Senin, 27 Februari 2023

Metode Pendidikan Targhiib, Ta'tsiir, Tahriidh, Tahdiidh, dan Tadarrus.

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Pendidikan Islam
Dosen pengampuh : Dr. (C) Lena Rahmidar,M.Si
Oleh Kelompok IV:
1. Fitrianti Ali (PAI)
2. Nur Fadhilah (PAI)
3. Nur Faridah (PAI)
4. Raisa Salsabila (PAI)
5. Rosalina Asis (PAI)
6. Siti Rohmah (SBA)
7. Tanti R Apadu (SBA)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala, atas segala nikmat yang tiada hentinya Engkau menganugerahkan kepada Kami. Dan berkat kasih serta sayang-Nya, Kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam beserta keluarga dan sahabatnya, dan umatnya yang senantiasa istiqomah dengan sunnah-sunnahnya. Makalah ini berjudul “Metode Pendidikan Islam (targhiib ta'tsiir tahriidh tahdliidl tadarus)" merupakan tugas mata kuliah metode pendidikan Islam

Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah metode pendidikan islam serta bisa membuat kita semua yang membaca makalah ini mengetahui bagaimana cara untuk memahami metode pendidikan Islam ( targhiib, ta'tsiir, tahriidh, tahdliidl, tadarus)

Kami menyadari masih banyak celah dan kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi perbaikan makalah ini.

Segala kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik kami penyusun dan segala kelebihannya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penyusun khususnya dan bagi para pembaca.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Metode pendidikan Islam.
2.2 Metode-metode pendidikan Islam.
A. Metode targhiib.
B. Metode ta’tsiir.
C. Metode tahriidh.
D. Metode tahdliidl.
E. Metode tadarus.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal sangat penting bagi kehidupan manusia. Allah Subhana Wata'ala telah memberikan nikmat yang amat besar kepada manusia berupa kitab suci Al-Qur'an yang di dalamnya berisikan nilai-nilai pendidikan bagi kehidupan umat manusia.

Pendidikan Islam berkaitan dengan pembinaan sikap mental spiritual yang dapat mendasari tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan yang disebut dengan insan kamil. Pendidikan Islam merupakan proses transformasi dan internalisasai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri peserta didik melalui bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi guna mencapai keselarasan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.

Metode adalah langkah-langkah strategis yang telah dipersiapkan untuk suatu pekerjaan. Bila berkaitan dengan pendidikan maka metode tersebut harus diwujudkan dalam proses pendidikan untuk mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

Dari Latar belakang yang dipaparkan kami mengambil beberapa rumusan masalah yakni :
1. Apa yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam
2. Apa yang dimaksud dengan metode targhiib, ta'tsiir, tahriidh, tahdliidl, tadarus

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah di atas maka kami menentukan tujuan dari makalah ini, yakni :
1. Mengetahui apa itu metode pendidikan Islam
2. Mengetahui metode Targhiib, Ta'tsiir, Tahriidh, Tahdliidl, Tadarus

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode pendidikan Islam

Kata metode dalam bahasa Indonesia diadopsi dari kata methodos dalam bahasa Yunani, kata ini terdiri dari kata meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, atau arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, atau uraian ilmiah (Anton Bekker, 1984)4. Dalam bahasa Arab metode diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah dan al-wasilah. Al-thoriqoh berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan al-wasilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian kata Arab yang dekat dengan arti metode adalah al-Thariqah. Dan di dalam bahasa Indonesia metode bermakna cara pandang yang teratur, terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya) atau cara kerja yang tersistem untuk memudahkan suatu kegiatan yang ditentukan. Dan secara leksikal, methode diartikan sebagai way of doing anything yaitu suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai pada suatu tujuan. Ahmad Tafsir memaknai metode dengan arti cara yang paling tepat dan cepat melakukan sesuatu. Dan menurut Abudin Nata metode pendidikan Islam mempunyai arti antara lain: Pertama jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran , yaitu pribadi yang Islami; Kedua cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.[1]
[1] M. Khalil Asy'ari, "Metode Pendidikan Islam" Jurnal Qathruna Vol 1 No 1, 2014, hal 195

Metode dalam Pendidikan Islam adalah cara yang dipergunakan seorang guru agama Islam dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran. Dimana metode ini dalam penerapannya banyak menyangkut permasalahan individual atau sosial peserta didik dan pendidik itu sendiri, sehingga dalammenggunakan sebuah metode, para pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umummetode pendidikan Islam, sebab metode hanyalah sarana menuju tujuan pendidikan.[2]
[2] Muhammad Ridwan Fauzi, "Makalah metode pendidikan Islam" https://www.academia.edu/40688014/Makalah_Metode_dalam_Pendidikan_Islam (diakses pada Jum'at, 17 Maret 2023 pukul 08.20 WITA)

2.2 Metode-metode pendidikan Islam (targhiib, ta'tsiir, tahriidh, tahdliidl, tadarus)

A. Metode Targhiib

a. Pengertian Targhiib[3]
[3] https://www.referensimakalah.com/2012/11/metode-targhib-dan-tarhib-dalam-pendidikan.html (diakses pada hari Kamis 16 maret 2023, pukul 13:21)

Secara bahasa (etimologi) kata targhib dalam bahasa Arab dari kata raggaba yang berarti membujuk menjadikan suka. Manakala, pengertian targhib secara istilah (terminologi), Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan, pengertian targhib sebagai suatu janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan kelezatan dan kenikmatan namun penundaan itu bersifat pasti baik dan murni serta dilakukan melalui amal saleh, atau dari kelezatan yang membahayakan (pekerjaan buruk). Melihat pengertian Targhiib, maka dapat dikaitkan dengan Pendidikan sebagai sebuah metode.

Dalam pendidikan metode targhib (reward) merupakan suatu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam memberikan motivasi untuk melakukan dan mencintai kebaikan dan rayuan untuk melakukan amal saleh dan memberikan urgensi kebaikan itu sendiri. Sehingga anak didik melakukan dengan ikhlas dengan harapan akan memperoleh imbalan atau pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Substansi dari metode targhib yaitu memotivasi diri untuk melakukan kebaikan. Baik memotivasi diri itu tumbuh karena faktor-faktor ekstrinsik atau pengaruh-pengaruh dari luar, maupun faktor instrinsik atau faktor-faktor dari dalam diri sendiri peserta didik. Keinginan-keinginan yang ada pada benak peserta didik, seperti cita-cita menjadi dokter, seorang pendidik, dan tokoh masyarakat mempunyai sugesti yang sangat kuat bagi peserta didik untuk mewujudkan cita-citanya.

Demikian pula dengan gambaran-gambaran yang diberikan oleh pendidik tentang kesuksesan seorang yang pintar dan giat belajar, atau pengalaman kehidupan di sekitar lingkungan peserta didik baik pengalaman yang baik dan buruk, akan turut serta pula memberikan sugesti pada ukuran motivasi yang dimiliki jiwa seorang peserta didik.

b. Pendapat Tokoh Islam Mengenai Metode Targhib

1. Imam al-Ghazali

Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru dituntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.

2. Ibnu Khaldun

Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan hukuman di dalam bukunya al Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu menjalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik.

3. An Nahlawi

Targhib dalam khasanah pendidikan Islam , menurut Al Nahlawi seorang tokoh pendidikan Islam dalam komentarnya menyatakan bahwa berbeda dari metode ganjaran dalam pendidikan barat. Perbedaan yang palimg mendasar adalah targhib berdasarkan ajaran Allah SWT. yang sudah pasti kebenarannya, sedangkan ganjaran berdasarkan pertimbangan duniawi yang terkadang tidak lepas dari ambisi pribadi.

Targhib adalah metode dalam pendidikan islam dengan maksud agar anak dapat melakukan perbuatan baik. Metode ini dalam pendidikan barat dapat disamakan dengan ganjaran (reward).

c. Tafsir Al Qur’an Tentang Metode Targhib.

1. QS. Luqman ayat 12

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Ø Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Ø Kandungan ayat: Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan tentang nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya yang mulia; Luqman. Nikmat yang diberikan-Nya itu adalah hikmah (kebijaksanaan), yaitu pengetahuan terhadap kebenaran sesuai keadaan yang sebenarnya dan mengetahui rahasianya. Hikmah adalah mengetahui hukum-hukum dan mengetahui rahasia yang terkandung di dalamnya, karena terkadang seseorang berilmu namun tidak mengetahui hikmahnya. Berbeda dengan hikmah, maka ia mencakup ilmu, amal, dan hikmah atau rahasianya. Oleh karena itulah, ada yang menafsirkan hikmah dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan nikmat yang besar ini, Dia memerintahkan Beliau untuk bersyukur, agar nikmat itu diberkahi dan bertambah. Demikian pula memberitahukan, bahwa syukur yang dilakukan seseorang manfaatnya untuk dirinya sendiri, dan jika kufur, maka bencananya pun untuk dirinya sendiri.

Yakni karena hikmah yang telah Kami anugerahkan kepadamu.

Karena pahalanya untuk dirinya sendiri.

Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah butuh kepada syukur seorang hamba, dan Dia Maha Terpuji dalam qada’ dan qadar-Nya terhadap orang yang menyelisihi perintah-Nya. Sifat kaya pada-Nya termasuk sifat lazim (mesti) pada zat (Diri)-Nya. Dia yang terpuji karena sifat-sifat-Nya yang sempurna dan karena perbuatannya yang baik dan indah, termasuk lazim zat-Nya. Masing-masing sifat ini adalah sifat sempurna, dan ketika keduanya berkumpul bersama, maka semakin sempurna.[4]
[4] http://tapsiku.blogspot.com/2013/04/tafsir-luqman-ayat-12-19.html?m=1 (diakses pada hari Kamis, 16 maret 2023, pukul 14:20)

Ø Relevansinya: Diantara ayat yang mengandung tentang reward adalah ayat 12 yang berbunyi‚ “Bersyukulah kepada Allah, barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.” Dalam tafsir Al-Misbah (Quraisy,2006) rasa bersyukur merupakan untuk kemaslahatan dirinya sendiri dan yang tidak bersyukur sebenarnya merugikan diri sendiri. Ayat ini memberikan sebuah penjelasan tentang reward bersyukur, dimana reward tersebut akan bermanfaat bagi diri sendiri.

2. QS. Al-Baqarah ayat 261

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Ø Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ø Asbabun Nuzul: Didalam ayat ini terdapat kesatuan tema pembahasan, yakni tentang infak. Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah dengan membawa dirham untuk dinafkahkannya kepada pejuang yang terlibat dalam perang Tabuk. Abdul Rahman bin ‘Auf membawa 4.000 dirham dan berkata kepada Rasulullah: “Aku memiliki 8.000 dirham lalu seperduanya ini aku persembahkan kepada Allah”. Sedangkan Utsmân bin Affân sendiri membawa 1.000 unta untuk diinfakan. Sikap kedermawanan kedua sahabat tersebut disambut baik oleh Rasulullah, lalu turunlah ayat (..الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ)

Ø Kandungan Ayat: Menurut tafsir Ibnu Katsir, Hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menggambarkan perlipatgandaan pahala bagi orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dan mencari keridaan-Nya. Setiap amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, sampai kepada tujuh ratus kali lipat. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah.” Yang dimaksud dengan ‘jalan Allah’ menurut Sa’id ibnu Jubair ialah dalam rangka taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ø Relevansinya: Berdasarkan ayat di atas jelaslah bahwa metode reward (ganjaran) mendidik kita untuk berbudi luhur, maka diharapkan agar manusia selalu berbuat baik dalam upaya mencapai prestasi-prestasi tertentu dalam hidup dan kehidupan di dunia. Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian reward (ganjaran) dalam konteks pendidikan dapat diberikan bagi siapa saja yang berprestasi, dengan adanya reward (ganjaran) itu siswa akan lebih giat belajar karena dengan adanya reward (ganjaran) itu siswa menjadi termotivasi untuk selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, untuk itulah pentingnya metode reward (ganjaran) di terapkan di sekolah.[5]
[5] https://id.scribd.com/document/427943185/TAFSIR-AL-QURAN-TENTANG-METODE-TARGHIB-docx (diakses hari Kamis, 16 Maret 2023. Pukul 23:10)

B. Metode Ta’tsiir

Pendidikan Islam adalah sarana untuk mendidik watak manusia agar mengenal apa yang dimaksud dengan baik dan buruk suatu perkara, sarana untuk beribadah kepada Allah, serta agar menjadi manusia yang berguna bagi sesama dan alam lingkungannya.sebagaimana yang dikatakan Muhammad Quraish Shihab, bahwa “pendidikan Islam merupakan semua aktivitas yang bertujuan untuk mewujudkan pengabdian murni kepada Allah dalam kehidupan manusia tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan, serta bangkitnya manusia dengan peranannya yang beraneka ragam untuk memakmurkan alam sesuai dengan ajaran Islam.”[6]
[6] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hlm. 418 dan 446

Adapun defenisi pendidikan islam sebagai mana yang dirumuskan oleh beberapa ulama, yang diantaranya:

1). Hasan Al-Banna berpendapat bahwa “pendidikan Islam merupakan proses penyiapan manusia yang berakhlak mulia, berilmu, ahli, berkepribadian tangguh, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.”

2). Ja’far Al-Barzanji menyatakan bahwa “pendidikan Islam merupakan proses untuk melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegiturupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka, dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan berdasarkan nilai etis Islam.”[7]
[7] Ibid hal. 617

Maka salah satu metode pendidikan islam yang dinilai efektif dan efisien, mudah dipahami dan dicerna akal, sesuai dengan porsi dan kapasitas intelektual peserta didik ialah sebagaimana yang diungkapkan Abuddin Nata mengutip M. Thalib mengenai 30 metode pendidikan islam yang dirangkum dalam istilah metode 30 T yaitu, Metode menggugah Rasa Kepedulian Sosial yang disebut dengan Metode Ta’tsiir.[8] Metode ini bertujuan membangkitkan rasa kepedulian sesorang pada hal-hal yang bersifat peka atas penderitaan orang lain atau kepentingan-kepentingan orang lain. Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an S. al-Hasyr: 8-9. Sikap serta pengorbanan kaum Anshar kepada Muhajirin yang meninggalkan Mekkah untuk menjaga keimanan dan menyelamatkan diri dari penindasan penduduk Makkah yang menentang dakwah islam. Yang atinya ;
[8] Miftahul Jannah, “Metode Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125-126”,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampong halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.(8) Dan orang-orang (anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang dibrikan kepada merka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan mereka (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[9]
[9] QS. Al-Hasyr ayat 8-9. Mushaf Ash Shahib-terjemahan

Dimana pada prinsipnya, dalam ayat ini memberikan gambaran kepada kaum muslimin tentang kepedulian kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, artinya kepekaan terhadap nasib orang-orang yang kekurangan semacam ini. Terkait dengan menanamkan sikap kepedulian anak terhadap orang-orang lemah, berkekurangan, terlantar, susah, menderitaan, terkena musibah, metode ta’tsir dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan anak untuk berbelas kasihan kepada mereka. Dimana orang tua dapat berdialog bertanya kepada anak terkait hal-hal yang ada disekitarnya dan menyentuh hatinya untuk mengetahui perasaannya. Contohnya:

Bunda : "Putri, seandainya ada orang yang peduli dan menyayangi putri kemudian memberikan berbagai makanan kesukaan putri,apa Putri senang?"

Putri : "Senang sekali Bunda".

Bunda: "Bagaimana sebaliknya, kalau tidak ada yang memperdulikan Putri, membiarkan putri kelaparan dan menderita, apakah Putri suka dan senang?"

Putri: "Tidak Bunda"

Bunda: "Putri lihat tetangga sebelah sana mereka sering sakit dan anaknya selalu menangis karena kelaparan, Kira-kira Putri mau melakukan apa terhadap dia?"

Putri : "Putri, akan memberi mereka makanan Bun"

Bunda: "Putri dapat dari mana untuk memberikannya?"

Putri : "Nanti setiap kali putri ada jajan atau makanan, putri akan membaginya dengan mereka. Dan kita akan memasak makanan yang lebih banyak agar bisa memberikan sebagiannya untuk mereka".

Bunda: "Hebat anak bunda, semoga menjadi anak sholehah".

Dari hal di atas merupakan contoh konkrit untuk menggugah kepedulian anak tentu tidak sekedar memberikan pemahaman sehingga anak bisa melakukan perbuatan berbagi dan peduli tapi contoh langsung dari orang tua sangat dibutuhkan. Misalnya ketika memasak makanan maka anak diminta untuk mengantarkan untuk tetangga kiri dan kanan. Anak diajak kepanti assuhan dan berbagi untuk teman yang membutuhkan.Sikap yang diharapkan kelak adalah agar anak menyampingkan kepentingan diri sendiri tanpa mengharapkan balas budi, tapi merupakan suatu tingkat kejiwaan yang timbul dari kesadaran akan tanggung jawab memelihara kelangsungan hidup orang lain.

Hal ini merupakan salah satu metode dan strategi pengajaran yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah, yaitu; Metode Modelling dan Etika Mulia Di antara metode-metode yang sangat urgen dan faktual yang ditempuh oleh Rasulullah dalam proses pengajaran adalah metode modelling (teladan) dan etika yang baik. Dalam konteks ini, beliau senantiasa melakukan sesuatu sebelum menyuruh orang lain (muridnya) melakukan sesuatu itu sebagai bentuk pemodelan, sehingga orang lain pun akan dapat mengikuti dan mencerna dengan mudah sebagaimana yang mereka saksikan dari beliau. Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Al-Qur’anlah yang menjadikan beliau selalu berada di puncak tertinggi akhlak-akhlak terpuji dan Allah menjadikannya sebagai teladan bagi hamba-Nya.[10]
[10] Abdul Fattah Abu Ghuddah, 40 Metode Pendidikan dan Pengajaran Rasulullah, Terj. Mochtar Zoerni, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2012, hal. 79

C. Metode Tahriidh[11]
[11] Muhammad Thalib, Pendidikan Islami Metode 30T (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996), hal 142-149

Tahriidh ialah membangkitkan dan mengobarkan semangat untuk menghadapi rintangan besar atau kekuatan yang lebih besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah QS An-Nisa ayat 84:

فَقَٰتِلْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ ۚ وَحَرِّضِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأْسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنكِيلً

“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).

Ayat diatas menegaskan bahwa dalam menghadapi kekuatan orang-orang kafir , orang-orang mukmin haruslah selalu memiliki semangat jauh lebih besar agar tidak gentar menghadapi mereka . Dengan semangat yang lebih besar dan lebih hebat itu, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pertolongan kepada orang-orang mukmin bagi menghancurkan orang-orang kafir yang memiliki kekuatan dan kehebatan dalam merintangi Islam.

Jika dikaitkan dengan pendidikan ayat diatas juga memberi pelajaran bahwa dalam mendidik anak agar memiliki keperibadian dan mental yang sehat, maka harus dibangkitkan keberaniannnya untuk menghadapi segala macam rintangan dan kesulitan dengan pikiran dan perasaan jernih. Metode Pendidikan tahriidh ini juga penting untuk ditindaklanjuti sebagai salah satu metode Pendidikan dikeranakan sangat penting mendidik anak-anak memeliki keperibadian kuat dan semangat yang tinggi dalam proses pendidikannya.

Dalam kehidupan ini, sering kali tantangan jauh lebih besar daripada kemampuan peralatan yang kita miliki. Kalua kita mengandalkan pada peralatan atau perlengkapan material, sering kali kita merasa putus asa mengatasi kesulitan-kesulitan yang selalu menghadang di depan kita. Kenyataan ini juga di hadapi oleh anak-anak dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama sekali dalam menghadapi pelajaran sekolah. Banyak anak-anak yang tidak mampu memiliki perlengkapan dan peralatan sekolah seperti buku pelajaran atau alat-alat tulis guna mengerjakan pelajaran di sekolah seperti yang harus ia siapkan. Dalam menghadapi kondisi semacam ini antaranya:

Ø Orang tua hendaklah mengalihkan pikiran anak dari keinginan memiliki perlengkapan dan peralatan sekolah pada semangat tinggi.

Bila anak-anak memiliki semangat tinggi untuk belajar, maka walaupun ia kekurangan buku dan perlengkapan sekolah, namun ia terus tetap menempuh pelajaran di sekolah.

Ø Selalu memompahkan kepada anak-anak pengertian bahwa yang penting adalah belajar yang tekun.

kita berikan contoh kepada mereka suksesnya anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, tetapi di sekolah berhasil meraih prestasi belajar yang tinggi bahkan terpandai di sekolahnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata semanagat yang tinggi lebih berperan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan hidup daripada sarana dan peralatan material yang ada di tangan pelakunya. Karena itu, metode ini dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan, baik dalam kehidupan ibadah, akhlak, maupun dalam bidang studi. Dalam kehidupan agama, metode ini dapat diterapkan sebangai berikut:
Dalam bidang ibadah

Misalnya menggerakkan semangat anak untuk shalat dan berpuasa. Supaya anak-anak tergerak semangatnya dalam melaksanakan shalat dan puasa, dengan kita memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang hikmah dan keuntungan-keuntungan jasmaniah dan rohaniah bagi anak dalam melaksanakan ibadah tersebut.
Dalam bidang akhlak

Membangkitkan semangat anak untuk jujur dan adil dalam pergaulan. Kepada anak-anakk dijelaskan bahwa kejujuran dan keadilan akan dapat memberantas kecurangan dan kelaliman di tengah masyarakat, sehinggah terciptanya suasana kehidupan yang tentram dan damai. Ketentraman dan kedamaian sangat menentukan terciptanya kestabilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam bidang studi.

Misalnya menerangkan kepada anak-anak yang rajin belajar akan menjadi pandai dan sukses di kemudian hari.

Penerapan metode tahriidh dalam menempuh rintangan kehidupan dapat mempengaruhi semangat berjuang dan kerja anak. Jadi, metode ini dimaksudkan untuk memberikan bekal mental kepada anak bahwa segala kesulitan dapat diatasi selama kita mempunyai kemauan keras dan keberanian untuk menempuh kesulitan. Dengan metode ini, bayangan ketakutan anak akan memperoleh penderitaan dan kesusahan dalam menempuh suatu kesulitan dihilangkan, kemudian diganti dengan semangat mengalahkan semua rintangan atau menganggap semua rintangan itu sebagai masalah kecil.

D. Metode Tahdliidl (Mengajak)[12]
[12] Ibid hal 150-155

Allah berfirman dalam QS. Al-Haaqqah (69) ayat 34 :

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ

“Dan dia tidak mau mengajak (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.”

Tahdliidl yaitu menyampaikan ajakan kepada orang-orang yang mampu melakukan suatu perbuatan yang baik,tapi tidak melakukannya yang boleh jadi karena tidak tahu atau karena lemah semangatnya, karena itu, mereka perlu diajak.

Bilamana kita sendiri tidak bisa melakukan kebajikan secara material, seperti membantu orang-orang miskin, lalu kita mengajak orang-orang yang mampu untuk membantu kepentingan materi mereka, maka itulah yang disebut tahdliidl. Maksudnya kita mengajak orang lain melakukan kebaikan yang kita sendiri tidak bisa melakukannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi setiap orang untuk tidak berbuat baik kepada orang lain yang memerlukannya hanya karena alasan tidak mempunyai uang atau harta yang dapat diperbantukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Ayat diatas bersangkutan dengan orang-orang yang masuk neraka,karena pada masa hidupnya tidak mau mengajak orang lain untuk memperhatikan orang-orang miskin. Keengganan untuk membantu orang miskin agar dapat makan adalah suatu perbuatan yang keliru; begitu juga tidak mau mengajak orang lain untuk membantu orang miskin juga perbuatan yang keliru.

Ayat tersebut juga pelajaran bahwa orang yang tidak mau mengajak orang lain untuk memberi makan anak yatim atau orang miskin, berarti telah berbuat dosa. Disamping itu, ayat ini memberikan Ilham kepada dunia pendidikan adanya metode tahdliidl.

Metode tahdliidl dapat diterapkan dalam bidang sosial ekonomi, yaitu bidang-bidang pemberian bantuan materi yang tidak dapat kita lakukan sendiri karena ketidakmampuan diri kita. Kita dapat mengajak orang lain yang mampu untuk melaksanakan kewajiban agama dalam membantu kebutuhan sosial ekonomi pihak-pihak yang berhak.

Metode ini tidak dapat diterapkan dalam bidang akidah, misalnya mengajak orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi dirinya sendiri tidak beriman. Karena orang Islam harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga dalam bidang akidah. Seseorang tidak boleh mengajak orang lain shalat, tetapi dirinya sendiri tidak shalat. Orang semacam ini telah berbuat durhaka, karena menyuruh orang lain untuk mentaati perintah Allah, sedang dia sendiri tidak mentaatinya.

Ajakan kepada orang lain atau menggunakan metode tahdliidl dapat dilakukan dengan 2 macam cara, yaitu:

1). Memberikan pengertian lebih dahulu kepada mereka bahwa apa yang kita lakukan bahwa suatu hal yang benar-benar bagi mereka sendiri dan orang lain. Cara ini kita tunjukan kepada orang-orang yang bisa berbuat, tetapi tidak tahu caranya. Misalnya orang kaya mau mendermakan hartanya dalam kebajikan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan bantuan itu kepada orang-orang yang membutuhkan, karena lingkungan mereka semua diketahuinya sudah berkecukupan. Orang-orang seperti ini perlu diberi tahu agar keinginannya untuk berbuat kebajikan tersebut terlaksana.

2). Memberi pengertian mengenai ragam nasib yang dialami oleh manusia. Cara ini kita gunakan terhadap orang-orang yang tidak mengerti atau enggan mengerti pentingnya memberikan bantuan kepada orang-orang yang berkekurangan, karena beranggapan bahwa setiap orang harus mampu mengatasi kekurangannya sendiri, orang lain tidak perlu membantu mereka, karena hal semacam itu hanya menambah mereka bermalas-malas dan bodoh. Untuk mengajak orang-orang semacam ini melakukan kebajikan seperti diatas, diperlukan adanya pemberian pengertian mengenai ragam nasib yang dialami oleh manusia.

Dalam melakukan pendidikan pada anak-anak, metode tahdliidl ini dapat diterapkan pada banyak bidang. Misalnya, agar anak-anak yang enggan belajar mau atau rajin belajar, orangtua mengajaknya untuk membaca buku bersama atau memecahkan soal-soal sekolah bersama atau mengajaknya mendatangi temannya yang rajin belajar. Ajakan bersifat menggugah kesadaran akan pentingnya menjadi orang berpengetahuan, sehingga tidak menjadi orang yang terlantar.

Orangtua selalu menyampaikan ajakan kepada putra-putrinya bilamana dilihat mereka malas melakukan tugasnya atau mengerjakan hal-hal yang baik. Anak-anak yang malas mengerjakan shalat, hendaklah diatasi oleh orang tuanya dengan jalan mengajak mereka shalat berjama’ah atau orang tua mengulang shalatnya supaya anaknya mau shalat. Begitu juga bilamana anak enggan makan, maka orang tuanya mengajaknya untuk makan bersama atau menunggunya makan sampai yang bersangkutan mau makan sendiri.

Metode tahdliidl lebih membutuhkan pengertian dari pihak yang diajak dan kesabaran dari pihak yang mengajak. Dalam metode ini, tidak ada penggunaan ancaman, apalagi kekerasan. Karena itu, kesadaran yang muncul dari obyek lebih diperlukan dalam metode ini.

E. Metode Tadarus

Kata tadarus berwazan “Tafa’ul” (ل ع ُاَفَت .(Kata ini diambil dari akar kata “da-ra-sa”, yang bentuk mashdarnya “Dirasah”. Ibn Mandzur al-Afriqi, dalam Lisan al-Arab, menjelaskan bahwa kata (درس (secara bahasa artinya menghapus jejak sesuatu. Namun, kata ini juga bermakna secara metaforis membaca, mengulang bacaan, hingga ia paham, dan ia hapal.[13]
[13] Ibn Mandzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar Shadir, cet ke-1, tt), jilid 6, h. 79

Kata “tadarus” yang berwazan “tafa’ul” mengandung makna suatu pekerjaan dilakukan dua pihak atau lebih sehingga terkandung di dalamnya makna partisipasi (مشاركة) .Hal ini sama seperti kata “ta-kha-sha-ma” yang artinya saling berkonflik dan bertengkar, “ta-dha-ra-ba” yang artinya saling memukul. Dengan kata lain, kata “tadarasa” artinya saling membaca dengan berulangulang, disertai saling membantu memahami makna ayat, hingga akhirnya saling memudahkan hafalan objek yang dibaca. Dari pengertian singkat di atas, dapat dipahami bahwa tadarus Alquran minimal harus dilakukan oleh dua orang atau lebih. Jika hanya dilakukan seseorang saja, maka tidak dapat disebut tadarus, karena istilah ini menuntut adanya partisipasi lebih dari satu orang dalam mengkaji Alquran.

a. Urgensi Tadarus

Keutamaan bertadarus Alquran dapat dilihat dari beberapa hadits berikut:

1. Bertadarus Alquran secara berjamaah di masjid merupakan salah satu amalan yang dapat mendatangkan ketenangan jiwa (sakinah), bahkan akan dinaungi rahmat Allah.

Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Artinya: “Tidaklah berkumpul sekelompok orang di rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan mengkajinya, kecuali akan turun atas mereka ketenangan (sakinah), mereka diliputi kasih sayang (rahmat), Dan mereka disebutkan Allah pada mereka yang ada di sisiNya.”[14]
[14] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, tt), Kitab al-Witr, Bab Fi Tsawab Qira’ah al-Qur’an, hadits no. 1457, jilid 1, h. 544.

2. Bertadarus Alquran merupakan salah satu cara yang paling ampuh dan paling afdhal dalam menjaga hafalan serta pemahaman seseorang terhadap Alquran. Walaupun Allah berjanji menjadikan Alquran ini mudah untuk dihapal, namun apabila tidak dijaga, dengan cara bertadarus, diulang bacaannya, dipahami maknanya, sehingga ringan hafalannya, maka surah dan ayat yang telah dihapal akan lebih mudah lepas daripada lepasnya unta dari ikatannya.

Dari Abu Musa al-Asy’ari RA, Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Jagalah Alquran, Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, (ayat-ayat Alquran yang telah dihapal) lebih mudah lepas dari hapalan daripada lepasnya unta dari ikatannya.”[15]
[15] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, , (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1987),Kitab Fadha’il al-Qur’an, Bab Istizkar al-Qur’an wa ta’ahudihi, hadits no. 4746, jilid 4, h. 1921.

3. Bertadarus Alquran merupakan amalan rutin Rasulullah saw. setiap tahunnya terkhusus di Bulan Ramadhan. Karena dimomen istimewa ini, Nabi tidak bertadarus dengan para sahabatnya, melainkan bertadarus bersama malaikat Jibril. Momen tadarus ini, bukan hanya sekedar bagaimana Jibril dan Rasulullah saling mengulang bacaan Alquran, namun keduanya juga saling mengkaji makna kandungan Alquran, sehingga hafalan Rasulullah terhadap Alquran semakin mantap. Momen tersebut dirasa sangat istimewa oleh Rasulullah. Ini tercermin dari bagaimana Rasulullah menunjukkan puncak kedermawanannya setiap kali beli bertadarus Alquran bersama jibril, hingga disifati kedermawanannya seperti angin yang berhembus.

Ibn Abbas RA berkata:

Artinya: “Rasulullah saw. adalah orang paling dermawan, dan puncak kedermawanannya di Bulan Ramadhan, tatkala Beliau dijumpai Jibril. Dan Jibril selalu menjumpai Beliau di setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu keduanya bertadarus Alquran. Rasulullah tatkala dijumpai Jibril lebih dermawan atas kebaikan daripada angin yang bertiup.”[16]
[16] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Kitab Bad’u al-Wahyi, Bab Zikr al-Mala’ikah, Hadits no.3048, jilid 3, h. 1177.

b. Tahapan Tadarus

Setelah memahami makna tadarus dan urgensi tadarus, sebagaimana dipaparkan di atas, penting untuk diketahui sesuai dengan makna yang terkandung dalam tadarus di atas, bahwa ada empat tahapan dalam bertadarus:

1) Tahapan Pertama: Bertadarus dengan cara saling membaca dan menyimak bersama Ayat-ayat suci Alquran.

Dalam prosesnya, tadarus ini melibatkan dua kelompok, ada yang membaca dan ada pula yang menyimak. Dan dibolehkan jika membaca dilakukan secara bergiliran, sehingga masing -masing sempat membaca dan juga mendengar.

2) Tahapan Kedua: Bertadarus dengan saling mencoba memahami ayat yang dibaca dan didengar, dengan minimal merujuk pada terjemahan tafsirnya.

Diantara penghalang pemahaman Alquran yang paling utama jauhnya umat Islam saat ini dari Bahasa Arab. Bahkan terkadang dikalangan kelompok mereka yang dianggap sebagai rujukan dalam bidang keislamanpun banyak yang tidak menguasai Bahasa Arab. Kendala ini sedikit banyak saat ini dapat ditanggulangi dengan terjemahan tafsir Alquran, walaupun sebenarnya terjemahan makna Alquran belum mampu menyingkap semua makna yang terkandung dalam Alquran.

Dengan membaca terjemahan makna Alquran setidaknya kandungan umum dari ayat dapat diketahui. Selanjutnya, dibutuhkan peran aktif baik pembaca maupun pendengar untuk mendiskusikan apa yang dipahami dari bacaan Alquran tersebut.

3) Tahapan Ketiga: Bertadarus dengan saling bertukar pandangan dan pemahaman hasil dari tadabbur terhadap ayat yang dibaca dan didengar.

Dalam tahapan ketiga yang merupakan puncak dari tadarus, ada dua sisi yang perlu diperhatikan agar saling bertadabbur dapat berjalan dengan baik; pertama: sisi pihak yang bertadabbur, dan kedua: sisi ayat Alquran yang akan ditadabburi.

4) Tahapan Keempat: Bertadarus dengan saling mengingatkan untuk mengamalkan dan mempraktekkan pesan dan pelajaran yang diambil dari Alquran.

Ini adalah tahapan yang terakhir dan terpenting, karena tadarus bukan hanya sekedar mengkaji konsep, tetapi harus diikuti dengan aksi dan praktek.

Diriwayatkan Ibn Mas’ud pernah berkata pada seseorang:

“Engkau berada di zaman banyak ahli fiqihnya, sedikit qurra’nya, dipelihara di dalamnya aturan Alquran dan dihilangkan hurufnya, sedikit yang meminta, banyak yang member, memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah, tanpak amalan mereka sebelum nafsu mereka. Dan akan datang masa dimana sedikit ahli fiqihnya, banyak qurra’nya, dijaga huruf Alquran tetapi aturannya dilanggar, banyak yang minta sedikit yang member, memanjangkan khutbah dan memendekkan shalat, tampak nafsu mereka sebelum amalan mereka.” [17]
[17] Malik Ibn Anas, al-Muwattha’, tahqiq: Muhammad Mustafa A’dhami, (Abu Dhabi, UAE: Muassasah Zayed li a’mal al-Khairiyyah, 2004), jilid 2, hlm 242.

c. Manfaat Tadarus Alquran

Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari tadarus Alquran bersama kelompok, antara lain:

a. Tadarus dapat menambah dan mempertebal keimanan bahkan berperan juga dalam memperbaharui iman. Hal ini sejalan dengan Firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 2:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”

b. Tadarus dapat mengantarkan seseorang meraih hidayah dan petunjuk Al Qur’an, serta mendatangkan keistimewaan lain yang mengikuti hidayah seperti rahmat Allah dan keberkahan dalam QS. Al-Anbiya ayat 50

“dan Alquran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?”

c. Tadarus dapat menjadikan seseorang lebih kenal kepada Allah, sehingga iapun akhirnya lebih mengenal tentang masalah halal dan haram. Hal ini sejalan dengan Firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 89:

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”

d. Tadarus dapat mengokohkan seseorang tetap berada di atas kebenaran, dan menambah keyakinannya untuk memperjuangkan kebenaran.

Selanjutnya, agar proses tadarus ini dapat berjalan dengan lancar perlu diperhatikan aturan-aturan berikut, baik bagi yang membaca, maupun yang mendengarkan.

1) Aturan bagi yang membaca Alquran.

Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan bagi yang membaca Alquran sebagai berikut:

a) Membaca Alquran secara tartil.

Tartil artinya membaca secara perlahan, tidak terburu-buru, membaca yang dapat membantu pemahaman ayat dan mengambil pesan darinya. Untuk itu, tidak dibenarkan saat membaca seseorang memfokuskan pikirannya berapa ayat lagi yang harus dibaca hingga khatam. Penekanan dalam tartil kepada kualitas pemahaman bukan pada kuantitas ayat yang dibaca.

b) Membaca dengan khusyu’.

Apabila hati khusyu’, maka mata dan semua anggota tubuh lainnya akan mudah terpengaruh dengan apa yang dibaca. Tatkala membaca ayat tentang ancaman, hatinya dipenuhi rasa takut, hingga terkadang matapun ikut menangis, ia merenung berapa banyak kelalaian yang ia lakukan. Sebaliknya, tatkala membaca tentang kabar gembira dari Allah, hatinya dipenuhi rasa gembira, rasa rindu, rasa harap, agar ia masuk dalam kelompok yang diberikan kabar gembira tersebut.[18]
[18] Abu Zakariyya ibn Syarafuddin An-Nawawi, at-Tibyan Fi Adab Hamalah al-Quran, , Tahqiq: Muhammad al-Hajjar, (Beirut: Daar Ibn Hazm, ), hlm 88.

c) Membaca dengan memperindah suara saat membaca tanpa berlebihan. Suara bacaan yang indah lebih mudah masuk dan diterima hati (qalbu), sebaliknya suara yang buruk menjauhkan seseorang dari mendengarnya dengan seksama. Karenanya, Rasulullah memotivasi umatnya untuk memperindah suara saat membaca Alquran:

“Perindahlah Alquran dengan suara kalian.”[19]
[19] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Kitab Iamah as-Shalah wa as-Sunnah, Bab Fi Husni as-Shouti bi al-Qur’an, hadits no. 1403, jilid 4, hlm 309.

d) Aktif fokus dan berinteraksi dengan ayat yang dibaca. Jika ayat yang dibacanya menuntut ia bertasbih ia bertasbih, jika ayat menggiringnya untuk bertanya, iapun bertanya, jika ayat lain mengarahkannya untuk bermohon perlindungan, iapun beristi’azah. Jika ayat menyeru para nabi, ia merasa ia seharusnya lebih diseur oleh ayat tersebut. Jika ayat yang dibaca memuji kelompok yang beriman, ia merasa dirinya bagian dari kelompok itu, dan ia bahagia karenanya. Jika ayat yang dibaca mencela perbuatan kelompok yang suka bermaksiat, dan orang-orang zalim, ia merasa dirinya diperingatkan agar jangan sampai sikapnya menyerupai kelompok tersebut.

e) Mengulang-ulang ayat yang dibaca tatkala ianya dirasa berpengaruh besar dalam hati. Tidak dapat dipungkiri semua ayat Alquran punya pengaruh dalam hati. Namun beberapa ayat bagi sebagian orang lebih berpengaruh dalam hati daripada ayat lainnya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengulang ulang membaca ayat sampai pagi QS. Al-Ma’idah ayat 118:[20]
[20] Abu Abdirrahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, tahqiq: Abdul Fattah Abu Ghuddah, (Aleppo: Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyyah, 1986), Kitab Shifah ash-Shalat, Bab tardiid al-Ayat, hadits no. 1010, jilid 2, h. 177.

“jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Diriwayatkan pula bahwa Imam al-Hasan al-Bashri mengulang-ulang bacaan ayat ke-18 dari QS. An-Nahl sepanjang malam:

“dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Saat ditanya kenapa ia melakukan hal tersebut, al-Hasan al-Bashri menjawab: “sesungguhnya pada ayat itu ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Seseorang tidaklah mengangkat dan mengembalikan ujung jarinya kecuali ia sudah mendapatkan nikmat. Dan apa yang tidak kita ketahui dari nikmat yang Allah berikan jumlahnya lebih banyak.”[21]
[21] Muhammad bin Nashr al-Marwazi, Mukhtashar Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadhan wa Kitab al-Witr, (Pakistan: Faishal Abad, 1408 H), h. 148.

2) Aturan bagi yang mendengarkan bacaan Alquran.

Sebagaimana ada beberapa aturan yang harus diperhatikan bagi yang membaca, maka bagi yang menyimak dan mendengarkan bacaanpun berlaku beberapa aturan yang sama seperti pembaca ditambah beberapa hal berikut:

a) Menyimak dengan baik tilawah Alquran yang dibacakan oleh yang membaca. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Al-A’raaf ayat 204:

“dan apabila dibacakan Alquran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Walaupun Alquran diturunkan kepada rasulullah, namun Rasulullah terkadang juga suka mendengar bacaan Alquran dari orang lain, karena saat mendengarkan, terkadang dapat lebih terpengaruh dengan kandungan ayat daripada saat membaca sendiri.

Disebutkan dalam sebuah Riwayat, Abdullah ibn Mas’ud membacakan untuk Rasulullah QS. An-Nisa’ ayat 41,

“Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”

Saat ibn Mas’ud menoleh ke arah Rasulullah, ia melihat kedua mata Rasulullah bercucuran air mata.[22]
[22] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Jami’ as-Shahih, Kitab at-Tafsir, Bab Surah an-Nisa’ hadist no 4306 jilid 4 h 1673.

b) Memilih waktu dimana pikiran seseorang dalam kondisi segar, tidak dipenuhi banyak pikiran, khususnya saat ia bangun di tengah malam. Waktu yang baik untuk menyimak dan mendengarkan Alquran adalah waktu yang minimal memiliki tiga sifat: pertama, memberikan rasa nyaman bagi si pendengar, kedua, pikirannya segar dan tidak dipenuhi banyak masalah, dan ketiga, saat kondisi tenang dan jauh dari keributan. Dan waktu yang paling sesuai untuk ketiga sifat di atas antara lain; pertama, mendengar bacaan Alquran dalam shalat, khususnya di awal waktu shalat, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra’ ayat 78. Kedua, di waktu malam, terkhusus di sepertiga malam terakhir, ketika kondisi betul-betul tenang dan hening, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Muzammil ayat 6. Dan ketiga, setelah shalat subuh hingga matahari terbit, karena inilah waktu berzikir, dan tidak ada zikir yang lebih baik dari membaca Al-Qur’an.

c) Bersungguh-sungguh dalam membaca, mendengar, dan memahami ayat. Hal ini sangatlah wajar, siapapun yang memulai langkahnya mengkaji Alquran dan mencoba menyelami maknanya, pasti akan dihadapkan dengan banyak kesulitan dan kendala.

d) Tidak berlebihan dalam aspek materiil, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Tatkala seseorang mengkaji dan mendengarkan Alquran disaat perut terlalu kenyang, maka kondisi itu dapat menghalanginya meraih pesan penting Alquran. Luqman berpesan pada anaknya:

“Wahai anakku, jika lambung telah terisi penuh pikiranpun akan tidur, hikmahpun akan membisu, dan anggota tubuh akan bermalasan melaksanakan ibadah.”[23]
[23] Abu al-Hasan an-Nadvi, al-Madkhal ila ad-Dirasah al-Qur’aniyyah- Mabadi’ Tadabbur al-Qur’an, (Kairo: Daar as-Shahwah, 1406 H), h. 144.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Metode dalam Pendidikan Islam adalah cara yang dipergunakan seorang guru agama Islam dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran. Ada berbagai metode-metode Pendidikan Islam seperti metode targhib (membujuk atau merayu), metode ta’tsiir (menggugah rasa kepedulian), metode tahriidh (membangkitkan dan mengobarkan semangat), metode tahdiidh (mengajak), metode tadarus (membaca, mengulang bacaan, hingga ia paham, dan ia hapal).

3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Asy'ari, M. Khalil. (2014). Metode Pendidikan Islam Jurnal Qathruna Vol 1 No 1 hal 195

Ridwan Fauzi, Muhammad. (2019). Makalah Metode Pendidikan Islam .diakses pada Jum'at, 17 Maret 2023 pukul 08.20 WITA dari https://www.academia.edu/40688014/Makalah_Metode_dalam_Pendidikan_Islam

Thalib, Muhammad. 1996. Pendidikan Islami Metode 30T. Bandung: Irsyad Baitus Salam

Zam, R. Z. (2018). PENDEKATAN TABSYIIR, TARGHIB DAN TA’TSIIR DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN NILAI PADA ANAK USIA DINI. Yaa Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2 (1), 61-66

Zamakhsyari. 2016. Tadarus Alquran : Urgensi, Tahapan dan Penerapannya. Jurnal Ilmu Keislaman, 22-38. Diakses 12 Maret 2023, dari jurnal.dharmawangsa.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar