurat, wajib shalat dalam keadaan telanjang, kemudian ia lakukan rukuk dan sujudnya, dan tanpa mengulangi shalatnya menurut pendapat al-ashah (yang paling kuat). Namun, jika pakaian untuk menutup aurat mampu dibeli atau disewa, maka wajib dibeli atau disewa. Atau kalau ada pakaian orang lain, bisa meminta izin meminjamnya.

5). Hikmah menutup aurat dalam shalat adalah karena seseorang yang shalat sedang menghadap Allah, maka harusnya dalam keadaan yang sempurna dan terbaik.

6). Di luar shalat juga wajib menutup aurat kecuali dalam keadaan sendirian karena ada hajat seperti mandi.

7). Jika seorang muslim atau muslimah dalam keadaan butuh atau darurat diminta untuk menyingkap aurat, misal untuk kebutuhan berobat atau khitan, maka boleh seperti itu. Kondisinya ketika itu dalam keadaan hajat dan darurat. Namun, yang dibuka hanyalah yang butuh dilihat.

Keempat: Menghadap kiblat

Syarat sah shalat yang keempat adalah menghadap ‘ainul Kabah (persis ke Kabah) dengan dadanya. Apabila seseorang shalat di dalam Kabah, maka wajib menghadap ke bangunan Kabah setinggi 2/3 hasta (sekitar 30 cm) atau lebih, seperti menghadap ke pintunya yang tertutup atau ambang pintu.

Beberapa masalah yang tidak disyaratkan menghadap kiblat:

1). Shalat sunnah dalam perjalanan (safar) yang diperbolehkan syariat menuju suatu tempat, yang batasannya hingga tidak terdengar panggilan Jumat (atau lebih dari batasan itu), jika terpenuhi syarat qashar shalat (di antaranya menempuh jarak 83 km).

2). Shalat dalam keadaan syiddah al-khauf (sangat genting, sangat takut).

3). Shalat yang disamakan dengan keadaan khauf, seperti shalat yang tidak mampu menghadap kiblat karena sakit dan tidak ada seseorang yang menghadapkannya ke kiblat, atau shalat orang yang sedang terombang-ambing di lautan, atau orang yang sedang terikat di sebuah kayu, misalnya, atau tersalib, ia shalat sesuai kemampuannya, shalatnya nanti diulangi. Adapun shalat syiddah al-khauf dan shalat sunnah saat safar tidak perlu diulangi.

Kelima: Masuk waktu shalat

Masuk waktu shalat bisa diketahui secara yakin atau sangkaan dengan ijtihad.

Keenam: Mengetahui shalat itu fardhu

Orang yang shalat mesti meyakini bahwa shalat itu wajib. Jika ia ragu-ragu akan wajibnya, shalat tidaklah sah.

Ketujuh: Tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah

Bentuknya:
1). Meyakini rukun tertentu dalam shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya tidak sah.
2). Meyakini seluruh rukun shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya tidak sah pula.

Misal yang tidak sah: Meyakini membaca surah Al-Fatihah dan rukuk sebagai sunnah shalat.

Kedelapan: Menjauhi pembatal-pembatalnya

Diantara perkara-perkara yang membatalkan sholat, adalah:

1). Berbicara dengan sengaja dengan kata-kata yang biasa ditujukan kepada manusia sekalipun kata-kata tersebut bersangkutan dengan sholat kecuali lupa.

2). Banyak bergerak, yaitu minimal tiga kali gerakan yang dilakukan secara berturut-turut walaupun lupa.

3). Makan dan minum. Jika banyak, baik lupa ataupun sengaja tetap batal. Apabila sedikit, maka tidak batal apabila lupa dan batal apabila sengaja.

4). Meninggalkan salah satu rukun atau sengaja memutuskan rukun sebelum sempurna. Seumpanya melakukan i’tidal sebelum sempurnanya ruku’.

5). Meninggalkan salah satu syarat. Misalnya berhadats dan terkena najis yang tidak dimaaf, baik dipakaian ataupun badan. Apabila najis itu dibuang seketika itu juga maka sholatnya tidak batal. Begitu juga terbuka aurat, apabila ditutup saat itu juga maka sholatnya tidak batal. Berpaling dari kiblat juga membatalkan sholat. Ukuran kiblat dalam sholat yang dilakukan dalam kondisi sempurna adalah dada.[4]
[4] https://an-nur.ac.id/perkara-perkara-yang-membatalkan-sholat/, diakses tanggal 17 November 2023, jam 07:47 WIB.

2.4  Rukun Shalat :

a. Pengertian Rukun

“Makna rukun. Rukun sesuatu ialah bagian mendasar dari sesuatu tersebut, seperti tembok bagi bangunan. Maka bagian-bagian shalat adalah rukun-rukunnya seperti ruku’ dan sujud. Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi sah kecuali apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi SAW,”.


Secara singkat bisa kita artikan bahwa rukun shalat adalah bagian penyusun dari shalat tersebut. Ada berbagai macam versi tentang berapa rukun shalat. Namun demikian, perbedaan versi tersebut tidaklah bersifat substansial, namun hanya persoalan teknis belaka, seperti misalnya ada ahli fiqih yang menyebutkan rukun thuma’ninah (“tak bergerak sejenak”) hanya sekali saja meskipun letaknya di berbagai tempat, dan ada yang menyebutkannya secara terpisah-pisah. Juga ada di antaranya yang menyatakan bahwa niat keluar dari shalat merupakan rukun, namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut secara otomatis termaksudkan dalam rukun salam pertama.

b. Rukun Shalat


Shalat memiliki fardhu-fardhu dan rukun-rukun yang daripadanya terwujud hakikat shalat, dimana jika salah satunya ditinggalkan, maka shalat tidak terwujud dan belum dianggap secara syara’.

1. Niat

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ ينكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (dan ia akan beruntung), dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai niat hijrahnya (hijrahnya sangat hina).” (HR. Bukhari)
Tentang melafazkan niat

Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan berkata, “Niat artinya bermaksud dan berazam melakukan sesuatu. Tempatnya di hati; tidak ada kaitannya dengan lisan sama sekali. Oleh karenanya, tidak ada nukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat. Lafaz niat yang diada-adakan ketika hendak memulai bersuci dan shalat telah dijadikan kesempatan oleh setan untuk menundukkan orang-orang yang was-was, dimana setan berhasil menahan mereka dan membuat mereka tersiksa karenanya, bahkan membuat mereka berusaha memperbaiki dalam melafazkannya. Oleh karenanya engkau melihat salah seorang di antara mereka mengulang-ulangnya dan memaksa jiwanya untuk melafazkanya, padahal itu bukan bagian shalat sedikit pun.”

2. Takbiratul Ihram

Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ»

“Kunci shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits yang paling shahih dan paling baik dalam masalah ini.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Hakim dan Ibnus Sakan).

Lafaznya adalah “Allahu akbar,” berdasarkan hadits Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya, lalu mengucapkan, “Allahu akbar.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Al Bazzar juga meriwayatkan dengan isnad yang shahih sesuai syarat Muslim, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri shalat mengucapkan “Allahu akbar.”

Dan dalam hadits orang yang shalatnya keliru dalam riwayat Thabrani disebutkan, “(Hendaknya) ia mengucapkan, “Allahu akbar.”

3. Berdiri dalam shalat fardhu.

Hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ bagi yang mampu berdiri. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (QS. Al Baqarah: 238)

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku terkena bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat (ketika terkena penyakit itu), maka Beliau bersabda,
«صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»
“Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk, dan jika tidak sanggup, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari)

Demikianlah kesepakatan ulama, sebagaimana mereka juga bersepakat menganjurkan untuk merenggangkan dua kaki saat berdiri.

Faedah:

Adapun dalam shalat sunah, maka diperbolehkan shalat sambil duduk meskipun mampu berdiri, hanya saja pahala orang yang shalat sunah sambil berdiri lebih sempurna daripada orang yang shalat sambil duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ

“Shalat yang dilakukan seseorang sambil duduk adalah separuh shalat orang yang berdiri.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr).

Dan jika seseorang tidak sanggup berdiri dalam shalat fardhu, maka ia tetap shalat semampunya, karena Allah tidaklah membebani kecuali sesuai kemampuannya. Ia juga memperoleh pahala sempurna tanpa dikurangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»

“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya pahala seperti yang ia lakukan ketika mukim dan sehat.” (HR. Bukhari dari Abu Musa)

4. Membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ»
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Jamaah dari Ubadah bin Ash Shamit).
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ
“Barang siapa yang shalat namun tidak membaca Ummul Qur’an, maka shalat itu kurang.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah)
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Daruquthni dengan isnad yang shahih)

Abu Sa’id berkata, “Kami diperintahkan membaca Fatihatul kitab (Al Fatihah) dan surat yang mudah.” (HR. Abu Dawud. Al Hafizh dan Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Isnadnya shahih.”)

Dalam hadits orang yang keliru shalatnya disebutkan, “Kemudian bacalah Ummul Qur’an...dst.” hingga Beliau bersabda, “Lakukanlah hal itu pada setiap rakaat.”

Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam senantiasa membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Dan prinsip dalam masalah ibadah adalah ittiba’ (mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

Jika tidak bisa membaca Al Fatihah

Al Khaththabiy berkata, “Hukum asalnya, shalat tidaklah sah tanpa membaca Al Fatihah. Namun sudah maklum, bahwa surat Al Fatihah diwajibkan atas orang yang mampu membacanya, bukan kepada yang tidak mampu. Jika seorang yang shalat tidak mampu membaca surat Al Fatihah, namun mampu membaca surat yang lain, maka ia harus membaca surat yang mampu itu sebanyak tujuh ayat, karena dzikr yanag paling utama setelah surat Al Fatihah adalah ayat Al Qur’an yang semisalnya. Jika ternyata tidak mampu mempelajari sedikit pun ayat Al Qur’an karena ada kekurangan pada tabiat dirinya, buruknya hapalan, atau berat pada lisannya, atau musibah yang menimpanya, maka dzikr yang plaing utama setelah Al Qur’an adalah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, yaitu tasbih (ucapan Subhaanallah), tahmid (ucapan alhamdulillah), dan tahlil (ucapan Laailaahaillallah).”

Pernyataan Al Khaththabiy di atas dikuatkan oleh hadits Rifa’ah bin Rafi’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan shalat kepada seseorang, lalu Beliau bersabda,
فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ
“Jika kamu memiliki hapalan Al Qur’an, maka bacalah. Jika tidak, maka pujilah Allah (tahmid), besarkanlah Dia (takbir), dan esakanlah Dia (tahlil).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia menghasankannya. Dan diriwayatkan pula oleh Nasa’i dan Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani).

5. Ruku’ dengan thuma’ninah

Tentang kewajiban ruku telah disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Ruku dan sujudlah kalian...dst.” (QS. Al Hajj: 77)

Ruku terwujud dengan membungkukkan badan dengan menyentuhkan kedua tangan ke kedua lutut, dan harus dilakukan dengan thuma’ninah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tsummarka’ hatta tathma’inna raaki’an,” (Kemudian rukulah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " " أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ " ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ: " " لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا " " أَوْ قَالَ: " " لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ "

Dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia paling buruk melakukan pencurian adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Dia tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya,” atau Beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim, ia berkata, “Shahih isnadnya,” dan dishahihkan oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ»

Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Lima Imam Ahli Hadits, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Thabrani, dan Baihaqi. Baihaqi berkata, “Isnadnya shahih.” Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.”)

Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah melihat seorang yang tidak sempurna ruku dan sujudnya, maka ia berkata, “Engkau belum shalat. Kalau sekiranya engkau mati, maka engkau mati tidak di atas fitrah (agama) yang Allah menciptakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atasnya.” (HR. Bukhari) [5]
[5] Marwan bin Musa Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll, http://wawasankeislaman.blogspot.com/2015/05/fardhu-fardhu-shalat-1.html

6. Bangkit dari ruku dan berdiri lurus dengan thuma’ninah

Hal ini berdasarkan perkataan Abu Humaid menerangkan sifat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
“Ketika Beliau mengangkat kepalanya (dari ruku), maka badannya lurus sehingga tulang-tulang punggung kembali ke tempatnya semula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga menerangkan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu, “Beliau ketika mengangkat kepalanya dari ruku tidak melakukan sujud sampai badannya berdiri lurus.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian bangkitlah (dari ruku) hingga engkau berdiri lurus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى صَلَاةِ رَجُلٍ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ
“Allah tidak melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya (berdiri lurus) antara ruku dan sujudnya.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah dan dihasankan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).

7. Sujud dengan thuma’ninah

Kewajiban sujud tercantum dalam Al Qur’an dan diterangkan lebih lanjut dalam As Sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang keliru shalatnya, “Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud dan bangkitlah hingga engkau thuma’ninah ketika duduk, lalu sujudlah hingga engkau thuma’ninah ketika sujud.”

Dengan demikian, sujud pertama, bangun dari sujud, dan sujud kedua hukumnya fardhu di setiap rakaat baik shalat fardhu maupun sunah.

Thuma’ninah artinya diam sejenak setelah tetapnya anggota badan, sebagian ulama memperkirakan batasan minimalnya, yaitu seukuran ucapan tasbih.

8. Duduk terakhir sambil membaca tasyahhud dengan thuma’ninah

Demikianlah yang sudah masyhur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bahwa Beliau duduk terakhir dan membaca tasyahhud di sana. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang yang keliru shalatnya, “Jika engkau angkat kepalamu setelah sujud terakhir dan kamu duduk seukuran tasyahhud, maka telah sempurna shalatmu.”

Ibnu Qudamah berkata, “Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, “Sebelum difardhukan tasyahhud kepada kami, kami mengucapkan, “Assalamu ‘alallah qibala ibaadih, As Salamu ‘alaa Jibril, As Salaamu ‘alaa Mikail,” (artinya: salam atas Allah dari hamba-hamba-Nya, salam atas Jibril, dan salam atas Mikail) lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian mengucapkan “As Salaamu alallah” tetapi ucapkanlah “At Tahiyyaatu lillah...dst.” Hal ini menunjukkan bahwa tasyahhud itu hukumnya fardhu (wajib) setelah sebelumnya tidak fardhu.”[6]
[6] Marwan bin Musa Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Shifat Shalat Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), dll, http://wawasankeislaman.blogspot.com/2015/05/fardhu-fardhu-shalat-2.html

9. Salam

Kewajiban salam berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan praktek Beliau. Beliau bersabda,
«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ»

“Kunci shalat adalah bersuci, awalnya takbir, dan akhirnya salam.” (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits paling shahih dan paling baik tentang masalah ini.”)

Dari Amir bin Sa’ad, dari ayahnya , ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sehingga terlihat putihnya pipi Beliau.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau mengucapkan ke sebelah kanannya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,” dan ke sebelah kirinya, “As Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” (Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram berkata,“ HR. Abu Dawud dengan isnad yang shahih.”) [7]
[7] Marwan bin Musa Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Shifat Shalat Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), dll., http://wawasankeislaman.blogspot.com/2015/05/fardhu-fardhu-shalat-3.html

c. Manfaat Shalat Fardhu

Selain itu mempelajari shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena shalat adalah bentuk pengabdian manusia kepada Allah SWT yang wajib dilaksanakan agar didalam setiap kegiatannya selalu diberikan keberkahan, kebaikan, kemudahan, dan jalan keluar dari kesulitan yang menimpa. Adapun manfaat dari melaksanakan shalat menurut Imam Ja’far Al-Shadiq antara lain yaitu mengajarkan bagaimana agar kita selalu mengawali suatu perbuatan dengan niat yang baik, dan ini bisa tercermin dari sebelum memulai shalat kita harus selalu mengawalinya dengan niat. Selain itu manfaat shalat yang lainnya yaitu dapat memperkuat iman, membangun akhlak yang baik dan moralitas yang tinggi, mengajarkan tentang kesabaran, serta dapat mencegah dari segala perbuatan yang keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut/29:45).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dari shalat sangatlah banyak baik bagi jasmani maupun rohani jika shalat tersebut dilakukan secara baik dan benar dan teratur.

2.5  Waktu-Waktu Sholat

Pelaksanaan shalat fardhu telah diatur waktunya sesuai dengan jenis-jenis shalat. Ketepatan menjalankan waktu shalat ini adalah merupakan salah satu syarat sahnya shalat.[8]
[8] https://muslim.or.id/6258-waktu-waktu-shalat.html, diakses tanggal 21 November 2023, Jam 20:18 WIB.

1. Shalat Zhuhur

Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).

Shalat zhuhur adalah shalat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Shalat zhuhur disebut juga shalat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena shalat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga shalat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ) (Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541).

Awal Waktu Shalat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ….

“Waktu Shalat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar….” (HR. Muslim No. 612).

Akhir Waktu Shalat Zhuhur

Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.

Catatan:

1). Waktu shalat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.

2). Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Shalat Zhuhur di Awal Waktunya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat zhuhur ketika matahari telah tergelincir” (HR. Muslim No. 618).

3). Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Shalat Zhuhur Jika Sangat Panas. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اشْتَدَّ الْبَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ ، وَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan shalat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan shalat” (HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615).

4). Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir shalat.

2. Shalat ‘Ashar

‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.

Shalat ‘ashar adalah shalat ketika telah masuk waktu ‘ashar, shalat ‘ashar ini juga disebut shalat wushtho (الوُسْطَى).

Awal Waktu Shalat ‘Ashar

Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ…….

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning…” (HR. Muslim No. 612).

Akhir Waktu Shalat ‘Ashar

Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ

“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).[9]
[9] https://muslim.or.id/27562-biografi-asy-syaikh-al-muhaddits-muhammad-nashiruddin-al-albani-1.html, diakses tanggal 26 November 2023, Jam 22:17 WIB.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ

“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning…” (HR. Muslim No. 612).

Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar” (HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608).

Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :

Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.

Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ

“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi” (HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621).

Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,

كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal” (HR. Bukhori No. 553).

Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

3. Shalat Maghrib

Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.

Awal Waktu Sholat Maghrib

Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.

Akhir Waktu Sholat Maghrib

Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.

Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,

ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ…..

“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib...” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

….وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..

“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam” (HR. Muslim No. 612).

Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.

Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ – أَوْ قَالَ عَلَى الْفِطْرَةِ – مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)” (HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah)

4. Shalat ‘Isya’

‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.

Akhir Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.

Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

….ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ…..

“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama…..” (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I).

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

وَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….

“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam” (HR. Muslim No. 612).

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,

إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى….

“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain” (HR. Muslim No. 681).

Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.

Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ

“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam” (HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi).

Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,

وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ

“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)” (HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233).

Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya" (HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237)”.

5. Shalat Shubuh/Fajar

Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.

Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ke atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.

Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.

Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.

Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.

Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)

Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas” (HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Shalat secara bahasa berarti ad-du’aa’ bi khair, doa kebaikan. Shalat merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat muslim dan shalat merupakan sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta'ala sebagai suatu bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat sebuah amalan yang tersusun dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, dan dilakukan sesuai dengan syarat maupun rukun shalat yang telah ditentukan.

Pelaksanaan shalat telah diatur waktunya sesuai dengan jenis-jenis shalat. Ketepatan menjalankan waktu shalat ini adalah merupakan salah satu syarat sahnya shalat.

Mempelajari shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena shalat adalah bentuk pengabdian manusia kepada Allah SWT yang wajib dilaksanakan agar didalam setiap kegiatannya selalu diberikan keberkahan, kebaikan, kemudahan, dan jalan keluar dari kesulitan yang menimpa. Adapun manfaat dari melaksanakan shalat menurut Imam Ja’far Al-Shadiq antara lain yaitu mengajarkan bagaimana agar kita selalu mengawali suatu perbuatan dengan niat yang baik, dan ini bisa tercermin dari sebelum memulai shalat kita harus selalu mengawalinya dengan niat. Selain itu manfaat shalat yang lainnya yaitu dapat memperkuat iman, membangun akhlak yang baik dan moralitas yang tinggi, mengajarkan tentang kesabaran, serta dapat mencegah dari segala perbuatan yang keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut/29:45).


DAFTAR PUSTAKA

Salim Bin Sumair Al Hadhramiy, Terjemah Matan Safiinatun Najaah (Dasar-dasar Fiqih Madzhab Syafi'i), Maktabah Ar Razin, Cetakan I, Mei 2011.

Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah, hlm. 207.

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc (Februari 2023), Matan Taqrib: Pengertian Shalat Secara Bahasa dan Istilah dalam Islam, https://rumaysho.com/36049-matan-taqrib-pengertian-shalat-secara-bahasa-dan-istilah-dalam-islam.html, diakses tanggal 23 November 2023, Jam 19:00 WIB.

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc (Februari 2023), Safinatun Naja: Syarat Sah Shalat, https://rumaysho.com/31111-safinatun-naja-syarat-sah-shalat.html, diakses tanggal 26 November 2023, Jam 21:16 WIB.

Aditya Budiman, S.T. (Juli, 2023), Waktu-Waktu Shalat, https://muslim.or.id/6258-waktu-waktu-shalat.html, diakses tanggal 21 November 2023, Jam 20:18 WIB.

Marwan bin Musa Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Shifat Shalat Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar