Rabu, 03 Januari 2024

Puasa

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 6 Angkatan 5 :
1. Nindy Kurnianingrum (PAI).
2. Nur Fadillah Lubis (PAI).
3. Nanda Nur Azizah (PAI).
4. Raisa Salsabila (PAI).

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami senantiasa haturkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayangnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh dosen mata kuliah ilmu fiqih. Sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, beserta keluarga Beliau, dan sahabat-sahabat Beliau dan kita selaku umatnya yang mudah-mudahan di berikan syafaatnya di yaumil qiyamah. Aamiin.

Secara kami sadari, bahwasannya kelebihan yang kita miliki itu adalah pemberian dari Allah, dan kekurangan yang kita miliki berasal dari diri kita sendiri. Begitupun dengan batasan ilmu pengetahuan yang kita miliki dalam menyusun makalah ini. mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk pembaca, khususnya untuk penyusun. Kritik dan saran kami persilahkan untuk melengkapi makalah ini.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Ilmu Fiqih yaitu Ustadz Humaidi Tamri, Lc. M.Pd yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih kepada rekan-rekan kelompok atas kerjasamanya dalam penyusunan makalah ini. semoga hati kita ikhlas dalam mengerjakannya dan menjadi amal baik dan bermanfaat di masa yang akan datang.

Sukoharjo, 28 Desember 2023

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar belakang.
1.2 Rumusan masalah.
1.3 Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian Puasa.
2.2 Dasar Hukum Puasa.
2.3 Hikmah Disyariatkannya Puasa.
2.4 Macam-macam Puasa.
2.5 Syarat dan Fardu Puasa.
2.6 Hal Yang Membatalkan Puasa.
2.7 Beberapa Ibadah Yang Terkait Dengan Puasa.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Puasa merupakan ibadah yang bertujuan untuk melatih fisik dan juga spiritual. Dimana di dalamnya manusia dapat menemui kelemahannya sebagai seorang hamba dan benar-benar merasakan kebesaran Allah SWT itu nyata. Dengan berpuasa manusia dapat mengelola emosi dan kesabaran. Mulai dari kesabaran menahan lapar dan dahaga, hingga melatih kesabaran untuk tidak berkata ataupun berbuat yang tidak baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami pengertian, dasar hukum, hikmah, macam-macam, syarat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan puasa.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa pengertian puasa?
2. Apa saja dasar hukum puasa?
3. Apa saja hikmah disyariatkannya puasa?
4. Apa saja macam-macam puasa?
5. Apa saja syarat dan fardu puasa?
6. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa?
7. Apa saja ibadah yang terkait dengan puasa?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian puasa.
2. Mengetahui dasar hukum puasa.
3. Mengetahui hikmah disyariatkannya puasa.
4. Mengetahui macam-macam puasa.
5. Mengetahui syarat dan fardu puasa.
6. Mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa.
7. Mengethui beberapa ibadah yang terkait dengan puasa.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Puasa

Secara Bahasa

Puasa dalam bahasa arab disebut dengan ash-shiyam yang maknanya secara bahasa adalah al-imsak (menahan diri). Hal ini sebagaimana dalam firman Allah :

فَكُلِى وَٱشْرَبِى وَقَرِّى عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِىٓ إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS. Maryam : 26)

Makna lafal “shauman” pada ayat di atas adalah menahan diri untuk berbicara.

Secara Istilah

Secara istilah syariat, puasa adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

2.2 Dasar Hukum Puasa

Ketika puasa pertama kali diwajibkan kepada umat Islam, maka tidak seperti puasa kita pada saat ini. menurut pendapat yang kuat, ada beberapa tahapan-tahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya ;

Tahapan pertama : diwajibkannya puasa Asyura (10 Muharram). Dahulu, hukum puasa Asyura wajib, bahkan orang Yahudi juga berpuasa pada waktu itu. Berdasarkan riwayat Ibnu Abbash, ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Madinah, beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Maka ketika ditanyakan sebabnya, orang-orang Yahudi berkata,

هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ ٬ وَهُوَيَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيْهِ مُوسَى ٬ وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ٬ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًالِلَّهِ

”Ini adalah hari yang agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun. Lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud Syukur kepada Allah.”

Mendengar hal itu, maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa beliau dan umat Islam lebih utama mengikuti Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi. Maka, pada hari itu (hari Asyura) Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. (HR. Bukhari No. 3997)

Tahapan kedua : diwajikannya puasa Ramadhan. Setelah diwajibkannya puasa Asyura maka diwajibkan puasa Ramadhan. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu.” (QS. Al-baqarah : 185)

Namun, ketika adanya aturan batas akhir makan dan menggauli istri adalah setelah shalat isya atau sebelum tidur. Maka apabila ada seseorang telah berbuka diawal malam, lalu tidur, lalu bangun ditengah malam, maka dia tidak boleh lagi makan hingga magrib berikutnya.

Puasa ketika itu menjadi amalan yang cukup berat, sampai-sampai suatu kejadian menimpa salah seorang sahabat, yaitu Qais bin Shirma. Qais bin Shirma al-Anshari bekerja pada siang hari dan dia sedang berpuasa. Ketika pulang, ia tidak mendapati makanan dirumahnya untuk berbuka. Dan istrinya pun berusaha keluar untuk mencari makanan. Qais bin Shirma pun menunggu, namun karena kelelahan ia pun tertidur. Karena aturan ketika itu tidak boleh lagi makan apabila tertidur, maka ia pun berpuasa di esok hari tanpa berbuka. Ketika keesokan harinya Kembali bekerja, ia pun pingsan. Ketika sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al-baqarah : 187). Dalam shahih Al-bukhari No. 1915

Tahapan ketiga : aturan puasa berubah. Setelah turunnya sebagian firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-baqarah ayat 187 tersebut, maka berubahlah aturan tersebut. Aturan tersebut berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan pasangan, makan, dan minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya.

2.3 Hikmah Disyariatkannya Puasa

Syari’at Islam ini datang untuk kemaslahatan manusia. Tidak terkecuali syari’at puasa. Puasa disyari’atkan untuk kemaslahatan manusia, meskipun bagi sebagian orang terkesan seperti “penyiksaan” karena tidak boleh makan dan minum. Namun di sisi lain, ternyata ada banyak sekali hikmah dibalik syari’at puasa ini. Dari sekian banyak itu, ada 7 hikmah besar yang perlu kita ketahui. Berikut 7 hikmah besar disyari’atkannya berpuasa :

a. Puasa Melatih ketakwaan

Hikmah inilah yang disebutkan Allah Ta’alaa dalam Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa", (Al-Baqarah : 183)

Bagaimana tidak? Dalam berpuasa, seseorang diperintahkan untuk menahan hal-hal yang dilarang Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ia meninggalkan makan, minum, berjimak, dan larangan-larangan lainnya, yang sebenarnya sangat ingin ia lakukan. Namun, seseorang yang berpuasa menahan itu semua demi mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya.

Selain itu, puasa juga melatih diri kita untuk jujur kepada Allah. Sebab, tidak ada yang bisa mengetahui apa yang kita lakukan dari terbitnya matahari hingga terbenam kecuali Allah Ta’alaa. Jika ia tidak jujur, tidak ada orang yang mengetahuinya. Lalu, apa yang membuatnya mampu menahan godaan-godaan hawa nafsu meskipun ia bisa melakukannya tanpa tanpa terlihat orang lain? Tentu saja karna ia merasa diawasi oleh Allah yang Maha melihat. Oleh karenanya, tidak salah jika dikatakan, “puasa adalah ibadah yang jauh dari syirik dan riya”.

b. Puasa melatih kesabaran

Puasa identik dengan ibadah yang membtuhkan kesabaran. Hal itu dikarenakan beberapa sebab :

- Puasa merupakan ibadah yang memakan waktu lama. Berbeda halnya dengan shalat, zakat, dan haji. Rangkaian ibadah haji tidak sampai memakan waktu satu bulan, berbeda halnya dengan puasa yang rangkainnya memakan waktu satu bulan. Demikian pula shalat. Ibadah shalat hanya dilakukan paling lama tidak sampai setengah jam, berbeda halnya dengan puasa yang dilakukan dari terbitnya matahari hingga terbenam yang memakan waktu 12 jam lebih. Sehingga, diperlukan kesabaran ekstra dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.

- Apa yang dihalalkan diluar puasa menjadi haram pada saat puasa. Makan dan minum hukumnya halal ketika tidak puasa. Ketika puasa, hukumnya berubah menjadi haram. Begitu pula halnya dengan berjimak dengan istri atau suami yang hokum asalnya halal, namun menjadi haram ketika puasa. Oleh karenanya, puasa membutuhkan kesabaran ekstra untuk menahan diri dari larangan-larangan tersebut dibandingkan pada saat tidak berpuasa.

- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam sangat menekankan untuk bersabar pada saat berpuasa. Yang menunjukkan hal tersebut adalah sabda beliau

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Maka jika kalian tengah berpuasa, janganlah ia berkata-kata kotor dan berlaku tidak terpuji. Dan jika ada seorang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia berkata kepada orang itu, ‘Sesungguhnya saya tengah berpuasa’.

Pada hadits diatas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam menekankan kita untuk bersabar, terutama saat puasa. Bersabar memang ditekankan, baik saat puasa maupun saat tidak berpuasa. Namun ketika puasa, bersabar lebih ditekannkan. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang tercela, niscaya Allah -ta’ala- tidaklah butuh terhadap puasa yang dilakukannya.”

Ketika sedang tidak berpuasa, seseorang mungkin dapat berdusta dan berkata kotor sesukanya tanpa takut siksa Allah, naudzubillah. Namun ketika puasa, ia pun sadar bahwa kata-kata kotor dan dusta yang dilakukannya akan membuat puasanya sia-sia. Sehingga, ia pun bersabar menahan kata-kata kotor dan dusta ketika puasa. Maka tidak salah jika dikatakan, “ Puasa dapat memadamkan permusuhan”. Sebab, pintu-pintu masuk datangnya permusushan telah ditutup, dan setiap orang diperintahkan untuk bersabar.

Faktor-faktor inilah yang membuat puasa identic dengan kesabaran. Sehingga, seorang yang berpuasa seperti halnya orang yang melakukan training kesabaran. Dan inilah cara terbaik untuk melatih kesabaran.

c. Puasa Dapat Mengekang Syahwat

Diantara hikmah besar disyariatkannya puasa, itu dapat menahan dan mengekang syahwat. Hal ini di buktikan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu menikah, maka hendaklah ia menikah, karena ia lebih bisa menundukkan pandangan, dan lebih bisa menjaga kemaluan. Namun barang siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat menjadi penghalang baginya (meredam hawa nafsunya)".

Dari sekian banyak ibadah yang ada, puasa secara khusus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam untuk menahan godaan syahwat. Sebab, orang yang berpuasa dilarang untuk menuruti syahwat kemaluan. Selain itu, orang yang berpuasa biasanya tubuhnya lebih lemas dari pada orang yang tidak berpuasa, sehingga jangankan menuruti syahwat kemaluan, syahwat perut saja tidak terpenuhi.

Oleh karenanya, kita dapati orang yang kelaparan dan kehausan sering kali kurang focus memikirkan hal lain. Yang paling ia pikirkan hanya rasa lapar dan dahaganya saja. Tubuhnya pun lemas, sehingga ia tidak bisa berbuat macam-macam. Berbeda dengan orang yang tidak merasa haus dan lapar. Tubuhnya segar dan ia sanggup melakukan apa saja yang ia mau. Tidak salah jika dikatakan, “Syahwat kemaluan tidak akan terpenuhi kecuali dengan terpenuhinya syahwat perut”.

d. Puasa Melemahkan Godaan Setan

Ketika puasa, godaan setan akan melemah. Hal itu dikarenakan pembuluh darah kita ketika puasa akan mengecil. Memangnya, apa hubungannya antara pembuluh darah yang mengecil dengan godaan setan? Jawabannya : Menyempitnya pembuluh darah akan menyempitkan pergerakan setam yang berjalan didalam aliran darah manusia. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam,

ان الشيطان يجري من الانسان مجرى الدم

“Sesungguhnya setan berjalan dalam diri manusia melalui aliran darah”.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Puasa dapat menyempitkan pergerakan setan. Karena ia berjalan didalam aliran darah manusia. Dengan berpuasa, pengaruhnya akan melemah, dan mengurangi kemaksiatan.”

Hal inilah yang menjadi salah satu rahasia mengapa puasa dapat menjadi penahan syahwat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Apalagi pada saat bulan Ramadhan, setan-setan akan dibelenggu, sehingga setan makin tak berdaya menggoda manusia.

e. Puasa Menyehatkan Hati Dan Badan

Tidak diragukan lagi, puasa dapat mendatangkan kesehatan. Baik pada hati maupun pada badan. Kesehatan hati lebih utama dari pada kesehtan badan. Karena apabila hati sehat, maka seluruh badan turut rusak. Sebagaimana sabda Nabi Shalllallahu ‘alaihi Wassallam,

الا ان في الجسد مضغة, اذا صلحت صلح الجسد كله, واذا فسدت فسد الجسد كله, الا وهي القلب

“ketahuliah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh itu, dan jika dia rusak maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati”.

Berpuasa dapat membuat hati sehat. Diantara sebab-sebab yang membuat hati sehat saat puasa :

- Orang yang berpuasa diperintahkan untuk menahan syahwat, yang mana dapat mengeraskan hati seseorang.

- Orang yang berpuasa diperintahkan untuk memadamkan sebab-sebab permusuhan yang dapat mendatangkan penyakit hati, seperti : iri, hasad, dendam, dan lainnya.

- Orang yang berpuasa akan merasakan kebahagiaan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Artinya, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Rabbnya” (HR Muslim).

Ketika menunggu berbuka puasa, seseorang sedang merasa lapar-laparnya. Ketika adzan berkumandang, ia pun segera menyantap hidangan dengan perasaan Bahagia. Ini baru didunia. Di akhirat kelak, ia akan Bahagia dengan pahala yang Allah berikan padanya. Kita lihat diluar sana betapa banyak orang yang depresi, sedih berlarut-larut, bahkan sampai sakit-sakitan. Ini tak lain karena mereka tidak mendapatkan kebahagiaan dihati mereka. Berbeda halnya dengan hati yang Bahagia. Ketika hati Bahagia, imunitas tubuh pun meningkat. Sehingga, seorang yang Bahagia tidak mudah terserang penyakit.

Selain hati, badan pun turut menjadi sehat. Ketika puasa, tubuh dapat lebih focus mencerna kotoran dan sisa-sisa makanan yang menempel didalam tubuh kita. Sehingga, tubuh pun menjadi bersih dari kotoran-kotoran yang berpotensi menjadi penyakit. Selain itu, puasa juga dapat menjadi semacam program diet bagi mereka yang kelebihan berat badan.

Namun perlu diingat, niat utama kita berpuasa bukanlah untuk kesehatan badan semata, namun yang paling utama adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’alaa. Adapun kesehatan badan hanyalah hikmah atau bonus yang di dapatkan dari berpuasa.

f. Puasa Membuat Kita Bersyukur

Diantara hikmah puasa juga, seseorang akan merasakan anugerah Allah berupa nikmat kenyang dan kepuasan. Ia tidak akan merasakan hikmah ini tanpa puasa. Karena ketika nikmat itu hilang, seseorang baru merasakan betapa pentingnya nikmat yang hilang itu.

Jika seseorang telah merasakan dahaga dan lapar yang luar biasa, serta terik matahari yang menyengat, ia akan merasakan betapa berharganya nikmat Allah. Ia akan menyadari betapa sulitnya orang yang merasakan perihnya lapar dan dahaga setiap hari, sehingga akan muncul rasa empati kepada mereka yang berada dibawah garis kecukupan.

Dengan begitu, seseorang akan tergerak untuk membantu dan meringankan beban orang-orang yang berada dibawahnya. Seorang bos manajer akan memberi keringanan pekerjaan kepada karyawan-karyawannya, seperti dipotong waktu kerjanya, atau yang lainnya. Orang kaya akan berlomba-lomba bersedekah makanan, pakaian, atau bahkan tempat tinggal kepada mereka yang membutuhkan.

Diantara bentuk rasa syukur orang yang berpuasa adalah, ia akan sadar betapa pentingnya nikmat yang ia miliki, sehingga ia tidak akan menggunakannya untuk hal-hal yang sia-sia. Orang kaya tidak akan menggunakan hartanya untuk berboros-borosan. Orang yang sehat tidak akan mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat membahayakan kesehatan. Semua amalan tadi tak lain adalah buah dari rasa syukur kita atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan.

g. Puasa Melatih Kedisiplinan

Diantara hikmah besar disyari’atkannya puasa adalah, seseorang akan terbiasa disiplin. Di pagi hari, ia bangun sebelum subuh untuk menyantap hidangan shaur, kemudiaan saat adzan subuh, ia pun bersegera shalat subuh. Ketika hendak berbuka, ia bersegera duduk menunggu dikumandangkannya adzan maghrib. Ketika adzan telah berkumandang, ia langsung memakan makanannya dan berbuka puasa tanpa menunda-nundanya, lalu dilanjutkan dengan shalat Maghrib. Apalagi pada saat Ramadhan, ini semua dilakukan setiap hari dalam waktu satu bulan.

Tanpa disadari, pola ini melatih kita untuk hidup disiplin. Kita dapati banyak orang yang tidak jelas pola makannya. Ia makan kapanpun ia mau. Sehingga, tak jarang ada yang sampai terkena penyakit. Terkadang pula, seseorang sering terlelap dalam tidurnya, sehingga ia meninggalkan shalat subuh.

Atau terkadang pula seseorang lalai dengan aktivitasnya sehingga ia sampai meninggalkan shalat Maghrib. Namun ketika puasa, ia pun teringatkan, sehingga ia bisa shalat dan makan pada waktunya. Ini semua tak lain adalah bentuk latihan kedisiplinan. Wallahu’alam.

2.4 Macam-macam Puasa

Secara Umum, puasa dapat dibagi menjadi 2 : puasa yang diperintahkan syari’at dan puasa yang dilarang syari’at.

1). Puasa Yang Diperintahkan Syari’at

Puasa yang diperintahkan syari’at terbagi menjadi 2 :

A. Puasa Wajib

Puasa wajib adalah puasa yang apabila dilakukan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Contohnya adalah puasa Ramadhan, puasa wajib dibagi lagi menjadi 2 :

1. Puasa yang wajib pada asalnya, yaitu puasa Ramadhan.

2. Puasa yang wajib karena adanya tanggungan. Contohnya : puasa kafarat, puasa nazar, dan puasa qadha’.[1]
[1] Puasa kafarat adalah bentuk sebuah penebusan atas pelanggaran dalam berpuasa

B. Puasa sunnah

Puasa sunnah adalah puasa yang jika dilakukan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Contohnya adalah puasa senin-kamis. Puasa sunnah dibagi lagi menjadi 2 :

- Puasa sunnah mutlak (bebas), yaitu puasa yang diperintahkan Al-Qur’an dan Sunnah, yang tidak terikat dengan waktu tertentu, maka sunnah melaksanakannya pada waktu kapan saja, kecuali waktu-waktu yang dilarang untuk berpuasa.

- Puasa sunnah muqayyad (terikat), yaitu puasa yang diperintahkan dari Al-Qur’an dan Sunnah dan terikat dengan waktu tertentu. Contohnya, puasa 6 hari dibulan syawwal, puasa senin dan kamis, puasa hari arafah (9 Dzulhijjah), puasa Tasu’a (9 Muharram) dan “asyuro (10 Muharram).

2). Puasa Yang Dilarang Syari’at

Puasa yang dilarang syari’at terbagi menjadi 2 :

a. Puasa makruh

Puasa makruh adalah puasa yang jika ditinggalkan mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak mendapat dosa. Contohnya adalah puasa wishal, dan puasa ‘arafah bagi orang yang berhaji.

b. Puasa haram

Puasa haram adalah yang apabila dilakukan mendapat dosa, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Contohnya adalah puasa Hari Raya, dan puasa pada Hari syak.[2]
[2] Hari syak adalah tanggal 30 Sya’ban hasil dari penggenapan bulan sya’ban, karena hilal tidak terlihat

Inilah gambaran umum mengenai pembagian puasa dan hukum-hukumnya. Adapun untuk perincian dan dalil-dalilnya insya Allah akan dibahas pada pembahasan mendatang. Wallahu A’lam.

2.5 Syarat dan Fardu Puasa

Syarat wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Maka Puasa wajib atas siapa yang memenuhi lima syarat berikut:

وشرائط وجوب الصيام خمسة اشياء الاسلام، والبلوغ، والعقل،والقدرة على الصوم، واقامة

Artinya: "Syarat sah puasa ada 5 yakni Islam, baligh, berakal, mampu dan mukim (menetap)".[3]
[3] https://lampung.nu.or.id/syiar/5-syarat-wajib-berpuasa-bagi-seorang-muslim-ro41W

a. Islam, Secara mutlak, dasar kewajiban puasa ialah firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" (QS Al-Baqarah: 183).

sehingga puasa tidak wajib dan tidak sah dilakukan oleh orang kafir, Karena puasa adalah ibadah, dan ibadah itu tidak sah dilakukan oeh orang kafir, lalu bila orang kafir itu masuk islam, maka ia tidak wajib mengqadha’ puasa yang dilewatkannya selama kekafirannya.[4]
[4] Kitab al-Fiqh al-Muyassar, hal 245 / kitaabush shiyam.

b. Baligh, Baligh merupakan salah satu syarat wajib puasa Ramadhan, artinya anak kecil tidak dibebankan kewajiban berpuasa. Akan tetapi bagi anak kecil yang belum baligh agar diajarkan berpuasa oleh walinya supaya terbiasa nantinya. Sehingga ia tidak meremehkan kewajibansyariat.
Sedangkan ukuran baligh yakni ia pernah keluar mani dari kemaluannya baik dalam keadaan tidur atau terjaga untuk laki-laki dan khusus bagi perempuan sudah keluar haid. Dan syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9 tahun. Dan bagi yang belum keluar mani dan haid, maka batas minimal ia dikatakan baligh yakni pada usia 15 tahun dari usia kelahirannya. berdasarkan sabda nabi saw,

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ.

“pena diangkat dari tiga golongan orang yang tidur sampai ia terbangun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh".[5]
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/100; dan Abu Daud, 4/558; dishahihkan oleh al-Albani dalam irwa’ al-Ghalil, no.297.

Didalam hadits tersebut nabi saw menyebutkan diantara tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i, yaitu anak-anak sampai dia dewasa, namun apabila anak yang belum baligh berpuasa maka puasanya sah bila dia sudah mumayyiz (anak yang telah biisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya).

c. Berakal, Syarat ketiga berpuasa yakni berakal yang sempurna atau tidak gila, baik gila karena cacat mental atau gila disebabkan mabuk. Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar karena mabuk atau cacat mental, maka tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa, terkecuali orang yang mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan menjalankan ibadah puasa di kemudian hari (mengganti di hari selain bulan Ramadhan atau qadha). berdasarkan sabda nabi saw,

رفع القلم عن ثلاثة

“pena diangkat dari tiga orang…" Lalu nabi menyebutkan diantara mereka, yaitu orang gila sehingga dia sembuh.

d. Kuat atau mampu (sehat), Syarat selanjutnya yakni kuat menjalankan ibadah puasa. Selain Islam, baligh, dan berakal, seseorang harus mampu dan kuat untuk menjalankan ibadah puasa. Apabila tidak mampu maka diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Bila orang sakit tetap berpuasa, maka puasanya sah, Lalu bila penyakitnya sudah sembuh, maka wajib mengqadha’ puasa sejumlah hari-hari tidak berpuasanya. berdasarkan firman allah ta’ala,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْتَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui" (Q.S Al-Baqarah:184).

Kata يطيقونه diibaca pula يطوقونه bermakna mereka dibebani dan tidak mampu menjalankan.

Dijelaskan dalam hadits Bukhari (4235) riwayat dari Atha' bahwa dia mendengar Ibnu Abbas membaca:

وعلى الذين يطوقونه فدية طعام مسكين

Artinya: Ibnu 'Abbas berkata ayat ini tidak dinasakh. Orang yang dimaksud pada ayat ini adalah seorang laki-laki dan perempuan, baik tua ataupun muda yang keduanya tidak berpuasa dan mereka memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap harinya.

e. Mukim (menetap), sehingga puasa tidak wajib atas musafir, Maka ketika seorang muslim sedang menempuh perjalanan jauh (statusnya musafir) maka ada rukhsoh (keringanan) untuk tidak berpuasa.

Bila seorang musafir masih tahan (mampu) berpuasa selama perjalanan itu maka puasa lebih baik dari pada membatalkannya. Dan apabila seorang musafir tidak tahan (tidak mampu ) berpuasa maka membatalkan puasanya lebih utama dari pada menahannya.[6] berdasarkan firman allah ta’ala,
[6] https://lampung.nu.or.id/syiar/5-syarat-wajib-berpuasa-bagi-seorang-muslim-ro41W

ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyk hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. albaqarah:185)

Itulah 5 syarat berpuasa bagi seorang muslim, adapun dalam Kitab al-Fiqh al-Muyassar, syarat wajib puasa ramadhan/hal 245-kitaabush shiyam; menambahkan, syarat khusus bagi seorang wanita yaitu Suci dari haid dan nifas, maka wanita haaid dan nifas tidak waajib berpuasa, bahkan haram berpuasa atas keduanya, berdasarkan sabda nabi saw,

اليس اذا حاضت لم تصل ولم تصم , فذالك من نقصان دينها

“bukankah bila seorang wanita mengalami haid tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah diantara kekurangan agamanya.”[7]
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 304.

Keduanya wajib mengqadha’ puasa, berdasarkan ucapan aisyah ra,

كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة

“dahulu kami biasa mengalami haid, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[8]
[8] Diriwayatkan oleh muslim, no. 335.

2.6. Hal Yang Membatalkan Puasa

Pembatal puasa adalah perkara-perkara yang merusak dan membatalkan puasa orang yang berpuasa. Puasa yang sedang dikerjakan akan batal apabila seseorang kehilangan salah satu rukun puasa, atau salah satu dari syarat sahnya puasa. Maka diantara pembatal-pembatal puasa adalah sebagai berikut:

a. Makan dan minum dengan sengaja, Para ulama sepakat bahwa makan dan minum termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, karena makan dan minum merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan ketika sudah masuk waktu fajar. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa, makan dan minum yang dapat membatalkan puasa adalah jika dilakukan secara sengaja, dan bukan karena lupa.berdasarkan firman allah swt,

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

“makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian(perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa sampai datang malam hari.” (QS. al-baqarah:187)

Ayat ini menjelaskan tentang apa saja yang boleh dilakukan pada malam hari sebelum terbitnya fajar, yaitu makan dan minum. Sehingga pengertian terbaliknya (mafhum) adalah makan dan minum merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan ketika sudah masuk waktu fajar sampai terbenam matahari –malam. Adapun orang yang makan atau minum Karena lupa,maka puasanya tetap sah, dan dia wajib menahan diri (tidak melanjutkan makan atau minum) mana kala ingat atau diingatkan bahwa dia sedang berpuasa, berdasarkan sabda nabi saw,

مَن نَسِيَ وَهُوَ صائِمٌ فَأكَلَ أو شَرِبَ, فَيُتِمَّ صَومَهُ, فإنما أطعَمَهُ الله وسقاه

“barang siapa lupa saat sedang berpusa lalu dia makan atau minum, maka hendaklah dia melanjutkan pusanya, karna sesungguhnnya allah lah yang telah memberinya maknan dan minum”[9]
[9] Muttafaq ‘alaih: diriwayatkan oleh al- Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no.1155: dari hadits Abu Hurairah ra.

b. Jimak, puasa batal dengan sebab hubungan intim suami istri, sehingga barang siapa yang melakukan jimak saat sedang berpuasa mak puasanya batal, dan dia wajib bertaubat dan memohon ampun kepada allah, mengqadha’ puasa pada hari dimana dia melakukan jimak, ditambah dengan kaffarat, yaitu memerdekakan hamba sahaya, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan bila dia tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah ra, dia berkata,

“saat kami sedang duduk-duduk disisi nabi saw, tiba-tiba seorang lelaki datang seraya berkata, ‘wahai rasulullah, aku telah celaka. Maka nabi bertanya, ‘ada apa denganmu? Dia menjawab, ‘aku melakukan persenggemaan dengan istriku padahal aku sedang berpuasa (wajib). Rasulullah saw bertanya,’apakah kamu mempunyai budak untuk kamu merdekakan? Dia menjawab, ‘tidak. Beliau bertanya, ‘apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Dia menjawab, ‘tidak. Beliau saw bertanya lagi, ‘apakah kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin? Dia menjawab, ‘tidak. Abu Hurairah berkata “lalu nabi saw diam, lalu tatkala kami dalam keadaan demikian, nabi diberi araq yang didalam nya ada kurma –araq adalah keranjang besar-, maka beliau bertanya, ‘mana si penanya? Dia menjawab, ‘saya. Nabi saw bersabda, ‘ambillah keranjang ini lalu bersedekahlah dengannya. Lelaki itu berkata “wahai rasulullah, apakah aku harus bersedekah kepada orang yang lebih fakir dariku? Demi allah, diantara labataiha – yakni kedua tanah berbatu hitam dikota madinah- tidak ada keluarga yang lebih fakir dari pada keluargaku. Maka nabi tersenyum sampai terlihat giging taringnya, kemudian bersabda, ‘berikanlah makanan tersebut kepada keluargamu’. [10]
[10] Muttafaq ‘alaih: diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111.

Yang semakna dengan hubungan suami istri adalah mengeluarkan mani secara sengaja. Bila seseorang mengeluarkan mani secara sengaja(kemauannya sendiri) melalui ciuman atau persentuhan atau onani atau selainnya, maka puasanya rusak, karena hal ini termasuk hawa nafsu yang membatalkan puasa. Dia wajib mengqadha’ tanpa kaffarat, karena kaffarat hanyaa wajib dengan sebab hubungan suami-istri saja, sebab adanya nash hadits yang menetapkannya secara khusus.[11]
[11] Kitab al-Fiqh al-Muyassar –terjemah- D. Qa’da 1441 H, pembatal-pembatal puasa, hal 255.

c. Muntah, muntah yang di luar kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa. Apakah karena sebab sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk dan muntah. Akan tetapi jika muntah dilakukan dengan sengaja, maka hal tersebut membatalkan puasanya. berdasarkan sabda nabi saw,

مَن ذَرَعَهُ القَيءُ فَلَيسَ عَليهِ قَضاءٌ ومَنِ استَقاءَ عَمْدا فَليَقضِ

“barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya(keluar tanpa kehendaknya), maka dia tidak wajib mengqadha’, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka hendaknya mengqadha’.[12]
[12] Diriwayatkan oleh abu Daud, no. 2380; at-Tirmidzi, no. 720; dan ibnu Majah, no. 1676, dishahihkan ole al-Albani dalam shahih Ibnu Majah, no. 1368.

Muntah yang dilakukan dengan sengaja, contohnya, ketika seseorang yang berpuasa memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, sehingga mengakibatkan dirinya muntah, maka puasanya rusak atau batal. Hal ini disepakati oleh mayoritas ulama, di antaranya ulama empat mazhab sepakat, bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Bahkan imam Ibnu alMunzir menilai bahwa perkara ini telah pada tahap ijma’. Sebagaimana, umumnya mereka juga berpendapat bahwa, kewajiban yang dilakukan hanyalah dengan mengqadha’ puasanya. Mereka mendasarkannya pada hadits berikut:

Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Siapapun yang dikalahkan oleh muntahnya (keluar tanpa kehendaknya), tidak wajib mengqadha’ (puasanya tetap sah), tetapi siapapun muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha (puasanya batal).” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim).[13]
[13] https://lampung.nu.or.id/syiar/5-syarat-wajib-berpuasa-bagi-seorang-muslim-ro41W

d. Bekam, Berbekam atau hijamah (حجامة) adalah salah satu bentuk pengobatan tradisional, dimana seseorang diambil darah dari pori-pori kulit untuk dikeluarkan penyakitnya. Bila orang yang berpuasa itu berbekam, maka puasanya batal, berdasarkan sabda nabi saw,

Dari Syaddad bin Aus ra, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendatangi seseorang di Baqi’ yang sedang berbekam di bulan Ramadhan, lalu beliau bersabda: “Orang yang membekam dan yang dibekam, keduanya batal puasanya.”[14]
[14] Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2367; dan ibnu Khuzaimah, no. 1983, sanadnya dishahihkan oleh al-Albani dalam at-Ta’liq ala ibni Khuzaimah, 3/236.

Demikian pula puasanya pembekam juga rusak, kecuali bila dia membekamnya dengan alat yang terpisah dan tidak butuh untuk mengisap darahnya, maka ia tidak membatalkan puasanya.

Semakna dengan berbekam adalah mengeluarkan darah dengan melukai pembuluh darah (al-fashdu) atau mengeluarkannya untuk donor darah.

e. Keluarnya darah haid dan nifas, Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haid atau nifas, maka otomatis puasanya batal dan wajib menngqadha’nya. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Dasarnya adalah hadits berikut:

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan puasa?. Inilah maksud setengah agamanya.” (HR. Bukhari Muslim)

f. Niat berbuka,

1). Berubahnya Niat Para ulama sepakat bahwa seseorang yang berpuasa lalu merubah niatnya untuk tidak berpuasa, maka puasanya telah batal. Sebab niat yang melandasi puasa itu harus terpasang sepanjang perjalanan puasa, sejak dari terbit fajar hingga matahari terbenam.

2). Membatalkan Puasa Lalu Meniatkan Kembali, Batalkah Puasanya? Namun para ulama berbeda pendapat apabila seorang yang sedang puasa sempat berniat untuk membatalkan puasa, namun belum sempat makan minum atau melakukan hal-hal yang sekiranya membatalkan puasa, lantas berniat kembali untuk berpuasa, apakah puasanya menjadi batal atau tidak.

Mazhab Pertama: Tetap Sah. Jumhur ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i), berpendapat bahwa orang yang sempat 16 | muka | daftar isi membatalkan niat puasa, lalu melanjutkannya, puasanya tetap di anggap sah. Tentu dengan catatan tidak melakukan hal-hal yang disepakati dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum.

Mazhab Kedua: Batal. Sedangkan Mazhab Hanbali dan Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa seorang yang berpuasa sempat berniat untuk membatalkan puasanya, maka meski dia belum sempat makan atau minum, namun puasanya otomatis batal dengan sendirinya.[15]
[15] Isnan Ansory, Lc. "Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya." (2019).

g. Murtad, Di antara syarat sah puasa adalah islamnya orang yang berpuasa. Kalau ada orang Islam berpuasa, lalu gugur keislamannya atau keluar dari agama Islam (murtad), maka puasanya pun batal. Seandainya setelah murtad, pada hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya tetaplah batal, dan wajib mengqadha’ puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum. Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah swt:

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۚ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْن

“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

2.7. Beberapa Ibadah Yang Terkait Dengan Puasa

a. Qiyamul-Lail

Qiyamul-lail merupakan serangkaian ibadah malam di bulan Ramadan yang memiliki banyak keutamaan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW menganjurkan qiyam (shalat) Ramadan kepada mereka (para sahabat), tanpa perintah wajib. Beliau bersabda: “Barangsiapa mengerjakan qiyam (shalat) Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu”.

Salah satu ibadah qiyamul-lail adalah salat tarawih. Selain berpuasa, ciri khas bulan Ramadan lainnya adalah salat tarawih. Shalat sunnah yang hanya ada pada bulan Ramadan ini dapat mendatangkan pahala melimpah bagi hamba yang melaksanakannya. Setelah shalat tarawih kita bisa melanjutkan dengan salat sunnah malam lainnya.

b. Mengakhirkan makan sahur

Sahur merupakan kegiatan makan di waktu dini hari sebelum umat islam menjalankan ibadah puasa. Kita terbiasa melakukan sahur dari pukul dua hingga datang waktu subuh. Namun mengakhiri makan sahur dapat mendatangkan pahala ketika kita memilih mendahulukan salat subuh daripada melanjutkan makan. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW,

Dari Sahl Ibnu Sa’ad r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: "Saya makan sahur di keluarga saya, kemudian saya berangkat terburu-buru sehingga saya mendapatkan shalat subuh Bersama Rasulullah saw” [HR al-Bukhari, dalam kitab ash-Shiyam, Bab Ta’khir as-Sahr].

c. Berbuka tepat pada waktunya dan berdoa ketika berbuka

Menjalankan puasa harus dilakukan sesuai aturan. Kita memang diperintahkan untuk mengejar pahala sebanyak-banyaknya namun tentu masih dalam tahap wajar. Maksudnya adalah apabila telah datang waktu berbuka, maka segeralah untuk mengakhiri puasa. Menunda waktu berbuka tidak akan mendatangkan pahala. Karena sejatinya beribadah adalah kegiatan yang tidak memberatkan manusia.

Selain itu, jangan lupa untuk mengucapkan doa berbuka puasa dengan tidak terburu-buru. Bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah Allah berikan mempermudah kita dalam menjalani kewajiban berpuasa. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits riwayat Muttafaq’Alaih.

“Dari Sahl bin Sa‘ad (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Orang akan selalu baik (sehat) apabila menyegerakan berbuka.”

d. Perbanyak baca Al-Quran dan bersedekah

Ramadan merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Menurut beberapa hadis, Rasulullah selalu membaca Al-Quran Bersama dengan Malaikat Jibril di setiap malam Ramadan. Itulah mengapa umat islam dianjurkan untuk rutin membaca Al-Quran. One day one Juz dapat menjadi solusi alternatif untuk kita yang ingin mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadan.

Selain membaca Al-Quran, bersedekah juga menjadi hal yang penting di bulan Ramadan. Di dalam harta kita ada hak orang lain yang harus kita sisihkan dengan bersedekah. Maka dari itu sedekah harus dilakukan dengan hati yang lapang tanpa ada maksud duniawi. di bulan Ramadan, sedekah dapat berupa apa saja, seperti makanan, benda, tenaga, dan lain-lain.

“Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan Ramadhan, ketika ditemui oleh Malaikat Jibril pada setiap malam pada bulan Ramadhan, dan mengajaknya membaca dan mempelajari al-Qur’an. Ketika ditemui Jibril, Rasulullah adalah lebih dermawan daripada angin yang ditiupkan.” [Muttafaq ‘Alaih].

e. Iktikaf

Berdiam diri di masjid dengan tujuan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT dapat mendatangkan pahala yang melimpah. Iktikaf tidak sebatas diam, namun harus diawali dengan niat beriktikaf. Adapun iktikaf terbagi menjadi tiga jenis, yaitu iktikaf terikat waktu, iktikaf tidak terikat waktu, dan iktikaf nazar.

Salat, berdzikir, membaca Al-Quran, dan memohon ampunan kepada Allah SWT merupakan bagian dari ikhtikaf. Ikhtikaf sangat dianjurkan terutama pada 10 malam terakhir Ramadan yang apabila beruntung, kita dapat menyaksikan malam Lailatul Qadar.

Menjalani Ramadan tidak hanya diisi dengan berpuasa. Di bulan yang penuh berkah ini kita harus mengejar pahala sebanyak-banyaknya. Ramadan adalah bulan yang penuh keutamaan. Bagi hamba yang menyambut Ramadan dengan sukacita, maka terbukalah pintu surga khusus untuknya. Selain memperoleh pahala, mengerjakan amalan-amalan sunnah di bulan Ramadan dapat mendekatkan diri kita kepada Sang Pencipta.[16]
[16] Mutiara Halimatu’s Sadiyah, “Berbagai Amalan di Bulan Ramadan”, 4 April 2023
https://umj.ac.id/edisi-ramadan/berbagai-amalan-di-bulan-ramadan/

f. Memberi makan orang yang berpuasa

Diriwayatkan dalam HR. Tirmidzi maupun Ibnu Majah, Ahmad dan Al-Hafizh Abu Thahir, Nabi Muhammad SAW bersabda “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[17]
[17] Adminfst, “Amalan Sunnah di Bulan Suci Ramadhan”, 26 April 2020
https://fst.uai.ac.id/amalan-sunnah-di-bulan-suci-ramadhan/

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara istilah syariat, puasa adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Beberapa tahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya Tahapan Pertama : diwajibkannya puasa Asyura (10 Muharram). Tahapan Kedua : diwajibkannya puasa Ramadhan. Tahapan Ketiga : aturan puasa berubah. Setelah turunnya sebagian firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-baqarah ayat 187 yang berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan pasangan, makan, dan minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya.

Hikmah besar disyariatkannya puasa diantaranya dapat melatih ketakwaan, melatih kesabaran, mengekang syahwat, melemahkan godaan syetan, menyehatkan hati dan badan, membuat kita bersyukur, dan melatih kedisiplinan.

Macam-macam puasa secara umum dibagi menjadi 2 yaitu puasa yang diperintahkan syari’at dan puasa yang dilarang syari’at.

Syarat sah puasa ada 5 yakni Islam, baligh, berakal, mampu dan mukim (menetap).

Beberapa hal yang dapat membatalkan puasa yaitu makan dan minum dengan sengaja, jimak, muntah, bekam, keluar darah haid dan nifas, niat berbuka, murtad.

Adapun beberapa ibadah yang terkait dengan puasa diantaranya qiyamul lail, mengakhirkan makan sahur, berbuka tepat pada waktunya dan berdoa ketika berbuka, perbanyak membaca Al-Qur’an dan bersedekah, iktikaf, memberi makan orang yang berpuasa.

3.2 Saran

Makalah ini kami sadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dapat menyusun makalah dengan lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah,sultan. “Risalah Puasa”, Kebumen, 4 September 2021

https://lampung.nu.or.id/syiar/5-syarat-wajib-berpuasa-bagi-seorang-muslim-ro41W

Isnan Ansory, L. (2019) - repo.iainbatusangkar.ac.id Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya.

Kitab al-Fiqh al-Muyassar, kitaabu ash shiyam –terjemah. D. Qa’da 1441 H /hal 241-258.

Sadiyah, M. H. “Berbagai Amalan di Bulan Ramadan”, https://umj.ac.id/edisi-ramadan/berbagai-amalan-di-bulan-ramadan/

Adminfst, “Amalan Sunnah di Bulan Suci Ramadhan”, https://fst.uai.ac.id/amalan-sunnah-di-bulan-suci-ramadhan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar