Jumat, 08 April 2022

Adab Terhadap Allah ‘Azza Wa Jalla Dalam Prespektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlaq
Dosen Pengampu : Ustadz Abu Fuhairah az-Zahid, Mpd
Disusun Oleh Kelompok 4 Angkatan 5 :
1. Hadni (PAI)
2. Sina Azizul fikri (MPI)
3. Dina Zahernanda (SBA)
4. Khodijah (SBA)
5. Azka Hasanah (SBA)
6. Saphira Ghoida Nurunnisa (MPI)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segela puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan kenikmatan-Nya, Dengan karunia dan kemudahan yang Allah berikan, kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan Akhlak dengan topik “Adab terhadap Allah”. Kami berharap makalah dengan topik ini dapat bertambahnya pengetahuan kami.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak dengan tulus membantu dan memberikan do’a saran serta keritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan kami, Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, kami mohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan, akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 14 Maret 2022
Kelompok makalah

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan masalah
1.3 Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Menunaikan haq Allah ta’ala
2.2 Meminta Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
2.3 Bersegera dalam bertaubat
2.4 Berdzikir Kepada Allah
2.5 Menetapkan nama dan sifat Allah
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sungguh nikmat yang Allah subhana wa ta’ala berikan kepada hamba-hambaNya tidak terhitung jumlahnya. Kemana dan dimana saja seorang hamba mengarahkan pandangannya, dia akan melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dihadapannya. Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diperoleh hamba-Nya semenjak dia berupa setetes air mani yang bercampur dengan sel telur yang bergantung di dalam rahim ibunya. Kemudian selalu mengiringinya sampai ajal menjemputnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ  

"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan". [an-Nahl/16:53]

Bahkan jika manusia hendak menghitung nikmat-Nya, maka dia tidak akan mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [an-Nahl/16:18]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla . Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab. Oleh karena itu Dalam makalah ini akan membahas mengenai adab adab kepada Allah subhana wa ta’ala.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana Menunaikan Haq Allah ta 'ala?
2. Bagaimana Meminta kepada Allah?
3. Bagaimna cara bersegera dalam bertaubat?
4. Bagaimana Berdzikir kepada Allah dengan benar?
5. Bagaimana Menetapkan nama dan Sifat-sifat Nya?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui Bagaimana Menunaikan Haq Allah ta’ala
2. Mengetahui Bagaimana Meminta Kepada Allah
3. Mengetahui Bagaimana Menetapkan Nama dan Sifst-sifat Nya
4. Mengetahui Bagaimana Berdzikir kepada Allah dengan benar
5. mengetahui Apa yang dimaksud Bersegera dalam bertaubat


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Menunaikan haq Allah ta’ala

Hak Allah T’ala wajib kita dahulukan dari pada yang lainya, kita harus lebih bersemangat dan bersegera jika menyangkut hak-hak Allah ta’ala, ini adalah bukti keimanan dan keluhuran akhlaq serta ketinggian ma’rifat seorang hamba terhadap Rabnya Azza wa jalla. Diantara haq Allah ta’ala yaitu beribadah hanya kepada Alllah semata.

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Iman Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallahu ta’ala dalam kedua kitab shahihnya dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

xx

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas para hamba-Nya ?” Mu’adz berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, Beliau bersabda : yaitu “hendaknya mereka beribadah kepada- Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan tahukah engkau hak hamba terhadap Allah ?” Mu’adz berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, Beliau bersabda : “Dia tidak akan mengadzab mereka”[1]
[1] Fathul bari 13/7373 cet Darul fikr hkm 347

Dan dalam lafadz Imam Muslim : “bahwasanya Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak menyekutukan-Nya” [2]
[2] Ushul Tsalatsah

Tauhid adalah hak Allah ta’ala yang paling besar dan kewajiban yang paling wajib untuk ditunaikan seorang hamba, bahkan tauhid adalah sebab penciptaan jin dan manusia, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya : "tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaKu” (QS. Adz Dzariyat : 56).

“Kecuali agar mereka menyebah kepadaku” maknanya: kecuali agar mereka mentauhidkan Aku. Maka orang yang beriman akan mentauhidkan Allah dalam keadaan sempit dan lapang, sementara orang kafir hanya mentauhidkan Allah ketika mereka tertimpa kesusahan dan bala’ akan tetapi mereka tidak mentauhidkan-Nya ketika lapang. Allah Ta’ala berfirman :

فَاِذَا رَكِبُوْا فِى الْفُلْكِ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۚ فَلَمَّا نَجّٰىهُمْ اِلَى الْبَرِّ اِذَا هُمْ يُشْرِكُوْنَۙ 

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya.” (QS. Al-Ankabut: 65)

Hal ini disebutkan oleh Al-Baghawai dalam Tafsirnya. Ayat (yang pertama) di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala telah menciptakam para makhluq untuk suatu hikmah yang besar, yaitu untuk mengerjakan apa yang Allah Ta’ala wajibkan atas mereka berupa ibadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.

Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Ibadah adalah sebuah kata yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah, baik itu berupa ucapan atau amalan, yang lahir maupun yang batin.”Beliau juga mengatakan, “Ibadah adalah sebuah kata yang mencakup kesempurnaan cinta kepada Allah yang mencapai puncaknya, kesempurnaan perendahan diri kepada-Nya yang mencapai puncaknya. Maka kecintaan tanpa diiringi dengan perendahan diri atau perendahan diri tanpa diiringi dengan kecintaan, bukanlah dinamakan ibadah. Akan tetapi ibadah itu adalah amalan yang mengumpulkan keduanya.” Ketahuilah bahwa perkara terbesar yang pernah Allah Ta’ala perintahkan adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah.

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata : “makna liya’buduni (untuk beribadah kepada-Ku) dalam ayat tersebut adalah yuwahhiduni (mentauhidkan- Ku). [3]
[3] Ushulu Tsalatsah

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin berkata : “tauhid adalah perintah Allah yang paling agung, karena dia merupakan pondasi pokok yang seluruh perkara agama ini dibangun diatasnya, oleh sebab itu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam memulai dakwah Beliau dengan tauhid dan memerintahkan para dai yang beliau utus untuk memulai dakwah mereka dengannya.” [4]
[4] Syarah ushul Tsalatsah, cet darul atsar, hlm 30

Di antara dalil akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

 يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. AlBaqarah:21)

dan juga firmannya :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ 

"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (QS. An-Nahl: 36)

Dan taghut adalah semua sembahan selain Allah dalam keadaan dia ridha untuk disembah. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu anhu ke Yaman:

XXX

“Sesungguhnya kamu menghadapi suatu kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali yang kalian dakwahkan kepada mereka adalah penyembahan kepada Allah Azza wa Jalla.” [5]
[5] (HR. Al-Bukhari no. 1365 dan Muslim no. 28 dari Ibnu Abbas)

Sementara larangan terbesar yang Allah Ta’ala pernah larang adalah kesyirikan, yaitu beribadah kepada selain Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Diamengampuni segala dosa yang di bawah dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa`: 48)

Ayat ini berlaku bagi mereka yang tidak bertaubat. Dan semua dosa yang derajatnya di bawah dari kesyirikan, itu tergantung dengan kehendak Allah. Jika Dia berkenan maka Dia akan mengampuninya, dan jika tidak maka Dia akan menyiksa pelakunya. Allah Ta’ala juga berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۗوَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ 

"Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. AlMaidah: 72)

Jika surga telah diharamkan untuknya maka keharusannya dia akan kekal di dalam neraka selama-lamanya, karena ayat ini berbicara tentang syirik akbar. Dalam As-Sunnah, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

XXX

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kamu membuat tandingan bagi Allah (syirik), sedangkan Dialah yang menciptakanmu.” Aku berkata,

“Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi?”Beliau bersabda: “Kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apalagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: “Kamu berzina dengan isteri tetanggamu.” [6]
[6] (HR. Al bukhari no 4117 dan Muslim no, 124 )

Maka hadits di atas menunjukkan bahwa dosa terbesar di sisi Allah adalah kesyirikan

Lawan dari kesyirikan adalah tauhid, dan inilah agama Islam yang Allah tidak akan menerima agama lain selainnya dari siapapun. Sebagaimana ucapan Nabi Yusuf alaihissalam:

 اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗاَمَرَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاس لَا يَعْلَمُوْنَ 

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40)

Dan Allah Ta’ala berfirman kepada-Nya Nabi shallallahu alaihi wasallam

وَالَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمِنَ الْاَحْزَابِ مَنْ يُّنْكِرُ بَعْضَهٗ ۗ قُلْ اِنَّمَآ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ وَلَآ اُشْرِكَ بِهٖ ۗاِلَيْهِ اَدْعُوْا وَاِلَيْهِ مَاٰبِ 

"Dan orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan ada di antara golongan (Yahudi dan Nasrani), yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, “Aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Ar-Ra’d: 36)

Refrensi :
https://muslim.or.id/27662-hak-allah-taala-yang-wajib-dipenuhi-seluruh-hamba.htm

2.2 Meminta Kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Berdoalah kepada Allah, meminta segala sesuatu, dari perkara besar sampai perkara kecil-kecil. Allah Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖࣖࣖ 

"Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60). 

Dari pernyataan di atas, kita tahu bahwa seyogyanya seorang muslim untuk selalu meminta kepada Rabb Nya dalam hal apapun. Maka perlu kita ketahui beberapa adab berdo’a atau meminta kepada Allah agar do’a tersebut mustajab.

Berikut adalah 13 Adab dalam berdo’a :

Pertama, Mencari waktu-waktu yang mustajab. Di antara waktu yang mustajab adalah hari Arafah, Ramadhan, sore hari Jum’at, dan waktu sahur atau sepertiga malam terakhir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

xxx

“Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan, siapa yang meminta, akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampunan pasti Aku ampuni’.” (HR. Muslim)

Kedua, Memanfaatkan Keadaan yang Mustajab Untuk Berdoa. Di antara keadaan yang mustajab untuk berdoa adalah: ketika perang, turun hujan, ketika sujud, antara adzan dan iqamah, atau ketika puasa menjelang berbuka.

Abu Hurairah radhiallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka ketika jihad fi sabillillah sedang berkecamuk, ketika turun hujan, dan ketika iqama shalat wajib. Manfaatkanlah untuk berdoa ketika itu.” [7]
[7] Syarhus Sunnah al Baghawi, 1: 327

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa antara adzan dan iqamah tidak tertolak.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, dan Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sujud. Maka perbanyaklah berdoa.” (HR. Muslim)

Ketiga, Menghadap Kiblat dan Mengangkat Tangan.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Padang Arafah, beliau menghadap kiblat, dan beliau terus berdoa sampai matahari terbenam. (HR. Muslim)

Dari Salman radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian itu Malu dan Maha Memberi. Dia malu kepada hamba Nya ketika mereka mengangkat tangan kepada-Nya kemudian hambanya kembali dengan tangan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) dan beliau hasankan Cara mengangkat tangan: Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa, beliau menggabungkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi wajahnya (wajah menghadap telapak tangan). (HR. Thabrani)

Keempat, Dengan Suara Lirih dan tidak di keraskan, Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa :

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا

"Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma‘ul husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Zakariya ‘alaihis salam, yang berdoa dengan penuh khusyu’ dan suara lirih.

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهٗ زَكَرِيَّا ۚ
اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا 

“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 2–3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ 

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)

Dari Abu Musa radhiallahu’anhu bahwa suatu ketika para sahabat pernah berdzikir dengan teriak-teriak. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

XX

“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari)

Kelima, Tidak Dibuat Bersajak

Doa yang terbaik adalah doa yang ada dalam Alquran dan sunah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ 

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)

Ada yang mengatakan: maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam membuat kalimat doa, dengan dipaksakan bersajak.

Keenam, Khusyu’, Merendahkan Hati, dan Penuh Harap Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ  ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ 

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoakepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’: 90)

Ketujuh, Memantapkan Hati Dalam Berdoa dan Berkeyakinan Untuk Dikabulkan

Naَbi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

XXX

“Janganlah kalian ketika berdoa dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah aku, jika Engkau mau’. Hendaknya dia mantapkan keinginannya, karena tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian berdoa, hendaknya dia mantapkan keinginannya. Karena Allah tidak keberatan dan kesulitan untuk mewujudkan sesuatu.” (HR. Ibn Hibban dan dishahihkan Syua’ib Al-Arnauth)

Di antara bentuk yakin ketika berdoa adalah hatinya sadar bahwa dia sedang meminta sesuatu. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

xxx

“Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai, dan lengah (dengan doanya).” (HR.Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)

Banyak orang yang lalai dalam berdoa atau bahkan tidak tahu isi doa yang dia ucapkan. Karena dia tidak paham bahasa Arab, sehingga hanya dia ucapkan tanpa direnungkan isinya.

Kedelapan, Mengulang-ulang Doa dan Merengek-rengek Dalam Berdoa

Misalnya, orang berdoa: Yaa Allah, ampunilah hambu-MU, ampunilah hambu-MU…, ampunilah hambu-MU yang penuh dosa ini. ampunilah ya Allah…. Dia ulang-ulang permohonannya. Semacam ini menunjukkan kesungguhhannya dalam berdoa. Ibn Mas’ud mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdoa, beliau mengulangi tiga kali. Dan apabila beliau meminta kepada Allah, beliau mengulangi tiga kali. (HR. Muslim)

Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar segera dikabulkan, dan menghindari perasaan: mengapa doaku tidak dikabulkan atau kelihatannya Allah tidak akan mengabulkan doaku.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

xxx

“Akan dikabulkan (doa) kalian selama tidak tergesa-gesa. Dia mengatakan, ‘Saya telah berdoa, namun belum saja dikabulkan‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sikap tergesa-gesa agar segera dikabulkan, tetapi doanya tidak kunjung dikabulkan, menyebabkan dirinya malas berdoa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

XX

“Doa para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdoa yang isinya dosa atau memutus silaturrahim, selama dia tidak terburu-buru.” Para sahabat bertanya,“Ya Rasulullah, apa yang dimaksud terburu-buru dalam berdoa?” Beliau bersabda, “Orang yang berdoa ini berkata, ‘Saya telah berdoa, Saya telah berdoa, dan belum pernah dikabulkan’. Akhirnya dia putus asa dan meninggalkan doa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

Sebagian ulama mengatakan: “Saya pernah berdoa kepada Allah dengan satu permintaan selama dua puluh tahun dan belum dikabulkan, padahal aku berharap agar dikabulkan. Aku meminta kepada Allah agar diberi taufiq untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting bagiku.”

Kesepuluh, Memulai Doa dengan Memuji Allah dan Bershalawat Kepada Nabi ‘Alaihi wa Sallam

Bagian dari adab ketika memohon dan meminta adalah memuji Dzat yang diminta. Demikian pula ketika hendak berdoa kepada Allah. Hendaknya kita memuji Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang mulia (Asma-ul husna).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar ada orang yang berdoa dalam shalatnya dan dia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Orang ini terburu-buru.” kemudian beliau bersabda,

ِإ ِ َذا صلfى أ َح ُدك ُمفَلْي َب ْ َدأ ْ ب ِت َحميدِÇ رب ِّهِ جل عَز َوالث fن َاءِ َعلَي ْهِ ث ُم ي ُصلِّي َعلَى الن fب ِي صلى
الله عليه وسلم ث ُم ي َدْعُو ب َعْدُ ب ِما شاءَ

“Apabila kalian berdoa, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

Kesebelas, Memperbanyak Taubat dan Memohon Ampun Kepada Allah.

Banyak mendekatkan diri kepada Allah merupakan sarana terbesar untuk mendapatkan cintanya Allah. Dengan dicintai Allah, doa seseorang akan mudah dikabulkan. Diantara amal yang sangat dicintai Allah adalah memperbanyak taubat dan istighfar.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

XXX

“Tidak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku yang lebih Aku cintai melebihi ibadah yang Aku wajibkan. Ada hamba-Ku yang sering beribadah kepada-Ku dengan amalan sunah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka … jika dia meminta-Ku, pasti Aku berikan dan jika minta perlindungan kepada-KU, pasti Aku lindungi..” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan bahwa ketika terjadi musim kekeringan di masa Umar bin Khatab, beliau meminta kepada Abbas untuk berdoa. Ketika berdoa, Abbas mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun musibah dari langit kecuali karena perbuatan dosa. dan musibah ini tidak akan hilang, kecuali dengan taubat…”

Kedua Belas, Hindari Mendoakan Keburukan, Baik Untuk Diri Sendiri, Anak, Maupun Keluarga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mencela manusia yang berdoa dengan doa yang buruk,

وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا 

“Manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’: 11)

۞ وَلَوْ يُعَجِّلُ اللّٰهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُمْ بِالْخَيْرِ لَقُضِيَ اِلَيْهِمْ اَجَلُهُمْۗ فَنَذَرُ الَّذِيْنَ لَا يَرْجُوْنَ لِقَاۤءَنَا فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ 

"Dan kalau Allah menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pasti diakhiri umur mereka. Namun Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bingung di dalam kesesatan mereka.” (QS.Yunus: 11)

Ayat ini berbicara tentang orang yang mendoakan keburukan untuk dirinya, hartanya, keluarganya, dengan doa keburukan. Dari Jabir radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

xxx

“Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, jangan mendoakan keburukan untuk anak kalian, jangan mendoakan keburukan untuk pembantu kalian, jangan mendoakan keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi ketika seorang hamba berdoa kepada Allah bertepatan dengan waktu mustajab, pasti Allah kabulkan.” (HR. Abu Daud)

Ketiga Belas : Menghindari Makanan makanan dan Harta-harta yang Haram, karena memakan makanan yang haram akan menjadi penghalang do’a.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

XXX

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyib (baik). Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’. Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku’. Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan do’anya?” (HR. Muslim)

Allahu a’lam.

Referensi: 
https://konsultasisyariah.com/9561-13-ada-dalam-berdoa.html

2.3 Bersegera dalam bertaubat

Dalil-dallil bahwa wajib bagi kita bersegera dalam bertaubat ialah : Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ 

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 135)

Dan dari Hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

xxx.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali” [8]
[8] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no..1515), Al Baghawi (no..1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883)

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Beberapa pendapat para ‘ulama tentang wajibnya bersegera dalam bertaubat.

1. Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata, ”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.” [9]
[9] (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan)

2. Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.” [10]
[10] (Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo)

3. Imam An Nawawi rahimahullah berkata, ”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.” [11]
[11] (Syarah Shahih Muslim (XVII/59)

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah. Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cepatlah kembali tunduk kepada Ar Rahman, sebelum terlambat. Karena apabila ajal telah datang maka tidak ada seorang pun yang bisa mengundurkannya barang sekejap ataupun menyegerakannya, ketika maut itu datang. beribu-ribu penyesalan akan menghantui dan bencana besar ada di hadapan; siksa kubur yang meremukkan dan gejolak membara api neraka yang menghanguskan kulit-kulit manusia, subhaanAllah, innallaha syadiidul ‘iqaab (sesungguhnya Allah, hukuman-Nya sangat keras). Padahal tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati, kapan waktunya, bisa jadi seminggu lagi atau bahkan beberapa detik lagi, siapa yang tahu? Bangkitlah segera dari lumpur dosa dan songsonglah pahala, dengan sungguh-sungguh bertaubat kepada Robb tabaaraka wa ta’ala.

Referensi
1. https://muslim.or.id/919-cepatlah-sebelum-terlambat.html
2. https://rumaysho.com/15944-renungan-14-segera-taubat-dan-tidak-melanjutkan-maksiat.html
3. https://almanhaj.or.id/27841-segeralah-bertaubat-kepada-allah-2.html

2.4 Berdzikir Kepada Allah

Hendaknya orang-orang yang beriman kepada Allah selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakan-Nya. Seseorang yang mencintai sesuatu, dia akan selalu mengingat dan menyebutnya serta tidak melupakannya. Dan cara untuk mencintai Nya adalah dengan berusaha mengenal Nya, di antaranya dengan tulus beribadah kepada Nya, berdzikir kepada Nya dengan memuji Nya dan tidak pernah melupakan Nya dimanapun dia berada. Allah ta’ala berfirman :

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ 

“Karena itu, ingatlah kalian kepada Ku niscaya Aku ingat juga kepada kalian.” (Q.S Al Baqarah : 152)

Telah di jelaskan dalam kitab Minhajul Muslim bahwa kata ‘ingatlah Aku’ dalam ayat tersebut memiliki makna ‘pelajarilah semua tentang aku, sehingga kau mengenalku’ dan perintah untuk mengingat Nya sehingga Allah akan ingat kepada kita. [12] 
[12] Minhajul Muslim

Di jelaskan pula dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir bahwasanya Allah ta’ala menghimbau kepada orang-orang yang beriman untuk mengakui nikmat yang Allah berikan dan menyambutnya dengan mengingat dan bersyukur kepada Nya. [13]
[13] Tafsir Ibnu Katsir

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, “Ingatlah kalian kepada Ku dengan cara menaatiku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian melalui pemberian ampunan.” Dalam riwayat lain disebutkan “melalui pemberian rahmat Ku.”

Dan firman Allah ta’ala :

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ 

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.“ (Al Hasyr : 19)

Yakni, janganlah kalian lupa berdzikir kepada Allah ta’ala sehingga Allah pun akan menjadikan kalian lupa berbuat untuk kepentingan kalian sendiri di akhirat kelak, karena sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Orang yang melupakan Allah Azza wa Jalla, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan melupakannya; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkannya dalam kesusahan. Perintah untuk berdzikir dan keutamaannya disebutkan dalam banyak ayat dan hadist-hadist Nabi shallallohu’alaihi wa sallam. Namun, perlu diperhatikan pula bagaimana adab dalam berdzikir. Sehingga dzikir yang merupakan bentuk adab seseorang kepada Allah bisa terwujud. Dan sebaliknya, jika dzikir tidak dilakukan dengan benar justru akan bertolak belakang dengan adab kepada Allah. Adapun adab dalam berdzikir diantaranya dengan :

1. Menghadirkan hati.

Menghadirkan hati dan memahami kandungannya saat berdzikir, itulah yang akan mendatangkan manfaat, ketahuilah bahwasanya faedah dari dzikir yang kita baca begitu banyak, sehingga kita harus berusaha untuk menghadirkan hati kita, merenungi dan menghayati setiap kita berdzikir kepada Allah. Allah ta’ala berfirman:

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

XXX

“Berdo’alah kepada Allah sedangkan kalian dalam keadaan yakin terkabul. Ketahuilah bahwasanya Allah tidaklah mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bersenda gurau.” (HR. Tirmidzi) [14]
[14] HR.Tirmidzi no.3479, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Syaikh ‘Abdul Aziz Ath Thorifi berkata, “Betapa banyak orang yang rajin berdzikir dan rajin tilawah Al qur’an, akan tetapi tanpa tadabbur (merenungkan) dan tanpa menghadirkan hati. Hal itu seakan-akan seperti orang sakit yang minum obat untuk sembuh, namun ia pun tak tahu apa obatnya, apa jenis atau warnanya. Padahal dzikir tujuannya untuk membentengi seseorang.” [15]
[15] Adzkar Ash Shobaah wal Masaa’, hal 70

Disebutkan juga dalam firman Allah ta’ala :

وَاذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ

“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]

“dengan merendahkan diri,” mengandung etika indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah ta’ala. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.

2. Berdzikir kepada Allah dengan rasa takut.

Hendaklah kita beribadah kepada Allah dengan rasa takut kepada Allah, merasa khawatir bila terdapat kekurangan pada amalan kita sehingga kita akan lebih bersungguh-sungguh dalam melakukannya.

Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah ta’ala yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan :

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ

"dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya," [Al-Mu`minûn/23 : 60]

اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ

"mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya". [Al-Mu`minûn/23 : 61]

“Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]

Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi menjawab,

XXX

“Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” [16]
[16] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Al-Hakim, dan Al-Baghawy sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah karya Al-Albany.

Tidak mengeraskan suara yang membuat diri tidak khusyu’ apalagi sampai mengganggu orang lain.

Merupakan etika yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan, terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya kala berdoa maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,

XXX

“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” [17]
[17] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu.

Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits (di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.” [18]
[18] Sebagaimana dinukil dalam Fathul Baari 9/189.

Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

XXX

“Ketahuilah bahwa setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca,” -atau beliau berkata-, “… dalam shalat.” [19]
[19] Dikeluarkan oleh Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ` 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, ‘Abd bin Humaid no. 883, Al-Hâkim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’ab Al-Imân 2/543, serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 23/318. Dianggap shahih di atas syarat Asy-Syaikhain oleh Syaikh Muqbil sebagaimana dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahîhain.

Sumber Refesensi:
- https://rumaysho.com/10210-petunjuk-dalam-dzikir.html
- Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir – Dzulqarnain.net

2.5 Menetapkan nama dan sifat Allah

Seorang muslim sebaiknya mengetahui dan mengamalkan Asmaul Husna dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk perilaku, sifat maupun untuk wirid. Asmaul Husna mengandung banyak rahasia dan manfaat untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Asmaul Husna memiliki keistimewaan-keistimewaan, salah satunya adalah sebagai doa.

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۖ

Artinya :
"Dan Allah memiliki Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al A'raf [7]:180)

Salah satu dari perkara wajib yang harus diimani oleh seorang hamba, bahwa Allah ۖ memiliki nama-nama yang paling baik (al-Husna) dan sifat-sifat yang mahatinggi (al-‘Ulya). Hal ini masuk kepada bagian iman kepada Allah yang mengandung keimanan kepada empat perkara; iman kepada adanya (wujud) Allah, iman kepada rububiyyah Allah, iman kepada uluhiyyah Allah dan iman kepada nama-nama serta sifat-sifat-Nya.

Kewajiban beriman dan mentauhidkan Allah ۖ dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf Ahlussunnah Waljama’ah.

Mereka telah meletakkan kaidah-kaidah penting dalam menetapkan nama dan sifat Allah, mengingat banyaknya kaum yang menyandarkan kepada Islam terjatuh pada penyimpangan dalam masalah besar dan sangat mendasar ini, khususnya dalam masalah sifat-sifat Allah Swt.

Secara garis besar, sebab penyimpangannya ialah karena mereka meninggalkan cara dan metode yang ditempuh kaum salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah. Kebanyakan dari kelompok yang menyimpang dalam masalah ini, seperti kelompok Mu’aththilah dari kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah, ‘Asya’irah, Maturidiyyah, Kulabiyyah dan yang serupa dengan mereka, telah mengingkari sifat-sifat Allah, atau menetapkan sebagian sifat dan menafikan sebagian sifat yang lain bersandar kepada akal.

Sifat-sifat Allah yang masuk akal, mereka tetapkan dan yang tidak sesuai dengan akal mereka akan ditolak atau dipalingkan maknanya kepada makna lain tanpa dalil (tahrif). Mereka membatasi penetapan sifat hanya pada sifat-sifat yang masuk akal saja -menurut persangkaan mereka-, sebagaimana penetapan tujuh sifat Allah ۖ oleh kaum ‘Asya’irah.

Penetapan sifat-sifat Allah yang disandarkan kepada akal jelas sebuah kesesatan yang nyata, karena akal hanyalah sarana untuk memahami nash-nash syariat, bukan sebagai sumber hukum. Akal pun wajib taat kepada wahyu, apalagi dalam urusan gaib seperti dalam urusan Dzat dan sifat-sifat Allah, tidak ada ruang bagi akal untuk memikirkan dan menetapkan nama dan sifat-sifat Allah. Selain dari hal itu, akal manusia pun memiliki kemampuan yang terbatas, sebagaimana panca indra yang lainnya. Betapa banyaknya dalam kehidupan kita sehari-hari sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal manusia, seperti hakikat dari ruh (nyawa) manusia itu sendiri. Padahal ia adalah bagian yang paling terdekat dari manusia.

Sebagian ulama memberikan perumpamaan akal dengan wahyu bagaikan mata dengan cahaya. Sebagaimana mata tidak dapat melihat sesuatu kecuali ketika ada cahaya, baik cahaya matahari di siang hari, atau cahaya lampu di malam hari. Demikian pula akal tidak akan bisa menentukan sesuatu terutama dalam hal yang gaib, kecuali ada penjelasan dari wahyu.

Maka dari itu, akal kita wajib tunduk dan menerima terhadap segala apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik berupa hukum-hukum maupun tentang nama dan sifat-sifat Allah. Sebagaimana diwajibkannya hati dan anggota badan kita untuk tunduk kepada segala hukum al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kita tidak boleh mendahulukan akal di atas al-Qur’an dan as-Sunnah, atau menjadikannya sebagai dasar untuk menentukan atau menetapkan nama dan sifat-sifat Allah. Apalagi menolak nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

Demikian pula kita tidak menjadikan teori-teori filsafat sebagai dasar dalam memahami nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi kita merujuk kepada pemahaman sahabat dan para ulama salaf dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara umum dan dalam memahami nama serta sifat-sifat Allah secara khusus.

Didalam bertauhid, maka hendak nya terpenuhi dua perkara, yaitu:

1. Al-itsbat, yaitu kita menetapkan sesuatu yang ditetapkan oleh Allah, begitu juga yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini kita tetapkan, kita imani dan kita yakini.

2. Menafikan (an-nafyu) sesuatu yang dinafikan oleh Allah dan RasulNya.

Maka aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah, mereka menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dan RasulNya. Itulah hakikat tauhid yang sesungguhnya.

Jadi kalau kita menetapkan saja, itu secara makna belum dinamakan tauhid yang tulus. Atau menafikan apa yang dinafikan oleh Allah, itu belum juga dinamakan tauhid yang tulus. Maka tauhid itu terdiri dari penetapan dan penafian. Menetapkan sesuatu dan menafikan sesuatu.

Contohnya adalah kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Di situ ada dua perkara, dua landasan utama, dua hal yang wajib diyakini dan terpenuhi, jika tidak maka tidak dinamakan tauhid yang sesungguhnya. Makanya ada Laa Ilaaha, ini menafikan. Adapun Illallah, ini menetapkan.

Kalau ada orang yang mengatakan misalnya “Muhammad pemberani”, ini menetapkan sifat pemberani bagi Muhammad. Akan tetapi redaksi tersebut tidak menafikan keberanian itu dari orang lain. Muhammad berani, tapi orang lain pemberani juga.

Akan tetapi bila dikatakan “tiada yang berani kecuali Muhammad”, ini secara spesial keberanian itu hanya dimiliki oleh Muhammad. Secara bahasa, ini namanya mentauhidkan. Artinya keberanian itu khusus bagi Muhammad.

Saya ingin jelaskan ini terlebih dahulu agar kita memahami hakikat tauhid. Tatkala mengatakan tauhid uluhiyyah, tauhid asma’ wa shifat, sama teorinya, sama pemahamannya.

Maka didalam tauhid asma’ wa shifat ada penetapan dan ada penafian. Apa yang ditetapkan? Yaitu apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Apa yang dinafikan? yaitu apa yang telah dinafikan oleh Allah dan RasulNya. Kita pahami poin ini terlebih dahulu.

Maka didalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada namanya penafian dan penetapan, mengimani dan mengingkari. Yang diimani adalah apa yang dijelaskan oleh Allah dan RasulNya, diingkari juga apa yang diingkari oleh Allah dan RasulNya. Ini kaidah dan prinsipnya. Setelah itu kita akan menjelaskan apa saja yang harus diwaspadai dalam hal ini.

1. Menetapkan nama-nama Allah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam bab asma’ wa shifat, mereka menetapkan nama-nama yang Allah tetapkan bagi diriNya dan juga yang ditetapkan oleh Rasulullah bagi Allah di dalam Al-Qur’an dan di dalam hadits-hadits yang shahih.

2. Mengimani sifat-sifat Allah

Mengimani sifat-sifat yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits. Ini penetapan. 

3. Menafikan sifat-sifat kekurangan

Menafikan sifat-sifat kekurangan yang Allah nafikan dari diriNya dan juga yang dinafikan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari diri Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Kita mendapatkan dalam Al-Qur’an dan hadits sifat-sifat yang Allah tetapkan dan itu semua sifat kesempurnaan secara mutlak dan juga kita mendapatkan dalam sebagian ayat dan hadits penafian terhadap sifat-sifat kekurangan karena Allah Maha Suci dari sifat kekurangan tersebut.

Didalam mengingkari tersebut, disertai dengan penetapan kita terhadap sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat kekurangan tadi. Kenapa Allah sucikan diriNya dari sifat-sifat kekurangan? Yaitu karena Allah memiliki sifat-sifat sempurna yang merupakan lawan dari kekurangan tadi.

Contohnya Allah menafikan dalam Al-Qur’an:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ  لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Artinya :
"Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar". (QS. Al-Baqarah[2]: 255)

Maka kita nafikan juga, Ahlus Sunnah mengatakan Allah tidak tidur, Allah tidak mengantuk. Kemudian kita yakini, kenapa demikian? Karena Allah memiliki kehidupan yang sempurna. Ini dijelaskan lebih luas dalam contoh-contoh yang akan disebutkan.

Referensi : 
https://artikel.alfurqongresik.com/kaidah-dalam-memahami-nama-dan-sifat- allah/

https://www.radiorodja.com/49102-menetapkan-dan-menafikan-nama-nama-dan-sifat-sifat-allah/

BAB III PENUTUP

Hendaklah setiap muslim menjaga hak-hak Allah ta 'ala dengan sebenar-sebenar penjagaan, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ta 'ala sesuai dengan ketetapan dari Allah ta'ala dari penyebutan kepada diri Nya atau melalui kalam Nya serta melalui utusanNya.

Setiap muslim juga wajib meminta kepada hal-hal yang di luar nalar manusia hanya kepada Allah ta'ala tidak kepada selain Allah ta'ala yang di karenakan hanya Allah ta'ala lah yang mampu mendatangkan nya dan menahan nya.

Setiap manusia pasti berada dalam jurang kesalahan sebagaimana Nabi bersabda Setiap anak adam berada dalam kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah ialah bertaubat, maka hendak lah kita untuk bersegera dalam menuju ampunan Allah ta'ala serta basahilah senantiasa lidah kita berdzikir kepada Allah ta'ala sehingga Allah meridhoi taubat kita dan menerima taubat kita..

Setiap muslim di perintahkan untuk beradab kepada antar sesama, tetangga dan orang tua, maka begitu pula dengan sang khaliq, lebih sepantas nya kita memperbagus adab kita kepada Nya.

Penyusun makalah ini juga tidak terlepas dari banyak kesalahan, kekeliruan, serta kekurangan sehingga hanya sedikit yang bisa kami sajikan untuk semua Rekan-rekan dalam membahas adab kepada Allah ta'ala, padahal perkara ini sangat luas, cuman sebatas ilmu dan wawasan serta ketidak mampuan kami dalam menulis.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk tim penyusun dan Rekan-rekan yang membaca. amiin ya rabbal 'alamiin.

Kami akhiri makalah ini dengan Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarakaatuh.

DAFTAR PUSTAKA

▪️ Al-Qur’an Terjemah

▪️ https://muslim.or.id/27662-hak-allah-taala-yang-wajib-dipenuhi-seluruh-hamba.html

▪️ https://konsultasisyariah.com/9561-13-ada-dalam-berdoa.html

▪️ https://muslim.or.id/919-cepatlah-sebelum-terlambat.html

▪️ https://rumaysho.com/15944-renungan-14-segera-taubat-dan-tidak-melanjutkan- maksiat.html

▪️ https://almanhaj.or.id/27841-segeralah-bertaubat-kepada-allah-2.html

▪️ https://rumaysho.com/10210-petunjuk-dalam-dzikir.html

▪️ Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir – Dzulqarnain.net

▪️ https://artikel.alfurqongresik.com/kaidah-dalam-memahami-nama-dan-sifat-allah/

▪️ https://www.radiorodja.com/49102-menetapkan-dan-menafikan-nama-nama-dan-sifat- sifat-allah/

1 komentar:

  1. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla . Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:
    1. Iman dan Tidak Kufur.
    2. Syukur dan Tidak Kufur Nikmat.
    3. Mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Tidak Melupakan-Nya.
    4. Taat dan Tidak Bermaksiat
    5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
    6. Takut Terhadap Siksa-Nya
    7. Malu Kepada-Nya
    8. Bertaubat kepada-Nya
    9. Husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.

    Referensi: https://almanhaj.or.id/38246-adab-terhadap-allah-subhanahu-wa-taala-2.html

    BalasHapus