Sabtu, 28 Mei 2022

Tinjauan Kritis Terhadap Tawassul, Qurbah Dan Syafa'at Serta Implementasinya Di Masyarakat

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Aqidah
Dosen Pengampu: Abu Fuhairah Az-Zahid, M.Pd
Oleh Kelompok 8 :
1. Kahfi
2. Miqdad Abdurrahman
3. Nida Labibah
4. Siti Fauzia

KATA PENGANTAR

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu Wa Taalaa serta sholawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqomahan serta kesehatan untuk terus belajar dan mendakwahkan ilmu Allah Subhanahu Wataalaa.

Diantara ilmu yang mulia adalah ilmu yang ketika kita mempelajari nya membuat kita semakin takut kepada Allah, semakin ta'at dalam menjalankan perintah dan Menjauhi segala larangan Allah.

Maka dari itu kami kelompok 8 menyusun sebuah makalah yang membahas tentang "Tinjauan Kritis Terhadap Tawassul, Qurbah Dan Syafa’at Serta Implementasinya Di Masyarakat". Semoga dengan hadirnya makalah ini bisa mendatangkan manfaat bagi diri kami pribadi dan bagi orang-orang yang membacanya.

Akan tetapi dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekeliruan dan kesalahan, sehingga kami banyak mengharapkan kritik dan saran sangat kami butuhkan dari pembaca agar kami bisa memperbaikinya.

Bintan, 27 Mei 2022
Penyusun Makalah Kelompok Delapan

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Tawassul, Qurbah Dan Syafaat
1. Al-Wasilah
2. Al-Qurbah
3. Syafa’at
B. Legitimasi Nash Qurbah, Tawassul Dan Syafaat
1. Legitimasi Nash Qurbah
2. Legitimasi Nash Tawassul
3. Legitimasi Nash Syafaat
C. Macam Dan Jenis Tawassul
1. Tawassul Syar’i
2. Tawassul Bid'i
D. Macam Dan Jenis Syafa’at
1. Syafa’at Yang Ditetapkan
2. Syafa’at Yang Dinafikan
3. Syafa’at Khusus Nabi Muhammad ﷺ 
4. Syafaa’at Nabi ﷺ Dan Selain Nabi (Syafa’at Umum)
5. Menggapai Syafa’at Nabi Muhammad ﷺ 
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesungguhnya kehidupan dunia adalah negeri ujian dan penuh dengan cobaan. Ujian dan cobaan dalam hidup di dunia dapat berupa kelapangan dan kenikmatan, namun terkadang juga berupa kesempitan dan musibah. Bisa berupa sehat maupun sakit, bisa berupa kekayaan maupun kemiskinan. Seorang mukmin akan menghadapi ujian dalam dua keadaan : kondisi susah dan kondisi senang. Allah Ta’ala berfirman,

﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ ﴾

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” [1]
[1] Q.S Al-Anbiyâ’:35

Dalam setiap ujian yang menimpa manusia akan selalu ada kebaikan. Oleh karena itu dalam sebuah hadits dari sahabat Anas radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ !! لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ شَيْئًا إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan seorang mukmin. Tidaklah Allah menetapkan kepadanya sesuatu kecuali itu merupakan kebaikan baginya“ [2]
[2] H.R Ahmad

Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan oleh keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala yang membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.

Seorang Mukmin ketika diuji oleh Allah akan semakin mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya. Salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah bertawassul dengan doa menggunakan nama-nama Allah atau sifat-sifat Allah atau bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup.

Selain bertawassul seorang mukmin juga dianjurkan untuk berdoa meminta Syafaat kepada Allah Ta’ala untuk kehidupan di akhirat. Karena tidak ada yang bisa menolong Manusia pada saat itu selain Allah Ta’ala. Kita juga bisa meminta Syafaat dari Rasul-Nya.

Mendekatkan diri kepada Allah dengan bertawassul dan meminta Syafaat merupakan pembahasan yang sangat penting untuk dikaji. Karena keterkaitannya yang sangat erat dengan tauhid yang merupakan landasan utama agama Islam dan ketidakpahaman mayoritas kaum muslimin tentang hakikat ibadah yang agung ini.

Keutamaan tawassul dan Syafaat sebagai ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, telah banyak dipahami oleh kaum muslimin, akan tetapi mayoritas mereka justru kurang memahami perbedaan antara tawassul yang benar dan tawassul yang menyimpang dari Islam serta Syafaat yang diperbolehkan dan yang dilarang. Sehingga banyak di antara mereka yang terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aqidah tauhid, dengan mengatasnamakan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai perkara yang benar. Dan juga agar seorang muslim tidak terjerumus dalam perbuatan syirik yang bisa merusak amal kebaikannya karena kebodohannya. Oleh karena itu makalah ini akan menjelaskan secara rinci tentang qurbah, tawassul dan Syafaat dengan pemahaman yang benar.

B. Rumusan Masalah

Dapat dimaklumi bersama, tentunya makalah ini tidak akan memuat seluruh pembahasan mengenai tawassul, qurbah dan syafa’at. Oleh karenanya penulis membatasi beberapa poin saja yang akan di paparkan pada makalah ringkas ini:

1. Definisi Tawassul, Qurbah dan Syafaat
2. Legitimasi nash Tawassul
3. Macam dan Jenis Tawassul
4. Macam dan jenis Syafa’at

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tawassul, Qurbah dan Syafaat

1. Al-Wasilah (Tawassul)

a) Wasilah (Tawassul) Secara Bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menyampaikan serta dapat mendekatkan kepada sesuatu. [3]
[3] An-Nihayah Fii Ghariibil Hadits Wal Atsar

Menurut Al-Fairuz Abadi yaitu ia mengamalkan suatu amalan yang dengannya ia dapat mendekatkan diri kepada Allah, sebagai perantara. [4]
[4] Qaamuusul Muhiith (III/634), Cet. Darul Kutub Ilmiyyah

b) Wasilah (Tawassul) juga memiliki makna yang lain, yaitu kedudukan disisi raja atau penguasa, derajat dan kedudukan. [5]
[5] Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (hal. 10). Oleh Syekh Al-Albani, Cet. Ad-Darus Salafiyah, th. 1405H

▪️ Wasilah (Tawassul) secara Istilah (Terminologi) Para Mufassirin yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan ketaatan serta mengerjakan perbuatan yang diridhoi oleh-Nya. [6]
[6] Ibid, hal. 52

▪️ Wasilah (Tawassul) secara Istilah Syar’i (Terminologi) adalah ibadah yang dengannya dimaksudkan tercapainya ridho Allah dan surga. Karna itulah kita berkata, bahwa seluruh ibadah adalah wasilah (sarana) menuju keselamatan dari api neraka dan kebahagiaan masuk surga. [7]
[7] Abu Anas Ali Bin Husain Abu Luz, Tawassul Sunnah Vs Tawassul Bid’ah, Ter. Muhammad Iqbal, Darul Haq, Jakarta, 2007, hal. 6-7

Tawassul secara Istilah (Terminologi) adalah mewujudkan suatu perantaraan untuk menyampaikan kepada suatu maksud dan seseorang tidak akan mungkin akan sampai kepada maksud yang hendak dituju tersebut kecuali melalui perantara wasilah yang sesuai dengan apa yang ditujunya.

Allah befirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung".

Ibnu Abbas berkata : “Makna Wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (Al-Qurbah)

Senada juga dengan yang diriwayatkan dari Mujahid, Abu Wa’il , Al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, Ibnu Zaid dan yang lainnya, Qotadah berkata tentang makna ayat tersebut :

تقربو إليه بطاعته والعمل بما يرضيه

“Mendekatlah kepada Allah dengan Mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhoi-Nya”. [8]
[8] Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari (IV/567), Set. Daarul Kutub Al-‘ilmiyyah dan Tafsir Ibnu Katsir (II/60), Cet. Daarus Salaam.

2. Al-Qurbah

▪️ Qurbah secara bahasa (etimologi) segala sesuatu yang dengannya dapat mendekatkan kepada Allah berupa Amal Kebajikan dan Ketaatan. [9]
[9] Mu’jamul Ma’aani

Qurbah secara Bahasa ialah sarana dan segala yang dapat digunakan mendekatkan diri seperti ketaatan dan sebagainya. Karna Qurbah berasal dari Al-Qurbu yang artinya dekat dan Qurbah juga memiliki arti Mendekat. [10]
[10] Mausuuatul Mustholahaat Al-Islamiyyah Online

▪️ Secara Istilah Qurbah adalah apa-apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah berupa amal kebaikan dan ketaatan. Ada yang wajib seperti ibadah-ibadah fardhu yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya berupa Sholat, Puasa, Zakat dan Haji. Dan yang berupa Sunnah seperti Sholat Nafilah, Sedekah dan Wakaf.

Ada juga Qurbah yang mubah, karena hal mubah bisa menjadi qurbah jika diniatkan untuk mendapatkan pahala seperti perbuatan-perbuatan yang merupakan kebiasaan ketika diniatkan ibadah seperti makan, tidur dengan niat mencari tenaga untuk dapat melakukan suatu ketaatan. [11]
[11] Mausuuatul Mustholahaat Al-Islamiyyah Online

Imam Al-Qurtubi berpendapat bahwa Al-Wasilah (Tawassul) adalah Al-Qurbah. (Tafsir Al-Qurtubi : Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, hal. 2156)

Imam As-Suyuthi juga berkata bahwa At-Tawassul adalah Al-Qurbah sebagaima yang beliau sebutkan di dalam kitabnya Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiri bil Ma’tsur : Jalaluddin Bin Abdirrahman Bin Abi Bakar As-Suyuthi, hal. 280.

3. Syafaat

▪️ Syafaat secara Bahasa (etimologi) berasal dari kata Asy-Syafa’ (ganda) yang merupakan lawan kata dari Al-Witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. [12]
[12] Tuntunan Tanya Jawab Akidah (Fataawa Arkanul Islam) Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Ibnu Atsir mengatakan bahwa kata syafaat telah disebutkan berulang kali didalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Yang dimaksud dengan syafaat adalah meminta untuk diampuni dosa atau kesalahan diantara mereka (yang dimintai syafaat). [13]
[13] An-Nihayah fi Ghoribil Atsar, Abus Sa’adat Al-Mubarok bin Muhammad, 2/1184, Barnamij Al-Muhaddist Al-Majany – Maktabah Syamilah

▪️ Syafaat Secara istilah (Terminologi) adalah menjadi perantara (penghubung) dalam menyelesaikan hajat yaitu perantara antara orang yang memiliki hajat dan yang bisa menyelesaikan hajat. [14]
[14] At-Ta’liqot Al-Mukhtashoroh ‘Alal Aqidah At-Thohawiyyah, hal. 95, Daarul ‘Ashomah

Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa Syafaat adalah menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak mudharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang lain yang diberi syafaat atau menolak mudharat untuknya. [15]
[15] Tuntunan Tanya Jawab Akidah (Fataawa Arkanul Islam) Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

التوسط للغير بجلب منفعة أو دفع مضرة

Syafaat adalah menjadi perantara untuk yang lain, agar tergapai manfaat dan dihindarkan dari marabahaya. [16]
[16] Al-Fawaid Al-Muntaqoh, hal. 17

Syafaat adalah suatu permohonan seseorang yang sedang membutuhkan kepada suatu media guna mencapai suatu tujuan tertentu kepada sang penguasa

B. Legitimasi Nash Qurbah, Tawassul dan Syafaat

1. Legitimasi Nash qurbah

Dalil tentang qurbah adalah firman Allah Ta’ala:

﴿ وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهِ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ ﴾

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” [17]
[17] Q.S Az Zumar: 3

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini seraya berkata: “Yang mendorong mereka (orang kuffar) menyembah mereka ialah karena mereka dengan sengaja mendatangi berhala- berhala dengan menjadikannya seperti bentuk malaikat-malaikat yang sangat dekat (dengan Allah) menurut mereka. Merekapun menyembahnya dengan menyamakan berhala itu dengan malaikat, agar mereka bisa memberi mereka syafaat, menolong mereka dan memberi mereka rezeki” [18].
[18] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzhim, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2000) h. 1614

Syaikh Abdurrazzak Menjelaskan, Makna Al Qurbah ialah agar ia menjadi wasilah dan dan perantara bagi kami disisi Allah, sehingga kamipun bisa sampai menuju Allah. Kami minta padanya agar ia mendekatkan kami pada Allah” [19]
[19] Abdurrazzaq, Syarah Qawaidul Arba’, (Madinah: Daar Imam Muslim, 1443 H), h. 43

Imam Ibnu Katsir juga menambahkan: “makna (اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ) yaitu agar mereka memberi kami syafaat dan mendekatkan kami disisi Allah” [20]
[20] Ibnu Katsir, Op.Cit, h. 1614

Syaikh Shaleh Alu Syaikh juga menjelaskan, “tidaklah kami menyembah mereka dengan alasan apapun kecuali sekedar mendekatkan diri. Mereka membatasi apa yang mereka inginkan dalam hal kedekatan pada Allah. Dimana mereka sebenarnya menginginkan apa-apa yang disisi Allah” [21]
[21] Shaleh Alu Syaikh, Syuruhaat Ma’ali Syaikh Shaleh Alu Syaikh, (Doha: Daar Imam Al Bukhari, 2013), h. 30

2. Legitimasi Nash Tawassul

Dalil tentang qurbah adalah firman Allah Ta’ala:

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” [22] 
[22] Q.S Al Maidah: 35

Imam Ibnu Katsir Menafsirkan Al wasilah dengan Al Qurbah sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Beliau juga membawakan penafsiran Qatadah: “maksudnya ialah dekatkanlah diri kalian kepada Allah dengan berbuat ketaatan pada-Nya dan beramal sesuai dengan apa yang Allah ridhoi” [23]
[23] Ibnu Katsir, Op.Cit, h. 614

﴿ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهُ اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا ﴾

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.” [24]
[24] Q.S Al Isra: 57

Imam Ibnu Katsir memberikan definisi Al wasilah seraya berkata : “Al Wasilah ialah apa-apa yang menyampaikan pada maksud (tujuan)” [25]
[25] Ibnu Katsir, Op.Cit, h.. 614, lihat juga kitab Syaikh Al Albani, At Tawassul, (Riyadh: Maktabah Al Ma’arif, 2001), h. 13,14

3. Legitimasi Nash Syafaat

Dalil tentang qurbah adalah firman Allah Ta’ala:

﴿ وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ هٰٓؤُلَاۤءِ شُفَعَاۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗقُلْ اَتُنَبِّـُٔوْنَ اللّٰهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِۗ سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ﴾

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?” Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.” [26]
[26] Q.S Yunus: 18

Syaikh Abdurrazzaq menjelaskan maksud mereka ialah “kami menyembah tuhan-tuhan yang tidak dapat memberi bahaya dan manfaat itu, agar mereka memberi syafaat (pembelaan) pada kami disisi Allah” [27]
[27] Abdurrazzaq, Op.Cit, h. 43

Orang-orang musyrikin memiliki logika bahwa mereka tidak pantas meminta kepada Allah. Sehingga untuk meminta kepada-Nya harus melalui perantara-perantara yang mendekatkan diri mereka kepada Allah atau memberi mereka syafa’at disisi Allah. Ibaratnya seseorang yang ingin meminta kepada raja untuk memudahkan urusannya, maka dia meminta melalui perantara menterinya. Sehingga menteri tersebutlah yang akan mendekatkan dirinya kepada raja. Atau menterinya menyampaikan kebutuhan yang meminta, kemudian raja memberikan apa yang kita butuh. Disinilah letak bahaya kesyirikan, karena ketika dia meminta maka hatinya bukan lagi membutuhkan kepada raja, akan tetapi hatinya bergantung kepada menteri. Begitu juga dalam beribadah, ketika kita meminta kepada pemberi-pemberi syafaat, maka hati kita tidak lagi bergantung kepada Allah, akan tetapi hati kita hanya bergantung kepada pemberi syafaat. [28]
[28] Firanda Andirja, Syarh Al Utshul Tsalatsah dan Al Qowaidul Arba’, (UFA Office, 2021), h. 204-205

Adapun syafaat ukhrawiyah (syafaat di akhirat) ialah permintaan kepada Allah untuk memberikan manfaat pada yang membutuhkan atau menghindarkan bahaya darinya” [29]
[29] Abdul Qadir Al Muhammady, Asy Syafa’ah Fii Al Hadist An Nabawy, (Beirut: Darul Kutub Al ‘Alamiyah, 2005),h. 24

C. Macam dan Jenis Tawassul

Tawassul menurut jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu tawassul yang diperbolehkan (Syar'i) dan tawassul yang diharamkan (Bid'i).

1. Tawassul Syar’i

Tawassul syar’i adalah tawassul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Tawassul jenis ini adalah tawassul yang dianjurkan, sehingga melakukannya akan mendapatkan pahala. Diantara bentuk tawassul syar’i yaitu:

▪️ Pertama: Bertawassul dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.” (QS. Al A’raf:180).

Dalilnya juga adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau,

اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكِ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجَلاَءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي

“Wahai Allah, Sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, dan anak lelaki dari hamba-Mu yang lelaki dan anak lelaki dari hamba-Mu yang perempuan, nasibku berada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, ketetapan-Mu adil padaku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama-Mu, yang Engkau telah menamai diri-Mu dengannya atau yang telah Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau yang telah Engkau sembunyikan di dalam ilmu gaib milik-Mu. Jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hati bagiku, cahaya bagi dadaku dan penghilang kesedihanku dan pelenyap rasa resahku.” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).

▪️ Kedua: Bertawassul dengan amal shalih. Bertawassul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah,

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS. Al Baqarah:127)

Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawassul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa dengan sebab tawassul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawassul dengan amal sholih.

▪️ Ketiga: Bertawassul dengan doa orang lain. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam,

قَالُوا۟ يَٰٓأَبَانَا ٱسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَآ إِنَّا كُنَّا خَٰطِـِٔينَ

“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).“ (QS. Yusuf:97)

Sedangkan dalil dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin Mihson radhiyallhu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.

Para Sahabat pernah bertawassul dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam. Semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, di antara para sahabat ada yang bertawassul dengan Beliau. Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawassul lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya Beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ketika di masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do’a Abbas rodhiyallahu ‘anhu.

Bertawassul itu dengan Do’a, Bukan Dengan Zat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun yang dimaksud tawassul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bertawassul dengan doa dan syafa’at Nabi”. Beliau melanjutkan lagi, “Adapun tawassul dengan do’a dan syafa’at sebagaimana yang dilakukan ‘Umar adalah bertawassul dengan doa, bukan bertawassul dengan zat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan tawassul dengan zat beliau, maka tentu bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada dengan ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu. Ketika mereka berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul dengan ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau.” Maka nyatalah kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawassul dengan zat dan kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.

2. Tawassul Bid'i

Tawassul bid’i adalah tawassul yang terlarang dan tidak memiliki tuntunan dari syariat, dan tidak memiliki dalil, baik dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Tawassul bid’i adalah hal yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin, diantara bentuk tawassul bid’i yaitu :

▪️ Pertama : Mendekatkan diri dengan menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allah. Sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (QS. Az Zumar:3).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’.” (QS. Yunus:18).

Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, menganggap hal tersebut akan mendekatkan mereka kepada Allah dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.

▪️ Kedua : Bertawassul dengan kedudukan orang shalih. Diantara tawassul yang dilarang adalah bertawassul dengan kedudukan Orang Shalih. Sebagian orang melakukan tawassul dengan jah (kedudukan) orang shalih yang sudah meninggal. Mereka mengatakan, “Demi kehormatan Nabi-Mu atau demi kehormatan wali fulan…”. Tawassul yang demikian ini terlarang, ditinjau dari dua sisi. Pertama, berarti dia telah bersumpah dengan selain Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah haram, bahkan termasuk syirik yaitu syirik asghar (syirik kecil). Kedua, orang itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak atas diri Allah. Padahal seseorang itu tidaklah memiliki hak selain yang telah Allah anugerahkan kepadanya.

Alhamdulillaah telah kita pelajari bersama sedikit hal tentang beberapa jenis dan macam tawassul yang diperbolehkan dan dilarang oleh syari’at beserta beberapa contohnya. Semoga Allah memberikah kepada kita pemahaman yang lurus mengenai masalah Tawassul ini, karena banyaknya manusia dizaman ini yang kita lihat dan saksikan sendiri betapa rusaknya aqidah mereka akibat dari tawassul yang salah dan mengandung kesyirikan.

D. Macam dan jenis Syafa’at

Secara umum syafa’at dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Syafa’at yang ditetapkan (الشَفَاعَة المُثْبَتَّة), yaitu syafa’at yang memenuhi persyaratan. Diantara persyaratan adalah :

a. Izin Allah kepada pemberi syafa’at. Berdasarkan firman Allah :

مَنْ ذاَ الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah ada yang dapat memberi syafa’at disisi-Nya tanpa izin-Nya”.(Qs. Al Baqarah :225)

Adapun pemberi syafa’at ini, diantaranya adalah

b. Malaikat. Sebagaimana firman Allah [30]
[30] Ibid,hlm. 444

وَكَمْ مِنْ مَلَكِ فيْ السَّماَوَاتِ لاَتُغْنِيْ شَفَاعَتُهُمْ شَبْئاً إِلاَّ مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

“Dan betapa banyak malaikat di langit, syafa’at (pertolongan) mereka sedikitpun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang dia kehendaki dan dia ridai. ( QS. An Najm : 26 )

Beliau juga dengan firman Allah

وَلاَ يَشْفَعُوْنَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَرْضَى

“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridai Allah,dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya “ ( QS.Al -Anbiya’ :28)

Pada ayat ini Allah berbicara tentang malaikat,dimana mereka tidak mampu memberikan syafa’at,kecuali hanya kepada orang-orang yang diridhoi Allah.

c. Para nabi, diantaranya adalah Nabi Muhammad

d. Para syuhada’ [31]
[31] Ibid,hlm. 445

e. Anak-anak. Sebagaimana disebutkan didalam hadist bahwa anak-anak yang meninggalkan dunia akan menjadi penghalang dari neraka bagi orang tuanya pada hari kiamat, diantaranya hadist yang diriwayatkan oleh Anas, Rosulullah bersabda,

مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ، يُتَوَفَّى لَهُ ثَلَاثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الحِنْثَ، إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الجَّنَةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

"Tidaklah seorang muslim yang telah diwafatkan tiga anaknya dalam keadaan belum mencapai usia baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan kasih sayang Allah kepadanya"[32] (HR. Bukhari No. 1248)
[32] Ibid, hlm. 446

f. Orang -orang yang beriman. [33]
[33] Ibid,hlm.447

g. Ridha Allah kepada yang diberi syafa’at. Allah berfirman,

وَلاَ يَشْفَعُوْنَ إُلاَّ لِمَنِ ارْتَرْضَى

“Dan mereka banyak malaikat dilangit, syafa’at (pertolongan) mereka sedikitpun tidak berguna sekali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia(Allah) kehendaki dan Dia ( Allah) ridhai". ( QS. Al-Anbiya : 28) [34]
[34] Ibid, hlm. 449

2. Syafa’at yang dinafikan (الشَفَاعَة المنفِيَّة), artinya adalah syafa’at yang tidak memenuhi dua persyaratan. Sebagaimana dua contoh berikut:

a. Pemberi syafa’at adalah para pelaku maksiat dan dosa besar, mereka tidak mungkin memberikan syafa’at, karena mereka tidak mungkin mendapat izin dari Allah. Berdasarkan hadist riwayat Abu Darda, Rosulullah bersabda :

إِنَّ اللَّعَّانِيْنَ لاَ يَكُوْنَ شُهَدَاءَ وَلاَ شُفَعَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Sesunguhnya orang-orang yang gemar melaknat tidak akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at pada hari kiamat kelak." ( HR.Muslim No. 2598)

b. Yang diberi syafa’at adalah orang-orang musyrikin yang tidak mungkin mendapatkan syafa’at karena mereka tidak diridhai Allah, sebagaimana firman Allah :

فَمَا ثَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafa’at. (QS. Al Muddasir :48) [35]
[35] Ibid, hlm. 450

3. Syafa’at khusus Nabi Muhammad .

Syafa’at rosulullah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

Syafa’at khusus bagi nabi ﷺ, terbagi menjadi beberapa bentuk diantaranya :

a. Syafa’at nabi dipadang mahsyar agar Allah segera datang dan memulai persidangan hari kiamat. [36]
[36] Ibid, hlm. 451

Syafa’at ini menunjukan keistimewaan Rosulullahu .

Syafa’at ini berkaitan dengan seluruh umat manusia, baik orang-orang yang beriman maupun kafir,semuanya mendapatkan manfaat dari syafa’at ini, karena dengannya Allah akan segera memulai persidangan hari kiamat dan memberikan keputusan dari kepada manusia. [37]
[37] Ibid,hlm. 452

b. Syafa’at untuk paman beliau, yaitu Abu Thalib

Paman Beliau telah meninggal dunia dalam keadaan musyrik sedangkan seluruh orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan syafa’at pada hari kiamat. Namun Nabi diberikan kekhususan oleh Allah untuk memberikan syafa’at kepada pamanya, berupa diangkatnya tempat siksanya ang berada didasar neraka dengan siksaan yang begitu berat menuju tempat yang paling atas yang berada dineraka dengan siksaan yang ringan. Berdasarkan Riwayat Al ‘Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu Ketika berkata kepada Nabi

مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟ قَالَ : هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍوَلَوْ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّارَكِ الأَسْفَلَ مِنْ النَّارِ

“Tidaklah engkau bisa menolong pamanmu,ssungguhnya dia dahulu membela engkau dan marah karena engkau ? Beliau ﷺ bersabda ,” Dia berada dipermukaan neraka, seandainya bukan karena aku, niscaya dia berada dineraka yang paling dasar". ( HR.Bukhari No. 3883 dan Muslim No.209) [38]
[38] Ibid, hlm. 457

Akan tetapi, syafa’at ini tidaklah mampu mengeluarkan dari siksa api neraka, karena syafaa’at tersebut hanya meringankan siksaan Abu Thalib di dalam neraka yang berada dipermukaan.[39]
[39] Ibid, hlm. 458

c. Syafa’at untuk masuk syurga

Syafa’at ini diberikan agar penghuni surga masuk kedalam surga. Surga tidak akan terbuka, kecuali yang mengetuknya adalah nabi Muhammad . Sebagimana hadist yang diriwayatkan Anass bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rosulullah bersabda,

آتِي بَابَ الجَنَّةِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَأَسْتفْتِحُ فَيَقُوْلُ الخَازِنُ : مَنْ أَنْتَ ؟ فَأَقُوْلُ : مَحَمَّدٌ فَيَقُولُ :تِكَ أُمِرْتُ لَا أَفْتَحُ لِأحَدٌ فَبْلَكَ.

“Aku mendatangi pintu syurga pada hari kiamat, lalu aku meminta (izin) agar dibukakan, maka penjaga surga berkata, siapa engkau?, lalu aku berkata, Aku (Muhammad ) lalu dia berkata, karena engkau aku diperintahkan, aku tidak membukakan untuk seseorang pun sebelum engkau". ( HR. Muslim No.197)

d. Syafa’at bagi umat Nabi yang masuk surga tanpa hisab .[40]
[40] Ibid, hlm.459

4. Syafaa’at Nabi dan selain Nabi (syafa’at Umum)

Adalah syafa’at umum, yang dimiliki oleh Nabi dan dimiliki oleh seorang beliau ﷺ. Diantarannya adalah para nabi, malaikat, para syuhada dan orang -orang yang beriman. Terkadang orang tua kepada anakanya, atau anak kepada orang tuanya. [41]
[41] Ibid, hlm. 460

Syafa’at dalam hal ini terbagi menjadi tiga bagian, diantaranya adalah:

a. Syafa’at untuk orang yang seharusnya masuk neraka, namun tidak jadi masuk kedalam neraka. Hal ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersabda ,

مَا مِنْ رَجُلٌ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُوْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَتُهُمُ اللَّهُ فِيْهِ

“Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal dunia, lalu yang menyalatinya adalah empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan Allah akan memberikan syafa’at kepada mereka untuknya". (HR. Muslim No. 948) [42]
[42] Ibid, hlm. 461

b. Syafa’at untuk penghuni neraka, agar keluar dari neraka

Disebutkan dalam hadist riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda :

شَفَعَتِي لِأَهْلِ الكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي

“Syafa’atku bagi pelaku dosa besar dari umatku". ( HR. Abu Daud No. 4739 dan Tirmidzi No. 2435 dan dishahihkan oleh Albani.) [43]
[43] Ibid, hlm. 466

c. Syafa’at untuk penghuni syurga agar naik derajatnya:

Sebagaimana do’a beliau Nabi ﷺ kepada Abu Salamah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي لِأَبِي سَلَمةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي المُهتَدِيِّينَ

“Wahai Allah, ampunilah Abu Salamah angkatlah derajatnya bersama golongan yang mendapatkan petunjuk". (HR.Muslim No. 920)

5. Menggapai syafa’at Nabi Muhammad ﷺ

Dalam menggapai syafa’at nabi ﷺ terdapat amalam-alaman khusus untuk bisa meraih syafa’at Nabi ﷺ yang disebutkan dalam hadist-hadist shahih yang dapat kita implementasi dalam kehidupan.

a. Mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik sedikitpun

Ini merupakan sebab yang paling utama. Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Rosulullah ﷺ bersabda ,

لِكُلِّ نَبِّي دَغْوَةٌ مُسْثْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نّبِّي دَعْوَتَهُ وَإِنِّيٍ احْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ القِيَامَةِ فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَايُشْرِكُ بِاللّهِ شَيْئاً

“Setiap nabi memiliki do’a yang dikabulkan, setiap nabi bersegera untuk dikabulkan do’anya tersebut. Sesungguhnya aku menanggungkan do’aku sebagai syafa’at umatku pada hari kiamat. syafa’atku akan mengenai seluruh umatku dengan kehendak Allah bafgi siapa saja yang meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun". ( HR. Muslim No. 199 )

b. Meminta kedudukan (al wasilah) untuk Nabi Ketika selesai mendengar dan menjawab adzan.

Sebagaimana hadist Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rosulullah bersabda,

مَنْ قَلَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ والصَّلَاةِ القَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الوَسِيلَةَ الفَضِيلَةَ وَابْعَثَ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتُهُ ,حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barang siapa yang berdo’a Ketika mendengar adzan : ‘Allahumma robba hadzihid da’watit tammah wash-sholatil qoimah aati mahmudanil-ladzi wa’adtah‘ ( wahai Rabb pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang didirikan ini, berikanlah perantara dan keutamaan kepada Muhammad, bangkitkanlah beliau pada kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah engkau janjikan), maka ia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat". ( HR. Bukhari No. 4719).

c. Memperbanyak sujud atau sholat

Terutama pada saat salat-salat fardhu atau sunnah. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ziyad bin Abu Ziyad maula Bani Mahzum dari pembantu Nabi berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلّْى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم مِمَّا يَقُولُ لِلخَادِمِ : أَلَكَ حَاجَةٌ ؟ قَالَ : حَتَّى كَلنَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ : يَا رَسُولُ اللَّهِ حَاجَتِي قَالَ: وَمَا حَاجَتُكَ ؟ قَالَ : حَجَتِي أَنْ تَشْفَعُ لِي يَوْمَ القِيَامَةِ, قَالَ :وَمَنْ دَلَّكَ عَلَى هَذَا ؟ قَالَ : رَبِّي قَالَ : إِمَّا لَا, فَأَعِنِّي بِكَثْرَةِ السُجُوْدِ

Diantara hal yang Nabi tanyakan kepada pembantunya adalah apakah engkau memiliki keperluan? Dia berkata, sampai pada suatu hari dia berkata, wahai Rasulullah, saya memiliki keperluan, Beliau bersabda, Apa keperluanmu? Dia berkata, ’keperluanku adalah agar engkau memerikan syafa’at kepadaku pada hari kiamat, beliau bersabda, ‘Apa yang membuatmu untuk meminta hal ini? Dia berkata, Rabbku (yang telah menunjukan hal ini), beliau bersabda, jika memang tidak ada (keperluan lain), maka bantulah aku dengan memperbanyak sujud. ( HR. Ahmad No.16076, sanadnya shahih, perawi-perawinya tsiqah).

BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa qurbah, tawassul dan Syafaat merupakan ibadah yang mulia yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu kita harus memiki ilmu dengan pemahaman yang benar agar ibadah tersebut di terima oleh Allah dan terhindar dari bahaya kesyirikan.

Manusia adalah tempat lupa dan tempatnya kesalahan, maka dari itu Kami menyadari bahwa dari penyusunan makalah ini tentu ada kekurangan dan jauh dari kata sempurna, Kami berharap segala masukan dari para Pembaca bisa membantu Kami untuk lebih baik kedepannya dan segala masukkan akan sangat Kami hargai.

Mendekatkan diri kepada Allah dengan wasilah yang diajarkan oleh syariat hendaknya kita amalkan dan kita senantiasa meminta Syafaat kepada Allah untuk kebahagiaan hidup di akhirat. Wallahuta’ala a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

▪️ Abdul Qadir Al Muhammady, Asy Syafa’ah Fii Al Hadist An Nabawy, Beirut: Darul Kutub Al‘Alamiyah, 2005

▪️ Abdurrazzaq, Syarah Qawaidul Arba’, Madinah: Daar Imam Muslim, 1443 H

▪️ Abu Anas Ali Bin Husain Abu Luz, Tawassul Sunnah Vs Tawassul Bid’ah, Ter. Muhammad Iqbal, Darul Haq, Jakarta, 2007

▪️ Al-Fawaid Al-Muntaqoh

▪️ An-Nihayah fi Ghoribil Atsar, Abus Sa’adat Al-Mubarok bin Muhammad, 2/1184, Barnamij Al-Muhaddist Al-Majany – Maktabah Syamilah

▪️ An-Nihayah Fii Ghariibil Hadits Wal Atsar

▪️ At-Ta’liqot Al-Mukhtashoroh ‘Alal Aqidah At-Thohawiyyah, Daarul ‘Ashomah

▪️ Firanda Andirja, Syarh Al Utshul Tsalatsah dan Al Qowaidul Arba’, UFA Office, 2021

▪️ Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzhim, Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2000

▪️ Mausuuatul Mustholahaat Al-Islamiyyah Online

▪️ Mu’jamul Ma’aani

▪️ Qaamuusul Muhiith (III/634), Cet. Darul Kutub Ilmiyyah

▪️ Shaleh Alu Syaikh, Syuruhaat Ma’ali Syaikh Shaleh Alu Syaikh, Doha: Daar Imam Al Bukhari, 2013

▪️ Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari (IV/567), Set. Daarul Kutub Al-‘ilmiyyah dan Tafsir Ibnu Katsir (II/60), Cet. Daarus Salaam.

▪️ Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (hal. 10). Oleh Syekh Al-Albani, Cet. Ad-Darus Salafiyah, th. 1405H

▪️ Tuntunan Tanya Jawab Akidah (Fataawa Arkanul Islam) Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar