Kamis, 25 Januari 2024

Kewajiban Yang Harus Dilakukan Dalam Mengurus Jenazah

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 9 Angkatan 5 :
1. Azka Hasanah (SBA)
2. Nurhidayati Putri (PAI)
3. Nurul Hasanah (PAI)
3. Putri Khairunissa (PAI)
4. Roslina Asis (PAI)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan pertolongan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqamah mengikutinya hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Fiqih yang berjudul “Kewajiban Yang Harus Dilakukan Dalam Mengurus Jenazah”. Dengan kerja sama yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan terimakasih banyak.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak sekali kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi membantu perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang luas serta dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dalam upaya merencanakan sistem pendidikan yang lebih baik kedepannya.

Singkawang, 26 Januari 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 9

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
A. Pengertian Merawat Jenazah.
B. Merawat Orang Sakit Keras.
C. Memandikan Jenazah.
D. Mengkafani Jenazah.
E. Mensholati Jenazah.
F. Mengubur Jenazah.
BAB III KESIMPULAN.
A. Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dunia ini pasti akan mengalami kemataian, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala dalam (QS. Ali-Imran 185) yang Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”

Kematian merupakan sesuatu hal yang pasti akan dialami setiap makhluk hidup, kedatangannya adalah sesuatu yang tidak bisa di pastikan. Bila seseorang muslim dan muslimah meninggal dunia, syari’at islam mewajibkan jenazah tersebut harus dirawat dengan baik, yaitu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan kecuali terhadap orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan syahid, kemudian baru dimakamkan. Adapun hukum melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah, artinya apabila ada salah seorang yang melakukan nya maka gugurlah kewajiban itu tetapi kalau tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua berdosa. Apabila ada seseorang meninggal, maka kewajian umat muslim untuk mempercepat penyelenggaraan jenazah dan melaksanakan kewajiban terhadap si mayit yaitu: Memandikan, Mengkafani, Menshalati, dan Menguburkan.

Oleh karena itu, sebagai umat muslim sangat penting untuk mengetahui ilmu fiqih, diantaranya yang akan kami paparkan dalam makalah ini yaitu kewajiban yang harus dilakukan dalam mengurus jenazah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah diantaranya :

1. Apa yang dimaksud dengan merawat jenazah?
2. Bagaimana cara menghadapi atau merawat orang yang sakit keras?
3. Bagaimana cara memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan jenazah?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian merawat jenazah.
2. Mengetahui cara merawat orang yang sakit keras.
3. Mengetahui cara memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan jenazah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Merawat Jenazah

Kata jenazah adalah nama bagi mayit yang ada di dalam (keranda tandu atau kurung batang). Sebagian ulama mengatakan jenazah adalah nama bagi keranda yang di dalamnya ada mayyit. Imam Muhyiddin Nawawi Al-Dimasyqiy menuqilkan pendapat pengarang kitab al-Matali yang meriwayatkan dari Imam Ibn Faris di mana beliau mengatakan kata Al Janaiz bentuk jamak dari masdar lafaz Al-Janazah, terambil dari kata kerja Janazah, Yajnizu, Janzan dan Janazatan yang memiliki arti menutup[1].
[1] Imam Nawawiy al-Dimasyqiy, Tahrir alFaz al-Tanbih (Dimasyq: Dar al-Qalam 1998), hlm. 94.

Menurut istilah kata jenazah ialah seseorang yang meninggal dunia dan terpisahnya roh dengan jasadnya. Lebih jauh kata jenazah menurut Hasan sadiliy memiliki makna "seseorang yang telah meninggal dunia yang sudah terputus masa kehidupannya dengan alam dunia ini".[2]
[2] Hasan Sadiliy, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoere, 1982), hlm. 36

Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai "seseorang yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam usungan" kata ini bersinonim dengan Al-mayit[3] atau mayat. Karenanya, Ibn Faris memaknai kematian (al-mawt) sebagai peristiwa terpisahnya nyawa (ruh) dari badan (jasad)[4]. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh orang yang sudah mati.[5]
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 215
[4] Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab., hlm. 10
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 639

Adapun yang dimaksudkan dengan merawat Jenazah adalah pengurusan jenazah seorang muslim/muslimah dengan cara memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Merawat jenazah adalah hukumnya fardhu kifayah bagi orang-orang Islam yang masih hidup. Artinya, berdosa jika tidak ada seorang pun yang mengerjakannya. Namun setiap orang tentunya wajib mengetahui tatacara bagaimana merawat jenazah yang sesuai dengan tuntunan agama Islam. Karena kewajiban merawat jenazah yang pertama adalah keluarga terdekat. Oleh karena itu, merawat jenazah adalah menjadi kewajiban keluarga terdekat si mayit, jika keluarga yang terdekat tidak ada, maka orang muslim yang lainnya berkewajiban untuk merawatnya.

B. Merawat Orang Sakit Keras

Berikut merupakan adab-adab dalam merawat atau menghadapi orang yang sakit keras:

1. Senantiasa mendoakan

Berdoa untuk kebaikan orang lain merupakan salah satu pahala yang meski sepele tapi dapat kita lakukan di kehidupan sehari-hari. Doa tersebut Insya Allah akan sedikit membantu orang yang sakit untuk segera pulih dari sakitnya.

2. Memotivasi dan memberi semangat untuk selalu berprasangka baik terhadap Allah Swt

Persoalan mati memang perihal takdir yang sepatutnya diserahkan kepada Allah. Namun, menyemangati orang yang sakit juga akan memberinya energi positif supaya dapat menghadapi nikmat sakit yang dideritanya. Sebab, kata nabi, orang sakit akan mendapatkan pahala atas penyakitnya dan dosa-dosanya akan dihapus melalui rasa sakit yang menimpanya.

3. Meringankan beban orang yang sedang sakit

Hal ini dapat berarti secara luas. Meringankan beban orang yang sakit dapat dilakukan dengan membantunya secara moril maupun materi. Hal paling kecil yang dapat kita lakukan adalah mendoakannya, membawakan sesuatu yang ia sukai ketika menjenguk, hingga membantu biaya yang dikeluarkan ketika ia sakit.

4. Mengobatinya apabila mampu

Dalam hal ini, perlu kehati-hatian yang lebih. Beberapa orang memiliki riwayat penyakit khusus yang berbeda dengan orang lain. Apabila kamu memiliki pengetahuan lebih di ranah media, kamu bisa membantunya dengan mengobatinya atau menyaran obat-obatan tertentu yang dapat dikonsumsi. Hal tersebut tentu saja dapat meringankan sakit yang dideritanya.

5. Menemaninya hingga sembuh

Orang yang sakit cenderung lemas untuk beraktivitas. Oleh karena itu, mereka butuh seseorang yang dapat menemani dan membantu memenuhi kebutuhannya selama sakit. Ketika orang-orang terdekatmu sakit, kamu bisa membantunya dengan terus menemaninya untuk melewati ujian sakitnya.[6]
[6] https://www.akurat.co/nasional/1302171918/Ladang-Pahala-Begini-5-Adab-Mengurus-Orang-Sakit-dalam-Islam

C. Memandikan Jenazah

Hukum Memandikan Jenazah

Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu'anhu, beliau berkata:

"Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah" (HR. Bukhari no.1849, Muslim no.1206)

Juga hadits dari Ummu 'Athiyyah radhialahu'anha, ia berkata:

"Salah seorang putri Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: "mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk". Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya" (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939)

Siapa Yang Memandikan Jenazah?

Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit. Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam adalah Ali radhiallahu'anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:

"Aku memandikan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Dan aku memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasab beliau bagus ketika hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata". (HR. Ibnu Majah no. 1467 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh lakilaki. Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan wajibnya menjaga aurat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:

“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu”. (HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.

Perangkat Memandikan Jenazah

Perangkat yang dibutuhkan untuk memandikan mayit diantaranya:

1. Sarung tangan atau kain untuk dipakai orang yang memandikan agar terjaga dari najis, kotoran dan penyakit.

2. Masker penutup hidung juga untuk menjaga orang yang memandikan agar terjaga dari penyakit.

3. Spon penggosok atau kain untuk membersihkan badan mayit.

4. Kapur barus yang sudah digerus untuk dilarutkan dengan air.

5. Daun sidr (bidara) jika ada, yang busanya digunakan untuk mencuci rambut dan kepala mayit. Jika tidak ada, maka bisa diganti dengan sampo.

6. Satu ember sebagai wadah air.

7. Satu embar sebagai wadah air kapur barus.

8. Gayung.

10. Kain untuk menutupi aurat mayit.

11. Handuk.

12. Plester bila dibutuhkan untuk menutupi luka yang ada pada mayat.

13. Gunting kuku untuk menggunting kuku mayit jika Panjang.

Penyebutan perangkat dan peralatan di atas bukanlah pembatasan. Bisa jadi ada perangkat dan peralatan lain yang bisa digunakan untuk memudahkan dan membantu proses memandikan jenazah. Wallahu a'lam.

Cara Memandikan Jenazah

a. Melemaskan persendian jenazah

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan" (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424)

Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup" (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)

b. Melepas pakaian yang melekat di badannya

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat. Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya" (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424)

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.

Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.

c. Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di hadapan orang-orang banyak". (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428)

Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi wanita.

d. Teknis Pemandian

Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:

"Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir. Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong kukunya jika panjang". (Matan kitab Al Akhshar Al Mukhtasharat)

Poin-poin tambahan seputar teknis pemandian mayit

- Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Disunnahkan tiga kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan

- Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan rambutnya dan dibersihkan. Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan diletakkan di bagian belakangnya. Sebagaimana dalam hadits Ummu Athiyyah di atas.

e. Jika tidak memungkinkan mandi, maka diganti tayammum

Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di-tayammum-i dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"[Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit ditayammumi], yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436)

f. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan jenazah

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

"Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu". (HR. Abu Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71, didhaifkan Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawa beliau (10/180))

Mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit dan wudhu bagi orang yang memikul jenazah hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Al Khathabi rahimahullah mengatakan: “Tidak kami ketahui satu orang ulama fikih pun yang mewajibkan mandi setelah memandikan mayit. Ataupun mewajibkan wudhu setelah membawa mayit. Perkara seperti ini lebih pas untuk dihukumi sebagai istihbab (anjuran)”. (Al Minhalul 'Azbul Maurud Syarhu Sunan Abi Daud, 8/322)

g. Keguguran

Janin yang mati karena keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4 bulan atau kurang maka tidak perlu. Berdasarkan hadits dari Al Mughirah bin Syu'bah secara marfu’:

"Janin yang mati keguguran, dia dishalatkan dan dido’akanampunan dan rahmat untuk kedua orang tuanya". (HR. Abu Dawud no. 3180, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"Janin yang mati keguguran jika di bawah empat bulan maka yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan dikuburkan di tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebih) maka diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan dishalatkan". (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435)

D. Mengkafani Jenazah

Hukum mengkafani jenazah

Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu'anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

‘’Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain’’. (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206)

Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya". (HR. Muslim no. 943)

Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka tidak ditutup kepalanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah". (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206)

Kriteria Kain Kafan

1. Kain kafan untuk mengkafani mayit lebih utama diambilkan dari harta mayit.

Dan semua biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan untuk diambil dari harta mayit daripada untuk membayar hutangnya, ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Kafanilah dia dengan dua bajunya!" (HR. Bukhari no.1851)

Artinya, dari kain yang diambil dari hartanya.

2. Memakai kain kafan berwarna putih hukumnya sunnah, tidak wajib.

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

"Pakailah pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit dengan kain warna putih. Karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian". (HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.1236)

3. Disunnahkan menggunakan tiga helai kain putih

Dari 'Aisyah radhiallahu'anha ia berkata:

"Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah". (HR. Muslim no. 941)

4. Kafan untuk jenazah Wanita

Jumhur ulama berpendapat disunnahkan wanita menggunakan 5 helai kain kafan. Namun hadits tentang hal ini lemah. Maka dalam hal ini perkaranya longgar, boleh hanya dengan 3 helai, namun 5 helai juga lebih utama.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:

“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393)

Disunnahkan menambahkan sarung, jilbab dan gamis bagi mayit wanita. Para ulama Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:

"Mayit wanita dimulai pengkafananannya dengan membuatkan sarung yang menutupi auratnya dan sekitar aurat, kemudian gamis yang menutupi badan, kemudian kerudung yang menutupi kepala kemudian ditutup dengan dua lapis". (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363)

5. Kafan untuk anak kecil

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

"Mayit anak kecil cukup dengan gamis dan dua lapis kafan"

6. Tidak diharuskan kain kafan dari bahan tertentu

Tidak ada ketentuan jenis bahan tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain tersebut harus bisa menutupi mayit dengan bagus dan tidak tipis sehingga menampakkan kulitnya.

Wewangian untuk kain kafan

Disunnahkan memberi wewangian pada kain kafan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali". (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 84)[7]
[7] Yulian, Purnama. (2022). Fikih Pengurusan Jenazah (Edisi Pertama). Fawaid KangAswad. https://kangaswad.files.wordpress.com/2023/01/fikih-pengurusan-jenazah.pdf

E. Mensholati Jenazah

1. Hukum Sholat Jenazah

Sholat jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Shalatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619).

Bahkan dianjurkan sebanyak mungkin kaum Muslimin menshalatkan orang yang meninggal, agar ia mendapatkan syafa’at. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tidaklah seorang Muslim meninggal,lalu dishalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

“Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948).

2. Posisi berdiri

Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Sebagaimana dalam hadits Abu Ghalib:

“Al ‘Ala bin Ziyad mengatakan: wahai Abu Hamzah (Anas bin Malik), apakah praktek Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat jenazah seperti yang engkau lakukan? Bertakbir 3 kali, berdiri di bagian kepala lelaki dan di bagian tengah wanita? Anas bin Malik menjawab: iya” (HR. Abu Daud no. 3194, At Tirmidzi no. 1034, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

3. Jumlah takbir dan mengangkat tangan

Takbir shalat jenazah sebanyak empat kali. Ulama ijma akan hal ini. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menshalati Ash-hamah An Najasyi, beliau bertakbir empat kali” (HR. Bukhari no. 1334, Muslim no. 952).

Ulama ijma mengenai disyariatkannya mengangkat tangan untuk takbir yang pertama. Ibnu Mundzir mengatakan:

“Ulama ijma bahwa orang yang shalat jenazah disyariatkan mengangkat tangan di takbir yang pertama” (Al Ijma, 44).

Namun mereka khilaf mengenai mengangkat tangan untuk takbir selainnya. Yang rajih, disunnahkan untuk mengangkat tangan dalam setiap takbir dalam shalat jenazah. Berdasarkan riwayat dari Nafi’ tentang Ibnu Umar radhiallahu’anhu, Nafi’ berkata:

“Ibnu Umar radhiallahu’anhu mengangkat tangannya di setiap kali takbir dalam shalat jenazah” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf [11498], dihasankan Syaikh Ibnu Baz dalam Ta’liq beliau terhadap Fathul Baari [3/227]).

Juga riwayat dari Ibnu Abbas:

“Bahwasanya beliau biasa mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir di shalat jenazah” (dishahihkan Ibnu Hajar dalam Talkhis Al Habir, 2/291).

4. Tempat sholat jenazah

Sholat jenazah lebih utama dilakukan di luar masjid. Sebagaimana yang umum dilakukan di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengumumkan kematian An Najasyi di hari ia wafat. Kemudian beliau keluar ke lapangan lalu menyusun shaf untuk shalat, kemudian bertakbir empat kali” (HR. Bukhari no.1245).

Namun boleh juga dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Demi, Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid” (HR Muslim no. 973).

Dibolehkan bagi orang yang belum sempat menshalatkan jenazah sebelum dikuburkan, lalu ia melakukan sholat jenazah di pemakaman. Sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

“Seseorang yang biasa dikunjungi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah meninggal. Ia meninggal di malam hari, maka ia pun dikuburkan di malam hari. Ketika pagi hari tiba, para sahabat mengabarkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau pun bersabda: apa yang menghalangi kalian untuk segera memberitahukan aku? Para sahabat menjawab: ketika itu malam hari, kami tidak ingin mengganggumu wahai Rasulullah. Maka beliau pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di sana” (HR. Bukhari no. 1247).

Demikian juga dalam riwayat Imam Muslim:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berhenti di sebuah kuburan yang masih basah. Ia shalat (jenazah) di sana dan menyusun shaf untuk shalat. Beliau bertakbir empat kali” (HR. Muslim no. 954).

5. Tata cara Sholat

Pertama, niat sholat jenazah. Dan niat adalah amalan hati tidak perlu dilafalkan.

Kedua, takbir yang pertama, membaca ta’awwudz kemudian Al Fatihah. Berdasarkan keumuman hadits:

“Tidak ada shalat yang tidak membaca Al Fatihah” (HR. Bukhari no. 756, Muslim no. 394).

Kemudian riwayat dari Thalhah bin Abdillah bin Auf, ia berkata:

“Aku shalat bermakmum kepada Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam shalat jenazah. Beliau membaca Al Fatihah. Beliau lalu berkata: agar mereka tahu bahwa ini adalah sunnah (Nabi)” (HR. Bukhari no. 1335).

Dan tidak perlu membaca do’a istiftah / iftitah sebelum Al Fatihah.

Ketiga, takbir yang kedua, kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hadits dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu:

“Bahwa sunnah dalam shalat jenazah adalah imam bertakbir kemudian membaca Al Fatihah (setelah takbir pertama) secara sirr (lirih), kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian berdoa untuk mayit setelah beberapa takbir. Kemudian setelah itu tidak membaca apa-apa lagi setelah itu. Kemudian salam” (HR. Asy Syafi’i dalam Musnad-nya [no. 588], Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [7209], dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz [155]).

Keempat, takbir yang ketiga, kemudian membaca doa untuk mayit. Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas. Diantara doa yang bisa dibaca adalah:

“Ya Allah, berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahannya sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, istri yang lebih baik dari istrinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka” (HR Muslim no. 963).

“Ya Allah, ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang telah mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita di antara kami” (HR At Tirmidzi no. 1024, ia berkata: “hasan shahih”).

Kelima, takbir keempat. Kemudian diam sejenak atau boleh juga membaca doa untuk mayit menurut sebagian ulama. Yang lebih utama adalah diam sejenak dan tidak membaca apa-apa sebagaimana zhahir dalam hadits Abu Umamah radhiallahu’anhu.

Keenam, salam. Dan sifat salamnya sebagaimana salam dalam shalat yang lain. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu:

“Ada 3 perkara yang dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar melakukannya dan kemudian banyak ditinggalkan orang: salah satunya salam di shalat jenazah semisal dengan salam dalam shalat yang lain..” (HR. Ath Thabrani no. 10022, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz [162]).

Yaitu salam dilakukan dua kali ke kanan dan ke kiri dan yang merupakan rukun hanya salam ke kanan saja.[8]
[8] https://muslim.or.id/44196-fikih-pengurusan-jenazah-2-shalat-jenazah.html

F. Mengubur Jenazah

Yang dimaksud dengan menguburkan mayit adalah menguruk tubuh mayit secara merata dengan tanah, dan hukum nya ialah fardhu kifayah.

Dalam menguburkan mayit terdapat beberapa ketentuan hukum sebagai berikut :

a. Mendalamkan kuburan dalam ukuran sekiranya binatang buas atau burung pemakan bangkai tidak mungkin menjangkau mayit dan meutupi baunya, sebab jika tercium keluar, niscaya akan menyebarkan bau tidak sedap. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,

“Galilah, dalamkanlah dan perbaguslah,lalu kuburkanlah dua atau tiga jenazah dalam satu kuburan”para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang harus kami dahulukan?’ Rasulullah menjawab, “Dahulukanlah dari mereka orang yang lebih banyak hafal Al-Qur’an.” {HR. At-Tarmidzi, no 1713}

b. Membuatkan “al-lahd” di dalam kuburannya. Karena al-lahd lebih utama, meskipun asy-syaq dibolehkan, berdasarkan sabda Rasulllah Shallallahu alaihi wasallam:

“Al-Lahd untuk kita, sedangkan asy-syaq untuk selain kita.” {HR.Ahmad,no 18677; Abu Dawud, no 3208 dan At-Tarmidzi,no 1045}.

c. Bagi orang yang menghadiri penguburan dianjurkan mengepalkan tanah sebanyak tiga kepalan dan melemparkannya ke dalam kuburan dari arah kepala mayit. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun melakukan hal itu,sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Majah,no. 1565

d. Mayit dimasukkan dari ujung belakang kuburan, jika hal tersebut dipandang mudah. Kemudian menghadapkanya ke kiblat dengan memiringkannya ke sebelah kanan, lalu membuka tali pengikat kain kafanya, dan orang yang meletakanya membaca:

بـِسْمِ اللّهِ وَعَلَى مِلَّةِرَسُوْلِ اللّهِ

“Dengan (menyebut) nama Allah dan menetapi agama Rasulullah” {HR. Abu Dawud, no. 3213}

e. Menutupi kuburan jenazah Wanita dengan kain,ketika ia diletakkan didalam kuburannya. Karena as-Salaf ash-Shalih (orang-orang shalih terdahulu) pun menutupi kuburan jenazah Wanita, ketika ia di letakkan di dalam kuburannya, namun tidak demikian terhadap kuburan jenazah laki laki.[9]
[9] Buku minhajul Muslim Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, hal 489.

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Fase-fase perjalanan manusia dari alam ke alam ini merupakan ketetapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Perjalanan menusia telah digariskan Allah sesungguhnya menjadi peringatan bagi kita bahwa kematian (ajal) pasti akan datang menjemput sebagai sebuah sunatullah. Tidak mungkin maju atau mundur dan tidak ada yang bisa menolak bahkan mencegahnya.

Ketika ajal menjemput barulah kita menyadari bahwa tidak ada yang bisa kita bawa kecuali 3 hal,
1. Shadaqah jariyah.
2. Ilmu yang bermanfaat.
3. Anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua oarangtuanya.

Manusia sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, dan untuk menghormati kemuliannya itu perlu mendapat perhatian khusus dalam mengurus jenazah. Dimana dalam mengurus jenazah seorang muslim itu hukumnya fardhu kifayah.

Ketika diantara kaum muslim meninggal dunia, maka kewajiban bagi seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan, mengafani, menshalatkan, dan mengubur.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 215

Buku minhajul Muslim Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, hal 489.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 639

Hasan Sadiliy, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoere, 1982), hlm. 36

https://muslim.or.id/44196-fikih-pengurusan-jenazah-2-shalat-jenazah.html

https://www.akurat.co/nasional/1302171918/Ladang-Pahala-Begini-5-Adab-Mengurus-Orang-Sakit-dalam-Islam

Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab., hlm. 10

Imam Nawawiy al-Dimasyqiy, Tahrir alFaz al-Tanbih (Dimasyq: Dar al-Qalam 1998), hlm. 94.

Yulian, Purnama. (2022). Fikih Pengurusan Jenazah (Edisi Pertama). Fawaid KangAswad. https://kangaswad.files.wordpress.com/2023/01/fikih-pengurusan-jenazah.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar