Jumat, 09 Desember 2022

Strategi Pembelajaran Kooperatif & Kontekstual

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah strategi pembelajaran
Dosen pengampu :Humaidi Tamri Lc, MPd.
Disusun oleh kelompok 9 angkatan 5 :
1. Dina Zahernanda (SBA)
2. Princess Endhira (SBA)
3. Azka Hasanah (SBA)
4. Nurul Hasanah (PAI)
5. Yossi Darma ( PAUD)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji hanya bagi Allah yang telah melimpahkan kenikmatan-Nya. Dengan karunia dan kemudahan yang Allah berikan, kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk matakuliah Strategi Pembelajaran dengan topik ”Strategi Pembelajaran Kooperatif & Kontekstual” kami berharap makalah dengan topik ini bertambahnya pengetahuan kami.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak dengan tulus membantu dan memberikan do’a saran serta kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan kami apa bila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, kami mohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan, akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Bekasi, 29 november 2022
Kelompok makalah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Guru memerlukan wawasan yang luas dan utuh tentang kegiatan belajar mengajar agar bisa melaksanakan tugasnya secara profesional. Guru harus mengetahui gambaran yang menyeluruh mengenai bagaimana proses belajar mengajar itu terjadi, serta langkah-langkah apa yang diperlukan sehingga tugas-tugas keguruan dapat dilaksanakan dengan baik dan memperoleh hasil sesuai tujuan yang diharapkan. Salah satu wawasan yang perlu dimiliki guru adalah tentang strategi pembelajaran yang merupakan garis-garis besar haluan bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang di gariskan. Dengan menerapkan sebuah strategi, seorang guru mempunyai pedoman dalam bertindak yang berkenaan dengan berbagai alternatif pilihan yang mungkin dapat ditempuh, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung secara sistematis, terarah lancar dan efektif. Dengan demikian strategi diharapkan sedikit banyak akan membantu memudahkan para guru dalam melaksanakan tugas. Sebaliknya, suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan tanpa strategi, maka kegiatan tersebut berjalan tanpa pedoman dan arah yang jelas. Suatu kegiatan yang dilakukan tanpa dan arah yang jelas dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuannya yang digariskan. Maka dengan ini kami akan membahas makalah bertema strategi pembelajaran kooperatif dan kontekstual.

Strategi pembelajaran kooperaktif mempunyai langkah tujuan dengan menggunakan teori menajemen pada umumnya ada perencanaan organisasi, pelaksanaan dan control, pembelajaran kontekstual memfokuskan proses pembelajaran kearah yang sesuai dengan keadaan yang dialami siswa dalam lingkungannya. Sejalan dengan teori kognitif-konstruktivistik, pembelajaran yang berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, akan mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

1. Konsep Strategi pembelajaran kooperatif.
2. Karaktristik pembelajaran koperatif.
3. Keunggulan dan kekurangan strategi pembelajaran kooperatif.
4. Konsep dasar strategi pembelajaran kontekstual.
5. Latar belakang filosofis dan psikologis pembelajaran kontekstual.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui konsep strategi pembelajaran kooperatif.
2. Mengetahui karakteristik pembelajaran kooperatif.
3. Mengetahui keunggulan dan kekurangan strategi pembelajaran kooperatif.
4. Mengetahui konsep dasar strategi pembelajaran kontekstual.
5. Mengetahui latar belakang filosofis dan psikologis pembelajaran kontekstual.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang Masalah.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat penelitian.
DAFTAR ISI.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Konsep Strategi Pembelajaran Kooperatif.
2.2 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif.
2.3 Keunggulan dan Kekurangan Strategi.
2.4 Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual.
2.5 Latar Belakang Filosofis dan Psikologis Pembelajaran Kontekstual.
BAB III PENUTUP.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Strategi Pembelajaran Kooperatif

Secara etimologi, kooperatif berasal dari kata ”coperate” yang artinya berkerja sama[1]. Sedangkan secara terminologi, kooperatif merujuk pada kegiatan mengejakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu kelompok atau satu tim.[2] Jadi dapat dipahami bahwa kata kooperatif sebenarya bukan istilah khusus bidang pendidikan, melainkan istilah yang umum dipakai pada banyak hal.
[1] S. Wojowasito dan Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris Indonesia (Bandung: Hasta, 2003)
[2] Erman Suherman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematiak Kontemporer


Istilah kooperatif mulai masuk ke ranah Pendidikan dan digunakan sebagai salah satu model pembelajaran, berangkat dari keinginan para guru untuk mendorong para siswa melakukan kerjasama dalam berbagai kegiatan, seperti diskusi atau pengajaran teman sebaya (peer teaching)[3]. Guru merasa pembelajaran yang terlalu didominasinya ternyata justru menghambat perkembangan siswa. Sebagai alternatif, siswa diajak untuk berbagi informasi dengan siswa lainnya dan saling belajar mengajar satu dengan lainnya. Perubahan cara pandang inilah yang mengawali masuknya istilah kooperatif ke ranah pembelajaran di dalam kelas.
[3] Isjoni, Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2012)

Jhon Dewey adalah tokoh yang pertama kali mencetuskan ide mengenai cooperative learning pada tahun 1916 dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education. Kemudian pada kurun waktu 1954-1960, Herbert Thelen mengembangkan prosedur-prosedur yang lebih teliti untuk membantu siswa bekerja dalam kelompok.

Perkembangan model pembelajaran kooperatif mulai awal kemunculannya sampai sekarang telah melahirkan pemaknaan yang beragam dari para ahli. Beberapa pendapat yang menjelaskan pengertian pembelajaran kooperatif diantaranya adalah Slavin, yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dibuat dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.

Jumlah anggota kelompok sebanyak 4-6 orang yang dimaksudkan hanya sebatas gambaran, dan dapat disesuaikan dengan jumlah dan heterogenitas siswa dalam satu kela. Jhonson[4], mengartikan cooperative learning adalah mengelompokkan siswa kedalam kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan pelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Sementara itu Anita Lie, menyebut pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran gorong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk berkerjasama dengan siswa lain dalam tugas- tugas yang terstruktur.[5]
[5] Anita Lie, Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative learning di Ruang kelas,
(Jakarta: Grasindo, 2002), hal 47

Meski terkesan berbeda tapi setidaknya ada kesamaan dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli, yakni esensi pembelajaran kooperatif terletak pada pembentukan keompok-kelompok kecil. Kelompok ini diatur sedemikian rupa agar siswa nisa saling berkerja sama, berinteraksi, dan bertukar pikiran dalam proses belajar. Melalui pengelolaan kelas yang demikian, siswa didorong untuk berinteraksi mengeluarkan kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan tugas tugas yang diberikan. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai materi pelajaran.

Sebelum menerapkan pembelajaran kooperatif, penting bagi guru untuk memahami prinsip- prinsip pembelajaran ini. Guru harus memastikan bahwa prinsip ini telah terinternalisasi dalam diri siswa, agar hasil yang didapat bisa maksimal, ada empat prinsip pembelajaran kooperatif, meliputi[6] :
[6] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2006), hal 246-247

A. Prinsip ketergantungan positif (positive interdependence) agar terciptanya kelompok kerja yang efektif, masing masing anggota kelompok perlu melakukan pembagian tugas. Tugas tersebut tentu diesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas kelompok dan semua memerlukan kerjasama yang baik dari masing-masing anggota kelompok.

B. Tanggung jawab perseorangan (Individual Accountability) prinsip ini merupakan konsekuansi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk itu guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok.

C. Interaksi Tatap Muka (Face to face Promotion Interaction) pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas pada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk berkerjasama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelibihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing masing anggota kelompok.

D. Partisipasi dan komunikasi (Participation and Communication) pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif dan komunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Keterampilan berkomunikasi memang memrlukan waktu. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk komunikator yang baik.

Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif : [7]
[7] Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Edisi 2, Cet. Ke-V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal 211.

A. Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotifasi siswa.

Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada pelajaran dan menekankan pentingnya materi ajar tersebut serta memotivasi siswa belajar.

B. Fase-2 Menyajikan Informasi.

Guru menyajikan informasi kepada siswa melalui demonstrasi atau bahan bacaan.

C. Fase-3 mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa tata cara membentuk kelompok-kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

D. Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar saat mereka mengerjakan tugas belajar mereka.

E. Fase-5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

F. Fase-6 Memberikan Penghargaan

Guru memberikan penghargaan terhadap hasil belajar siswa baik secara individu maupun kelompok.

2.2 Karakteristik Pembelajaran kooperatif

Menurut suyanti Karakteristik pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut[8] :
[8] Suyanti, Retno Dwi. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal 99 -100

A. Pembelajaran secara tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria keberhasilam pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim.

B. Didasarkan pada manajemen kooperarif

Bagaimana pada umumnya, menajemen mempunyai empat fungsi pokok yaitu Perencanaan, Organisasi, Pelaksanaan dan Kontrol. Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Perencanaan menunjukkan bahwa pembelajaran memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengn perencanaan melalui langkah-langkah pembelajaran yang sudah ditentukan termasuk ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama. Fungsi organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperaif adalah pekerjaan bersama antar setiap anggota kelompok. Oleh sebab itu, perlu diatur tugas dan tanggung jawab setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui tes maupun non tes.

C. Kemauan untuk bekerja sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu siswa yang kurang pintar.

D. Keterampilan bekerja sama

Kemampuan untuk bekerja sama itu kemudian dipratikkan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambar dalam keterampilan bekerja sama. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi sehingga setiap siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat dan memberi kontribusi kepada keberhasilan kelompok.

Menurut Arends[9], bahwa pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri berikut :
1. Siswa bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan belajar.
2. Tim-tim itu terdiri atas siswa-siswa yang berprestasi rendah, sedang, dan tinggi.
3. Jika memungkinkan, tim tim itu terdiri atas campuran ras, budaya, dan gender.
4. Sistem reward-nya berorientasi kelompok maupun individu.
[9] Arends, Richard I. 2007. Learning to Teach. Terjemahan oleh Soetjipto, Helly Prajitno & Soetjipto, Sri Mulyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal 5

2.3 Keunggulan dan Kekurangan Strategi

A. Keunggulan model pembelajaran kooperatif :

1. Melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif, peserta didik tidak terlalu menggantungkan diri kepada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan diri, kemampuan berfikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

2. Penerapan model pembelajaran kooperatif mampu mengembangkan kemampuan siswa mengungkapkan ide atau gagasan siswa dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya degan ide-ide orang lain.

3. Dengan penerapan model pembelajaran kooperatif mampu membantu peserta didik untuk menghargai orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan yang ada.

4. Melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif dalam proses pembelajaran mampu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.

5. Penggunaan model pembelajaran kooperatif di kelas merupakan strategi yang cukup terbilang ampuh untuk dapat meningkatkan prestasi akademik siswa sekaligus kemampuan sosial siswa, termasuk mengembangkan rasa harga diri, mengembangkan ketrampilan yang dimiliki siswa, hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain dan sikap positif terhadap sekolah.

6. Dengan penerapan model pembelajaran kooperatif siswa dapat mengembangkan kemampuannya untuk menguji ide dan pemahaman sendiri, dan menerima umpan balik. Siswa dapat memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.

7. Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa mengelola informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.

8. Dalam kooperatif harus ada interaksi agar dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan berfikir, hal ini berguna untuk pendidikan jangka pajang.

B. Kekurangan Model Pembelajaran kooperatif

1. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, di samping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu.

2. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan sara fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai.

3. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

4. Saat diskusi terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

5. Bisa menjadi tempat mengobrol atau gosip. Hal tersebut akan terjadi jika anggota dari suatu kelompok tidak memiliki rasa kedisiplinan dalam belajar, seperti mengobrol, datang terlambat atau bergosip membuat waktu berlalu begitu saja sehingga tujuan untuk belajar menjadi sia-sia[10].
[10] Syrian, “Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif,” Mesti gimana, Desember 23, 2015,

2.4 Konsep dasar strategi pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang di kemukakan oleh Mark Baldwin dan disempurnakan oleh Jean Pieget dan Vgotsky. Menurut aliran ini bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti guru, melainkan hasil dari proses merekonstruksi yang dilakukan setiap individu. Konstruktivisme menurut Bruning dalam Schunk adalah Prespektif psikologi dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dariapa yang mereka pelajari dan pahami.

Menurut Schunk[11] konstruktivisme adalah sebuah epistemologi atau penjelasan filosofis tentang sifat pembelajaran, dan aliran ini menolak gagasan bahwa pengetahuan itu didapat dari menunggu, pengetahuan tidak diatur dari orang lain melainkan terbentuk dari pencarian dalam dalam diri.
[11] Schunk, Dale. H. 2012, Learning Thoeris; An Educational Perspectuves,6th Edition. New York: Pearson Education Inc. Hal 320

Asumsi penting dari konstruktivisme adalah situated cognition (kognisi yang ditempatkan) konsep ini mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan atau disituasikan dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang, pengetahuan diletakkan dan dihubungkan dengan konteks dimana pengetahuan tersebut dikembangkan. pembelajaran konstektual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan Pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.

Kemudian, sesuai dengan filsafat yang mendasarinnya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka difahami bahwa pembelajaran kontekstual ini berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu aakan lingkugan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dengan respon. Belajar tidak sesederhana itu, Belajar melibatkan proses mental yang nampak seperti emosi, minat, motifasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Berdasarkan konsep dasar pembelajaran di atas maka ada tiga hal yang harus dipahami dalam pembelajaran kontekstual :

1. Pembelajaran kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorentasikan kepada proses pengalaman secara langsung.

2. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar sekolah dengan kehidupan nyata.

3. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa dapat menerapkan dalam kehidupan, artinya siswa tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai prilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

2.5 Latar belakang filosofis dan psikologis pembelajaran kontekstual

A. latar belakang filosofis

CTL atau pembelajaran kontekstual banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Bldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Alira filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran Epistemology GimbatistaVico[12]. Vico mengucapkan : ”Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan manusia adalah tuan dari ciptaannya.” mengetahui menurut Vico berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subyek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subyek yang mengamati.
[12] Schunk, Dale. H. 2012, Learning Thoeris; An Educational Perspectuves,6th Edition. New York: Pearson Education Inc. hal 320

Selanjutnya teori filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan oleh setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus berkerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotzky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner.

Piaget berpendapat bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skemata. Skemata terbentuk karena pengalaman. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi). Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.

B. Latar Belakang Psikologis

Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dirongan yang berkembang dalam diri seseorang.

Peristiwa mental prilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerkan fisik itu. Mengapa demikian ? sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berprilaku.

Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam koteks CTL menurut Sanjaya[13] antara lain :
[13] Sanjaya. 2005. Pembelajaran dalam implementasi kurikulum Berbasis kompetensi. Jakarta: Kencana Media Group. hal 114

1. Belajar bukalah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.

2. Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami sehingga dengan pengetahuan yang diiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola prilaku manusia, seperti pola pikir, pola tindak kemampuan memecahkan persoalan termasuk penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka akan semakin efektif dalam berfikir

3. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahan masalah anak berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak menghadapi persoalan.

4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemapuan siswa.

5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real Word Learning)

BAB III
PENUTUP

Dari kesimpulan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Dengan melihat karakteristik model pembelajaran kooperatif yang lebih menekankan pada aktifitas belajar secara kelompok, model ini dapat dijadikan salah satu alternatif metode pembelajaran di kelas. Terlebih lagi terdapat banyak tipe model pembelajaran yang akan di bahas. Dengan melibatkan siswa aktif pada proses pembelajaran di dalam kelas, diharapkan siswa dapat lebih ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan kemampuan belajarnya sendiri. Proses pembelajaranpun akan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan sehingga diharapkan hasil belajar juga akan meningkat.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses Pendidikan yang holistic dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajara yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka mereka sehari-hari, konteks pribadi, sosial, dan kultural sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau di transfer dari datu permasalahan atau konteks ke permasalahan atau konteks lainnya.

Pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan mengalaman atau dunia nyata, berpikir tingkat tinggi berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, kreatif memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikan, tidak membosankan, dan menggunakan berbagai sumber belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. 2007.Learning to Teach.

Terjemah oleh soetjipto. Helly Prajitno & Soetjipto, Sri Mulyatini 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Educhanel, 29 November 2021, “ Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning”, ”, Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning | EduChannel Indonesia, diakses tanggal 28 November 2022

Sanjaya, 2005 Pembelajaran dalam implementasi kurikulum Berbasiskompetensi. Jakarta: Kencana Media group

Suyanti, Retno Dwi. 2010. Strategi Pembelajaran kimia.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suparno, paul, Filsafat Konstruksime Dalam Pendidikan, Yogyakarta, kanisius 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar