Sabtu, 04 Juni 2022

Adab Persaudaraan dalam Perspektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan Adab dan Akhlak
Dosen Pengampu : Abu Fuhairah Az-Zahid, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 9 Angkatan 5 :
1. Yopi Son Haji
2. Yuni Herisa
3. Princess Endira Nathania
4. Yessi Darma


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, bini’matihi tatimush shaalihaat. Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang dengan nikmatNya hal-hal yang baik menjadi sempurna.

Kami haturkan makalah singkat ini dengan tema mengenai janji atau perjanjian dengan judul : “Adab Persaudaraan dalam Perspektif Pendidikan Islam”, untuk melengkapi tugas mata kuliah Akhlak/adab. Dan sebagai tema lanjutan dari materi mata kuliah tersebut.

Harapan kami dengan tersusunnya makalah ini yaitu bahwasanya makalah ini bisa berguna bagi kami sebagai penyusun, teman-teman yang sedang mempelajari bab adab dan akhlak mulia dalam sudut pandang syariat Islam. Dan juga semakin menambah pemahaman kita mengenai salah satu bab dalam ilmu akhlak/adab ini. Sehingga outputnya yang diharapkan juga adalah pengimplementasikan salah satu akhlak yang baik tersebut, yaitu pengamalannya ditengah masyarakat umum.

Tangerang Selatan, 20 Maret 2022

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN.
1. Latar Belakang.
2. Rumusan Masalah.
Bab II PEMBAHASAN.
1. Mendoakan Saudara Semuslim tanpa Sepengetahuannya.
2. Menutup Aib Saudaranya Sesama Muslim.
3. Menyelesaikan Perselisihan Saudara dan Teman.
4. Tidak Mengingkari Janji.
Bab III PENUTUP.
Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

Bab I
PENDAHULUAN

Setiap muslim adalah bersaudara diatas Iman dan Islam. Dikarenakan kaum mukminin adalah bersaudara, hendaknya setiap insan memperhatikan adab yang harus dijaga dalam persaudaraan. Hal ini supaya persaudaraan yang dijalin tidak mudah terpecah dan memiliki nilai ibadah di mata Allah SWT. Selain itu, persaudaraan tersebut akan berlanjut hingga akhirat nanti. Persaudaraan dunia tidak akan kekal tetapi pesaudaraan karena Allah akan terus dibawa sampai hari kiamat.

Saat kita mencintai seseorang, cintailah karena Allah. Persaudaraan yang dibina didasari niat karena Allah. Bukan untuk satu kepentingan, bukan pula karena suatu ikatan. Oleh karena itu, jalinlah persaudaraan dengan lillah (ikhlas), billah (memohon pertolongan Allah, dan fillah (sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya).

Apa yang disukai untuk diri kita, sukailah untuk saudara kita. Demikian pula dengan apa yang tidak disukai pada diri kita, jangan kita sukai untuk menimpa orang lain. Jika tidak suka aib sendiri terbuka, artinya jangan suka membuka aib orang lain. Jika diri tidak suka disakiti, jangan menyakiti orang lain.

Sebagai seorang muslim, kita harus memiliki prinsip empati terhadap sesama. Jika mendapati saudara kita kesusahan, bayangkan jika hal itu ada di posisi kita. Bantulah mereka sesuai kemampuan. Saat saudara kita lalai, ingatkanlah dengan adab dan etika yang baik. Jika kawan kita sedang dalam kebaikan, dukunglah ia untuk terus berusaha.

Islam selalu mengajarkan kebaikan dalam setiap hal di kehidupan manusia. Segalanya tidak terlepas dari agama. Termasuk dalam urusan persaudaraan, segalanya telah tertuang dan tertulis jelas dalam panduan agama. Semoga kita bisa menjalin persaudaraan yang lillahi ta'ala dan meraih syurga-Nya bersama.

1. Latar Belakang

Persaudaraan dalam Islam sangat penting untuk dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, persaudaraan merupakan tuntutan syara’ sebagaimana ditegaskan dalam Al- Qur’an :

اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ اِخۡوَةٌ فَاَصۡلِحُوۡا بَيۡنَ اَخَوَيۡكُمۡ ‌ۚ‌وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُوۡنَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” (Al-Hujurat: 10)

Persaudaraan dalam Islam didasarkan pada pandangan bahwa dalam hal fithrah, semua manusia adalah sama. Manusia memang memiliki latar belakang, kebangsaan, etnis, jenis kelamin, dan budaya yang berbeda-beda, namun mereka tetap memiliki persamaan unsur dari segi asal usul, proses, kebutuhan hidup, dan nenek moyang.

Dengan mempertahankan nilai persaudaraan, manusia dapat mengetahui hak sesama sehingga bisa menghindari perbuatan aniaya terhadap yang lain. Jalinan persaudaraan ini juga membuat manusia tidak akan bersikap egois ketika berinteraksi dengan sesama. Dengan kata lain, membangun persaudaraan dalam Islam merupakan nilai kemanusiaan unggul yang dirajut demi memelihara kestabilan di lingkungan masyarakat.

2. Rumusan Masalah

1. Mengapa Islam sangat memperhatikan adab-adab sesama muslim?
2. Mengapa persaudaraan sesama muslim diwajibkan?
3. Apa saja adab-adab sesama muslim yang perlu kita perhatikan?
4. Bagaimana cara Rosulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mencontohkan kepada umatnya tentang adab-adab persaudaraan sesama muslim?
5. Bagaimana cara Islam mengatur adab-adab persaudaraan sesama muslim?

Bab II
PEMBAHASAN

1. Mendoakan Saudara Semuslim Tanpa Sepengetahuannya

Salah satu sunnah yang mungkin sangat jarang kita lakukan adalah mendoakan saudara muslim kita semisal teman, sahabat, guru dan lain-lain tanpa sepengatahuan dia. Kita doakan dia dengan ikhlas dan tulus agar dia mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Tidak mudah melakukan sunnah ini, karena butuh keimanan yang tinggi serta hati yang tulus dan ikhlas, karena sifat dasar manusia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri saja. Setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, barulah dia memperhatikan orang lain. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa sunnah ini adalah tanda jujurnya keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata,

الدعاء بظهر الغيب يدل دلالة واضحة على صدق الايمان
لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال
(لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه مايحب لنفسه)

“Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang, karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (Syarh Riyadhus Shalihin 6/54)

Mengenai sunnah ini, terdapat dalil hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan sunnah ini, yaitu apabila kita mendoakan saudara muslim, maka malaikat akan mendoakan bagi kita yang semisal doa yang kita panjatkan. Jadi apa yang kita doakan kepada saudara kita, kita pun akan mendapatkannya dengan izin Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu."

Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini dengan keimanan yang jujur dan ikhlas. Salah satu riwayat mereka menerapkan sunnah ini adalah riwayat dari Abu Darda’. Istri beliau, Ummu Darda’ menceritakan,

كان لأبي الدرداء ستون وثلاث مئة خليل في الله يدعو لهم في الصلاة، فقلت له في ذلك، فقال : إنه ليس رجل يدعو لأخيه في الغيب إلا وكل الله به ملكين يقولان : « ولك بمثل » أفلا أرغب أن تدعو لي الملائكة

"Dahulu Abu Darda memiliki sekitar 300 orang sahabat (pertemanan di dalam ketaatan), yang di dalam shalatnya, Abu Darda seringkali mendoakan mereka. Maka aku pun berkata kepadanya tentang apa yang ia lakukan."

Maka Ia pun berkata, "Sesungguhnya tidaklah seseorang mendoakan bagi saudaranya tanpa sepengetahuanya, kecuali Allah mengutus denganya dua malaikat, yang keduanya akan mengatakan, ‘Begitu juga denganmu.’ Apakah aku tidak boleh mendambakan malaikat mendoakanku?" (Siyar A’lamin Nubala’ 2/351)

Dalam hadits disebutkan bahwa malaikat ikut mendoakan bagi yang berdoa. Para ulama mejelaskan bahwa doa malaikat itu mustajab.

Abul Hasan Al-Mufarakfuri berkata,

دعاء الملائكة مستجاب

“Doa para malaikat itu mustajab.” (Mura’atul Mafatih 5/309)

2. Menutup Aib Saudaranya Sesama Muslim

Seorang ulama salaf berkata, “aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat atau cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun membicarakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”

Manusia terbagi menjadi dua macam :

a. Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Apabila orang seperti ini tergelincir ke dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh adzab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (QS. An-Nur: 19)

b. Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya.

Rasulullahu Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرِ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ، وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ، وَ اللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ ...

“Barangsiapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya...” (HR. Muslim no.2699)

3. Menyelesaikan Perselisihan Saudara Dan Teman

Seorang manusia mempunyai emosi di dalam dirinya. Kadangkala bisa meluapkan amarah, kekecewaan, dan kesedihan. Emosi yang ada dalam diri manusia dapat menyebabkan konflik karena beberapa alasan. Misalnya tawuran yang terjadi oleh para siswa antar sekolah, bisa saja tawuran timbul karena teman satu sekolah tidak terima diejek atau dipukul dan sebagainya. Semakin lama banyak yang ikutan membela temannya yang akhirnya terjadi tawuran. Timbulnya suatu konflik bisa mengarah kepada kekerasan seperti contoh tawuran. Untuk mencegah konflik yang bisa berakibat pada kekerasan, diperlukan rasa saling menerima keberadaan masing-masing individu maupun kelompok yang bertikai. Salah satu cara untuk mendorong perdamaian, diperlukan pihak ketiga sebagai pihak untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih.

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.(HR. Muslim)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebelum menjadi Rasulullah, telah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat yang ada pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam antara lain rajin, jujur, dan dapat dipercaya. Sebelum diangkat menjadi Rasulullah, pernah terjadi pertikaian pada kaum Quraisy saat itu. Berawal dari kegiatan merenovasi bangunan Ka’bah akibat banjir yang telah melanda kota Mekkah. Pada tahap peletakkan Hajar Aswad, mulailah perselisihan para tokoh kaum Quraisy. Masalah yang timbul adalah siapakah yang pantas dalam meletakkan Hajar Aswad tersebut. Kaum Quraisy terdiri dari beberapa kelompok (bani). Masing-masing kelompok mengajukan bahwa pemimpin kelompok mereka yang pantas meletakkan Hajar Aswad. Tidak menemukan jalan keluar, mereka akhirnya sepakat bahwa barang siapa yang datang paling awal lewat pintu maka dialah yang pantas meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. (Al-Mubarakfur, 2015).

Seseorang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Mereka menjelaskan kepada Rasulullah mengenai kondisi yang mereka hadapi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam diminta untuk mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian ini. Beliau akhirnya meminta sebuah selendang kain. Kemudian para pemuka yang telah berselisih diminta untuk memegang ujung-ujung selendang, Rasulullah meletakkan hajar aswad di tengah-tengah selendang. Para pemuka membawa Hajar Aswad dengan selendang yang dipegang pada ujung-ujung selendang. Mereka bersama-sama mengangkat dan membawanya ke tempat batu yang akan diletakkan. Ketika sudah mendekati tempat yang akan diletakkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengambil hajar aswad dan meletakkan ke tempat yang ditujukan.

Cara ini merupakan solusi yang paling tepat untuk para pemuka yang berselisih. Alasannya ialah semua pemuka merasakan bahwa mereka ikut terlibat dalam peletakkan Hajar Aswad. Walaupun mereka bukan yang meletakkan batunya, namun dengan memegang ujung selendang, mereka sudah merasa ikut meletakkan. Selain itu sejak awal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak mencari siapa yang paling berhak, tapi bagaimana semua ini terlibat. Ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa ketika ada orang yang berselisih tidak memihak salah satu.

Kita sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban dalam mendamaikan bagi yang bertikai. Apabila yang bertikai tidak mau saling mengalah, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perpecahan umat Islam. Silaturahim akan hancur dan akan saling membenci.

Berikut adalah ayat-ayat tentang mendamaikan orang yang berselisih,

“Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Q.S.Al-Hujurat [49] : 9).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Q.S.Al-Anfal [8] : 1)

Kadangkala kita merasa takut dalam mendamaikan perselisihan. Kita khawatir apabila ikut campur dalam perselisihan, masalah akan timbul lebih parah. Padahal tidak demikian. Justru dalam perselisihan diperlukan orang ke tiga untuk mendamaikan. Allah menekankan kepada hambanya untuk selalu peduli. Masalah hasil, Allah tidak melihat keberhasilan tapi melihat usaha kita. Selama kita berusaha, Allah juga akan menolong hambanya.

Kita mungkin bisa melakukan ibadah dengan rajin dan melaksanakannya dengan baik, namun bila kita tidak peduli apa yang ada di lingkungan kita apalah artinya ibadah. Di luar sana banyak orang yang saling bertikai secara terbuka maupun tertutup. Apabila kita sebagai seorang muslim tidak bertindak maka cepat atau lambat perpecahan umat Islam akan terjadi.

Pengalaman tercerai berainya umat Islam sebenarnya pernah terjadi di masa kehancuran Bani Abbasiyah. Terjadinya kemunduran tidak lain merupakan akibat dari pertikaian yang tidak kunjung selesai. Tidak bersatunya umat Islam mengakibatkan Bani Abbasiyah sudah tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan Mongol atau Tartar. Hanya dalam 40 hari, dinasti yang sudah ada selama 500 tahun lebih terpaksa lenyap. Detik-detik keruntuhan Bani Abbasiyah merupakan hal yang paling menyakitkan pada masa itu. Untuk pertama kalinya umat Islam tidak merasakan kepemimpinan khalifah, sebelum masuk ke era Turki Usmani.

Inilah pentingnya kita menjaga perdamaian antar sesama muslim. Selama pertikaian terus dibiarkan, keruntuhan umat Islam akan datang. Janganlah saling membenci, bila sedang marah kepada saudaramu maka tahanlah. Selalu jaga emosi, bila ingin mengingatkan teman yang salah maka ungkapkan dengan baik-baik.

Ingatlah selalu kepada ajaran Rasulullah yang senantiasa untuk sabar. Rasulullah sebagai panutan kita, maka kita harus mengikutinya. Karena beliau adalah sebaik-baik manusia, bukankan manusia terbaiklah yang pantas kita ikuti? Seperti yang sudah dicontohkan di atas bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menghentikan pertikaian kaum Quraisy dengan caranya. Ingatlah pengalaman umat Islam bagaimana hancurnya persatuan mereka akibat pertikaian yang berujung pada keruntuhan Bani Abbasiyah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

4. Tidak Mengingkari Janji

a. Makna Janji/Perjanjian

Janji atau perjanjian ini tentunya bisa kita ketahui dengan jelas makna dan artinya dengan mudah karena kita sering melihat dan merasakan sendiri hal tersebut. Dimana memang mau tidak mau suatu janji atau perjanjian itu diperlukan dalam urusan kita dengan orang lain.

Menurut Syaikh Muhammad Abduh, janji adalah “Sesuatu yang harus ditepati oleh setiap orang terhadap yang lain, baik kepada Allah, maupun kepada manusia. Janji itu wajib ditepati selama bukan maksiat”. [1]

Janji menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi. [2]

Disini kita mengambil arti janji atau perjanjian secara umum adalah suatu hasil kesepakatan dari dua belah pihak atau lebih baik antar individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, atau sebaliknya kelompok dengan individu, yang salah satu pihak atau lebih saling mematuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Jadi jika salah satu pihak melanggar tentunya runtuhlah suatu perjanjian, dan adanya adalah sebaliknya yaitu penghianatan atau pembohongan terhadap hal-hal yang sudah disepakati bersama.

b. Pelaku Janji

Suatu proses perjanjian tentunya dilakukan oleh mahluk Allah Subhanahu Wata’ala yang berakal yaitu manusia, contohnya pada Al Quran surat Al ‘Araf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِى ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا أَن تَقُولُوا يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Dan selain itu terjadi pada bangsa jin atau syaitan. Yang hal tersebut salah satunya disebutkan dalam Al Quran surat Annisa ayat 118-119 :

لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

''Setan yang dilaknati Allah itu mengatakan, 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian (jahat) yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya (untuk dipersembahkan pada berhala-berhala), dan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.''

Dan yang pertama membuka suatu perjanjian adalah orang yang sedang membutuhkan sesuatu dari orang lain akan tetapi ada sesuatu yang menghalangi kebutuhannya terhadap pihak kedua tersebut, dan itu harus diadakan perjanjian jika ia menginginkan sesuatu dari pihak kedua tersebut agar keinginan atau tujuannya bisa terlaksana terlebih dahulu. Dan pihak pelaku yang berjanji ini harus selalu mengingat dan bahkan mencatat segala sesuatu yang sudah menjadi perjanjian atau kesepakatan.

Dan Allah Yang Maha Segala juga berjanji dalam Al Qur’anul Kariim. Tapi janji Allah tidak bisa disamakan dengan janji mahlukNya, dan kita wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Yang Maha Menepati Janji. Contoh dalam ayat Al Quran mengenai janji Allah Subhanahu Wata’ala :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS An Nahl: 97).

Masih banyak janji-janji Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Quran. Contohnya: janji akan surga, janji disempurnakan pahala, janji tambahan nikmat, janji diingat Allah, janji diijabah doanya, dan sebagainya.

c. Yang Diberi Janji

Pihak yang diberi janji ini tentunya adalah orang kedua yang dimintai bantuan atau suatu kebutuhan dari orang pertama tadi. Dan pihak ini biasanya dalam keadaan atau kondisi diatas pihak pertama tadi. Karena pihak yang dimintai bantuan tentunya lebih memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh pihak pertama. Dan sama dengan pelaku janji, pihak yang diberi janji juga sebaiknya harus mengingat bahkan mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian atau kesepakatan tersebut. Dan dalam hal yang diberi janji ini tentunya seperti yang diuraikan diatas adalah Allah Subhanahu Wata’ala sendiri dan itu sudah jelas. Sehingga disini kita membatasi hanya terhadap sesama manusia saja.

Dalam hal perjanjian ini, kita bisa mengqiyaskan dalam suatu kasus perjanjian hutang atau jual beli yang dalam syariat Islam dianjurkan untuk dicatat baik jatuh temponya, sesuatu yang digunakan untuk jaminan, dan sebagainya. Seperti tertuang dalam Al Quran Surah Al Baqarah ayat 282 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya”. [2]

d. Pembagian Janji

Janji menurut Sayyid Al Manar dalam tafsir Al Manar terbagi dalam tiga bagian yaitu : Janji kepada Allah, janji kepada diri sendiri, dan janji kepada sesama manusia. [3]

Dalil tentang adanya janji terhadap Allah Subhanahu wata’ala yaitu :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

Untuk adanya janji terhadap diri sendiri bisa kita ambil contoh tentang nazar tentang sesuatu yang baik tentunya. Yaitu pada Al Quran surat Al Hajj ayat 29 :

ثُمَّ لْيَقْضُوا۟ تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا۟ نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”

Dan untuk janji terhadap sesama dapat dilihat dalam Al Quran Surat Al Isra ayat 34 tentang perlakuan terhadap anak yatim dan akad atau perjanjian yang ada di dalamnya:

وَلَا تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُۥ ۚ وَأَوْفُوا۟ بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya”

e. Hukum Menepati Janji

Kewajiban bagi kita sebagai umat muslim untuk menepati suatu janji atau perjanjian. Karena hal tersebut akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana telah disebutkan peringatannya dalam ayat-ayat Al Quran sebelumnya. Sehingga hukum berjanji atau menepati janji adalah wajib.

Sebagaimana di sini ditegaskan lagi dalam Al Quran surat An Nahl ayat 91 :

وَأَوْفُوا۟ بِعَهْدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمْ وَلَا تَنقُضُوا۟ ٱلْأَيْمَٰنَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ ٱللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”

f. Keuntungan Menepati Janji (3)

Diantara keuntungan yang bisa diperoleh bagi orang yang menepati janji yaitu : 

1. Termasuk Orang yang Beriman
2. Mendapat Cinta dari Allah
3. Terlepas dari Sifat Munafik
4. Dipercaya oleh Orang Lain
5. Terhindar dari Perbuatan Syaitan
6. Tidak Termasuk Golongan Yahudi.

Keuntungan pertama dalilnya adalah surat Al Mu’minun ayat 8 :

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِأَمَٰنَٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَٰعُون

“Dan sungguh beruntung orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya”

Dimana ayat tersebut tersambung dengan ayat pertama tentang beruntungnya orang yang beriman.

Kemudian keuntungan kedua, mendapat kecintaan Allah dalilnya adalah quran surat Ali Imran ayat 76 :

بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِۦ وَٱتَّقَىٰ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ

“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”

Kemudian keuntungan ketiga, terlepas dari sifat munafik. Dalilnya adalah sabda rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Bukhari yang artinya : ”Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam. Apabila berkata ia dusta, Apabila berjanji ia ingkar, Apabila di percaya ia khianat”.

Kemudian keuntungan keempat adalah mendapat kepercayaan dari orang lain. Dimana hal tersebut adalah sesuatu yang sangat mahal didapatkan ditengah-tengah kehidupan sosial. Karena otomatis sebagai orang yang dipercaya maka ia adalah diklaim sebagai orang yang jujur. Dan sifat jujur sangat disukai dan dicintai banyak orang.

Keuntungan kelima adalah terhindar dari perbuatan syaitan. Hal ini karena ingkar janji adalah perbuatan setan untuk mengelabui manusia, maka mereka merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 120 :

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيْطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا

“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”

Oleh sebab itu agar tidak termasuk pada golongan setan, maka hendaklah tepati janji-janji yang pernah kita sampaikan kepada orang lain.

Keuntungan keenam adalah tidak termasuk golongan Yahudi. Karena sifat ingkar janji adalah salah satu sifat orang Yahudi (bani Israil). Seperti tercantum dalam Al Qur’an di dalam Al-Quran surat Al Baqoroh ayat 40 :

يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتِىَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا۟ بِعَهْدِىٓ أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّٰىَ فَٱرْهَبُونِ

“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu dan hanya kepadaKu-lah kamu harus takut.”

Keuntungan yang ketujuh adalah menjaga marwah kita. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kejujuran, menepati janji atau konsekuen dalam segala sesuatu adalah sifat yang mulia bagi setiap manusia. Tentunya dalam hal ini tentang menepati janji dalam masalah-masalah yang tidak keluar dari syariat Islam dan hal-hal yang baik.

Bab III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Menepati janji berasal dari amalan hati yaitu kejujuran, niat baik, menghormati kesepakatan, tidak berhianat dan sebagainya. Sehingga orang yang menepati suatu janji tentunya adalah orang yang telah diberi hati yang baik oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Dan keuntungan yang diperoleh dengan adanya perbuatan menepati janji ini jika kita kaji terus tidak hanya yang telah disebutkan diatas. Karena hal ini berkaitan dengan kehidupan sosial manusia yang komplek dan berkembang terus.

Perbuatan atau tindakan menepati suatu janji ini sangat ditekankan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Al Qur’anul kariim. Dan nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai yang menerima wahyu tersebut sebelumnya memang telah diberi akhlaqul karimah oleh Allah Ta’ala salah satunya adalah sifat amanah atau dapat dipercaya dan tentunya selalu menepati janji beliau.

Sehingga sebagai seorang muslim yang baik, kita wajib meneladani beliau Rasulullahi Shalallahu ‘alaihi Wasalam, dalam segala ahlak dan amalan shalih beliau.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Syamil Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: PT.

Syaamil Cipta Media, 2009

dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK, 20 September 2021, https://muslim.or.id/58881-mendoakan-saudara-tanpa-sepengetahuannya-adalah-tanda-jujurnya-keimanan.html

Fadly, Muhammad Nafiuddin. 2015. “Pentingnya Mendamaikan Orang Yang Berselisih” ,https://dppai.uii.ac.id/pentingnya-mendamaikan-orang-yang-berselisih/,di akses pada 17 April 2022.

HR. Abu Daud, no. 4919 dan Tirmidzi, no. 2509. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 2639.

HR. Muslim, no. 49

Catatan: Junaidi, 14 Agustus 2015 https://bareskrim.com/2015/08/14/janji-dalam-pandangan-islam

Hukum Mencatat & Menghadirkan Saksi dalam Utang

By Ammi Nur Baits - Sep 4, 201 https://konsultasisyariah.com/23365-hukum-mencatat-menghadirkan-saksi-dalam-utang.html

https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-janji-dan-macam-macam-janji.html?m=1

1 komentar:

  1. 6 Hak dan Adab Sesama Muslim Yang Sering Terlupakan : https://smait.alhasanah.sch.id/pengetahuan/6-hak-dan-adab-sesama-muslim-yang-sering-terlupakan/

    BalasHapus