Jumat, 18 Maret 2022

Adab Mu’addib (Guru) Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlaq
Dosen Pengampu : Ustadz Abu Fuhairah az-Zahid, Mpd
Disusun Oleh Kelompok 1 Angkatan 5 :
1. Uu Ubaidillah (MPI)
2. Azzubair Juarsa (SBA)
3. Willy Rahman (SBA)
4. Fathur Rahman (SBA)
5. Agis Sugiana (SBA)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin atas izin dan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Adab Mu’addib (Guru) Dalam Perspektif Pendidikan Islam, sebagai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan akhlaq.

Sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya sampai hari kiamat kelak.

Makalah ini sedikit banyaknya akan membahas tentang adab mu’addib (guru) dalam perspektif pendidikan islam.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Adab Mu’addib (Guru) Dalam Perspektif Pendidikan Islam ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Bekasi, 20 Maret 2022
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Metodologi Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Adab
B. Adab Guru Terhadap Dirinya Sendiri
C. Adab Guru Dalam Belajar
D. Adab Guru Dalam Mengajar
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik dan Saran
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Masa depan suatu bangsa selalu berada di tangan generasi yang lebih muda, generasi yang berada di bangku pendidikan baik formal ataupun informal. Jika mereka pada umumnya adalah generasi yang terhimpun dari anak-anak yang bodoh, maka hancurlah masa depan bangsa. Sebaliknya jika mereka cerdas, maka dapat dipastikan bahwa masa depan suatu bangsa tentulah lebih cerah.

Dalam Islam kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dari pengetahuannya akan ilmu-ilmu dunia, melainkan juga diukur dari ketundukan dan ketaatan kepada norma-norma Islam. karena hal tersebut merupakan pengabdian seorang hamba kepada penciptanya.

Kecerdasan intelektual maupun spiritual sejak dini harus ditanamkan kepada anak. Dimana peran mencerdaskan anak adalah kewajiban orang tua, keluarga, masyarakat, guru dan institusi pendidikan.

Guru adalah seorang pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No. 14 Tahun 2005).

Ini berarti bahwa guru sebagai salah satu komponen di sekolah menempati profesi penting dalam proses belajar mengajar. Kunci keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah ada di tangan guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan siswanya self concept, pengetahuan, keterampilan, kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa.

Permasalahannya, sosok guru yang bagaimana yang dibutuhkan agar ia dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan. Aidh Al-Qarni menjelaskan perlunya membaca, menggali, mengkaji dan memahami buku-buku warisan klasik. Yaitu buku-buku warisan para ulama semisal Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, al-Nawawi, Ibn Hajar, dan lain sebagainya. Lalu mendiskusikannya dengan sungguh-sungguh.

Sehingga akan muncul kader-kader ulama cerdas yang mewarisi tradisi keilmuan ulama klasik serta mampu menghasilkan karya-karya baru yang orisinal dan sesuai dengan kebutuhan zaman, dan tetap berpegang pada rumusan dan semangat ulama klasik (Al-Qarni, 2006). Para ulama adalah pewaris Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

لْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297).

Warisan para ulama berupa buku-buku begitu melimpah bahkan sudah banyak yang tersaji dalam edisi terjemahan. Bukan hal yang sulit bagi peneliti-peneliti muslim hari ini dalam memahami dan menggali pemikiran mereka dan menjadikannya rujukan dalam menyusun kurikulum pendidikan, atau menjadikan mereka sebagai parameter dalam merumuskan kriteria guru cerdas, teladan dan berakhlak.

Karena itulah, sangat penting adanya kajian mengenai adab guru atau pendidik dalam melahirkan generasi yang berkualitas merujuk dari pemikiran Imam al-Nawawi sebagai salah satu tokoh ulama klasik melalui kajian kitab beliau Adabu al-Alim wa al-Muta’allim dan implementasinya di Indonesia. Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana adab guru atau pendidik menurut pemikiran Imam al-Nawawi dalam karyanya Adabu al-‘Alim wa al-Muta’allim.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Adab Seorang Guru?
2. Bagaimana Adab Guru Terhadap Dirinya Sendiri?
3. Bagaimana Adab Guru Ketika Belajar?
4. Bagaimana Adab Guru Ketika Mengajar?

C. Tujuan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan keilmuan dan pengetahuan dalam bidang pendidikan. Selain itu hasil dari penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam penerapan adab seorang guru, adab guru terhadap dirinya, adab guru terhadap pelajaran dan kesibukannya dan adab guru ketika mengajar.

D. Metodologi Penelitian

Adab Guru Menurut Pemikiran Imam Al-Nawawi dalam Kitab Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim Vol. 2, No. 2, 202.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi pustaka. Data-data yang terhimpun berasal dari terjemahan kitab Alim wal muta’alim karya Imam Nawawi. Data yang terkumpul dianalisa, untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Adab Seorang Guru

Adab secara etimologi merupakan bentuk mashdar kata kerja addaba yang berarti mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya (Munawwir, 2002). Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah Kumpulan hal-hal baik, yaitu inti dari akhlaq, karena di dalamnya mencakup semua kebaikan (Qayyim, n.d.). Dalam hadits, kata adab dipakai untuk menunjukkan kata pendidikan sebagaimana Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya :

“Rabb-ku telah mendidikku dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya.” (Al-Suyuthi,n.d.) Karena itulah, Adian Husaini mengutip pendapat Al-Attas menjelaskan bahwa istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan manusia yang beradab (Husaini, 2011).

Adapun definisi guru maka dalam konteks pendidikan Islam, guru atau pendidik disebut dengan murabbi, mu’allim atau muaddib. Masing-masing mempunyai makna yang berbeda, sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Sedangkan Muhammad al-Naquib al-Attas dalam Ilmu Pendidikan Islam yang ditulis oleh Ramayulis menjelaskan bahwa istilah murabbi sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Sedangkan istilah mu’allim umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan (pelajaran), dari seseorang yang tahu kepada yang tidak tahu. Adapun istilah muaddib menurut al-Attas, lebih luas dari istilah mu’allim dan lebih relevan dengan adab pendidikan Islam (Ramayulis, 2010).

Menurut Ahmad Tafsir, guru adalah seorang pendidik, sebutan bagi siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (murid) (Tafsir, 2008). Sehingga bagi beliau, yang paling bertanggung jawab dalam hal anak didik adalah orang tuanya. Karena ia ditakdirkan sebagai orang tua anak sehingga bertanggung jawab untuk mendidik anaknya, dan karena suksesnya anak adalah juga menunjukkan suksesnya orang tua. Hanya saja karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas, dalam dan rumit, maka orang tua sangat membutuhkan peran pendidik lainnya di bangku-bangku formal ataupun non formal. Sehingga pada zaman yang telah maju ini banyak tugas orang tua sebagai pendidik yang diserahkan kepada sekolah. Karena hal tersebut lebih murah, lebih efektif dan juga lebih efisien (Tafsir, 2008).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa adab mu’allim adalah akhlaq seorang guru dalam mentransfer nilai-nilai pendidikan kepada murid atau peserta didiknya baik yang tampak ataupun yang tidak tampak.

B. Adab Guru Terhadap Dirinya Sendiri

Pertama, ketika seorang guru belajar ia harus menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan belajarnya. Ia tidak boleh berniat mencari kesenangan-kesenangan duniawi. Misalnya, memperkaya diri, ingin dikenal, atau memproklamasikan diri bahwa ilmu yang ia miliki lebih baik dari orang lain. untuk mendapatkan uang, prestise, popularitas, kehormatan, atau untuk memposisikan diri berbeda dari kebanyakan manusia, atau agar supaya banyak orang yang bekerja untuknya, atau lain sebagainya dari kepentingan duniawi.

Dan hendaknya dia tidak mencemari atau merusak ilmu dan taklimnya dengan sifat tamak terhadap perhatian yang tertuju padanya, baik berupa penghikmatan, atau harta atau sesuatu yang lain dari yang telah mendapatkan pengajarannya. Meskipun dalam bentuk hadiah, yang sekiranya bukan karena pengajarannya itu, tentulah hadiah itu tidak dihadiahkan kepadanya.

Jika dipahami dan diresapi oleh setiap guru atau pendidik akan melahirkan etos kerja yang luar biasa. Seorang guru akan mengajar dengan penuh ketulusan, kesungguhan, ketawadhuan dan jauh dari sifat sombong. Sebagai contoh atas hal ini, Imam al-Nawawi mengutip perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang sangat masyhur, menunjukkan ketawadhuan dan ketulusan beliau dalam mendidik, Aku ingin agar semua makhluk mempelajari ilmu ini dan tidak satu huruf pun dinisbahkan kepadaku”.

Kedua, seorang guru harus senantiasa berperilaku baik. Artinya segala tindak-tanduknya harus sesuai dengan nilai-nilai agama. Imam Al-Nawawi menegaskan bahwa guru adalah teladan bagi muridnya. Seorang guru harus berakhlak dengan akhlak yang mulia, akhlak yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, baik yang tampak secara dzhahir atau yang tersembunyi. Beliau mengatakan, Hendaklah dia berakhlak dengan akhlak yang baik, akhlak yang terpuji dan diridhai sebagaimana disyariatkan dan diperintahkan dengannya. Misalnya zuhud terhadap dunia, hidup sederhana, tidak ada keluh kesah atas dunia yang hilang darinya, bersifat dermawan dan berakhlak mulia, menjaga pandangan, sabar, lapang dada, menjauhi tempat-tempat yang keji, bersikap wara’, khusyuk’, tenang, santun, tawadu, mengurangi tertawa dan banyak bercanda.

Seorang guru juga harus bisa menahan dirinya dari hal-hal yang tidak baik. Ia juga harus memiliki sifat rendah hati, tenang, dan menjaga wibawanya dengan tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak banyak bercanda.

Selain itu, seorang guru juga harus memerhatikan penampilannya agar tetap sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Seperti memakai wewangian, menjaga kebersihan, dan selalu tampil rapih.

Ketiga, seorang guru tidak boleh semena-mena dengan ilmunya, ia juga tidak diperkenankan mendatangi suatu tempat dan berbuat semena-mena dengan ilmunya, sebab ia seharusnya menjaga ilmunya dari perbuatan tersebut, sebagaimana telah dicontohkan oleh ulama salaf.

Keempat, Seorang guru jika melakukan suatu pekerjaan yang awalnya mubah, namun di dalamnya ada hal-hal yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan, maka ia harus menghindarinya. Karena jika ia melakukannya itu akan menghilangkan kewibawaan dan hal-hal lainnya. Begitu pula jika seorang guru melihat muridnya melakukan hal tersebut maka ia harus mengingatkan mereka, agar mereka mengerti mana yang lebih bermanfaat bagi mereka dan mana yang tidak, agar terhindar dari dosa yang mereka tidak ketahui. Dengan demikian mereka mengetahui kebermanfaatan ilmu pengetahuan.

Kelima, seorang guru harus menjauhi sifat-sifat tercela, seperti suka mengancam, riya, pamer, menghasut, atau bertingkah sombong. Ia juga tidak diperbolehkan menghina atau mempermalukan orang lain. Karena itulah seorang guru harus memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT, selalu berdzikir dan berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT dalam setiap urusannya. Sehingga ia mengilmui dengan baik materi yang akan disampaikannya, mampu memahami kondisi murid-muridnya, serta tahu bagaimana mentransfer materi dengan mudah kepada murid-muridnya. Beliau berkata, “Dan hendaklah ia selalu mendekatkan diri kepada Allah ta’aala secara dzahir dan batin, merutinkan bacaan al-Qur’an, menjaga shalat-shalat sunnah, membiasakan puasa dsb. Bersandar kepada Allah SWT dalam setiap urusannya, bertawakal pada-Nya, dan menyerahkan setiap urusannya kepada Allah SWT”.

Keenam, Hal yang tidak kalah pentingnya ditekankan oleh Al-Imam untuk diperhatikan oleh seorang guru adalah memuliakan ilmu dan tidak merendahkannya. Misalnya, dikemukakan oleh beliau, tidak pergi dengan ilmu menuju ke tempat atau rumah seorang yang akan mempelajari ilmu darinya. Meskipun ia yang akan belajar itu adalah seorang pejabat atau penguasa. Dan hendaknya ia menjaga ilmu dari hal yang demikian sebagaimana dilakukan oleh para salaf.

Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi sebagai contoh atas apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Nawawi ini meriwayatkan kisah Imam Malik rahimahullah yang diminta oleh khalifah Harun Ar-Rasyid untuk membaca kitab Al-Muwaththa. Sebelumnya Harun Ar-Rasyid berkata kepada Imam Malik, “Wahai ‘Abu ‘Abdillah, aku ingin mendengar Al-Muwaththa’ darimu.” Maka Imam Malik menjawab: “Baik wahai Amirul Mukminin.” Harun Ar-Rasyid kembali bertanya: “Kapan?” Imam Malik menjawab: “Besok”. Maka Harun Ar-Rasyid duduk menunggunya, dan Imam Malik pun duduk di rumahnya menunggu Harun Ar-Rasyid. Tatkala semakin lama maka Harun mengirim (utusan) kepada Imam Malik lalu memanggilnya. Lalu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, aku terus menunggumu seharian ini.” Maka Imam Malik menjawab: “Aku juga menunggumu seharian wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ilmu itu didatangi, bukan mendatangi.” (Al-Baihaqi, n.d.)

C. Adab Guru Dalam Belajar

Seorang guru hendaknya bersungguh-sungguh dalam setiap aktivitas keilmuannya. Seperti banyak membaca, menggali hal-hal baru, atau melakukan penelitian-penelitian ilmiah.

Sebagai dalil atas hal ini, beliau mengutip perkataan Salaf mengenai pentingnya keseriusan dan kesungguhan terhadap ilmu. Misalnya, perkataan ringkas tapi syarat makna dari ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, "Siapa yang memfokuskan wajahnya maka baguslah ilmunya". Yaitu hendaknya seorang guru fokus terhadap ilmu, memusatkan konsentrasi pada ilmu. Jika ia mendengarkan ilmu dari orang lain, maka ia fokus terhadap suara, wajah dan tingkah lakunya.

Dalam belajar, seorang guru harus bisa mengambil ilmu dari siapa saja. Artinya perbedaan umur, nasab, ketenaran, atau bahkan agama sekalipun, tidak boleh menjadi penghalang dalam proses belajarnya. Ia harus memiliki ambisi untuk mengambil faedah keilmuan dari siapapun.

Dan untuk hal-hal yang ia tidak ketahui, maka ia tidak boleh malu untuk menanyakannya. Karena ilmu itu tidak akan bisa dipelajari oleh orang yang malu (bertanya) dan orang yang sombong (sok tahu). Menutip perkataan Mujahid, “Tidaklah mempelajari ilmu seorang yang pemalu dan sombong". Perkataan ini menasihatkan kepada siapa pun termasuk seorang guru untuk tidak malu bertanya atas apa yang belum diketahuinya, dan tidak merasa sombong untuk mengambil ilmu dari selainnya. Karena ilmu akan terhalangi dari sifat malu dan sombong. Zaid bin Jubair rahimahullahu mengatakan : “Seseorang masih saja disebut sebagai orang yang berilmu selama ia menuntut ilmu. Sekiranya dia meninggalkan ilmu karena menganggap bahwa telah cukup ilmu yang ada padanya, maka dialah orang yang paling bodoh”.

Meskipun seorang guru telah memiliki derajat yang tinggi dan terkenal dengan keilmuannya, hendaknya ia harus menyadari bahwa selalu ada hal baru yang pasti masih belum ia ketahui.

D. Adab Guru Dalam Mengajar

Mengajar adalah asas yang dengannya agama Islam tegak, dan dengannya pula kebenaran ilmu diyakini. Mengajar menurut Imam Al-Nawawi adalah perkara yang sangat penting dalam Islam, semulia-mulianya ibadah, dan sebab terealisasinya kewajiban-kewajiban kifayah. Allah berfirman :

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ
فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," (QS. Ali Imran : 187).

Dan juga firman Allah :

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan" (QS. Al-Baqarah: 159) .

Dalam sebuah hadits melalui banyak jalur, Nabi SAW bersabda, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Ada beberapa Etika/adab guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya, diantaranya :

Pertama. Ketika mengajar senantiasa berniat untuk mencari ridha Allah ta’ala, seorang guru harus bisa menjadikan mengajar adalah sebuah aktivitas peribadatan. Ini dapat menjaganya dari hal-hal tidak terpuji. Sekaligus, suatu peringatan agar seorang guru jangan sampai kehilangan fadhilah keagungan dalam aktivitas mengajar.

Tidak menjadikannya sebagai sarana kepentingan dunia. Hendaknya ia menghadirkan di pikirannya bahwa mengajar adalah aplikasi ibadah, agar hal tersebut menjadi rangsangan baginya untuk meluruskan niatnya. Menjadi motivasi baginya untuk tetap menjaga niatnya dari berbagai gangguan dan dari berbagai hal yang makruh. Serta menghadirkan rasa khawatir akan hilangnya keutamaan yang agung ini dan kebaikan yang besar ini. Dalam praktiknya, ada saja di antara guru yang belum meniatkan ibadah dengan mengajarnya itu, atau belum sanggup memurnikan niat mengajarnya karena Allah. Kondisi mereka yang demikian itu menurut Imam Al-Nawawi tetap diberi ruang untuk mengabdikan ilmunya dengan mengajar. Karena selain para murid mendapatkan manfaat dari pengajarannya, juga diharapkan berkah dari ilmu yang diajarkannya itu memberi pengaruh positif terhadap perubahan niatnya. Sebagaimana ungkapan banyak Salaf Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ilmu susah didapatkan kecuali diniatkan karena Allah.

Maksudnya bahwa efek dari aktivitas mereka berkutat dengan ilmu menjadikan niat dan tujuan mereka karena Allah.

Kedua. Dalam mengajar hendaknya seorang guru hendaknya tidak menghalangi siapapun untuk belajar meskipun niat belajar mereka masih belum benar. Sebab, kebenaran niat dalam belajar masih bisa diupayakan seiring berjalannya waktu. Mungkin bagi pelajar pemula masih sulit untuk meluruskan niatnya. Hal tersebut bisa disebabkan karena mereka memang belum mampu atau karena belum tahu kewajiban menjaga niat yang benar dalam belajar. Namun, itu tidak berarti mereka harus ditolak. Seandainya seorang guru menolak, maka itu berarti ia telah menghapus atau menghilangkan jalur-jalur keilmuan.

Para ulama berkata : “Mungkin pada awalnya kita mencari ilmu itu bukan (dengan niat) Karena Allah. Tapi abaikan saja, ia akan menjadi karena Allah”. Artinya, kelak semuanya akan berubah menjadi karena Allah.

Ketiga. Seorang guru harus cinta dengan ilmu yang diajarkannya. Ia hendaknya menyebutkan keistimewaan ilmu tersebut lengkap dengan para tokoh ulamanya. Sebab, mereka para ulama adalah pewaris para nabi. Dan, tidak ada derajat apa pun yang lebih tinggi dari predikat tersebut di dunia ini.

Keempat. Seorang guru hendaknya peduli terhadap keadaan murid-muridnya sebagaimana kepeduliannya terhadap dirinya dan kepada anak-anak kandungnya sendiri. Hendaknya ia juga menyayangi mereka sebagaimana ia menyayangi anak-anak kandungnya. Serta tetap perhatian dan sabar dalam menghadapi sifat-sifat bandel dan keras kepala mereka dengan tetap mengingatkannya kepada jalan yang lebih baik. Sebab, manusia memang tidak ada yang sempurna. Artinya selalu ada kekurangan dalam dirinya.

Kelima. Seorang guru harus ramah ketika menyampaikan materi pelajaran, serta menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah agar dapat dipahami dengan baik oleh murid-muridnya. Ia harus setia mengawal, mengawasi, menemani dan memberikan nasihat serta menunjukan kepada murid-muridnya tentang hal-hal yang penting untuk dipelajari, sekaligus mengingatkan mereka agar tidak egois dengan keuntungan pribadinya masing-masing.

Keenam. Seorang guru tidak diperkenankan mengajarkan materi-materi yang masih belum bisa diterima oleh murid-muridnya. Sebab itu akan amat menyusahkan. Seandainya ada seorang murid yang menanyakan hal tersebut, maka ia tidak boleh menjawabnya. Hal yang harus ia lakukan adalah dengan memberi pengertian bahwa hal itu bisa berbahaya dan tidak ada manfaat untuk dirinya saat itu. Tentu cara menolaknya dengan ramah dan lembut.

Ketujuh. Seorang guru dalam mendidik murid, dilakukan secara bertahap, dengan adab yang mulia, akhlak terpuji, menciptakan kondisi yang rileks, dengan perincian yang mudah dan jelas. Al-Imam rahimahullah mengatakan. “Dan hendaknya seorang guru mendidik muridnya secara bertahap dengan adab yang mulia, dengan akhlak terpuji, dan dengan merelakskan jiwanya melalui pendidikan dan perincian yang mudah, dan hendaknya konsistennya terhadap hal ini mencakup semua urusannya yang tersembunyi atau yang tampak".

Kedelapan. Jika seorang murid bertanya mengenai sesuatu yang aneh, maka seorang guru tidak boleh merendahkannya dengan pertanyaan itu. Sekiranya ia ditanya oleh murid berkaitan dengan sesuatu yang tidak ia ketahui atau di luar dari inti pelajaran yang belum ia pahami maka hendaknya ia mengatakan “Saya tidak tahu”, atau “Saya belum memahaminya”. Janganlah ia merasa sombong dari mengatakan hal tersebut. Karena di antara ilmu orang yang berilmu adalah mengatakan atas apa yang tidak ia ketahui “Saya tidak tahu” atau “Hanya Allah yang Maha Tahu”.

Kesembilan. Seorang guru harus semangat dan serius ketika mengajar. Ia juga harus terbuka kepada siapa saja yang ingin belajar. Atas kehadiran murid-muridnya, seorang guru harus menyambutnya dengan wajah yang sumringah. Serta tidak mencampur adukan antara urusan pribadinya dengan urusan pembelajarannya.

Kesepuluh. Hendaknya seorang guru memotivasi murid-muridnya agar selalu memanfaatkan waktu, dan menuntut mereka untuk selalu memurajaah hafalan-hafalan. Menanyai mereka mengenai hal-hal penting yang telah diajarkannya. Memberikan penghargaan kepada siapa yang sanggup menghafal dan menjaga hafalannya, memujinya, mengumumkan prestasinya selama tidak merusak kepribadiannya dengan sifat ujub atau semisalnya. Sebaliknya, memberi peringatkan tegas bagi yang tidak serius kecuali karena khawatir membuatnya lari. Mengulangi materi untuknya sampai ia menghafal dengan hafalan yang kuat.

Kesebelas. Dalam menyampaikan pelajaran, seorang guru harus bisa menjelaskan tentang pentingnya pelajaran yang akan ia jelaskan. Dalam prosesnya, ia bisa menjelaskannya sesuai dengan urutan-urutan, mulai dari perspektif tafsir, kemudian perspektif ilmu hadits, kemudian perspektif ahli ushul, kemudian perspektif madzhab-madzhab fiqih, kemudian perspektif perselisihan para ulama (khilaf), barulah kemudian perspektif perdebatan (jadal).

Keduabelas. Hendaknya ia duduk dengan penuh wibawa dan dengan pakaian yang putih bersih. Memulai pelajaran dengan tilawah ayat al-Qur’an. Kemudian mengucapkan basmalah dan memuji Allah Ta’aala dan bershalawat kepada Nabi salallahu alaihi wasallam dan kepada keluarga beliau, kemudian mendoakan para ulama terdahulu dari kalangan guru-gurunya, orang tuanya, para hadirin dan segenap kaum muslimin.

Ketigabelas. Seorang guru dalam mentransfer ilmu kepada murid-muridnya, hendaknya dalam kondisi siap dan prima, peka dari berbagai kemungkinan yang berpotensi membuyarkan konsentrasinya dan konsentrasi murid-muridnya. Misalnya seperti diungkapkan oleh Imam Al-Nawawi rahimahullahu.

“Dan tidak menyampaikan pelajaran dalam kondisi ia terganggu dengannya, seperti sakit, lapar, menahan hadats, terlalu gembira, atau sedang berduka cita. Dan sebaiknya tidak memperpanjang majelis terlalu lama yang menyebabkan para murid bosan, atau terhalanginya mereka memahami beberapa pelajaran atau teliti dalam pelajaran. Karena tujuan dari pembelajaran itu adalah manfaat yang mereka dapatkan dan ketelitian terhadap pelajarannya. Sekiranya kondisi mereka berubah, jadi bosan atau kurang gairah, maka hilanglah tujuan pembelajaran.

Keempatbelas. Tidak mencegah atau menghalangi murid dari mempelajari berbagai disiplin ilmu yang mereka butuhkan, selagi ia mampu untuk itu. Imam Al-Nawawi menasihatkan agar guru hendaknya tidak merasa lebih besar, lebih hebat di hadapan murid-murid. Melainkan ia bersikap lembut dan tawadhu, sejalan dengan firman Allah di surat al-Hijr ayat 88.

لِلۡمُؤۡمِنِيۡنلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ اِلٰى مَا مَتَّعۡنَا بِهٖۤ اَزۡوَاجًا مِّنۡهُمۡ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَاخۡفِضۡ جَنَاحَكَ

“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr : 88). Dan juga sejalan dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah berkurang harta itu dengan sedekah, dan tidaklah seseorang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim).

Dan al-Fudhail bin ‘iyad rahimahullahu berkata bahwa sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mencintai seorang yang berilmu yang tawadhu, yang dibenci oleh orang-orang yang sombong, dan siapa yang tawadhu karena Allah Ta’aala sungguh telah diwariskan kepadanya hikmah.

Kelimabelas. Menyapa setiap murid berdasarkan kedudukan, pemahaman dan motivasinya. Merasa cukup dengan isyarat bagi siapa yang memahaminya dengan pemahaman yang benar, dan memperjelas sebuah perumpamaan kepada selainnya. Mengulangi sesuatu kepada siapa yang berat menghafalkan sesuatu itu kecuali dengan pengulangan. Dan menyebutkan hukum-hukum dengan jelas dengan contoh-contoh di luar dalil bagi siapa yang belum menghafal dalil.

Sekiranya murid tidak tahu sebagian dalil maka ia menyebutkan sebagian dalil tersebut untuknya.

Dan menyebutkan dalil-dalil yang mengandung makna ganda, dan menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Dan menetapkan dalil sesuai dengan hukum suatu permasalahan, dan dalil yang mendekatinya.

Keenambelas. Sebaiknya majelisnya luas, tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, dan tidak pula merendahkan suara yang memungkinkan sebagian murid terhalangi dari pemahaman yang sempurna. Menjaga majelisnya dari kegaduhan dan dari peserta yang buruk adabnya dalam pembelajaran. Sekiranya tampak keributan dilakukan oleh salah satu peserta, bersikap lembut menghentikan keributannya sebelum merambah ke yang lain. Dan selalu mengingatkan bahwa berada di majelis harus diniatkan karena Allah Ta’aala. Sehingga tidak pantas untuk saling berdebat dan bertengkar. Yang harus dilakukan adalah kasih sayang dan ketulusan. Saling memberi manfaat satu dengan yang lain, dan menyatunya hati dalam kebenaran dan tercapainya faedah.

Ketujuhbelas. Seorang guru menurut al-Imam, hendaknya memperhatikan absensi kehadiran murid-murid dan mempertanyakan siapa yang ghaib dari mereka.

Dan sekiranya seorang guru berhalangan mengajar murid-muridnya, hendaknya ia menugaskan muridnya mengulangi pelajaran agar semakin menguat hafalannya itu. Sekiranya ada suatu permasalahan membebani mereka, maka hendaknya mereka menyerahkan solusi atau penjelasannya kepada Syaikh.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan adab seorang guru terhadap dirinya yaitu memurnikan niat karena Allah SWT, serius, tulus dan sungguh-sungguh, berakhlak dengan akhlakul karimah, selalu berzikir, berdoa, dan bertawakal kepada Allah dalam setiap urusannya, memuliakan dan tidak merendahkan ilmu.

Seorang guru harus selalu memerhatikan adab/etikanya di dalam dunia Pendidikan mulai dari etika personal, etika belajar, dan etika mengajar. Karena hal ini begitu memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan murid-muridnya.

Adab seorang guru terhadap pelajaran dan kesibukannya yaitu seorang guru tidak boleh malas, dan merasa cukup dengan apa yang diketahuinya. Ia juga harus bersungguh-sungguh terhadap ilmu, terus membaca, mengajar, menelaah, membuat catatan-catatan kecil, mengkaji, berdiskusi dan menyusun buku, mengambil manfaat dari orang lain yang memiliki ilmu, tidak malu untuk bertanya apa yang belum diketahuinya, bersikap tawadu, menjadikan ilmu sebagai prioritas utamanya, membukukan ilmu yang terhimpun padanya.

Sedangkan adab seorang guru ketika mengajar, yaitu menyadari bahwa mengajar adalah perkara yang sangat penting dalam Islam, meniatkan dengan pengajarannya sebagai bentuk ibadah, melakukan pendidikan terhadap murid dilakukan secara bertahap, dengan adab yang mulia, akhlak terpuji, dan menciptakan kondisi yang rileks, dengan perincian yang mudah dan jelas, mencintai murid, selalu memperdengarkan keutamaan ilmu dan keutamaan ulama, bersikap lemah lembut terhadap murid, memperhatikan maslahatnya, seperti perhatiannya terhadap diri dan anaknya, tidak mencegah atau menghalangi murid dari mempelajari berbagai disiplin ilmu yang mereka butuh kan, tidak merasa lebih besar, lebih hebat di hadapan murid-murid, memperhatikan absensi kehadiran murid dan mempertanyakan siapa yang gaib dari mereka, memotivasi murid-murid agar selalu memanfaatkan waktu, dan menuntut mereka untuk selalu memurajaah hafalan-hafalan, duduk dengan penuh wibawa dan dengan pakaian yang putih bersih, memulai pelajaran dengan tilawah ayat al-Qur’an, mengucapkan basmalah dan memuji Allah Ta’aaladan bershalawat kepada Nabi dan kepada keluarga beliau, kemudian mendoakan para ulama terdahulu dari kalangan guru-gurunya, orang tuanya, para hadirin dan segenap kaum muslimin.

B. Kritik dan Saran

Menyadari bahwa penyusun masih jauh dari kata sempurna kedepannya penyusun akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih baik yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

Marilah kita jadikan abad sebagai prioritas utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga terciptalah kehidupan yang sesuai dengan ajaran nabi dan para sahabat serta salafus sholeh.

Daftar Pustaka

Prihantoro Hijrian A. 2018. “Terjemah Kitab Adabul Alim wal Muta’allim”, Yogyakarta : DivaPress

Al-‘Ied, I. D. (2013). Syarah Hadits Al-Arba’in. Solo: At-Tibyan.

Al-Baihaqi. (n.d.). Al-Madkhal Ilaa As-Sunan Al-Kubra; Bab Tauqir Al-‘Alim wal‘Ilmi.

Al-Qarni, A. (2006). Memahami Semangat Zaman. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Al-Suyuthi. (n.d.). Al-Jaami’ al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nazir. al-Qathirah: Dar al-Fikr.

An-Nawawi, I. (1987). Adab Al-’Alim Wa Al-Muta’allim. Maktabah Al-Shahabah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar