Kamis, 02 Maret 2023

Perkembangan Pendidikan Islam di Sekolah Umum

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Arif Fardhan, M.Hi
Oleh Kelompok 5 Angkatan 05:
1. Alberza (PAI)
2. Muhamad Nawaf Bahanan (SBA)
3. Azzubair Juarsa (SBA)
4. Yopi Son Haji (SBA)

KATA PENGANTAR

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ اَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ وَهَدَىنَا عَلَى الدِّيْنِ الْاِسْلَامِ صَلَاةُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ وَءَالِهِ وَصَحْبِهَ اَجْمَعِيْنَ، أمَّا بَعْدُ

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah subhanahu wa ta’ala atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam berjudul “Perkembangan Pendidikan Islam Di Sekolah Umum” dan bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.

Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Lahat, Maret 2023

Penyusun Makalah
Kelompok 6

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 LATAR BELAKANG.
1.2 RUMUSAN MASALAH.
1.3 MANFAAT PENELITIAN.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Sejarah Pendidikan Islam di Sekolah Umum.
2.2 Potret Pendidikan Islam di Sekolah Umum.
2.3 Faktor Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Sekolah Umum.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa tujuan pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.

Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para wali-Nya hingga mereka menjadi makin sempurna dalam keimanan dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan. Allah adalah Rabbul-‘Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah dan murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.

Kedua, tarbiyah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaian-penyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.

Begitulah, umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang-orang menjadi muslim yang baikpun melalui proses pendidikan.[1]
[1] Apa dan Kemana Pendidikan Islam? | Almanhaj diakses pada 28 Febuari 2023 Pukul 22:00 WIB

Pendidikan sangat penting bagi kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Umat Islam diwajibkan untuk mengenyam pendidikan baik yang formal maupun yang non-formal. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Salah satu lembaga pendidikan disebut dengan sekolah.

Upaya yang dilakukan para ilmuwan dan praktisi pendidikan dalam memperhatikan pelaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga-lembaga pendidikan formal sudah cukup banyak. Misalnya, dalam forum-forum seminar serta berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya, termasuk di sekolah. Para ilmuwan dan praktisi pendidikan sepakat bahwa pendidikan agama Islam di tanah air harus disukseskan semaksimal mungkin sejalan dengan lajunya pembangunan nasional. Pelaksanaan program pendidikan agama Islam di berbagai sekolah di Indonesia, keberadaannya belum berjalan seperti yang diharapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan non fisik, disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental-spiritual dan moral. Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah perlu terus menerus dipantau dan diupayakan perbaikan konsep dan implementasinya. Para pendidik atau guru materi agama Islam perlu selalu ditingkatkan kemampuan mengajarnya agar dapat menyajikan pembelajaran agama Islam yang menarik dan dapat diserap oleh peserta didik dengan baik.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah Pendidikan Islam masuk ke sekolah umum?
2. Bagaimana potret pendidikan islam disekolah umum?
3. Apa faktor-faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan islam disekolah umum?

1.3 MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui sejarah pendidikan islam bisa masuk sekolah umum.
2. Mengetahui gambaran potret pendidikan islam disekolah umum.
3. Memahami faktor-faktor apa saja yang akan meningkatkan mutu pendidikan islam disekolah umum.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pendidikan Islam di Sekolah Umum

Sejarah pendidikan Islam di sekolah umum bervariasi di berbagai negara, tergantung pada konteks sejarah, sosial, dan politik di masing-masing negara tersebut. Di beberapa negara, seperti Indonesia dan Malaysia, pendidikan Islam diajarkan sebagai bagian dari kurikulum umum di sekolah-sekolah negeri, sedangkan di negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, pendidikan Islam diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terpisah.

▪️ Di Indonesia, pengajaran Islam telah menjadi bagian dari kurikulum sekolah sejak zaman kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum terus berlanjut dan diatur dalam kurikulum nasional. Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia meluncurkan program wajib belajar 12 tahun yang mengharuskan siswa untuk mempelajari agama, termasuk agama Islam, sebagai bagian dari kurikulum nasional.

▪️ Di Malaysia, pendidikan Islam telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional sejak tahun 1957. Setiap siswa Muslim diharuskan mempelajari agama Islam, yang diatur oleh Kementerian Pendidikan Malaysia. Pendidikan Islam di sekolah-sekolah Malaysia mencakup pelajaran-pelajaran seperti aqidah (keyakinan), fiqh (hukum Islam), dan sejarah Islam.

▪️Namun, di negara-negara lain, pendidikan Islam diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terpisah dari sekolah-sekolah umum. Di Amerika Serikat, ada ribuan lembaga pendidikan Islam, termasuk sekolah-sekolah dan universitas yang khusus mengajarkan Islam dan budaya Islam kepada siswa Muslim. Di Inggris, terdapat pula sekolah-sekolah Muslim yang mengajarkan agama Islam serta kurikulum umum seperti matematika, sains, dan bahasa Inggris.

Secara keseluruhan, sejarah pendidikan Islam di sekolah umum sangat bervariasi di berbagai negara, tergantung pada kebijakan dan budaya masyarakat setempat. Namun, pengajaran agama Islam telah menjadi bagian penting dari sistem pendidikan di banyak negara di seluruh dunia.

Menurut catatan sejarah, kebijakan politik penjajahan yang sangat tidak menguntungkan umat Islam dulu sempat memicu beberapa lembaga keagamaan Islam mengisolir diri dari intervensi “dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama. Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem “sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah dengan tambahan pelajaran agama, disamping ada juga sekolah yang tetap fokus pada pengajaran agama namun dengan mengadopsi sistem sekolah serta tambahan beberapa mata pelajaran umum. Pada saat itu, perguruan keagamaan dalam bentuk persekolahan ada yang menggunakan nama madrasah di banyak daerah jawa dan luar jawa, maktab di Medan, kuliyah muallimini di Sumatra Barat, dll. Beberapa perguruan keagamaan tersebut dimotori juga oleh kaum pesantren. Tidak seluruhnya berisi ilmu agama.

Muhammadiyah misalnya, pola menggunakan 50% agama 50% umum. Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam. Kedua ,munculnya madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi subtansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya. Kedua bentuk dasar ini pada dasarnya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan “pendidikan Islam” yang sebenarnya pendidikan umum dengan memasukkan pengajaran agama. Kelompok ini biasanya menamakan sekolah dengan SDI, SMPI, dan SMAI. Di sisi lain, ada sistem dan kelembagaan “madrasah” yang menitik beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum dengan keagamaan corak dan orientasinya.[2]
[2] Sejarah Pendidikan Islam Madrasah (Sekolah Umum Yang Berciri Khas Islam), Mahdalena, Annizom (Iainbengkulu.Ac.Id)

2.2 Potret Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

Berdasarkan pengamatan, dapat dikatakan bahwa aplikasi pendidikan agama Islam di sekolah (umum) kurang maksimal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal yang mempengaruhi minimnya praktik pendidikan agama di sekolah umum dapat berupa:

1. Sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari pentingnya pendidikan agama;

2. Situasi lingkungan sekitar sekolah dipengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai macam bentuknya, seperti: judi dan tontonan yang menyenangkan nafsu;

3. Dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang semakim melunturkan perasaan religius dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis.

Sementara itu faktor internal yang menyebabkan pendidikan agama kurang maksimal di sekolah umum antara lain:

1. Guru kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional pendidikan, atau jabatan guru yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.

2. Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berlanjut dalam situasi informal di luar kelas.

3. Pendekatan metodologi guru masih terpaku pada orientasi tradisional sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.

4. Belum mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar pijakan pengelolaan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah belum semuanya memenuhi harapan umat Islam, terutama PAI di sekolah-sekolah umum. Mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Semua ini mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama, yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah umum. Peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan umat Islam.

Dalam kenyataannya, pendidikan agama Islam di sekolah umum masih banyak yang belum memenuhi harapan. Misalnya, kalau guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta didik, tentu yang diinginkan adalah peserta didik tidak hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktik-praktik ajaran Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan keterampilan peserta didik.

Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus, belum bisa dikatakan telah berhasil jika nilai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya, jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi harapan dan keinginan umat Islam. Contoh lain, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya bisa membaca al-Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah agar anaknya bisa membaca al-Quran. Sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya alokasi waktu atau jam pelajaran agama di sekolah umum.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum penuh tantangan, karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan.

Di kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang tua sibuk dan jarang sekali ada tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama Islam lebih lanjut. Jadi seorang guru kalau dipercaya mendidik pendidikan agama Islam di sekolah umum, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan bekal agama pada guru-guru di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang memungkinkan anak-anak bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum bagi peserta didik sangat minim jika hanya mengandalkan pendidikan agamanya dari jam regular sekolah. Kecuali bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren, biasanya mereka mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak terlalu banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar agama Islam di madrasah diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain.

Padahal dalam materi pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan agama, penanaman aqidah, praktik ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-undang disebut dengan pembinaan akhlak mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2 jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi kurikulumnya, khususnya kurikulum mikro pada kurikulum agama Islam di sekolah.

Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran pendidikan agama Islam adalah melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran ekstra kurikuler dapat dilaksanakan di sekolah, di kelas atau di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu di luar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, bahkan mungkin biaya, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar; tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu agama di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua siswa.[3]
[3] Potret Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum Abd. Rouf (Guru Smpn 41 Surabaya)

2.3 Faktor-Faktor Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Sekolah Umum

Deskripsi umum tentang mutu pendidikan agama Islam di sekolah umum belum memenuhi harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang menjadikan agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu: pertama, sumber daya guru agama Islam; kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam; dan ketiga, kegiatan evaluasi dan pengujian terkait pendidikan agama Islam di sekolah umum.

1. Sumber Daya Guru

Peningkatan mutu guru sebagai tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan pula pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian beasiswa peserta didik Strata 1 (S-1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru pendidikan agama Islam.

Guru pendidikan agama Islam di sekolah umum dilihat dari segi latar belakang pendidikan, sekitar 60% sudah mencapai S-1 dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Akan tetapi lulusan S-1 ini belum semuanya menjadi guru yang bermutu dalam menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh karena itu guru perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan kemampuannya, karena peningkatan kemampuan itu harus dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilal lahdi (dari rahim sampai liang lahad). Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. MGMP digunakan sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal melalui upaya diskusi kelompok atau belajar kelompok.

Peningkatan kemampuan guru juga perlu diberikan kepada guru-guru yang belum mencapai gelar S-1 sesuai dengan Undang-undang, yaitu memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas di sekolah, yakni dengan merancang suatu program pendidikan dualmode system. Dualmode system adalah dua modul belajar yang menggunakan modul sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat yang sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya.

Dualmode system itu hakikatnya sama dengan Universitas Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas pembelajaran dan kualitas lulusannya. Program belajar jarak jauh belajarnya menggunakan sarana atau alat, dengan alat utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai bahan kuliah.

Di dalam modul itu ada tujuan pembelajaran yang harus dicapai setelah menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang diajarkan, dan dilengkapi dengan format evaluasinya. Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan sendiri. Meski demikian, pada waktu-waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di suatu tempat yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan respons, tanya jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut. Begitu pula ujiannya diisi langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap muka.

Dengan begitu guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu sekolah, tetapi tetap harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk kuliah tatap muka. Secara Undang-undang pun kegiatan ini legal, karena ada pasal atau Bab dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ (Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-undang itu secara lebih spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya, dengan memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning atau e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus dikendalikan atau dikoordinasikan.

Setidaknya ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S-1, kedua adanya rutinitas kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau pelatihan-pelatihan yang lain. Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak berjalan begitu saja dengan kemampuan yang tidak meningkat. Umat Islam harus berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung.

Oleh karenanya harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilal lahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang yang belajar atau kalau tidak kedua-duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itu guru harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.

2. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu idealnya dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan keruhanian Islam melalui kegiatan ekstra kurikuler.

Dalam kenyataannya, proses pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4-6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu.

Hal yang menjadi persoalan adalah kalau seorang guru agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya, di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah 18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru bersertifikat karena kewajiban mengajarnya belum memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

Tuntutan di atas harus benar-benar diperhitungkan karena pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan sertifikasi disamping gaji kepada guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan. Mulai tahun 2009 ini sekurang-kurangnya gaji guru (PNS) bisa memperoleh penghasilan 4 juta rupiah kalau sudah disertifikasi. Upaya pemerintah ini cukup bagus, yaitu menaikkan kesejahteraan guru. Agar supaya supaya guru-guru memenuhi tuntutan kewajibannya, maka guru dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam.

Dalam kegiatan ekstra kurikuler, banyak yang dapat dilakukan. Misalnya, membina peserta didik belajar al-Quran, praktik wudlu atau shalat, dan sebagainya. Kalau tidak melalui ekstra kurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan terpenuhi kebutuhan orang yang memang memerlukan pembinaan agama. Jadi yang namanya mengajar itu jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari tuntutan minimal wajib mengajar. Seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.

Proses pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan dengan pendekatan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru. Artinya, bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan materi pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi umum. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

3. Evaluasi Pendidikan Agama Islam

Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya, ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya, yang salah itu adalah evaluasinya, karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja.

Evaluasi pendidikan agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga praktik atau keterampilan (psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru perlu melakukan pengamatan terhadap perilaku sehari-hari peserta didik tersebut, apakah peserta didik itu shalat? Kalau dilaksanakan, apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu, apakah sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak.

Apabila tujuan pendidikan agama adalah supaya peserta didik dapat menjalankan agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya bukan hanya hafalan tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal. Berkaitan dengan evaluasi pendidikan agama Islam, ada usulan yang kuat dari berbagai kalangan agar pendidikan agama Islam sebaiknya masuk pada ujian nasional, sehingga menjadi bahan untuk dipertimbangkan. Ujiannya jangan sekedar mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat psikomotor, praktik dan perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam. [4]
[4] Ibid

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pendidikan sangat penting bagi kehidupan, bahkan tuntutan akan pentingnya pendidikan semakin besar mengingat arus perkembangan dunia yang semakin cepat. Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif. Umat Islam diwajibkan untuk mengenyam pendidikan baik yang formal maupun yang non-formal. Pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk membangun manusia seutuhnya. Salah satu lembaga pendidikan disebut dengan sekolah. Sekolah memiliki peranan yang besar dalam menentukan keberhasilan tujuan pendidikan. Sebagaimana diketahui, manusia pada dasarnya mengalami proses sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer dilakukan dalam lingkungan keluarga semenjak anak dilahirkan. Sedangkan sosialisasi sekunder dialami ketika anak memasuki usia sekolah, dimana anak mengalami sosialisasi yang lebih luas dalam melihat dunianya. Sosialisasi dalam keluarga merupakan modal dasar untuk meneruskannya dalam sosialisasi sekunder.

Sejarah pendidikan Islam di sekolah umum bervariasi di berbagai negara, tergantung pada konteks sejarah, sosial, dan politik di masing-masing negara tersebut. Di beberapa negara, seperti Indonesia dan Malaysia, pendidikan Islam diajarkan sebagai bagian dari kurikulum umum di sekolah-sekolah negeri, sedangkan di negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, pendidikan Islam diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terpisah.

Berdasarkan pengamatan, dapat dikatakan bahwa aplikasi pendidikan agama Islam di sekolah (umum) kurang maksimal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor eksternal dan internal.

Pada Mutu pendidikan agama Islam di sekolah umum belum memenuhi harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang menjadikan agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu: pertama, sumber daya guru agama Islam; kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam; dan ketiga, kegiatan evaluasi dan pengujian terkait pendidikan agama Islam di sekolah umum.

3.2. Saran

Mahasiswa sebagai calon guru hendaknya menguasai dan memperdalam mengenai Pendidikan Islam didalam proses pengajaran, pembahasan, penyelidikan, pengembangan, penerapan, dan penilaian yang sesuai.

Dengan penyusunan makalah ini, kami berharap kepada pembaca, khususnya para mahasiswa berikutnya dapat mengembangkan makalah ini supaya lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rouf, Potret Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum (Guru Smpn 41 Surabaya).

Mahdalena, Sejarah Pendidikan Islam Madrasah (Sekolah Umum Yang Berciri Khas Islam).

Muh. Wasit Achadi, Pengembangan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah (Studi_Pada_Beberapa_Sekolah_Umum_Kabupaten_Purworejo).

Apa dan Kemana Pendidikan Islam? | Almanhaj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar