Jumat, 08 April 2022

Urgensi Ma’rifatul Islam Dan Tingkatannya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Aqidah
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 4 Angkatan 5 :
1. Roslina Asis (PAI)
2. Efni Redho (PAI)
3. Fitrianti A (PAI)
4. Nur Fadhillah (PAI)
5. Putri Rahemah (SBA)
6. Nurul Hasanah (PAI)

KATA PENGANTAR

xxx

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah subhanahu wa ta’ala atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Aqidah berjudul “Urgensi Ma'rifatul Islam dan Tingkatannya” dan bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.

Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Pendidikan Aqidah yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Jakarta, April 2022
Penyusun Makalah Kelompok 4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 MANFAAT PENELITIAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Urgensi Ma’rifatul Islam
2.2 Memahami definisi islam dalam tinjauan etimologi dan terminology
2.3 Memahami islam dan rukun-rukunnya
2.4 Memahami iman dan rukun-rukunnya
2.5 Memahami ihsan dan rukun-rukunnya
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ketika Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan bagi kaum muslimin, tentulah Allah sudah mengetahui akan berbagai hal yang akan dihadapi oleh manusia (kaum muslimin) itu sendiri. Karena Islam menginginkan adanya penyelesaian dan kedamaian atas segala hal yang menimpa manusia dalam kehidupan mereka. Dan seperti itulah sesungguhnya profil al-Islam. Islam merupakan pegangan hidup manusia yang mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat, serta mampu mengentaskan segala problematika yang mereka hadapi.

Sejarah telah memperlihatkan kepada kita, betapa Islam mampu menjadi poros dunia yang memimpin serta menguasai peradaban dalam waktu yang relatif lama. Dan jika diperhatikan, kejayaan dan kemajuan Islam sangat identik dengan kekomitmenan mereka terhadap Islam. Demikian juga sebaliknya, ketika komitmen tersebut telah meluntur maka kejayaan Islampun mulai pudar, seiring pudarnya keimanan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sebuah haditsnya telah mengingatkan kepada kita:

xxx

‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan pernah tersesat selagi masih berpegang teguh pada keduanya; yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunah nabinya (al-Hadits).’ (HR. Imam Malik)

Kemunduran kaum muslimin juga merupakan bagian dari ‘kesesatan’ sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits di atas. Karena dalam kondisi mundur, sangat mudah bagi musuh-musuh Islam untuk melancarkan berbagai hujaman kepada Islam, baik berbentuk politik, ekonomi, militer, pendidikan dan lain sebagainya, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Kemudian kemunduran seperti inipun disebabkan karena mengendurnya komitmen kaum muslimin terhadap Islam. Untuk itulah, perlu kiranya bagi kita untuk mengkaji ulang tentang hakikat dinul Islam secara utuh dan menyeluruh agar kita dapat kembali meraih kejayaan yang telah hilang dari tangan kita.

Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apakah urgensi ma’rifatul islam itu ?
2. Apa definisi islam dalam tinjauan etimologi dan terminology ?
3. Apakah islam dan rukun-rukunnya ?
4. Apakah iman dan rukun-rukunnya ?
5. Apakah ihsan dan rukun=rukunnya ?

1.3 MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui apa itu urgensi ma’rifatul islam
2. Mengetahui definisi islam dalam tinjauan etimologi dan terminilogy
3. Mengetahui islam dan rukun-rukunnya
4. Mengetahui iman dan rukun-rukunya
5. Mengetahui ihsan dan rukun-rukunnya

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Ma’rifatul Islam

Islam merupakan agama yang dibawa oleh Rasulullah adalah penyempurnaan atas agama-agama yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Karena telah sempurna, tidak akan ada lagi agama baru. Islam adalah agama terakhir, yang berlaku hingga hari kiamat. Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam adalah nabi dan rasul terakhir, tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya. Dan dengan kesempurnaannya, Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk orang Arab saja.

Adapun urgensi ma’rifatul islam adalah :

1. Islam sebagai wahyu ilahi (ِهي إللَ)

Kehadiran Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dimaksudkan untuk meluruskan menyimpangan dari agama-agama sebelumnya. Islam juga sekaligus membenarkan prinsip-prinsip agama lain, seperti mengesakan Allah di bidang akidah dan salat serta puasa dan lainnya di bidang ibadah, hanya berbeda cara pelaksanaannya. Inilah keistimewaan Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam yang sangat terbuka untuk seluruh umat manusia tanpa membedakan warna kulit, bangsa dan profesi.

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An-Najm 3-4)

2. Islam diturunkan kepada nabi dan rasul 
(khususnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) 

Membenarkan hal ini, firman Allah Ta'ala (QS. Ali ‘Imran 3: 84)

قُلْ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۖ  لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.”

3. Sebagai pedoman hidup (ِxxx

Allah berfirman (QS. Al-Jasiyah 45: 20)

هٰذَا بَصَاۤىِٕرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ 

“Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.”

4. Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam 

Allah berfirman (QS.Al-Ma’idah 5: 49-50)

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

"dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik" (5:49)

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ 

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (5:49)

5. Membimbing manusia ke jalan yang lurus. (ُم ْي ِق ستَ 

Allah berfirman (QS. Al-An’am 6: 153)

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ 

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan- jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”

6. Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (ِة َر ِخ واْآل 

Allah berfirman (QS. An-Nahl 16: 97)

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ  

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

2.2 Memahami definisi islam dalam tinjauan etimologi dan terminology

A. Dari segi bahasa (etimologi)

Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.

اإلسالم مصدر من أسلم يسلم إسالما

Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, di antaranya adalah:

1. Berasal dari ‘salm’ (ْلم سال) yang berarti damai. 

Dalam al-Qur’an Allah ta'ala berfirman (QS. Al-Anfal 8: 61)

۞ وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ 

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian

2. Berasal dari kata ‘aslama’ (َم أَسلَ) yang berarti menyerah. 

Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah Ta'ala. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya. Menunjukkan makna penyerahan ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: (QS. An-Nisa 4: 125)

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا 

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya

3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun (...): penyerahan total kepada Allah. 

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. As-Saffat 37: 26)

بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُوْنَ

“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.”

Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah Ta'ala. Dimensi atau bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah adalah seperti dalam setiap gerak gerik, pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain sebagainya hanya kepada Allah Ta'ala. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah dan menggunakan manhaj Allah.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. Al-Baqarah 2: 208)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً  ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya

4. Berasal dari kata ‘saliim’ (ٌ....) yang berarti bersih dan suci

Mengenai makna ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. Asy-syu’ara’ 26: 89):

اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ 

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Dalam ayat lain Allah mengatakan (QS.As-Saffat 37: 84)

اِذْ جَاۤءَ رَبَّهٗ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍۙ

“(Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakikatnya, ketika Allah Ta'ala mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.

5. Berasal dari ‘salam’ (ٌ....) yang berarti selamat dan sejahtera.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: (QS. Maryam 19: 47)

قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا 

Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.”

Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan pada setiap insan.

B. Dari segi (terminology)

Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:

Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam : [1]
[1] Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian َم ِل َس ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani dan Ma’aarijul Qabul (II/20-21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.

اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ  قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab : ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.” [Al-Baqarah: 131] 

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran 3: 19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran 3: 85]

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:

xxx

“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya, [2] baik dia meyakini Islam atau tidak. 
[2]. Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.

Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati. [3] Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
[3]  Lihat Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian َم ِل َس ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.

۞ قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” (Al-Hujuraat/49: 14)

2.3 Memahami islam dan rukun-rukunnya

Adapun dalil rukun Islam dari hadits, sebagaimana terdapat dalam hadits beliau shallallahu ‘alaihi wassallam berikut:

xxx

“Dari Umar radhiyallahu ‘anhu pula dia berkata; Pada suatu hari ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian sangat putih, dan rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendekatkan lututnya lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, seraya berkata: ‘Wahai Muhammad jelaskan kepadaku tentang Islam?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menjawab: ”Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah Al Haram jika engkau mampu mengadakan perjalanan ke sana.” Laki-laki tersebut berkata: ‘Engkau benar.’ Maka kami pun terheran-heran padanya, dia yang bertanya dan dia sendiri yang membenarkan jawabannya.” [4]
[4] HR. MUSLIM

xxx

“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.” [5]
[5] HR. Muslim (no. 8), Ahmad (I/27), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), an-Nasa-i (VIII/97-98) dan Ibnu Majah (no. 63), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab.

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam :

xxx

“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.” [6]
[6] Muttafaqun ‘alaih: HR. Al-Bukhari dalam Kitaabul Iiman bab Du’aa-ukum Imaanukum (no. 8) dan Muslim dalam Kitaabul Iiman bab Arkaanul Islaam (no. 16).

Pelajaran yang dapat diambil dari hadist tersebut adalah bahwa Islam itu meliputi lima rukun:

1. Syahadat

Syahadat merupakan rukun Islam yang pertama yang harus dihafalkan oleh setiap Muslim. Tanpa kalimat syahadat, keimanan dan keislaman tidak akan dianggap sah, amalan saleh juga akan ditolak.

xxx

Artinya: "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah".

Rukun syahadat merupakan persaksian mengakui adanya Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah. Dengan mengucapkan kalimat ini, umat Muslim sudah mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, kalimat ini juga menjadi kesaksian kaum Muslimin bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam adalah rasul yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

2. Menunaikan shalat

Shalat merupakan rukun Islam kedua yang artinya berdoa. Shalat juga berarti ucapan-ucapan atau perbuatan yang diawali takbiratulirham dan diakhiri salam. Ucapan di sini mencakup bacaan Al-Quran, takbir, tasbih, tasmi, dan sebagainya.

Sementara itu perbuatan yang dimaksud, yakni berdiri tegak, sujud, duduk, rukuk, dan lainnya. Rukun Islam kedua ini wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Shalat merupakan kewajiban bagi orang-orang yang beriman. Adapun, waktu sholat yang diwajibkan telah ditentukan berdasarkan ketentuan syara' yaitu sebanyak lima kali dalam sehari atau sering disebut sholat lima waktu. Sebagaimana firman-Nya dalam surat An Nisa ayat 103 sebagai berikut:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا 

Artinya: "Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An Nisa: 103)

Rukun Islam shalat tidak hanya ditujukan untuk orang dewasa, namun juga anak- anak. Seperti yang dikatakan dalam hadis Abu Dawud: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

xxx

"Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan salat di waktu usia mereka meningkat 7 tahun, dan pukullah [7] (kalau enggan melakukan salat) di waktu usia mereka meningkat 10 tahun." [8]
[7] Makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pemukulan adalah pukulan fisik bukan pukulan hati dan tidak mengandung konotasi yang lain. Namun, pukulan itu bukan pukulan yang melukai atau mencederai. Pukulan itu adalah pukulan yang mendidik.

[8] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 494; At-Tirmidzi, no. 407; Ad-Dârimi, I/333; Al-Hakim, I/201 dan lainnya, dari Sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani Radhiyallahu anhu . Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al- Jâmi’ish Shaghîr, no. 5867 dan Irwâ-ul Ghalîl, no. 247

3. Zakat

Zakat berdasarkan etimologi berasal dari kata (bahasa Arab): “zakkaa - yuzakkii - tazkiyatan - zakaatan”.[9] Kata tersebut memiliki arti bermacam-macam, yakni thaharah (mensucikan), namaa’ (tumbuh atau berkembang, barakah (karunia Allah diberikan kepada hamba-Nya), atau amal soleh.
[9] buku Ensiklopedia Rukun Islam Zakat

Kemudian, menurut terminologi syariat (istilah), zakat adalah bagian dari sejumlah harta tertentu di mana harta tersebut telah mencapai syarat nishab (batasan yang wajib dizakatkan).Zakat diwajibkan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu. Perintah dalam menjalankan zakat dimuat dalam firman Allah, tepatnya surat At-Taubah ayat 103 sebagai berikut:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ 

Artinya: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

4. Berpuasa

Diantara sekian banyak anugrah Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia limpahkan pada para hamba-Nya adalah disyariatkannya puasa di bulan Ramadhan. Syariat puasa ini tidak saja berlaku pada umat Muhammad Shallallahu’alaihi Wassallam, namun juga berlaku pada umat-umat sebelumnya. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa puasa merupakan syariat yang benar-benar sangat dibutuhkan semua orang. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ


“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).

Pada hari kiamat, puasa akan memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

xxx

“Puasa dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ’Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwatnya di waktu siang maka beri aku syafa’at untuknya’. Al Qur’an berkata, ’Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, beri aku syafa’at untuknya’.” [10]
[10] HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Targhib no.984

Puasa, terutama di bulan Ramadhan, memang ajang meraih derajat mulia bernama taqwa. Pada kenyataannya puasa tidak dipandang hanya menahan makan, minum, dan syahwat biologis. Jika hanya itu yang ditahan, hewan pun banyak yang bisa. Akan tetapi perkaranya lebih dari itu. Buktinya seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

xxx

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga.” [11]
[11] HR. Ibnu Majah no.1690 dan Syaikh Albani berkata, ”Hasan Shahih.”

Dalam banyak hadits yang menunjukkan betapa dalam berpuasa seseorang selain dilarang makan, minum, dan menahan syahwat biologis, juga diperintahkan tidak berbuat keji, tidak berkata kotor, tidak berteriak-teriak, tidak bertengkar ataupun kelahi, tidak mencaci, dan berbagai tindakan yang dinilai sia-sia bahkan berpotensi dosa lainnya.

5. Menunaikan haji

Setiap muslim yang telah mempunyai kemampuan berhaji maka diwajibkan baginya untuk berhaji ke baitullah yang ini merupakan rukun Islam kelima. Hal ini termasuk rukun Islam yang kelima. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

قُلْ صَدَقَ اللّٰهُ ۗ فَاتَّبِعُوْا مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak butuh kepada semesta alam.” (Ali Imran: 97)

2.4 Memahami iman dan rukun-rukunnya

Pengertian iman menurut riwayat hadits Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Suatu ketika, diceritakan para sahabat melihat Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian salah seorang sahabat mendatangi putra Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah iman itu?"

Rasul menjawab, "Iman artinya engkau percaya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada kebangkitan."

Sementara, pengertian Iman juga disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu'anhu. Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam didatangi oleh Malaikat Jibril, dan Jibril bertanya, "Beritahukanlah kepadaku apa itu iman." Rasulullah bersabda:

xxx

"Iman itu artinya engkau beriman kepada Allah, para malaikat-malaikat Nya, kitab-kitabNya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk."

Apabila diringkas dari hadis tersebut, maka rukun iman ada 6, yakni:

1. Iman kepada Allah

Sikap seorang Muslim yang meyakini wujud atau adanya Allah Yang Maha Suci. Orang yang memiliki Iman kepada Allah, meyakini bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi, mengetahui yang ghaib dan yang tampak. Tiada tuhan (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan tiada rabb selain Dia. Dan menyakini bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan suci dari segala kekurangan. [12]
[12] Kitab Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri menjelaskan arti Iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun dalilnya dalam firman-Nya Al Quran Surat Al A'raf ayat 54:

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ  ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ 

Artinya, "Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah- Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha penuh berkah Allah, Rabb semesta alam."

2. Iman kepada malaikat-malaikat Allah

Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu menyakini secara pasti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai para malaikat yang di ciptakan dari nur (cahaya), tidak pernah mendurhakai apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada mereka dan mengerjakan setiap yang Allah titahkan kepada mereka. Adapun dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat:

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ  كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ  لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Artinya: “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasulNya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasulNya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” [Al-Baqarah: 285]

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ جَاعِلِ الْمَلٰۤىِٕكَةِ رُسُلًاۙ اُولِيْٓ اَجْنِحَةٍ مَّثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۗ يَزِيْدُ فِى الْخَلْقِ مَا يَشَاۤءُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

Artinya: “Segala puji bagi Allah Swt. pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah Swt. menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Swt. Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Fatir : 1)

3. Iman kepada kitab-kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah adalah mempercayai dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para nabi atau rasul yang berisi wahyu Allah untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar beriman kepada kitab-kitab-Nya, seperti di dalam firmannya,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh." (An Nisa, ayat 136) 

Berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tentang kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala di dalam banyak haditsnya seperti :

xxx

“Sesungguhnya masa tinggal kalian dibanding orang-orang dahulu adalah tinggal seperti waktu antara Shalat Ashar hingga matahari terbenam. Ahli Taurat telah diberi kitab Taurat dan mereka pun mengamalkannya sampai setengah hari, lalu mereka lemah (tidak mampu mengamalkannya), maka mereka diberi pahala satu qirath. Kemudian Ahli Injil diberi kitab Injil, dan mereka pun mengamalkannya hingga waktu Shalat Ashar, kemudian mereka lemah (tidak manpu mengamalkannya), lalu mereka diberi pahala satu qirath. Kemudian kalian diberi al-Qur‘an dan kalian pun mengamalkannya hingga matahari terbenam. Dan kalian diberi dua qirath pahala. Maka Ahli Kitab berkata, ‘Mereka lebih sedikit amalnya daripada kami (akan tetapi kenapa) mereka dibeli pahala lebih banyak?’ Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, ‘Apakah ada dari hak kalian yang Aku zhalimi?” Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Dia berfirman, ‘Itu adalah karuniaKu, Aku memberikannya kepada siapa saja yang Aku kehendaki’.” [13]
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 557.

Adapun diantara kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala yang di turunkan kepada rasul-rasul-Nya :

a. Taurat

Kitab Taurat adalah salah satu kitab suci yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Musa alaihis salam untuk menjadi petunjuk dan bimbingan baginya dan bagi Bani Israil.

وَاٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَجَعَلْنٰهُ هُدًى لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَلَّا تَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِيْ وَكِيْلًاۗ 

Artinya: “Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil (pelindung) selain Aku.” (Q.S. al-Isra’/17: 2)

b. Zabur

Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud alaihis salam, berisi mazmur (puji-pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala)

وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِمَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيّٖنَ عَلٰى بَعْضٍ وَّاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًا

Artinya : “Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang di langit dan di bumi. Dan sungguh, Kami telah memberikan kelebihan kepada sebagian Nabi-nabi atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.“ (QS. Al-Israa’ [17]:55).

c. Injil

Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa alaihis salam sebagai petunjuk dan cahaya penerang bagi manusia. Kitab Injil sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān, bahwa Isa alaihis salam untuk mengajarkan tauhid kepada umatnya atau pengikutnya. Tauhid di sini artinya mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya.

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ الْاِنْجِيْلَ ەۙ وَجَعَلْنَا فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَّرَحْمَةً  ۗوَرَهْبَانِيَّةَ ِۨابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنٰهَا عَلَيْهِمْ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ رِضْوَانِ اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۚفَاٰتَيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْهُمْ اَجْرَهُمْ ۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

Artinya: Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.(Q.S. al-Ḥadid/57: 27)

d. Al-qur’an

Al-qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam, ditulis dalam bahasa Arab yang merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab dan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Al-qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam kurun waktu 23 tahun. Al-qur’an adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan dalam membentuk ketakwaan.

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

Artinya: “Kitab (al-Qur’ān) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 2)

4. Iman kepada rasul-rasul Allah

Iman kepada rasul berarti meyakini bahwa rasul itu benar-benar utusan Allah Subhanahu wa ta’ala yang ditugaskan untuk membimbing umatnya ke jalan yang benar agar selamat di dunia dan akhirat.

Mengimani rasul-rasul Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kewajiban hakiki bagi seorang muslim karena merupakan bagian dari rukun iman yang tidak dapat ditinggalkan. Sebagai perwujudan iman tersebut, kita wajib menerima ajaran yang dibawa rasul-rasul Allah subhanahu wa ta’ala tersebut.

Perintah beriman kepada rasul Allah subhanahu wa ta’ala terdapat dalam surah an-Nisa 4:136.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya".

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ  كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ  لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

"Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami, ya Rabb kami. Dan kepada Engkaulah tempat kembali”. [Al Baqarah:285]

5. Iman kepada hari akhir

Hari akhir juga bisa dipahami sebagai hari berakhirnya kehidupan di dunia fana ini dan memasuki awal kehidupan baru yang abadi di akhirat. Dengan demikian, mengimani hari akhir berarti membenarkan dengan sepenuh hati bahwa setelah kehidupan di dunia ini akan ada kehidupan lagi yang merupakan kehidupan yang sebenarnya dan bersifat abadi.

Pada kehidupan abadi itulah manusia akan mendapatkan kepastian hidupnya, apakah hidupnya akan berhasil dan berbahagia atau sebaliknya hidupnya akan celaka dan sengsara. Beriman kepada hari akhir juga harus diikuti dengan beriman kepada kehidupan akhirat dan semua peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Di antara peristiwa penting yang terjadi pada hari akhirat adalah kebangkitan manusia dari alam kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar, perhitungan dan penimbangan, serta pembalasan amal manusia, dan adanya jalan yang dilalui manusia (shirath) untuk menuju ke arah surga atau neraka.

Ada beberapa surah di Al qur'an yang membahas tentang hari akhir atau hari kiamat, di antaranya seperti disebutkan berikut ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَّاَنَّ السَّاعَةَ اٰتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَاۙ وَاَنَّ اللّٰهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ 

Artinya: "Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur." (QS. Al-Hajj: 7)

Kemudian juga tertera dalam surah ini :

اَلْقَارِعَةُۙ
مَا الْقَارِعَةُ
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْقَارِعَةُ ۗ
يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِۙ
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ

Artinya: "Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan, dan gunung- gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan". (QS. Al-Qari'ah: 1-5)

6. Iman kepada qadha’ dan qadar

Seorang Mukmin beriman kepada qadha` dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala, kebijaksanaan dan kehendakNya; dan beriman bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam wujud ini, hingga perbuatan manusia yang bersifat ikhtiyari (pilihan) melainkan didahului oleh pengetahuan Allah dan takdirNya; dan beriman bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala Mahaadil di dalam qadha’ dan qadarNya, Mahabijaksana di dalam segala perbuatan dan tindakanNya, dan beriman bahwa kebijaksanaanNya itu tergantung kepada masyi’ah (kehendak)Nya. Maka apa saja yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi, dan tiada daya dan tiada pula kekuatan melainkan dengan (pertolongan) dariNya.

Qadha’ adalah ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala tentang adanya sesuatu atau tiadanya; sedangkan Qadar adalah penciptaan sesuatu dengan cara (kaifiyah) tertentu dan pada waktu tertentu. Qadha’ kadang disebut juga qadar dan begitu sebaliknya. Diantara dalil beriman kepada qadha’ dan qadar ialah:

اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)

وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزَاۤىِٕنُهٗ وَمَا نُنَزِّلُهٗٓ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ 

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr: 21).

2.5 Memahami ihsan dan rukun-rukunnya

Ihsan dari kata Ahsana (احسن) Yuhsinu (يحسن) Ihsanan (احسان) Ahsana (أحسن) artinya memperbaiki. Hasan (حسن) artinya baik. Ihsan adalah tingkatan yang paling tinggi, karena dia sudah Ihsan di dalam Islam dan Imannya, baik amalan dhohir maupun bathinnya. Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al-isaa'ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.

Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wassallam dalam hadist Jibril :

xxx

“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.[14]
[14] H.R. Muslim 102

Ihsan adalah menyembah Allah subhanahu wa ta’ala, dengan seolah melihat-Nya. Apabila tidak mampu, maka bayangkan Allah subhanahu wa ta’ala melihat perbuatan kita. Ihsan adalah beribadah dengan ikhlas (baik ibadah khusus maupun umum). Dalam surat Al Baqarah ayat 83, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berperilaku ihsan.

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَّاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۗ  ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْكُمْ وَاَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَ 

Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.”

Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta mengikhlaskannya.

Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. 

Adapun rukun ihsan ini memiliki dua tingkatan :

1. Tingkatan muroqobah.

Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam jika kamu tidak melihatNya sesungguhnya melihat-Nya tidak kamu (jika Dia melihatmu).Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam surat Yunus,

وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰنٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ 

Artinya : "Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus: 61)

2. Tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ,,,

(Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya). Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Yang dimaksudkan adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. [15]
[15] Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, syaikh Sholeh alu syaikh

Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya. [16]
[16] Lihat Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agama semua nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia, mengatur hubungan antara manusia dengan RabbNya dan manusia dengan lingkungannya.

2. Pengertian Rukun Islam dalam agama Islam terdapat beberapa aspek yang menjadi fondasi ibadah, yang dinamakan Rukun Islam. Dimasa sekarang ini kita sebagai seorang muslim harus dapat mengimplementasikan rukun islam dalam kehidupan sehari-hari agar tidak mudah terpengaruh kedalam pergaulan bebas sehingga kita dapat menjadi pribadi yang berakhlak baik dan menjadi seorang muslim yang seutuhnya.

3. Seseorang yang meyakini Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Tuhannya, ia setiap saat menyadari bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya pasti diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, orang tersebut selalu berusaha agar yang ia kerjakan mendapatkan keridaan di sisi-Nya. Hal ini karena keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. harus meliputi tiga unsur, yaitu keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan, dan pembuktian dengan anggota badan.

4. Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Dan juga sebagai puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya.

3.2 Saran

Dengan penyusunan makalah ini, kami berharap kepada pembaca, khususnya para mahasiswa berikutnya dapat mengembangkan makalah ini supaya lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti serta semoga pengetahuan mengenai ma’rifatul islam dan tingkatan-tingkatannya dalam pembentukan keperibadian ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abu Bakar, Jabir al-Jaza’iri (2009), Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Jakarta:Darul Haq.

2. Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2, Jakarta:Darul Haq

3. http://rikzamaulan.blogspot.com/2008/12/marifatul-islam.html

4. https://almanhaj.or.id/3192-pengertian-islam-dan-tingkatannya.html

5. https://muslim.or.id/4101-meraih-derajat-ihsan.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar