Jumat, 04 November 2022

Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen pengampu : Dwi Puji Astuti, MSc
Oleh Kelompok 4 Angkatan 5 :
1. Neng Hindi Hadiyani (SBA)
2. Nur Faridah (PAI)
3. Raisa Salsabila (PAI)
4. Siti Rohmah (SBA)
5. Tanti R. Apadu (SBA)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam kehidupan bermasyarakat.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini untuk lebih baik kedepannya.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bogor, November 2022
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar belakang.
1.2 Rumusan masalah.
1.3 Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian pengukuran dan penilaian hasil belajar.
2.2 Fungsi pengukuran dan penilaian hasil belajar.
2.3 Tujuan pengukuran dan penilaian hasil belajar.
2.4 Sifat pengukuran dan penilaian hasil belajar.
2.5 Alat pengukuran dan penilaian hasil belajar.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pengukuran dan penilaian hasil belajar merupakan salah satu kegiatan dalam dunia pendidikan yang penting. Pada satu sisi, dengan pengukuran dan penilaian hasil belajar dengan baik dapat diketahui tingkat kemajuan belajar siswa, kekurangan, kelebihan dan posisi siswa dalam kelompok. Pada sisi yang lain, pengukuran dan penilaian hasil belajar yang baik akan merupakan feedback bagi guru/dosen untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan proses belajar mengajar.

Di dalam pembelajaran dibutuhkan guru yang tidak hanya mengajar dengan baik, namun mampu melakukan evaluasi dengan baik. Kegiatan evaluasi sebagai bagian dari program perlu lebih dioptimalkan. Penilaian hasil belajar tidak hanya dilakukan dengan cara tes, tetapi dapat juga dilakukan dengan teknik non-tes.

1.2 Rumusan masalah

1.1 Apa pengertian pengukuran dan penilaian hasil belajar?
1.2 Apa saja fungsi pengukuran dan penilaian hasil belajar?
1.3 Apa tujuan pengukuran dan penilaian hasil belajar?
1.4 Apa saja sifat pengukuran dan penilaian hasil belajar?
1.5 Apa saja alat pengukuran dan penilaian hasil belajar?

1.3 Tujuan

1.1 Mengetahui pengertian pengukuran dan penilaian hasil belajar
1.2 Mengetahui fungsi pengukuran dan penilaian hasil belajar
1.3 Mengetahui tujuan pengukuran dan penilaian hasil belajar
1.4 Mengetahui sifat pengukuran dan penilaian hasil belajar
1.5 Mengetahui alat pengukuran dan penilaian hasil belajar

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian pengukuran dan penilaian hasil belajar

Pengukuran dan penilaian dalam dunia Pendidikan pada hakikatnya adalah dua hal yang berbeda, tetapi pada praktiknya pengukuran dan penilaian dianggap sama karena hubungan antara istilah-istilah tersebut sangat erat.

Pengukuran (Measurement)

Sutrisno Hadi mendefinisikan pengukuran sebagai suatu tindakan untuk mengidentifikasi besar kecilnya suatu gejala. Menurut Suharsimi (1999:3), pengukuran merupakan proses membandingkan sesuatu dengan satu ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif. Pengukuran juga diterjemahkan sebagai usaha untuk mengetahui keadaan tentang sesuatu sebagaimana adanya dan berupa pengumpulan data tentang sesuatu.

Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian tentang kenyataan atas sesuatu yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas, dan eksistensi keadaan sesuatu yang diukur. Hasil pengukuran dapat menjelaskan sesuatu bila telah ditafsirkan dengan cara membandingkan dengan suatu patokan, norma, atau kriteria tertentu.

Pengukuran dalam proses belajar mengajar dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan tingkah laku siswa setelah melalui proses belajar dan hal yang biasa dilakukan untuk alat pengukur adalah dengan diadakannya tes. Nilai yang didapatkan siswa adalah contoh skor hasil pengukuran berupa angka.

Penilaian (Evaluation)

Penilaian dalam kegiatan hasil belajar merupakan Tindakan untuk memberikan interpretasi terhadap hasil pengukuran yang telah dilakukan dengan menggunakan norma-norma tertentu dengan tujuan untuk mengetahui tinggi-rendah atau baik-buruk tentang aspek-aspek tertentu yang dievaluasi.

Menurut Suharsimi (1999:3), penilaian merupakan kegiatan pengambilan suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk dan penilaian lainnya yang bersifat kualitatif. Hasil pengukuran tidak ada gunanya tanpa dinilai dengan menggunakan norma sehingga semua usaha membandingkan hasil pengukuran terhadap bahan pembanding berupa patokan atau norma tertentu yang dikenal dengan istilah penilaian.

Hasil penilaian tinggi, rendah, lulus ataupun tidak lulus adalah hasil penilaian dalam kegiatan belajar. Namun hal ini tidak bisa dijadikan patokan apakah materi yang didapatkan oleh seorang siswa dapat diamalkan dalam kehidupannya atau hanya hafalan yang hanya dilakukan demi mendapatkan nilai yang bagus.

2.2 Fungsi pengukuran dan penilaian hasil belajar

Fungsi pengukuran hasil belajar menurut Muhibbin Syah adalah sebagai berikut :
1). Mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu dan proses tertentu.
2). Mengetahui posisi atau kedudukan seseorang dalam kelompok kelasnya.
3). Mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hasil yang baik pada umumnya menunjukkan tingkat usaha yang efisien.
4). Untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitif (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar.
5). Untuk mengetahui tingkat dan hasil metode mengajar yang digunakan dalam proses belajar mengajar.[1]
[1]. https://sabillyz.blogspot.com/2016/03/pengukuran-hasil-belajar.html?m=1 (diakses pada hari jum’at, 28 Oktober 2022 pukul 07.07)

Sedangkan fungsi penilain hasil belajar adalah sebagai berikut :
1). Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu pada rumusan-rumusan tujuan pembelajaran sebagai penjabaran dari kompetensi mata pelajaran.
2). Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan pembelajaran, kegiatan atau pengalaman belajar siswa, strategi pembelajaran yang digunakan gueu, media pembelajaran dll.

2.3 Tujuan pengukuran dan penilaian hasil belajar

Hasil belajar berbeda dengan prestasi belajar. Hasil belajar mencakup perubahan yang dialami oleh siswa dalam hal sikap dan perbuatan atau terbentuknya karakter yang di harapkan. Sedangkan prestasi belajar mencakup kemampuan pengetahuan yang di kuasai oleh siswa terhadap materi yang di berikan. Baik hasil belajar maupun prestasi belajar siswa perlu dilakukan tindakan penilaian. Tujuan penilaian hasil belajar adalah:

1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah di berikan. Mengetahui kemajuan belajar siswa, baik sebagai individu maupun anggota kelompok/kelas setelah ia mengikuti pendidikan dan pembelajaran dalam jangka waktu yang telah di tentukan.

2. Mengetahui kecakapan, motivasi, bakat, minat, dan sikap peserta didik terhadap program pembelajaran.

3. Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar peserta didik dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah di tetapkan.

4. Mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Keunggulan peserta didik dapat di jadikan dasar bagi guru untuk memberikan pembinaan dan pengembangan lebih lanjut, sedangkan kelemahannya dapat dijadikan acuan untuk memberikan bantuan atau bimbingan.

5. Untuk seleksi, yaitu memilih dan menentukan peserta didik yang sesuai dengan jenis pendidikan tertentu.

6. Menentukan kenaikan kelas.

7. Untuk menempatkan peserta didik sesuai dengan potensi yang di milikinya

8. Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran yang di pergunakan guru dalam jangka waktu tertentu. Komponen pembelajaran itu misalnya menyangkut perumusan materi pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran, media, sumber belajar, dan rancangan sistem penilaian yang dipilih.

9. Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa.

2.4 Sifat pengukuran dan penilaian hasil belajar

1. Sifat pengukuran psikologi pendidikan

Psikologi pendidikan suatu proses pengkuantitatifan aspek-aspek psikologis, untuk memudahkan proses pengambilan kesimpulan secara umum. Ini adalah sebuah kelemahan dan kekeliruan, karena aspek psikologi bersifat kualitatif (tidak bisa dihitung/di ukur). Untuk memahami aspek kualitatif kedalam proses kuantifikasi aspek psikologi, kita perlu memahami sifat-sifat pengukuran psikologis, agar tidak terjebak dalam interpretasi angka-angka. Sebagai panduan, sifat-sifat pengukuran psikologis adalah sebagai berikut (Dewa Ketut Sukardi, 2003):

a). Pengukuran psikologis dilakukan secara tidak langsung berdasarkan perilaku yang tampak, atas berdasarkan atas respon terhadap stimulus yang diberikan.

b). Pengukuran psikologi tidak pernah menunjukkan ketepatan seratus persen. Bagaimanapun valid, reliable, atau baiknya alat yang digunakan dan bagaimanapun cermatnya pengadministrasian yang dilakukan, pengukuran itu selalu mengandung eror/kesalahan tertentu.

c) Pengukuran psikologi tidak pernah mempunyai satuan mutlak. Seseorang yang mendapatkan angka nol, tidak berarti kosong sama sekali.

d) Hasil pengukuran psikologi tidak mengandung skala rasio. Kita hanya dapat mengatakan bahwa Si A lebih pandai dari Si B. Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa Si A satu setengah kali lebih pandai dari Si B.[2]
2. Sifat Penilaian (Evaluasi)

Dalam aktivitas pendidikan kita banyak bergelut dengan hal-hal yang bersifat abstrak seperti sikap, minat, bakat, kepandaian dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Untuk mengetahui, mengungkap, atau menilai hal-hal tersebut harus menggunakan instrumen yang sesuai dengan hal yang akan diungkap. Karena penilaian pendidikan banyak berkaitan dengan hal-hal yang abstrak, maka penilaian pendidikan bersifat:

a). Tidak langsung (Indirect)

Untuk mengetahui kemampuan matematika seorang siswa, kita tidak dapat secara langsung mengamati keadaan siswa secara fisik misalnya dilihat dari cara berpakaian yang rapi, atau dahinya yang lebar. Tetapi untuk mengetahui kemampuan matematika siswa kita harus melalui prosedur atau proses yang benar dan menggunakan instrumen yang tepat sesuai dengan tujuan yang kita kehendaki. Karena. dalam evaluasi harus melalui prosedur atau proses dan menggunakan alat yang relevan, maka evaluasi bersifat tidak langsung (indirect).

b). Kuantitatif

Meskipun dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berkaitan dengan penilaian yang bersifat abstrak misalnya kemampuan berbahasa, kemampuan matematika, sikap, bakat, inteligensi dsb, namun dalam praktekmya hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dalam penilaiannya selalu dikuantitatifkan, misaInya IQ = 100, kemampuan maternatika diskor 8, kemampuan berbahasa di skor 7 dsb. Karena hal-hal yang abstrak tersebut selalu dikuantitatifkan, maka evaluasi pendidikan bersifat kuantitatif.

c). Relatif

Evaluasi/Penilaian pendidikan bersifat relatif artinya setiap mengadakan penilaian kemungkinan terjadi adanya perubahan, atau dengan kata lain penilaian tidak selalu sama atau tetap dari satu waktu ke waktu. yang lain. Misalnya seorang siswa yang mendapat skor matematika 9, tidak selamanya bila ulangan atau ujian skornya 9.

d). Menggunakan unit-unit yang tetap

Sifat yang keempat penilaian pendidikan ialah menggunakan unit-unit yang tetap artinya dalam mengungkap atau mengukur sesuatu obyek akan selalu menggunakan satuan ukuran tertentu sesuai dengan obyek yang dlukur atau dinilai misalnya IQ antara 100-110 termasuk normal, IQ 80-99 termasuk lamban dsb.[3]
[3]. Sugiyanto,"Psikologi pendidikan"http://staffnew.uny.ac.id . (diakses pada 25 Oktober 2022, pukul 06:53)

2.5 Alat pengukuran dan penilaian hasil belajar

Penilaian hasil belajar atau dapat disebut juga sebagai evaluasi hasil pembelajaran hendaknya dilakukan dengan baik. Untuk dapat mengevaluasi dengan baik, kita harus melakukan pengukuran dengan baik pula. Untuk dapat mengukur dengan baik atau tepat, kita harus menggunakan alat pengukur yang baik atau memenuhi persyaratan. Adapun alat untuk mengukur atau mengevaluasi kegiatan pendidikan khususnya hasil belajar pada garis besarnya dapat dibedakan dalam dua macam yaitu yang berupa tes dan non-tes.

Apabila yang dipergunakan sebagai alat pengukur adalah tes, maka individu yang dievaluasi dihadapkan pada situasi yang telah distandardisasikan sedemikian rupa sehingga semua individu yang dites mendapat perlakuan yang sama. Dengan situasi yang terstandar tersebut tester akan menerima perintah atau tugas yang sama, sehingga setiap individu yang dites akan memperoleh skor tertentu sebagai penggambaran dari hasil yang telah mereka laksanakan. Adapun ciri-ciri situasi yang terstandar adalah sebagai berikut:

1. Semua individu yang dites akan memberikan jawaban dari pertanyaan dan perintah sama.

2. Semua individu akan mendapat perintah yang sama dan perintah tersebut harus jelas sehingga semua individu memahami makna perintah tersebut.

3. Cara coding terhadap hasil tes harus dibuat seragam sehingga jawaban yang sama akan mendapat skor yang sama.

4. Waktu dan penyelenggaraan tes juga harus seragam dalam arti setiap individu mempunyai kesempatan dan waktu yang sama dalam melaksanakan tugas atau dalam menerima pertanyaan.

Di samping individu dihadapkan dengan situasi yang terstandar, ada sesuatu yang penting di dalam menggunakan skor. Skor di sini berarti bilangan yang menunjukkan atau menggambarkan tindakan atau “performance” individu yang dites. Karena dengan skor yang berupa bilangan dapat memberikan kejelasan secara tepat tentang hasil perbuatan dari individu yang dites. Dengan skor yang berapa angka, akan diketahui adanya perbedaan prestasi diantara dua individu walaupun perbedaannya kecil. Di samping itu dengan skor yang berupa angka dimungkinkan hasil tindakan individu yang dites dapat dianalisis secara statistik. Tanpa dilakukannya perhitungan-perhitungan secara statistik tidak akan mungkin dapat diperoleh keputusan yang valid atau tepat tentang efektivitas dari tes untuk memberikan keputusan tentang pendidikan.

Apabila yang dipergunakan sebagai yang dievaluasi tidak dihadapkan kepada situasi terstandar yaitu situasi yang diatur dan dikendalikan sesuai dengan tujuan. Dengan non-tes situasi dibiarkan berjalan seperti apa adanya, tanpa dipengaruhi oleh tester.

Kegiatan-kegiatan pendidikan yang dapat dievaluasi dengan non-tes misaInya tentang kerajinan, kelancaran berbicara di muka kelas, aktivitas dalam diskusi dsb. Alat yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasi antara lain pedoman wawancara, pedoman observasi, dokumentasi, angket dan lain sebagainya.[4]
[4]. https://adhegeldhis12.wordpress.com/2017/01/07/pengukuran-dan-penilaian-hasil-belajar (di akses pada hari Ahad, 30 Oktober 2022 pukul 15.38)

Sebagai salah satu standar, alat pengukuran yang baik adalah alat pengukuran yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

Alat pengukur harus valid

Validitas alat pengukur ialah kadar ketelitian alat pengukur untuk dapat memenuhi fungsinya dalam menggambarkan keadaan aspek yang diukur dengan tepat dan teliti. Sesuai dengan pengertian tersebut Sutrisno Hadi (1997) juga mengemukakan bahwa mengenai masalah validitas ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu kejituan dan ketelitian. Jadi sesuai dengan pengertian validitas tersebut di atas ada dua macam problem validitas yaitu:

a. Problem kejituan atau ketepatan

Suatu alat pengukur dikatakan jitu atau tepat bila ia dengan jitu mengena pada sasarannya. Atau dengan kata lain seberapa jauh suatu alat pengkur dapat mengungkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian gejala yang hendak diukur. Dengan demikian alat pengukur dianggap memiliki kejituan apabila alat pengukur tersebut dapat mengerjakan dengan tepat fungsi yang diserahkan kepadanya, fungsi apa alat itu dipersiapkan.

b. Problem ketelitian

Suatu alat pengukur dikatakan teliti jika ia mampu dengan cermat menunjukkan ukuran besar-kecilnya gejala atau bagian-bagian gejala yang diukur. Dengan kata lain seberapa jauh alat pengukur dapat memberikan “reading” yang teliti, dapat menunjukkan dengan sebenamya status atau keadaan gejala atau bagian-bagian gejala yang diukur, misaInya meteran dapat dikatakan teliti jika suatu benda yang panjangnya 10 meter ia katakan 10 meter, bukan kurang atau lebih dari 10 meter.

Alat pengukur harus reliabel

Pembicaraan reliabilitas alat pengukur berdasar pada seberapa jauh suatu alat pengukur dapat menunjukkan kestabilan, kekonstanan, atau keajegan hasil pengukuran. Suatu alat pengukur dikatakan reliabel bila alat pengukur tersebut dikenakan terhadap subyek yang sama tetapi pada saat yang berlainan atau kalau orang yang memberikan alat pengukur itu berbeda hasilnya akan tetap sama. Sebagai contoh suatu meteran yang dipergunakan untuk mengukur panjang suatu benda. Meteran tersebut dapat dikatakan reliabel bila ia dipergunakan untuk mengukur benda (X) menunjukkan hasil yang sama walaupun saat pengukurannya berbeda dan orang yang melakukan pengukuran juga berbeda.

Alat pengukur harus memiliki daya pembeda (diskriminatif)

Daya pembeda atau “discriminating power” soal adalah seberapa jauh suatu butir soal mampu membedakan tentang keadaan aspek yang diukur apabila keadaannya memang berbeda. Misalnya tes hasil belajar dapat diketahui daya pembedanya bila tes tersebut mampu membedakan antara dua orang atau lebih yang memang memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Dengan kata lain tes yang baik harus dapat membedakan kemamapuan anak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.

Suatu butir soal yang sangat sukar, sehingga semua siswa tidak dapat mengerjakannya dengan benar, berarti butir soal tersebut tidak memiliki daya pembeda. Begitu pula sebaliknya butir soal yang sangat mudah sehingga semua siswa dapat mengerjakan dengan benar, butir soal tersebut juga tidak memiliki daya pembeda.

Di samping ketiga syarat pokok alat pengukur yang baik di atas, masih ada syarat lain yaitu alat pengukur harus komprehensif, obyektif, terstandar, dan praktis.

Seperti sudah disinggung, secara garis besar ada dua kategori alat penilaian hasil belajar, yaitu tes dan nontes. sejumlah prinsip dalam penyusunan tes juga berlaku dalam penyusunan alat nontes.

1. Teknik Tes

a. Pengertian Tes

Secara harfiah, kata “tes” berasal dari bahasa Perancis Kuno yakni testum, yang berarti “piring untuk menyisihkan logam-logam mulia” (maksudnya dengan menggunakan alat berupa piring itu akan dapat diperoleh jenis-jenis logam-logam mulia yang nilainya sangat tinggi). Dalam bahasa Inggris ditulis dengan test yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “tes”, ujian atau percobaan. Dalam bahasa Arab : Imtihan.

Dari segi istilah, terdapat beberapa definisi tentang istilah tes, diantaranya adalah Drs. Amir Daien Indrakusuma dalam bukunya yang berjudul Evaluasi Pendidikan, mengatakan bahwa tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat.

Definisi lain tentang tes juga dikutip dari Webster’s Collegiate, bahwa “test = any series of questions or exercises or other means of measuring the skill, knowledge, intelligence, capacities or aptitudes of an individual or group”.

Dari beberapa definisi tentang tes diatas, nampak jelas bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan. Jadi seorang tester dalam melakukan kegiatan penilaian membutuhkan suatu perangkat yang berupa pertanyaan, tugas, dan lain-lain. Perangkat tersebut biasa kita kenal dengan sebutan tes.

b. Penggolongan Tes

Tes dapat dibedakan menjadi beberapa jenis atau golongan tergantung dari segi mana dan atas alasan apa penggolongan tes itu dilakukan.

1) Dilihat dari fungsinya sebagai alat ukur, tes dibagi menjadi 6 golongan, yakni Tes Seleksi (ujian saringan atau ujian masuk), tes awal (pre-test), tes akhir (post-test), tes diagnostic, tes formatif (ulangan harian), tes sumatif (ulangan umum).

2) Dilihat dari aspek psikis (kejiwaan) yang ingin diungkap, tes setidak-tidaknya dibedakan menjadi 5 golongan, yakni : Tes intelegensi (inteligency test), Tes kemampuan (aptitude test), Tes sikap (attitude test), Tes kepribadian (personality test), Tes hasil belajar (achievement test).

3) Dilihat dari segi banyaknya orang yang mengikuti tes, dibedakan menjadi 2 yakni test individual dan tes kelompok. Dilihat dari segi waktu yang disediakan bagi testee untuk menyelesaikan tes, dibagi menjadi 2 yakni Power test (waktu tidak dibatasi) dan Speed test (waktu dibatasi).

4) Dilihat dari segi bentuk responnya, tes dibedakan menjadi 2, yakni Verbal Test (jawaban berupa kalimat baik lisan maupun tulisan) dan Nonverbal Test (jawaban berupa perbuatan).

5) Dilihat dari segi cara mengajukan pertanyaan dan cara memberikan jawabannya, tes dibagi menjadi 2, yakni tes tertulis dan tes lisan.

2. Teknik Nontes

Teknik ini dapat digunakan sebagai suatu kritikan terhadap kelemahan teknik tes. Dengan teknik ini, maka evaluasi dilakukan dengan tanpa ”menguji” peserta didik, malainkan dengan observasi, wawancara, dan lain-lain seperti yang akan dipaparkan di bawah ini.

Teknik Non-tes inipun dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain :

1. Pengamatan (Observation) adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif, dan rasional mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Wawancara (Interview) merupakan salah satu bentuk alat evaluasi jenis non-tes yang dilakukan melalui percakapan dan tanya jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan peserta didik.

3. Skala sikap (Attitude Scale/Skala Likert). Peserta didik tidak hanya disuruh memilih pernyataan-pernyataan positif saja, tetapi juga pernyataan-pernyataan yang negatif. Tiap item dibagi menjadi lima skala, yakni SS, S, TT, TS, dan STS.

4. Daftar cek (Check List), yaitu suatu daftar yang berisi subjek dan aspek-aspek yang akan diamati. Daftar ini memungkinkan guru sebagai penilai untuk mencatat tiap-tiap kejadian yang betapapun kecilnya, tetapi dianggap penting.

5. Skala penilaian (Rating Scale). Dalam daftar cek, penilai hanya dapat mencatat ada tidaknya veriabel tingkah laku tertentu, sedangkan dalam skala penilaian fenomena-fenomena yang akan dinilai itu disusun dalam tingkatan-tingkatan tertentu.

6. Angket (Quesioner). Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara, kecuali dalam implementasinya. Angket dilaksanakan secara tertulis, sedangkan wawancara dilaksanakan secara lisan.

7. Studi kasus (Case Study) adalah studi yang mendalam dan komprehensif tentang peserta didik, kelas atau sekolah yang memiliki kasus tertentu. Misalnya, peserta didik yang sangat cerdas, sangat lamban, sangat rajin, sangat nakal atau kesulitan dalam belajar.

8. Catatan insidental (Anecdotal Records) adalah catatan-catatan singkat tentang peristiwa-peristiwa sepintas yang dialami peserta didik secara perseorangan. Catatan ini merupakan pelengkap dalam rangka penilaian guru terhadap peserta didiknya, terutama yang berkenaan dengan tingkah laku peserta didiknya.

9. Sosiometri adalah suatu prosedur untuk merangkum, menyusun, dan sampai bats tertentu dapat mengkuantifikasi pendapat-pendapat peserta didik tentang penerimaan teman sebayanya serta hubungan diantara mereka. Teknik ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui kemampuan sosial peserta didik. Langkah-langkahnya yaitu memberikan petunjuk atau pertanyaan, mengumpulkan jawaban yang sejujurnya dari semua peserta didik, jawaban-jawaban tersebut dimasukkan ke dalam tabel.

10. Inventori kepribadian, jenis non-tes ini hampir serupa dengan tes kepribadian. Bedanya, pada inventori, jawaban peserta didik tidak memakai kriteria benar salah. Semua jawaban peserta didik adalah benar selama dia menyatakan yang sesungguhnya. Walaupun demikian, dipergunakan pula skala-skala tertentu untuk kuantifikasi jawaban sehingga dapat dibandingkan dengan kelompoknya.

11. Teknik pemberian penghargaan kepada peserta didik. Kegiatan evaluasi bukan hanya dilakukan pada dimensi hasil, tetapi juga pada dimensi proses. Salah satu bentuk penilaian proses adalah pemberian penghargaan.[5]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan definisinya bahwa pengukuran dan penilaian memiliki perbedaan makna, fungsi, dan sifatnya tetapi memiliki tujuan yang sama. Namun, antara pengukuran dan penilaian/evaluasi ini dalam pendidikan tidak dapat dipisahkan, sebab memiliki keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Pengukuran dan penilaian merupakan dua proses yang berkesinambungan. Pengukuran dan Penilaian/Evaluasi memiliki alat pengukuran dan penilaian yakni melalui test dan non test.

3.2 Saran

Harapan kami penulis siapa yang membaca makalah ini bisa memahami dan mengambil manfaatnya sebaik-baiknya. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan di harapkan dari pembaca kritik dan saran yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Gledis H, Ade. 2017. “Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar“. https://adhegeldhis12.wordpress.com/2017/01/07/pengukuran-dan-penilaian-hasil-belajar

Hermanis. 
"π˜›π˜Άπ˜«π˜Άπ˜’π˜― π˜—π˜¦π˜―π˜ͺ𝘭𝘒π˜ͺ𝘒𝘯 𝘏𝘒𝘴π˜ͺ𝘭 π˜‰π˜¦π˜­π˜’π˜«π˜’π˜³". https://hermananis.com/tujuan-penilaian-hasil-belajar/.

http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/tes-dan-nontes-evaluasi-pembelajaran.html?m=1

https://sabillyz.blogspot.com/2016/03/pengukuran-hasil-belajar.html?m=1

https://www.asikbelajar.com/fungsi-penilaian-hasil-belajar/

https://www.initentangpsikologi.com/2020/03/pengukuran-dan-penilaian-dalam-pendidikan.html

https://www.psychologymania.com/2012/03/sifat-sifat-pengukuran-psikologis.html

Sugiyanto,"Psikologi pendidikan"http://staffnew.uny.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar