Sabtu, 16 Juli 2022

Konsep Kurikulum dalam Pendidikan

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Kurikulum
Dosen pengampu : Muflihin Al Mufti, M.Pd.I
| live google meet | Ahad, 17 Juli 2022 Jam 07.00 - 08.30 WIB |
Disusun Oleh Kelompok 2 Angkatan 5 :
1. Dina Zahernanda (SBA)
2. Princess Endhira Nathania (SBA)
3. Nurul Hasanah (PAI)
4. Azka Hasanah (SBA)
5. Yossi Darma (PAUD)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan kenikmatan-Nya, Dengan karunia dan kemudahan yang Allah berikan, kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pengembangan Kurikulum dengan topik “Konsep kurikulum dalam Pendidikan”. Kami berharap makalah dengan topik ini dapat bertambahnya pengetahuan kami.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak dengan tulus membantu dan memberikan do’a saran serta kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan kami. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, kami mohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan, akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 1 juli 2022
Kelompok makalah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Kurikulum
2.2 Model – model konsep kurikulum
2.3 Langkah-langkah Mengembangkan Kurikulum
2.4 Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
2.5 Dimensi Dimensi Kurikulum
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan, oleh karena itu kurikulum mutlak harus ada. Kurikulum pada hakikatnya merupakan ilmu tentang proses mencerdaskan anak bangsa agar ia bermakna bagi kehidupannya, baik sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara bangsanya. Karena itu kurikulum sebagai disiplin ilmu, wajib dipelajari oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia Pendidikan. Apalagi orang tersebut adalah calon guru atau sudah menjadi guru.

Ilmu kurikulum bukan ilmu “kira-kira“, kira-kira begini atau kira-kira begitu. Kurikulum harus dipelajari secara ilmiah, baik secara teoritis maupun praktis dengan berbagai dimensinya, seperti konsep, teori, kedudukan kurikulum, langkah-langkah pengembangan kurikulum, dimensi-dimensi kurikulum dan model-model dari konsep kurikulum. Untuk itu dalam makalah ini kami mencoba membahas berbagai hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja konsep dasar kurikulum dalam pendidikan?
2. Apa saja model-model dari konsep kurikulum dalam pendidikan?
3. Bagaimana langkah-langkah mengembangkan kurikulum?
4. Bagaimana kedudukan kurikulum dalam pendidikan?
5. Apa saja dimensi-dimensi kurikulum dalam pendidikan?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui konsep dasar didalam kurikulum.
2. Untuk mengetahui model-model dari konsep kurikulum pendidikan.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah dalam mengembangkan kurikulum.
4. Untuk mengetahui kedudukan kurikulum dalam pendidikan.
5. Untuk mengetahui dimensi-dimensi kurikulum dalam pendidikan.

2.1 Konsep Dasar Kurikulum

BAB II PEMBAHASAN

Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang Pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa. Tujuan dan Pola kehidupan suatu negara banyak ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya, mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai sampai dengan kurikulum perguruan tinggi. Jika terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat pada perubahan sistem pemerintahan dan sistem Pendidikan, bahkan sistem kurikulum yang berlaku.

Kurikulum adalah soal pilihan (curriculum is a matter of choice). Pilihan itu biasanya dilakukan oleh “orang berkuasa” (pemerintah). Kurikulum juga dijadikan alat politik oleh pemerintah. Misalnya, Ketika Indonesia masih di bawah penjajahan belanda dan jepang. Kurikulum harus disesuaikan dengan kepentingan politik kedua negara tersebut. Bahkan Ketika pemerintahan jepang berkuasa, kurikulum sekolah diubah sesuai dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan kebangunan Asia Timur Raya, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kurikulum sekolah diubah dan disesuaikan dengan kepentingan politik bangsa Indonesia. Pendidikan dan kurikulum di Indonesia, sejak dari taman kanak-kanak sampai dengan Perguruan tinggi, baik formal, nonformal maupun informal harus diarahkan dan disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikn nasional yang tertuang dalam UU.RI.NO.20 Tahun 2003.

Kurikulum harus bersifat dinamis, artinya kurikulum selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat kecerdasan peserta didik, kultur, sistem nilai, serta kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, para pengembang kurikulum termasuk guru, harus memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang hal tersebut. Kurikulum harus dimonitoring dan evaluasi untuk perbaikan dan penyempurnaan. Setiap kali melakukan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik karena kurikulum itu bersifat hipotesis. Maksudnya, baik-tidaknya kurikulum akan dapat diketahui setelah dilaksanakan di lapangan. Perbaikan kurikulum diperlukan agar tidak lapuk ketinggalan zaman.

Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi. [1]
[1]. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).

Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi. Kurikulum dipandang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.

Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja.

Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum, mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.

2.2 Model-model konsep kurikulum

Di dalam kurikulum John D. Nell mengemukakan empat macam konsep, yaitu: kurikulum akademis, humanistis, rekonstruksi sosial dan teknologi. [2]
[2] John D. Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction (t.tp.: a Division of Scott Foresman and Company, 1980), 5.

1. Konsep Kurikulum Akademik

Kurikulum akademis ini merupakan model yang pertama dan tertua, sejak sekolah berdiri kurikulumnya seperti ini, bahkan sampai sekarang walaupun telah berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah tidak dapat melepaskan tipe ini. Karena sangat praktis, mudah disusun dan mudah digabungkan dengan tipe-tipe lain.

Kurikulum akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai Ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.

Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesual dengan bidang disiplinnya para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis, logis dan solid. Para guru dan pengembang kurikulum tidak perlu susah payah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu, kemudian mereorganisasikan secara sistimatis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang ada dalam kurikulum. Ia harus menjadi ahli dalam bidang-bidang studi yang diajarkan. Lebih jauh guru dituntut bukan hanya menguasai materi pendidikan, tetapi ia juga menjadi model bagi para siswanya. Apa yang disampaikan dan cara penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru, karena guru adalah yang digugu dan ditiru (diikuti dan dicontoh).

Karena Kurikulum akademis sangat mengutamakan pengetahuan, maka pendidikannya lebih bersifat intelektual. Kurikulumnya tidak hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung pada segl apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut.

Jerome Bruner dalam The Process of Education sebagaimana di kutip S. Nasution menyarankan bahwa desain kurikulum hendaknya didasarkan atas struktur disiplin ilmu. Selanjutnya, la menegaskan bahwa kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas pemahaman yang mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang mendasarinya dan yang memberi struktur kepada suatu disiplin ilmu. [3]
[3]. S. Nasution, Azas-azas Kurikulum (Bandung: Jemmars, 1982), 26.

Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum akademis :

Pertama, adalah melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekedar mengingatnya. Kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perkembangan masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih komprehensif terpadu. Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan masalah-masalah yang ada. Ketiga, pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan mata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. [4]
[4]. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, 83-84

2. Kurikulum Humanistik

Dalam pandangan humanisme, kurikulum adalah sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek kepribadiannya. Kurikulum dapat dilihat sebagai suatu proses yang mampu memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai integrasi perkembangan dalam menuju aktualisasi (perwujudan) diri.

Pengikut dalam aliran ini meliputi pendidikan Konfluen, Kritisi Radikal, Mistisi Baru. Pendidikan konfluen adalah pendidikan yang memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Kritisi Radikal adalah pendidikan yang bersumber dari aliran Naturalisme atau Romantisme, yang menekankan pendidikannya pada upaya untuk membantu anak menentukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya, dan menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Mistikisme Modem adalah aliran yang menekankan pada latihan dan kepekaan, perasaan, dan keluhuran budi pekerti, atau menemukan nilai-nilai dalam latihan sensitivitas, meditasi, atau teknik transpersonal lainnya.

Kurikulum humanistik bertolak dari asumsi bahwa anak adalah pertama dan utama dalam pendidikan. Anak adalah subyek yang menjadi sentral aktivitas pendidikan. Anak memiliki sejumlah potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang sendiri. Para pendidik humanis berpegang juga pada konsep Ge-stalt. Artinya, anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan pada pembinaan yang utuh, bukan pada aspek fisik atau intelektual belaka, melainkan juga pada segi afektif (emosi, perasaan, nilal, dan sejenisnya).

Bertolak dari asumsi di atas, kurikulum Humanisme menekankan pada pendidikan yang Integratif (menyeluruh) antara aspek afektif (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan kecakapan intelektual). Atau dengan kata lain, kurikulum ini menambahkan aspek emosional ke dalam kurikulum yang berorientasi pada subject matter (mata pelajaran).

3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Kurikulum Rekonstruksi Sosial ini lebih menekankan pada problem-problem yang dihadapi siswa dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi kurikulum ini mengemukakan bahwa pendidikan bukanlah merupakan upaya sendiri, melainkan merupakan kegiatan bersama, interaksi, dan kerja sama. Interaksi atau kerja sama dapat terjadi pada siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan orang di lingkungannya. Dengan kerja sama semacam ini, para siswa berusaha memecahkan problem-problem yang dihadapi dalam masyarakat agar menjadi masyarakat yang lebih baik. Pendidikan, menurut konsepsi kurikulum rekonstruksi sosial ini memiliki pengaruh, mengubah, dan memberi corak baru kepada masyarakat dan kebudayaan.

4. Kurikulum Teknologi

Dalam pandangan teknologi, kurikulum merupakan proses teknologi untuk menghasilkan tuntutan kebutuhan-kebutuhan tenaga yang mampu membuat keputusan. Penerapan teknologi dalam pendidikan, khususnya kurikulum meliputi dua bentuk, yakni: bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (handware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology). sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology). [5]
[5]. A. Hamid Syarif, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 25-26

Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan. Dalam kurikulumnya mengandung rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, Juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh model dari pengajaran tersebut adalah pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan alat komputer, dan pengajaran dengan pendekatan sistem.

Dalam arti teknologi sebagai sistem, teknologi pendidikan menekankan penyusunan program atau rencana pelajaran dengan menggunakan sistem. Program pengajaran tersebut bisa semata-mata sistem, dapat juga berupa program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, serta bisa juga program sistem yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran. Pada bentuk pertama, pengajaran tidak membutuhkan alat dan media yang canggih. Sedangkan pada bentuk kedua, pengajaran tetap berjalan, meski tanpa alat dan media yang canggih, tetapi lebih baik jika alat dan media itu disediakan. Bentuk ketiga, pengajaran tidak berjalan tanpa alat dan media yang canggih. Karena itu, alat dan media sebagai syarat yang berpadu dengan program.

Model kurikulum teknologi dikembangkan berdasarkan pemikiran teknologi pendidikan. Model ini sangat mengutamakan pembentukan dan penguasaan kompetensi, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya dan ilmu seperti pada pendidikan klasik. Model kurikulum teknologi berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang. Kurikulum ini juga menekankan pada isi kurikulum. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih kecil sehingga akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur.

2.3 Langkah-langkah Mengembangkan Kurikulum

Secara umum langkah-langkah dalam mengembangkan kurikulum adalah diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengembangan alat evaluasi. Berikut penjelasan mengenai langkah-langkah nya,

A. Analisis dan Diagnosis Kebutuhan

Tentunya langkah pertama kita untuk mengembangkan suatu materi atau subjek apapun, tentunya kita perlu untuk melakukan analisis dan diagnosis terhadap kebutuhan tersebut. Analisis kebutuhan ini dapat dilakukan dengan mempelajari tiga hal, yaitu kebutuhan siswa atau pelajar, tuntutan masyarakat atau dunia kerja, dan harapan-harapan dari pemerintah (kebijakan pendidikan).

Kebutuhan siswa dapat dianalisis dari aspek-aspek perkembangan psikologis siswa tersebut. Tuntutan masyarakat dan dunia kerja dapat dianalisis dari berbagai kemajuan yang ada di masyarakat dan prediksi-prediksi kemajuan masyarakat di masa yang akan datang.

Sedangkan harapan pemerintah dapat dianalisis dari kebijakan-kebijakan pemerintah itu sendiri, khususnya kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hasil analisis dari ketiga aspek tersebutlah yang kemudian didiagnosis atau dikumpulkan untuk disusun menjadi serangkaian kebutuhan sebagai bahan masukan bagi kegiatan pengembangan tujuan.

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis kebutuhan ada tiga, yaitu survei kebutuhan, studi kompetensi, dan analisis tugas. Survei kebutuhan merupakan cara yang relafif sederhana dalam menganalisis kebutuhan, seorang pengembang kurikulum dapat melakukan wawancara dengan sejumlah orang, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan para ahli terkait tentang apa yang dibutuhkan oleh siswa, masyarakat, dan pemerintah berkaitan dengan kurikulum sebagai suatu program pendidikan. Studi kompetensi dilakukan dengan analisis terhadap kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh lulusan suatu jenis dan jenjang program pendidikan. Pendekatan ketiga, analisis tugas merupakan cara yang lebih rumit dibandingkan dengan dua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menganalisis setiap jenis tugas yang harus diselesaikan. Tugas-tugas itu bisa berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan atau psikomotor.

Hasil akhir kegiatan menganalisis dan mendiagnosis kebutuhan ini adalah mendeskripsikan kebutuhan sebagai bahan yang akan dijadikan masukan bagi langkah selanjutnya dalam pengembangan kurikulum yaitu perumusan tujuan.

B. Perumusan Tujuan

Setelah kita menetapkan bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan kurikulum, selanjutnya adalah merumuskan tujuan. Tujuan-tujuan dalam kurikulum itu berhierarki atau bertingkat, mulai dari tujuan yang paling umum (kompleks) sampai pada tujuan-tujuan yang lebih khusus dan operasional. Hierarki tujuan tersebut terdiri dari: tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, serta tujuan instruksional/tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.

Tujuan dapat dibagi ke dalam beberapa taksonomi tujuan. Menurut Benyamin S. Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives membagi tujuan ini menjadi tiga ranah/domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga domain ini masing-masing terdiri atas beberapa aspek yang disusun secara hierarkis, Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir, domain afektif berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai, sedangkan domain psikomotor berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan motorik.

C. Pengorganisasian Materi

Secara garis besar, materi kurikulum disusun berdasarkan prosedur-prosedur tertentu yang merupakan salah satu bagian dalam pengembangan kurikulum secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan kegiatan memilih, menilai, dan menentukan jenis bidang studi apa yang harus diajarkan pada suatu jenis dan jenjang persekolahan, kemudian pokok-pokok dan subpokok bahasan serta uraian materi secara garis besar, juga termasuk scope (ruang lingkup) dan sequence (urutan)-nya. Adapun patokan kegiatan tersebut ditentukan oleh tujuan-tujuan dari jenis dan jenjang sekolah yang bersangkutan.

Secara spesifik, yang dimaksud dengan materi kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Isi dari kegiatan pembelajaran tersebut adalah isi dari kurikulum. Isi atau bahan tersebut disusun dalam berbagai program pendidikan berdasarkan jenis dan jenjang sekolah, kemudian dikemas dalam berbagai bidang studi yang kemudian dijabarkan dalam pokok dan sub pokok bahasan, yang secara lebih rinci disusun dalam bentuk bahan pengajaran dalam berbagai bentuknya. Tugas guru adalah mengembangkan bahan pelajaran tersebut berdasarkan tujuan instruksional yang telah disusun dan dirumuskan sebelumnya. Dalam hal penyusunan bahan pelajaran ini dikenal ada istilah scope dan sequence. Scope atau ruang lingkup menyangkut keluasan dan kedalaman materi kurikulum. Scope materi kurikulum sebenarnya agak sulit untuk disusun, karena ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu : (1) materi suatu ilmu berkembang dan bertambah setiap waktu dan (2) belum ada kriteria yang pasti tentang materi apa yang perlu diajarkan dan pengorganisasian bahan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Namun demikan ada sejumlah kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihan materi kurikulum ini, antara lain: (1) Materi kurikulum harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai; Materi kurikulum dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan budaya (positif) dari generasi masa lalu; (2) Materi kurikulum dipilih karena berguna bagi penguasaan suatu disiplin ilmu; (3) Materi kurikulum dipilih karena dianggap bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, untuk bekal hidup di masa kini dan masa yang akan datang; (4) Materi kurikulum dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak didik (siswa) dan kebutuhan masyarakat.

Sequence menyangkut urutan susunan bahan kurikulum. Sequence materi kurikulum dapat disusun dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu struktur disiplin ilmu, taraf perkembangan siswa, dan pembagian materi kurikulum berdasarkan tingkatan kelas. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menyusun sekuens bahan ajar, yaitu sekuens kronologis (urutan kejadian), sekuens kausal (sebab-akibat), sekuens struktural, sekuens logis dan psikologis, sekuens spiral, dan lain-lain. Untuk itu dalam penyusunan sequence, perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut: (1) Taraf kesulitan materi pelajaran/isi kurikulum; (2) Apersepsi atau pengalaman masa yang lalu; (3) Kematangan dan perkembangan siswa; (4) Minat dan kebutuhan siswa.

D. Pengorganisasian Pengalaman Belajar

Setelah materi kurikulum dipilih dan diorganisasikan, langkah selanjutnya adalah memilih dan mengorganisasikan pengalaman belajar. Cara pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Strategi, metode serta teknik yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat materi yang akan diberikan.

Pengalaman belajar siswa bisa bersumber dari pengalaman visual, pengalaman suara, pengalaman perabaan, pengalaman penciuman, atau variasi dari visual, suara, perabaan, dan penciuman. Semua pengalaman belajar tersebut dapat diorganisasikan sedemikian rupa dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti siswa, guru, bahan, tujuan, waktu, sumber, fasilitas, dan masyarakat. Pengalaman belajar yang dipilih harus mencakup berbagai kegiatan mental - fisik yang menarik minat siswa, sesuai dengan tingkat perkembangannya, dan merangsang siswa untuk belajar aktif dan kreatif.

E. Penggunaan Alat Evaluasi

Pengembangan alat evaluasi dimaksudkan untuk menelaah kembali apakah kegiatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Mc. Neil (1977) mengungkapkan ada dua hal yang perlu mendapatkan jawaban dari penilaian kurikulum, yaitu (1) Apakah kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dan diorganisasikan itu memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan dan (2) Apakah kurikulum yang telah dikembangkan itu dapat diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya. Setelah informasi/jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut diperoleh, langkah selanjutnya adalah memutuskan dan menetapkan bahwa kurikulum itu diberlakukan dan dilaksanakan. Ada orang yang beranggapan bahwa penilaian sama artinya dengan pengukuran, tes atau pemberian nilai. Ketiganya memang merupakan bagian dari proses penilaian. Penilaian pada dasarnya merupakan suatu proses pembuatan pertimbangan terhadap suatu hal.

Scriven dalam Nurgiyantoro (1988) mengemukakan bahwa penilaian itu terdiri atas tiga komponen, yaitu, pengumpulan informasi, pembuatan pertimbangan, dan pernbuatan keputusan. Informasi merupakan bagian dari penilaian yang penting karena berkaitan dengan data-data awal yang berguna dalam pembuatan keputusan selanjutnya. Informasi ini bisa berupa kualitatif atau kuantitatif. Pertimbangan adalah taksiran atau estimasi dari kondisi yang ada sekarang atau merupakan prediksi penampilan di masa yang akan datang. Sedangkan pengambilan keputusan adalah suatu pilihan tindakan yang didasarkan pada informasi yang diperoleh dan pertimbangan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi kurikulum dapat dilakukan terhadap komponen-komponen kurikulum itu sendiri, evaluasi terhadap implementasi kurikulum, dan evaluasi terhadap hasil yang dicapai.

2.4 Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan

Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, interaksi pendidikan terjadi antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Interaksi ini berjalan tanpa rencana tertulis. Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang jelas dan rind ke mana anaknya akan diarahkan, dengan cara apa mereka akan dididik, dan apa isi pendidikannya. Orang tua umumnya mempunyai harapan tertentu pada anaknya, mudah-mudahan ia menjadi orang soleh, sehat, pandai dan sebagainya, tetapi bagaimana rincian sifat-sifat tersebut bagi mereka tidak jelas. Juga mereka tidak tahu apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya agar anak-anaknya memiliki sifat-sifat tersebut.

Interaksi pendidikan antara orang tua dengan anaknya juga sering tidak disadari. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul dan bekerja sama dengan anak-anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan spontan yang diberikan kepada anak, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan-kesalahan mendidik besar sekali. Orang tua menjadi pendidik juga tanpa dipersiapkan secara formal. Mereka menjadi pendidik karena statusnya sebagai ayah atau ibu, meskipun mungkin saja sebenarnya mereka belum siap untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang konkret dan ada kalanya juga tidak disadari maka pendidikan dalam lingkungan keluarga, disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum formal dan tertulis.

Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. la telah mempelajari ilmu, keterampilan dan seni sebagai guru. la juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga telah diangkat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekadar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang tetapi juga dengan pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat. Di sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru melaksanakan tugas mendidik secara formal, karena itu pendidikan yang berlangsung disekolah sering disebut pendidikan formal. [6]
[6]. Prof.Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, hlm. 1.

Dalam lingkungan masyarakat pun terjadi berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah dalam bentuk kursus-kursus, sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, sarasehan, dan pergaulan kerja. Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai dengan yang melaksanakan tugas sebagai pendidik karena pengalaman. Kurikulumnya juga bervariasi, dari yang memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pelajaran yang hanya ada pada pikiran penceramah atau moderator sarasehan, atau gagasan keteladanan yang ada pada pemimpin. Interaksi pendidikan yang berlangsung di masyarakat yang memiliki rancangan dan dilaksanakan secara formal sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori pendidikan formal. Interaksi yang rancangan dan pelaksanaannya kurang formal dapat kita sebut sebagai pendidikan kurang formal (less formal). Karena adanya variasi itu, para ahli pendidikan masyarakat lebih senang menggunakan istilah pendidikan luar sekolah bagi interaksi pendidikan yang berlangsung di masyarakat ini.

Dari hal-hal yang diuraikan itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan berkenaan dengan pendidikan formal. Pertama, pendidikan formal memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan secara formal terencana, ada yang mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan oleh pendidik atau guru yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu, dengan fasilitas dan alat sertar aturan-aturan permainan tertentu pula.

Pendidikan formal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan informal dalam lingkungan keluarga. Pertama, Pendidikan formal di sekolah memiliki lingkup isi Pendidikan yang lebih luas, bukan hanya berkenaan dengan pembinaan segi-segi moral tetapi juga ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kedua, Pendidikan di sekolah dapat memberikan pengetahuan yang lebih tinggi, lebih luas dan mendalam. Sejarah pendirian sekolah diawali karena ketidak mampuan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dan mendalam. Ketiga, karena memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis, pendidikan di sekolah dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan lebih disadari. Karena yang memiliki rancangan atau kurikulum formal dan tertulis adalah pendidikan di sekolah, maka dalam uraian-uraian selanjutnya yang dimaksud dengan pendidikan atau pengajaran itu, lebih banyak mengacu pada pendidikan atau pengajaran di sekolah.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Jika kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dapat kita bayangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah yang tidak memiliki kurikulum.

Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian merupakan komponen komponen utama kurikulum. Dengan berpedoman pada kurikulum interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi.

Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas Pendidikan demi tercapainya tujuan- tujuan pendidikan. Menurut Mauritz Johnson (1967, hlm. 130) kurikulum "prescribes (or at least anticipates) the result of instruction". “Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Di samping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoretis bagi pengembangan kurikulum berbagai institusi Pendidikan”. [7]
[7]. Mauritz Johnson, “prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”, 1967, hlm. 130.

2.5 Dimensi-dimensi Kurikulum

William H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi, yaitu “Kurikulum sebagai content atau subject matter, kurikulum sebagai program planned activities, kurikulum sebagai intended learning outcomes, kurikulum sebagai cultural reproduction, kurikulum sebagai experience, kurikulum sebagai discrete tasks and concepts, kurikulum sebagai agenda for social reconstruction, dan kurikulum sebagai currere”.

S. Hamid Hasan (1988), berpendapat bahwa ada empat dimensi kurikulum yang saling berhubungan, yaitu “Kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Selanjutnya Nana Sy. Sukmadinata (2005) meninjau kurikulum dari tiga dimensi, yaitu “Kurikulum sebagai ilmu, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai rencana”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada enam dimensi kurikulum, yaitu :

1. Kurikulum Sebagai Suatu Ide

Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide atau gagasan tentang kurikulum hanya ada dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kepala dinas pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua. Ketika orang berpikir tentang tujuan sekolah, materi yang harus disampaikan kepada peserta didik, kegiatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, dan peserta didik, objek evaluasi, maka itulah dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Paling tidak itulah konsep kurikulum menurut mereka. Ide atau konsepsi kurikulum setiap orang tentu berbeda, sekalipun orang-orang tersebut berada dalam satu keluarga. Perbedaan ide dari orang-orang tersebut sangat penting untuk dianalisis bahkan dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.

Dimensi kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal pengembangan kurikulum, yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang dalam studi tersebut, maka akan dipilih dan ditentukan ide-ide mana yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi dan tujuan pendidikan nasional. Pemilihan ide-ide tersebut pada akhirnya akan dipilih dalam sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat pengambilan keputusan yang tinggi. Di Indonesia, pengambilan keputusan yang tertinggi adalah Menteri Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan kurikulum yang berlaku secara nasional. Mengingat pengaruhnya yang begitu kuat dan besar, sera memiliki kedudukan yang startegis, maka tim pengembang kurikulum biasanya akan mengacu pada ide atau konsep kurikulum menurut menteri tersebut. Selanjutnya, ide-ide mendiknas dituangkan dalam sebuah kebijakan umum sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.

2. Kurikulum Sebagai Suatu Rencana Tertulis

Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya dituangkan dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya dapat dilihat, mudah dibaca dan dianalisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya merupakan realitas dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting yang perlu dibahas, antara lain : mengembangkan tujuan dan kompetensi, struktur kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan sistem evaluasi. Kurikulum sebagai suatu ide harus mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum sedagai rencana banyak mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin disampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak dimengerti oleh para pelaksana kurikulum.

3. Kurikulum Sebagai Suatu Kegiatan

Kurikulum dalam dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi dilapangan (real curriculum). Peserta didik mungkin saja memikirkan kurikulum sebagai ide, tetapi apa yang dialaminya merupakan kurikulum sebagai kenyataan. Anatara ide dan pengalaman mungkin sejalan, tetapi mungkin juga tidak. Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi ini, dalam arti apakah suatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya , MacDonald (1965), Johnson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan Beauchamp (1975) tidak menganggap suatu kegiatan sebagai kurikulum. Bagi Beauchamp, Kurikulum adalah a written document yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan ahli lainnya melihat kurikulum hanya sebagai hasil belajar. Meskipun demikian, banyak juga ahli kurikulum lain yang mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum, seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980), Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).

Kurikulum harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Jika suatu kegiatan tidak termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah atau di luar sekolah (seperti program pelatihan profesi, kuliah kerja nyata, dan lain-lain) tidak termasuk kurikulum. Dengan demikian, hasil belajar peserta didik di sekolah maupun diluar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai rencana tertulis. Apa yang dilakukan peserta didik dikelas juga merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari kurikulum.

4. Kurikulum Sebagai Hasil belajar

Hasil belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil dari belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal, karena banyak orang tahu bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum, tetapi kurikulum bukan hanya hasil belajar. Banyak juga orang tidak tahu bahwa pengertian kurikulum dapat dilihat dari dimensi hasil belajar, karena memang tidak dirumuskan secara formal. Begitu juga ketika dilakukan evaluasi secara formal tentang kurikulum, pada umumnya orang selalu mengaitkannya dengan hasil belajar. Sekalipun, evaluasi kurikulum sebenarnya jauh lebih luas dari pada penilaian hasil belajar. Artinya, hasil belajar bukan satu-satunya objek evaluasi kurikulum. Meskipun demikian, hasil belajar dapat dijadikan sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditujukan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah untuk memperbaiki, menyempurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana.

Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai domain, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Secara teoritis, domain hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain tersebut harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan. Kurikulum sebagai hasil belajar merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh kurikulum sebagai kegiatan serta kurikulum sebagai ide. Menurut Zainal Arifin (2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama yaitu, “Sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator inter dan ekster dari suatu institusi pendidikan, dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik”.

5. Kurikulum Sebagai Suatu Disiplin Ilmu

Sebagai suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip, prosedur, asumsi, dan teori yang dapat dianalisis dan dipelajari oleh pakar kurikulum, peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas atau tenaga kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum. Di Indonesia, pada tingkat sekolah menengah pertama pernah ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Atas, Pendidikan Guru Agama (PGA) dan lain-lain. Pada tingkat Universitas ada juga program studi pengembangan kurikulum, baik dijenjang S.1 (Sarjana), S.2 (Magister), maupun S.3 (Doktor). Semua peserta didiknya wajib mempelajari tentang kurikulum. Tujuan kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu adalah untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.

6. Kurikulum Sebagai Suatu Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systema) dan bahasa Yunani (sustema) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai tujuan.

Sistem kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem persekolahan, dan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum di sekolah merupakan sistem tentang kurikulum apa yang akan disusun dan bagaimana kurikulum itu dilaksanakan. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum mencakup tahap-tahap pengembangan kurikulum itu sendiri, mulai dari perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum, evaluasi kurikulum, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai suatu sistem juga menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.

BAB III PENUTUP

Dari kesimpulan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Ada tiga konsep tentang kurikulum, Kurikulum sebagai substansi, Kurikulum sebagai sistem, dan Kurikulum sebagai bidang studi.

Nadler (1988) menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh. Selanjutnya ia menjelaskan manfaat model adalah model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks, dan model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan. Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Secara umum, pemilihan model pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara menyesuaikan sistem pendidikan yang dianut dan model konsep yang digunakan. Di dalam kurikulum John D. Nell mengemukakan empat macam konsep, yaitu: kurikulum akademis, humanistis, rekonstruksi sosial dan teknologi

Langkah-langkah dalam mengembangkan kurikulum yaitu: diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengembangan alat evaluasi.

Kedudukan kurikulum didalam pendidikan berlandaskan empat hal berikut : Pertama, pendidikan formal memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan secara formal terencana, ada yang mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan oleh pendidik atau guru yang memiljki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu, dengan fasilitas dan alat sertar aturan-aturan permainan tertentu pula.

Dimensi-dimensi kurikulum didalam pendidikan yaitu: kurikulum sebagai suatu ide, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai sutu kegiatan, kurikulum sebagai hasil belajar, kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu, kurikulum sebagai suatu sistem.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal (2011) Konsep dan Model Pengembangan kurkulum, bandung: Remaja Rosdakarya

Sukmadinata,N,S (2000) pengembangan kurikulum teori dan praktek Bandung: Remaja Rosdakarya

Ahid, Nur. Januari 2014. Konsep dan Teori Kurikulum dalam Pendidikan. (PDF) Konsep dan Teori Kurikulum dalam Dunia Pendidikan (researchgate.net) (di akses tanggal 1 Juli 2022)

Elisa, Edi. 8 Juni 2021. Model-model Pengembangan Kurikulum. Model-model Pengembangan Kurikulum | EduChannel Indonesia (di akses tanggal 1 Juli 2022)

Lewy, Arieh (ed) (1976). Handbook of Curriculum Evaluation. Paris: Unesco. Masykur, (2019) Teori dan Telaah Pengembangan Kurikulum

Bandar Lampung: Aura CV. Anugrah Utama Raharja Anggota IKAPI No.003/LPU/2013

Part 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar