Sabtu, 11 Juni 2022

Adab Terhadap Pasangan Suami Istri Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan akhlak
Dosen Pengampuh : Abu Zahid, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 10 Angkatan 5 :
1. Charina Mayangsari (PAI)
2. Futty Nayu Soka Kemala (PAI)
3. Lutfi Andaristin (PAI)
4. M. Nawaf Bahanan (SBA)
5. Muh Faiz Tholib (PAI)
6. Nurul Haslinda (PAI)

KATA PENGANTAR

الـحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَـمِيْنَ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِيْنَ ، نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَعِيْنَ ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ ، أَمَّا بَعْدُ.

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu Wa Taalaa serta sholawat Dan salam kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqomahan serta kesehatan untuk terus belajar dan mendakwahkan ilmu Allah subhanahu wataalaa.

Diantara ilmu yang mulia adalah Ilmu yang ketika kita mempelajari nya membuat kita semakin Takut kepada Allah, semakin ta'at dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan Allah.

Maka dari itu kami kelompok 10 menyusun sebuah makalah yang membahas tentang adab pasangan suami istri yang juga tertera di dalamnya berkaitan tentang hak dan kewajiban pasangan suami istri. Semoga dengan hadirnya makalah ini bisa mendatangkan manfaat bagi diri kami pribadi dan bagi orang-orang yang membacanya.

Akan tetapi jika dalam penyusunan makalah ini terdapat kekeliruan atapun kesalahan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan dari pembaca agar kami bisa memperbaikinya.

Pontianak, 26 Mei 2022
Penyusun Makalah Kelompok Sepuluh.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 MANFAAT
BAB II PEMBAHASAN
2.1 HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA BERPASANG-PASANGAN
2.2 ADAB ISTRI TERHADAP SUAMI
2.3 ADAB SUAMI TERHADAP ISTRI
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI TERHADAP SUAMI
2.5 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Allah subhanahu wata’ala menciptakan seluruh makhluk dengan berpasang-pasangan, termasuk manusia. Seperti dalam Q.S. Az Zariyat ayat 59 :

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)." (QS. Az Zariyat: 49)

Dan setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk menikah dan mempunyai rumah tangga yang harmonis dan agamis tentunya. Rumah tangga merupakan tempat belajar seumur hidup. Maka dari itu, para calon suami dan isti perlu banyak ilmu dan bekal tentunya untuk mempersiapkan dan membina rumah tangga agar sesuai dengan nilai nilai Al Qur’an.

Menikah juga bukan sekedar memperbanyak keturunan. Lebih dari itu, menikah ialah menyatukan dua insan yang berbeda pola pikir, latar belakang, dan sifat. Penyatuan tersebut tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Salah satu tujuan menikah dalam Islam adalah beribadah kepada Allah. Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya : "Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala dalam memelihara yang sebagian lagi." (HR. Thabrani dan Hakim).

1.2  RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja adab suami kepada istri ?
2. Apa saja adab istri keada suami ?
3. Apa hak dan kewajiban istri terhadap suami ?
4. Apa hak dan kewajiban suami terhadap istri ?

1.3  MANFAAT

1. Mengetahui adab suami kepada istri
2. Mengetahui adab istri kepada suami
3. Mengetahui hak dan kewajiban istri terhadap suami
4. Mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap istri

BAB II PEMBAHASAN

2.1 HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA BERPASANG PASANGAN

Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan dan ada hikmah di balik itu semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat: 49)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan,

جميع المخلوقات أزواج: سماء وأرض، وليل ونهار، وشمس وقمر، وبر وبحر، وضياء وظلام، وإيمان وكفر، وموت وحياة، وشقاء وسعادة، وجنة ونار، حتى الحيوانات [جن وإنس، ذكور وإناث] والنباتات

“Setiap makhluk itu berpasang-pasangan. Ada matahari dan bumi. Ada malam dan ada siang. Ada matahari dan ada rembulan. Ada daratan dan ada lautan. Ada terang dan ada gelap. Ada iman dan ada kafir. Ada kematian dan ada kehidupan. Ada kesengsaraan dan ada kebahagiaan. Ada surga dan ada neraka. Sampai pada hewan pun terdapat demikian. Ada juga jin dan ada manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan. Ada pula berpasang-pasangan pada tanaman.”

Apa Hikmahnya ?

Ibnu Katsir melanjutkan,

ولهذا قال: { لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } أي: لتعلموا أن الخالق واحدٌ لا شريك له

“Oleh karena itu Allah menyatakan ‘supaya Kami mengingat kebesaran Allah’, yaitu supaya kalian mengetahui bahwa Pencipta itu semua hanya satu, Dia tidak bersekutu dalam hal itu.”

Hal ini diutarakan pula Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya bahwa setiap hewan dan juga manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya manusia mau memikirkan nikmat yang telah Allah berikan padanya, yaitu memikirkan akan ketetapan ini. Hikmahnya adalah dengan berpasangan tersebut keberadaan makhluk tetap ada, karena akan tumbuh dan berkembang. Dari situlah diraih banyak manfaat.

Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan pula bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan seperti adanya laki-laki dan perempuan. Ada pula langit dan ada bumi. Ada matahari dan ada rembulan. Ada kemudahan dan ada kesulitan. Ada musim panas dan ada musim dingin. Ada manis dan ada masam. Ada cahaya dan ada kegelapan. Hikmahnya, supaya diketahui bahwa yang menciptakan yang berpasang-pasangan itu hanya Rabb yang satu, sehingga Dia-lah yang pantas diibadahi.

2.2 ADAB ISTRI TERHADAP SUAMI

Adab atau Etika merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan terlebih lagi dalam Kehidupan Rumah Tangga. Dengan Melaksanakan Adab Atau Etika Masing-masing dari Suami Istri maka peran keduanya dapat berjalan dengan semestinya. Adapun diantara Adab tersebut Adalah :

1. Selalu Merasa Malu

Meski bukan lagi pengantin baru, istri hendaknya tetap mempertahankan rasa malu kepada suami. Tentunya rasa malu ini dalam arti positif, seperti malu saat bau badannya membuat suami tidak nyaman, malu saat berpenampilan tidak menarik, atau malu memiliki sifat yang buruk.

2. Tidak banyak Mendebat

Saat memiliki masalah, utamakan diskusi untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Hindari mendebat karena hanya akan menimbulkan konflik. Perbedaan keduanya adalah, debat lebih pada cara mempertahankan argumen dan ego masing-masing, diskusi ada take and give dan berbagi informasi.

3. Senantiasa Taat Atas Perintahnya

Salah satu kewajiban istri adalah taap pada suami, selam tidak bertentangan dengan syariat. Saat hal tersebut terjadi, istri bisa mengajukan keberatan dengan sopan atau menolak dengan cara halus, dan mengajukan alternatif lain dari perintah suami.

4. Diam Saat Suami Berbicara

Istri yang diam saat suami berbicara lebih kepada cara lain menghormati suami. Jika bermaksud memotong pembicaraannya, sebaiknya istri meminta persetujuan terlebih dahulu. Saat suami tidak memberi ijin, sebaiknya istri diam dan menunggu giliran agar mencegah timbulnya konflik. Selain itu, bisa saja suami sedang merasa stress saat berbicara. Berikan dukungan kecil dengan pelukan. Sebab, peneliti Psychosomatic Medicine menemukan, saat memeluk seseorang untuk menghiburnya zat yang mengontrol stres akan mengendur.

5. Menjaga Kehormatan ketika suami Sedang pergi

Memiliki perilaku yang baik saat ada atau tidak adanya suami merupakan adab istri terhadap suami. Ini dimaksudkan agar keduanya tetap memiliki martabat yang baik, dan menjaga kepercayaan suami. Selain itu, hal ini guna menghindari fitnah yang bisa saja terjadi saat tidak ada pengawasan suami.

6. Tidak berkhianat Saat menjaga Harta Suami

Salah satu kewajiban istri adalah memegang kepercayaan suami atas seluruh hartanya. Salah satunya dengan tidak membelanjakan kepada sesuatu yang tidak perlu. Selain itu, mengelola kekayaan suami agar menjadi berkah untuk keluarga merupakan adab yang baik dari seorang istri kepada suami.

7. Menampakkan Sifat Qona'ah

Istri hendaknya tidak menuntut lebih dari apa yang mampu diberikan suami kepadanya, atau yang disebut dengan Qana’ah. Adab istri terhadap suami ini harus diwujudkan dengan rasa syukur. Meski begitu, istri juga tetap mendorong suami untuk terus berikhtiar mencari rezeki yang halal.

8. Menampilkan Sikap Belas kasih

Seorang istri hendaknya bersikap belas kasih kepada suami atas semua jerih payahnya. Apalagi dengan sengaja menyakiti perasaan suami dengan hinaan yang merendahkan perasaan suami apapun kondisinya. Sikap belas kasih ini adalah adab istri terhadap suami yang harus dimiliki setiap saat.

9. Berhias untuk Suami

Karena suami adalah makhluk visual, memanjakan mata suami dengan selalu berhias, tampil dengan menarik, tidak kusam dan selalu tersenyum adalah hal yang diinginkan oleh suami.Nantinya, suami merasa bahagia dan tentram berada di rumah karena memiliki pemandangan yang indah.

10. Memuliakan Keluarga dan kerabat suami

Ini juga termasuk adab istri terhadap suami yang harus dipelihara dengan baik. Sebab, keluarga dan kerabat merupakan orang-orang yang memiliki kedekatan emosional dengan suami. Oleh karena itu, hendaknya istri memperlakukan keduanya dengan baik dan penuh perhatian.

11. Beryukur atas hasil Kerja Suami

Berapapun penghasilan suami, istri hendaknya dapat mensyukurinya. Sebab, hal itu akan mendatangkan berbagi rezeki dengan cara yang lain. Kenikmatan tidak hanya datang dari segi materi. Tetapi, perhatian suami yang loyal, anak-anak yang sehat dan cerdas juga merupakan bentuk rezeki yang lainnya.

12. Menampakkan rasa Cinta dan Gembira saat berada disamping Suami

Istri hendaknya dapat menunjukkan rasa cinta kepada suami, terlebih saat berada di dekatnya. Bentuk perhatian sederhana seperti tetap bermuka manis dan atau memeluk bisa menjadi contoh. Sebab, salah satu tujuan berumahtangga adalah membentuk keluarga yang saling mencintai. [1]
[1] Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 442)

2.3 ADAB SUAMI TERHADAP ISTRI

1. Bergaul dengan Baik

Dalam berumah tangga, seorang suami diharuskan untuk melakukan interaksi dengan cara yang baik bersama istrinya. Sebab peran seorang suami pada istri bukan hanya untuk menafkahi saja namun juga untuk melindungi istrinya. Maka dari itu sebaiknya, seorang suami tidak merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya di dalam keluarga. Sehingga membuatnya berlaku seenaknya pada sang istri.

2. Bertutur Kata Lembut

Seorang suami dianjurkan untuk tidak berkata kasar, memaki hingga menyakiti hati istri dengan perbuatan dan kata katanya. Karena seorang suami harus selalu berkata lembut pada istrinya. Sebab wanita memiliki hati yang sangat lembut dan mudah terluka. Itulah sebabnya seorang suami harus harus selalu menjaga hati dan perasaan istri.

3. Selalu Menunjukkan Kasih dan Cinta

Hendaklah seorang suami menunjukkan kasih dan cintanya pada istri. Meski pun sedang dalam keadaan marah. Seorang suami pun haruslah tetap dapat menunjukkan rasa kasih sayangnya pada sang istri yang dicintainya.

Hal inilah yang juga selalu dilakukan oleh Rasulullah pada istrinya. Rasulullah akan tetap bersikap penuh kasih sayang meski pada saat menegur istrinya.

4. Bersikap Lapang pada Saat Sedang Sendiri

Ketika sedang sendirian di rumah dan tidak bersama sang istri, karena sang istri sedang ada kepentingan di luar rumah, maka hendaklah seorang suami tetap bersikap lapang dada dengan cara memiliki sikap mandiri. Meski pun sedang tidak ada istri yang melayani segala kebutuhannya.

Dan janganlah suami menyalahkan istri karena tidak selalu bisa melayaninya hingga terus menerus mengeluh. Hingga menuntut istri untuk selalu melayani apapun yang suami butuhkan.

Sebab istri juga memiliki kehidupannya sendiri dan memiliki hak hak yang harus diperhatikan. Meski pun istri juga tidak boleh melupakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang mengurus segala keperluan suami dan anak-anaknya.

5. Memaafkan Istri yang Berbuat Kesalahan

Apabila istri membuat kesalahan baik disengaja mau pun tidak disengaja, maka seorang suami harus memaafkannya. Karena memaafkan merupakan sikap yang baik dan dapat menunjukkan moral yang sangat terpuji, dan menunjukkan bahwa kita memiliki hati yang lapang dan jiwa yang besar.

6. Tidak Bakhil pada Istri

Sebagai kepala keluarga hendaklah seorang suami tidak bersikap bakhil atau pelit pada istri. Suami wajib untuk memenuhi semua kebutuhan istri. Mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan lainnya. Kebahagiaan istri adalah salah satu cara untuk melapangkan rizki.

Ketika istri bahagia maka rizki suami akan terbuka lebar. Oleh sebab itu jangan pernah bersikap pelit karena hal ini juga akan berdampak tidak baik pada keharmonisan rumah tangga.

7. Memuliakan Keluarga Istri

Setiap orang pastilah memiliki hubungan emosional dengan orang tuanya. Sama halnya dengan istri yang harus menghormati dan menganggap orang tua suami sebagai orang tuanya sendiri. Seorang suami pun wajib untuk memuliakan keluarga istrinya dan menganggap keluarga sang istri sebagai keluarganya sendiri.

8. Saling Membantu dan Tidak Berat Tangan

Mengurus rumah tangga memang kewajiban istri, namun bukan berarti suami tidak bisa membantu mengurus rumah tangga. Terutama ketika sedang berada dalam waktu luang. Membantu istri untuk mengerjakan pekerjaan rumah bukan hanya dapat meringankan pekerjaan istri namun juga dapat mempererat hubungan bersama dengan istri. [2]
[2] https://laelitm.com/adab-suami-kepada-istri-dalam-islam/

2.4 HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI TERHADAP SUAMI

Seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya” [An-Nisaa’/4 : 34]

Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.

Ketaatan Isteri Kepada Suaminya

Setelah wali atau orang tua sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya”

Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya.

Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.

Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya”

Apabila isteri taat kepada suami, maka ia akan masuk Surga, tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan isteri terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.”

Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.

Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama : Mentaati perintah suami

Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

Kedua : Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Ketiga : Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Keempat : Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ

“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima : Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami

Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Kita telah mengetahui Hak suami atas istri , masing-masing dari suami dan istri memiliki tugas dan tanggung jawab. Pada kesempatan kali ini akan kita bahas tentang tanggung jawab dan tugas-tugas istri berdasarkan dalil dan penjelasan para ulama. Dalam hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“… seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829).

Dalam riwayat Bukhari :

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ

“… seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya serta anak suaminya…”.

Apa saja tanggung jawab istri yang dimaksud dalam hadis ini?

Syihabuddin al-Qasthalani rahimahullah menjelaskan:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا بِحُسْنِ التَّدْبِيْرِ فِيْ أَمْرِ بَيْتِهِ وَالتَّعَهُّدِ لِخِدْمَتِهِ وَأَضْيَافِهِ ( وَوَلَدِهِ) بِحُسْنِ تَرْبِيَّتِهِ وَتَعَهُّدِهِ ( وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ) أَيْ عَنْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَغَلَبِ العقَلَاءِ فِيْهِ عَلَى غَيِرِهِمْ

“[Istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya], yaitu dengan berusaha mengurus urusan rumah tangga dengan baik, serta berkomitmen untuk melayani keperluan suaminya serta tamu-tamu dari suaminya. [Dan anak-anak suaminya] dengan mendidiknya dan berkomitmen untuk mengurusnya. [Ia akan ditanya di akhirat tentang semua itu], yaitu ditanya tentang rumah suaminya, juga tentang anak-anaknya dan semua orang-orang yang ada di rumah tersebut, selain mereka.” (Irsyadus Sari, 15/86).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:

الْمَرْأةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، يَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تَنْصَحَ فِي البَيْتِ فِي الطَّبْخِ، فِي القَهْوَةِ، فِي الشَايِّ، فِي الفِرَشِ، لَا تَطْبَخُ أَكْثَرَ مِنَ اللّاَزِمِ، وَلَا تُسَوِّيْ الشَّايَ أَكْثَرَ مِماَّ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، يَجبُ عَلَيهَا أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً مُقْتَصِدَةً؛ فَإِنَّ الْاقْتِصَادَ نِصْفُ الْمَعِيشَةِ، غَيْر مُفَرِّطَةٌ فِيمَا يَنْبَغِيْ، مَسْئُوْلَةٌ أَيْضاً عَنْ أَوْلَادِهَا فِي إِصْلَاحِهِمْ وَإِصْلَاحِ أَحْوَالِهمْ وَشُئُوْنِهمْ كَإِلْبَاسِهِمْ الثِّيَاب وَخَلَعهِمِ الثِّيَاب غير النَّظِيفَةِ، وَتَغْيِيرِ فِرَاشِهِمِ الَّذِيْ يَنَامُوْنَ عَلَيْهِ، وَتَغْطِيْتِهِمْ فِي الشِّتَاءِ، وَهكَذَا مَسْئُوْلَةٌ عَنْ كُلِّ هَذَا، مَسْئُوْلَةٌ عَنِ الطَّبْخِ وَإِحْسَانِهِ وَنَضجِهِ وَهكَذَا مَسْئُوْلَةٌ عَنْ كُلِّ مَا فِي البَيْتِ

“Seorang istri dia bertanggung jawab tentang urusan rumah tangga suaminya, dan akan ditanya (di akhirat) tentang hal tersebut. Wajib bagi istri di rumah untuk mengatur dengan baik masalah masakan, masalah tersedianya kopi, tersedianya teh, urusan perawatan tempat tidur. Hendaknya dia jangan masak di luar kebiasaan, jangan menyediakan teh melebihi kebutuhan, wajib baginya untuk berhemat. Karena hemat itu setengah dari kecukupan. Juga tanpa kurang dari kebutuhan yang semestinya".

Ia juga bertugas mengurus anak-anaknya, baik dalam masalah keshalihan mereka, dalam masalah perawatan mereka, dan semua keperluan mereka, seperti memakaikan pakaian, mengganti pakaian kotor, mengganti sprei, memakaikan mereka pakaian hangat ketika musim dingin, dan semisalnya. Ia juga bertugas untuk memasak, juga berusaha membuat masakan yang sedap, dan seterusnya. Demikianlah tugas seorang (istri), yaitu terkait semua urusan rumah tangga.” (Syarah Riyadhush Shalihin, 337).

Jadi kalau kita simpulkan dari beberapa penjelasan ulama di atas, tugas-tugas istri adalah :

1. Mengurus urusan rumah tangga, di antaranya:

a. Urusan dapur: ketersediaan makanan, berusaha memasak makanan yang enak (tidak sekedar ada makanan)
b. Merawat perabot rumah tangga, seperti tempat tidur dan lainnya

2. Merawat suaminya, di antaranya:

a. Menyayangi dan mencintai suaminya
b. Mengurus keperluan suaminya, seperti keperluan hidup sehari-hari, keperluan yang menunjang kesehatan suami, keperluan yang menunjang pekerjaan suami, juga kopi, teh, dan semisalnya.

3. Menjamu tamu-tamu suaminya jika mereka bertamu

4. Merawat anaknya, di antaranya:

a. Mengurus kebutuhan anak-anak, seperti masalah makanan, pakaian, kesehatan, dan semisalnya.
b. Mendidik anak-anak agar menjadi anak-anak yang baik

5. Merawat diri sendiri

6. Menjaga harta suaminya dengan penuh amanah, yaitu:

a. Tidak mengambilnya tanpa hak
b. Tidak berlebihan dalam membelanjakannya
c. Berusaha berhemat
d. Mengelola harta suami dan pemberian suami dengan baik

Adapun harta suami yang tidak diberikan kepada istri, maka di luar tanggung jawab istri untuk mengelolanya

Inilah kewajiban-kewajiban istri menurut para ulama. Dan rumah tangga akan langgeng jika masing-masing fokus pada kewajibannya daripada fokus menuntut hak dari pasangannya.

Suami fokus menjalankan kewajibannya kepada istri dan keluarga, dan istri juga fokus menjalankan kewajibannya kepada suami dan keluarga. Dengan demikian masing-masing otomatis akan mendapatkan haknya.

Rumah tangga akan kacau balau jika salah satu atau keduanya, lebih fokus menuntut hak dari pasanganya namun lalai dari kewajiban sendiri.

2.5 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI

Selain seorang istri yang memiliki peran penting dalam rumah tangga dengan tugasnya masing-masing maka seorang suami pun memiliki peran penting dalam memimpin rumah tangganya, diantara hak dan kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah :

Pertama : Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)

Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.

Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” [3]
[3] (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.

Kedua : Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik

Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?

Disebutkan dalam ayat,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ

“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:

Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.

Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.

Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini. [4]
[4] https://rumaysho.com/2260-kewajiban-suami-1.html

Ketiga : Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».

Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?

Keempat : Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا

Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.

قَالَتِ الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ

Wanita pertama berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.

[Maksud perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus, sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan bersenang-senang dengannya.]

قَالَتْ الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ

Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.

[Maksud perkataan di atas : Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.]

قَالَتْ الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ

Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”.

[Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]

قَالَتِ الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ

Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.

[Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.]

قَالَتِ الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ

Wanita kelima berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.

[Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.

Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya padanya dan anak-anaknya.]

قَالَتِ السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ

Wanita keenam berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.

[Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.]

قَالَتِ السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ

Wanita ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.

[Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]

قَالَتِ الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ

Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.

[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada istrinya.]

قَالَتِ التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ

Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.

[Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]

قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ

Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik? Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”

[Maksud perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].

قَالَتِ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى نَفْسِي

Wanita kesebelas berkisah, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”

[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira. Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.]

. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ

Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.

[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.]

. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا

Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.

[Maksud perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami.]

ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ

Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina.

[Maksud perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]

بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا

Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.

[Maksud perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.]

جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا

Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.

[Maksud perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]

قَالَتْ خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا

Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.

[Maksud perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’]

فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ

Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.

[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.

Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama dari sang wanita.]

قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ

‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.

Dalam riwayat lain Aisyah berkata

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)

Kisah yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami, ada yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk yang harus kita jauhi.

Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti dalam kisah ini. [5]
[5] https://rumaysho.com/2264-kewajiban-suami-2.html

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Adab pasangan suami istri merupakan hal yang sangat penting dalam bahtera rumah tangga. Keberadaan Adab dapat menjadikan Kehidupan Rumah tangga Harmonis dan dapat mendatangkan Sakinah, Mawaddah dan Rahmahh. karena dengan Adab masing-masing dari pasangan dapat memahami hak dan kewajiban satu sama lain.

Islam mengajarkan akhlaq dan Adab termasuk didalamnya membahas tentang Adab dalam Kehidupan pasangan suami istri karena menikah merupakan Ibadah terpanjang bagi seorang Hamba. Bersama pasangan, bukan hanya tentang kebahagiaan saja,tetapi dikala rumah tangga dilanda kesedihan, kedua mempelai dapat mempertahankan pernikahan secara baik dan benar sesuai tuntunan dalam islam beserta dukungan dan pedoman dalil dari Al-Qur'an dan As-sunnah (hadits),

Maka dari itu hikmah dari Allah menciptakan sesuatu berpasangan-pasangan adalah agar kita mengingat kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya.

3.2 SARAN

Kita sebagai manusia yang sudah mengetahui adab dalam bentuk apapun,lebih khususnya yang sedang kita bahas didalam makalah ini yaitu adab terhadap suami dan istri dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,dengan niat yang ikhlas dan hati yang lapang,menerima bahwa :

"sesungguhnya dengan Adab, segala bentuk sosialisasi didalam kehidupan kita dapat berjalan dengan lancar dan penuh kehormatan sebagaimana orang yang baik selalu diliputi oleh kemuliaan".

Tentunya didalam makalah ini tidak sepenuhnya sempurna, namun kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman seangkatan mahasiswa/mahasiswi universitas Al-Ma'wa agar kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

▪️Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 442)

▪️ https://laelitm.com/adab-suami-kepada-istri-dalam-islam/

▪️ (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

▪️ https://rumaysho.com/2260-kewajiban-suami-1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar