Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Masaa’il Fiqhiyyah
Dosen Pengampu : Ustadz Aldila, M.Pd.
Oleh Kelompok 1 Prodi PAI :
1. Nashira Salsabila Pasjchal (21862068)
2. Harnum Suri (228620077)
3. Jannatul Firdausi Nuzula (218620873)
4. Nurul Kurnia Af Idah (228620108)
5. Zahidah Azzahra Salsabila (228620142)
6. Elip Nuryana (228620068)
7. Laila Shofiyatus Shidiq (228620087)
8. Najwa (228620103)
9. Aliefiah Putri Dema (228620055)
10. Futty Nayu Soka Kemala (21862093)
11. Nurul Izzah Razali (218620110)
12. Putri Khairunissa (228620111)
13. Diah Windiastuti (228620064)
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Depok, 29 Januari 2025
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Warisan
2.2. Ancaman Melanggar Hukum Waris
2.3. Pembagian Warisan dari Harta Orang yang Meninggal
2.4. Sebab-Sebab Menerima Warisan
2.5. Penghalang Waris
2.6. Ahli Waris dari Golongan Laki-Laki dan Golongan Perempuan
2.7. Perincian Pembagian Harta Waris
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum waris Islam, sebagai bagian integral dari syariat Islam, mengatur pembagian harta warisan untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan ekonomi dalam keluarga serta masyarakat. Ketentuan yang rinci dan proporsional memastikan hak setiap ahli waris terpenuhi sesuai derajat hubungan dan tanggung jawabnya.
Namun, dinamika kehidupan modern seringkali memunculkan permasalahan kompleks terkait warisan, seperti sengketa, ketidaktahuan hukum, dan perubahan sosial ekonomi. Hal ini menjadikan pemahaman mendalam tentang hukum waris Islam semakin relevan dan penting.
Makalah ini akan mengkaji ketentuan waris dalam hukum Islam, mulai dari dasar hukum, rukun dan syarat, golongan ahli waris, hingga mekanisme pembagian warisan. Studi kasus dan contoh aktual penerapan hukum waris dalam masyarakat modern juga akan dibahas. Diharapkan, makalah ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik mengenai hukum waris Islam, serta membantu meminimalisir potensi konflik keluarga terkait warisan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari warisan?
2. Apa saja ancaman melanggar hukum waris?
3. Apa saja yang diwarisi dari harta orang yang meninggal dunia?
4. Apa saja sebab-sebab menerima warisan?
5. Apa saja penghalang-penghalang dalam menerima warisan?
6. Siapa saja ahli waris dari golongan laki-laki dan golongan Perempuan?
7. Siapa saja orang-orang yang berhak menerima tarikah dan pembagian warisan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari warisan.
2. Untuk mengetahui ancaman melanggar hukum waris.
3. Untuk mengetahui apa yang diwarisi dari harta orang yang meninggal dunia.
4. Untuk mengetahui sebab-sebab menerima warisan.
5. Untuk mengetahui penghalang-penghalang dalam menerima warisan.
6. Untuk mengetahui para ahli waris dari golongan laki-laki dan golongan Perempuan.
7. Untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima tarikah dan pembagian warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Warisan
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara'idh. Al-faraidh اَلْفَرَائِضُ ) ) adalah bentuk jamak dari faridhah ( اَلْفرِيْضَةٌ ) sedangkan kata faridhah itu sendiri diambil dari kata al-fardhuاَلْفَرْضُ yang maknanya adalah at-taqdiir اَلتَّقْدِرُ yang berarti ketentuan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” [Al-Baqarah/2: 237]
Faradhtum yaitu qaddartum (yang telah kamu tentukan). Adapun fardhu ( اَلْفَرْضُ ) dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.
Pengertian di atas sesuai dengan salah satu hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu:
إن الله قداعطى كل دي حق حقه فلا وصية لوارث
Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memberi kepada orang yang berhak atas haknya. Ketahuilah, tidak ada wasiat kepada ahli waris". (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kata "warits" dari"yaritsu-iritsan-wamiratsan" sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an Surat Al-Qashash ayat 58:
وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ ۢ بَطِرَتْ مَعِيْشَتَهَاۚ فَتِلْكَ مَسٰكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَنْ مِّنْۢ بَعْدِهِمْ اِلَّا قَلِيْلًاۗ وَكُنَّا نَحْنُ الْوٰرِثِيْنَ
Artinya: "Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan karena kesenangan hidup membuatnya lalai. Maka, itulah tempat tinggal mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil. Kamilah yang mewarisinya".
Arti "Mirats" menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum dari pada sekedar harta, yang meliputi ilmu, kemuliaan dan sebagainya.
Di dalam hukum Islam, kewarisan diartikan sebagai proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik peninggalan tersebut berupa benda yang berwujud maupun yang berupa hak kebendaan kepada keluarga yang dinyatakan berhak menurut hukum.
Dari batasan tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa menurut hukum Islam kewarisan baru berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, perpindahan harta kekayaan kepada seseorang yang tergolong dalam ahli waris pada saat pewaris masih hidup tidak dianggap sebagai kewarisan.
Sedangkan menurut Hukum Positif, yang diambil di dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro yang berjudul "Hukum Warisan di Indonesia" yang menyatakan bahwa, hukum waris adalah suatu cara penyelesaian hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang. Warisan adalah soal apakah atau bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia yang akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Dengan demikian, menurut Prodjodikoro ada tiga unsur yang berkaitan dengan warisan, yaitu:
1. Seorang peninggal warisan, yang pada wafatnya meninggalkan kekayaannya.
2. Seorang atau beberapa orang ahli waris, yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalnya.
3. Harta kekayaan atau warisan yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih pada para ahli warisnya.
Pengertian waris secara komperhensif terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) yang berbunyi:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."
Dari pengertian di atas dapat memberi gambaran yang lebih komprehensif bahwa dalam kewarisan tidak hanya berkaitan dengan tirkah, pewaris dan ahli waris. Melainkan juga terkait bagian-bagian pasti yang diperoleh oleh tiap-tiap ahli waris baik berdasarkan furudhul muqaddarah ataupun asobah.
2.2 Ancaman Melanggar Hukum Waris
Bangsa Arab di masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam, mereka memberikan warisan kepada kaum laki-laki dan tidak memberikannya kepada kaum wanitanya, dan kepada orang-orang dewasa dan tidak memberikannya kepada anak-anak. Ketika Islam datang (maka) Allah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, dan Allah menamakan hak-hak ini sebagai washiyyatan minallaah. (Dan) fariidhatan minallaah (ketetapan dari Allah). kemudian Allah mengakhirinya dengan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang yang menyelisihi syari’at Allah dalam hal warisan.
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisaa/4: 13-14]
2.3 Pembagian Warisan dari Harta Orang Yang Meninggal
Rukun dan Syarat Warisan
a. Rukun Warisan
1. Muwaris (المورث) → Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan.
2. Warits (الوارث) → Ahli waris yang berhak menerima bagian.
3. Tirkah (التركة) → Harta yang ditinggalkan setelah dikurangi utang, wasiat, dan biaya pemakaman.
b. Syarat Warisan
1. Meninggalnya muwaris, baik secara nyata (kematian fisik) atau secara hukum (seperti hilang tanpa kabar).
2. Ahli waris masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia.
3. Tidak ada penghalang warisan, seperti pembunuhan terhadap pewaris atau perbedaan agama.
Ahli Waris dalam Islam
Ahli waris dalam Islam terbagi menjadi dua kelompok utama:
a. Dzawil Furudh (Mendapat Bagian Tetap)
Mereka yang mendapat bagian tetap sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an, yaitu:
- Suami → 1/2 (jika istri tidak punya anak) atau 1/4 (jika punya anak).
- Istri → 1/4 (jika suami tidak punya anak) atau 1/8 (jika punya anak).
- Anak perempuan tunggal → 1/2 dari total harta.
- Dua anak perempuan atau lebih → 2/3 dari total harta.
- Ayah → 1/6 (jika pewaris punya anak), sisa jika tidak ada anak.
- Ibu → 1/6 (jika pewaris punya anak atau saudara), 1/3 jika tidak ada anak atau saudara.
b. ‘Asabah (Mendapat Sisa Warisan)
Jika ada sisa harta setelah dibagikan kepada dzawil furudh, maka diberikan kepada asabah:
Anak laki-laki → Mendapatkan bagian dua kali lipat dibanding anak perempuan.
Saudara laki-laki kandung → Jika pewaris tidak memiliki anak atau ayah
Cara Pembagian Warisan dalam Islam
Langkah-langkah pembagian warisan menurut syariat:
1. Menyelesaikan utang pewaris, termasuk utang kepada Allah (zakat, nazar, dan kafarat).
2. Melaksanakan wasiat (maksimal 1/3 dari harta).
3. Membagikan sisa harta kepada ahli waris sesuai ketentuan faraidh.
Contoh Perhitungan Warisan
Kasus: Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan harta Rp120.000.000 dan ahli warisnya terdiri dari:
- Istri.
- 1 anak laki-laki.
- 1 anak perempuan.
Langkah 1: Menentukan bagian tetap (dzawil furudh)
- Istri mendapat 1/8 dari Rp120.000.000 → Rp15.000.000
Langkah 2 : Menentukan bagian ‘asabah
Sisa harta = Rp120.000.000 - Rp15.000.000 = Rp105.000.000
- Anak laki-laki mendapat 2 bagian
- Anak perempuan mendapat 1 bagian
Total bagian = 2 + 1 = 3 bagian
- Anak laki-laki: (2/3) × Rp105.000.000 = Rp70.000.000
- Anak perempuan: (1/3) × Rp105.000.000 = Rp35.000.000
Hasil Pembagian:
- Istri → Rp15.000.000
- Anak laki-laki → Rp70.000.000
- Anak perempuan → Rp35.000.000
Penyelesaian Sengketa Warisan
Jika terjadi sengketa warisan, Islam menganjurkan musyawarah keluarga terlebih dahulu. Jika tidak menemukan kesepakatan, maka dapat diajukan ke pengadilan agama sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
2.4 Sebab-Sebab Menerima Warisan
Dalam hukum Islam, seseorang berhak menerima warisan karena adanya hubungan kekerabatan, perkawinan, atau memerdekakan budak.
1. Hubungan kekerabatan
Hubungan nasab, yaitu hubungan darah antara pewaris dan ahli waris
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ
“…Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)…” [Al-Ahzaab/33: 6]
Hubungan kekerabatan lainnya, seperti paman, kakek, ibu, anak perempuan, dan nenek
2. Hubungan perkawinan
Hubungan semenda, yaitu hubungan perkawinan antara pewaris dan ahli waris.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa/4: 12]
3. Hubungan memerdekakan budak
Hubungan wala', yaitu hubungan kekerabatan karena memerdekakan budak
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسْبِ.
“Wala’ adalah (pertalian) daging bagaikan (pertalian) daging karena nasab”[5]
Selain itu, untuk berhak menerima warisan, ahli waris juga harus memenuhi syarat-syarat berikut: Masih hidup saat pewaris meninggal, Beragama Islam, Tidak melakukan tindak kejahatan terhadap pewaris, Tidak memutus hubungan kekeluargaan, Tidak mengabaikan kewajiban kepada pewaris
2.5 Penghalang Waris
Penghalang waris dibagi menjadi 3, yaitu perbudakan, pembunuhan dan perbedaan agaama.
1. Perbudakan
Suatu sifat yang menjadikan seseorang dimiliki oleh orang lain, dia dapat dijual dan diberikan, diwarisi dan diatur, dan di dapat mengatur perkaranya dengan pengaturan yang bebas. Sebagian ulama memberikan definisi bahwa perbudakan adalah kelemahan diri seseorang secara hukum disebabkan kekufuran.
Perbudakan menghalangi warisan karena Allah telah menyandarkan warisan kepada orang yang berhak mendapat warisan. Sedangkan budak tidak memiliki karena sabda Nabi yang artinyq “ Barangsiapa yang menjual budak yang memiliki harta, maka harta itu milik penjual kecuali pembeli itu memberikan syarat kepadanya”. (Bukhari dan muslim)
Jika tidak memiliki harta makq tidak berhak menerima warisan, karena kalau dia menerima warisan tentu warisannya untuk tuannya dan dia bukan kerabat si mayit.
2. Pembunuhan
Menghilangkan ruh baik secara langsung atau melalui suatu sebab. pembunuhan yang menyebabkan pelakunya tidak menerima warisan (dari yang dibunuh) yaitu pembunuhan tanpa alasan yang benar, dimana pelakunya berdosa disebabkan dia melakukannya dengan sengaja, berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda,
لاَيَرِثُ القَاتِلُ شَيْىاً
“Sesungguhnya pembunuh tidak mewarisi sedikitpun” (Abu Dawud)
Terkadang seorang ahli waris membunuh orang yang akan mewarisikan supaya dapat segera mewarisi hartanya, maka yang seperti ini diharamkan mewarisinya supaya dapat menutup pintu kejahatan yang akan dilakukan oleh selainnya.
Adapun pembunuh dengan sengaja yang pelakunya tidak berdosa seperti membunuh orang yang menyerang dirinya, maka dia tetap menerima warisannya. Dan kematian seseorang yang disebabkan hukuman yang ditimpakan pada dirinya untuk memberikan pelajaran. Maka pelaku pembunuhannya tetap mewarisi jika dia adalah ahli warisnya, dengan syarat pembuatannya diijinkan dan tidak melakukannya dengan melampaui batas (berlebihan).
3. Perbedaan agama
Salah satu dari keduanya tidak mengikuti satu macam agama. Seperti salah satunya muslim dan yang kedua kafir, atau salah satunya yahudi atau yang lainnya. Maka antara keduanya tidak saling mewarisi karena hubungan antara keduanya telah terputus secara syar’i. Karena Allah telah berfirman pada surat Hud ayat 46
لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صاَ لِحٍ
“Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluarga (yang dijanjikan akan diselamatkan)”
Dan berdasarkan hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi bersabda :
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكاَفرَ وَلَا الكاَفِرُ المُسْلِمَ
“Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”.
Beberapa sahabat (dari madzhab Hambali) semoga Allah merahmati mereka pengecualian dari dua masalah perkara ini :
1). Mewarisi dengan Wala’ maka tidak terhalangi warisannya dengan sebab perbadaan agama, bahkan seorang yang telah memerdekakan budak, maka dia mendapatkan warisan dari orang yang dia merdekakan (maula-nya) meskipun berbeda agama dengan maula-nya.
2). Jika seorang kafir masuk kedalam islam sebelum pembagian harta warisan, maka dia mendapatkan warisan dari saudaranya yang muslim supaya dapat menjadikan dirinya cinta kepada islam.
Sebagaimana Syaikhul Islam mengecualikan dengan tiga masalah:
1). Perbedaan islam yang benar dengan munafik, dia berkata : Tidak menghalangi hak saling mewarisi antara muslim dan munafik, karena dia dihukumi berdasarkan keislamannya yang terlihat (dzahirnya).
2). Seorang muslim mewarisi dari kerabatnya yang kafir dzimmi (orang kafir yang hidup dibawah kekuasaan muslimin) dan bukan sebaliknya.
3). Seorang yang telah murtad (keluar dari agama islam) ketika mati atau dibunuh karena kemurtadannya, maka dia diwarisi oleh saudaranya muslim.
2.6 Ahli Waris dari Golongan Laki-Laki dan Golongan Wanita
Ahli waris dari laki-laki ada 10:
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah.
3. Ayah.
4. Kakek dan seterusnya ke atas.
5. Saudara laki-laki.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan).
7. Paman.
8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh.
9. Suami.
10. Laki-laki yang memerdekakan budak.
Ahli waris dari perempuan ada 7:
1. Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
3. Ibu
4. Nenek dan seterusnya ke atas
5. Saudara perempuan
6. Istri
7. Wanita yang memerdekakan budak
Berikut penjelasan beserta dalilnya:
Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki
Ahli waris dari golongan laki-laki berjumlah sepuluh orang:
1 dan 2). Anak laki-laki (al-ibn) dan cucu dari anak laki-laki (ibnul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan un-tuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” [An-Nisaa/4: 11]
3 dan 4). Ayah (al-ab) dan kakek (al-jad) ke atas (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa/4: 11]
Sedangkan kakek (al-jad) adalah ayah juga, oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا ابْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ.
“Aku putera ‘Abdul Muththalib”
5 dan 6). Saudara laki-laki (al-akh) dan anak laki-lakinya (ibnul akh) walaupun jauh jaraknya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa/4: 176]
7 dan 8). Saudara laki-laki ayah (al-‘am atau paman) dan anak laki-laki-nya (ibnul ‘am) walaupun berjauhan.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.”[8]
9). Suami (az-zauj).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu…” [An-Nisaa/4: 12]
10). Budak laki-laki yang telah dimerdekakan (al-maulal mu’taq).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.”
Ahli Waris Dari Golongan Wanita
1 dan 2). Anak perempuan (al-bint) dan cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki secara murni).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu…” [An-Nisaa/4: 11]
3 dan 4). Ibu (al-umm) dan nenek (al-jaddah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa/4: 11]
5). Saudara perempuan (al-ukht).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“… Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya…” [An-Nisaa/4: 176]
6). Isteri (az-zaujah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“…Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…” [An-Nisaa/4: 12]
7). Budak wanita yang telah dimerdekakan (al-maulaah al-mu’-taqah).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.”[10]
Hak waris yang tidak bisa gugur:
1. Suami dan istri
2. Ayah dan ibu
3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan
4. Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:
5. Budak laki-laki maupun perempuan
6. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
7. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
8. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
9. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
10. Orang yang murtad
11. Berbeda agama
2.7 Perincian Pembagian Harta Waris
Kerabat laki-laki yang berhak menerima pustaka :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Bapak
4. Kakek/ayahnya ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Suami
11. Paman sekandung
12. Paman sebapak
13. Anak dari paman laki-laki sekandung
14. Anak dari paman laki-laki sebapak
15. Laki-laki yang memerdekakan budak
Selain yang disebutkan diatas termasuk “dzawil arhan” seperti paman darai pihak ibu,anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapatkan harta waris.
1. Ahli waris perempuan
2. Anak perempuan
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki
4. Ibu
5. Nenek/ibunya ibu
6. Nenek/ibunya bapak
7. Nenek/ibunya kakek
8. Saudari kandung
9. Saudari sebapak
10. Saudari seibu
11. Istri
12. Wanita yang memerdekakan budak
Semua keluarga wanita selain ahli waris yang telah di sebutkan, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arhan” tidak endapatkan harta waris.
Ketentuan :
1). Bila ahli waris laki-laki yan berjumlah lima belas diatas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya 3 saja, yaitu: bapak, anak, dan suami. Sedangkan yang lainny mahjub (terhalang ) oleh tiga ini.
2). Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatan harta waris hanya 5 saja, yaitu: anak permpuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri, saudari sekandung.
3). Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris 5 itu saja: bapak, anak, suami atau istri, anak permpuan dan ibu.
Perincian bagian setiap ahli waris dan persyaratannya:
> Bagian anak laki-laki
1). Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2). Mendapatkan ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ahli waris lain.
3). Mendapatkan ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
Jika anak laki-laki si mayit terdiri dari laki-laki dan permpuan maka maka anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian. Misalnya, si mayit meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki maka harta waris dibagi 9. setiap anak permpuan mendapat 1 bagian, dan anak aki-laki mendapat 2 bagian.
> Bagian ayah
1). Mendapatkan 1/6 bila si mayit memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki. Misalnya si mayit meninggkan anak laki-laki dan bapak, mk harta dibagi menjadi 6, ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
2). Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki. Misalnya si mayit meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat 1/2 dari peninggalan istri, bapak mendapat ashabah (sisa)
3). Mendapat 1/6 atau ashabah, bila hanya ada nak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mayit meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapatkan 1/2 dan ayah mendapatkan 1/6 plus ashabah
> Bagian kakek
1). Mendapatkan 1/6 bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dan tidak ada bapak. Misalnya si mayit meninggakan anak lak-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6 sisanya untuk anak laki-laki.
2). Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia.
3). Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mayit meninggalan kakek dn suami. Maka suami mendapatkan 1/2 sisanya untuk kakek. Harta dibagi menjadi 2, sumai=1 kakek=1
4). Kakek Mendapatkan 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mayit meninggalkan kakek dan satu anak perempuan. Maka anak perempuan mendapatkan 1/2 dan kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah.
Dari keterangan diatas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain akek dan istri tau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami/istri mendapat bagian.
> Bagian suami
1). Mendapatkan 1/2 bila istri tidak meninggalan anak atau cucu dari anak laki-laki
2). Mendapatkan 1/4 bila istri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya istri mati meninggalkan 1 anak laki-laki, 1 anak perempuan dan suami. Maka suami Mendapatkan 1/4 dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 bagian anak perempuan 1.
> Bagian anak perempuaan
1). Mendapatkan 1/2 bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
2). Mendapatkan 2/3 bila jumlah nya 2 atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
3). Mendapatkan sisa, bila bersama anak laki-laki. Perempuan 1 bagian dan laki-laki 2 bagian.
> Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki
1). Mendapatkan 1/2 bila dia sendiri dan tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
2). Mendapatkan 2/3 bila jumlah nya 2 atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan
3). Mendapatkan 1/6 bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki.
4). Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki. cucu laki-laki mendapatkan 2, Perempuan 1 bagian. Misalnya si mayit meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dbagi menjadi 10 bagian. cucu laki-laki mendapatkan 2 bagin dan cucu perempuan mendapat 1 bagian.
> Bagian istri
1). Mendapatkan 1/4 bila tidak ada anak atau cucu.
2). Mendapatkan 1/8 bila ada anak atau cucu
3). Mendapatkan 1/4 atau 1/8 dibagi rata, bila istri lebih dari satu.
> Bagian ibu
1). Mendapatkan 1/6 bila ada anak atau cucu
2). Mendapatkan 1/6 bila ada saudara atau saudari
3). Mendapatkan 1/3 bila hanya dia dan bapak
4). Mendapatkan 1/3 dari sisa setelah suami mendapat bagiaannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat 1/2 ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah
5). Mendapatkan 1/3 setelah istri mendapat bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan istri. Maka istri mendapat 1/4 ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah.
Sengaja poin nomor 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah suami atu istri mendapatkan bagian, bukan 1/3 dari harta semua, agar waita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki.
> Bagian nenek
1). Nenek yang mendapatkan warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, dan ibunya kakek.
2). Tidak mendapat warisan, bila si mayit meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
3). Mendapatkan 1/6 apabila seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu.
> Bagian saudari sekandung
1). Mendapatkan 1/2 apabila sendirian, tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, dan anak.
2). Mendapatkan 2/3 jika jumahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, dan anak.
3). Mendapatkan bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki dan bapak. Laki-laki mendapat 2 bagian dan perempuan satu bagian.
> Bagian saudari sebapak
1). Mendapatkan 1/2 apabila sendirian, tidak ada bapak, kakek, dan anak dan tidak ada saudara.
2). Mendapatkan 2/3 jika jumlahnya dua atau lebih tidak ada bapak, kakek, dan anak dan tidak ada saudara sebapak, atau saudara kandung.
3). Mendapatkan 1/6 baik sendiri atau lebih, bia ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara.
Mendapatkan bagian ashabah bila ada saudara sebapak. saudara sebapak mendapat 2 bagian dan dia 1 bagian.
> Bagian saudara seibu
1). Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya
2). Mendapatkan 1/6 apabila seorang diri, bila tidak ada anakcucu, bapak ,kakek.
3). Mendapatkan 1/3 jika jumlahnya dua atau lebih, baik lkai-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak , cucu, bpak, kakek.
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١١
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ١٢
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa diambil dalam Ilmu waris ini adalah ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta warisan setelah seseorang meninggal dunia. Melanggar hukum waris dapat menyebabkan dosa dan hukuman dari Allah Azza wa jalla. Harta warisan meliputi semua harta yang dimiliki oleh orang yang meninggal dunia, sebab-sebab orang menerima warisan adalah karena masih ada hubungan keluarga. Pembagian warisan dilakukan berdasarkan hukum Islam, dengan bagian yang berbeda-beda untuk anak laki-laki, anak Perempuan, istri/suami, dan orang tua. Pembagian warisan untuk anak laki-laki adalah 2/3, pembagian warisan untuk anak Perempuan adalah 1/3, Istri/suami adalah 1/8 (jika ada anak) dan 1/4 (jika tidak ada anak), orang tua adalah 1/6 (jika ada anak), 1/3 (jika tidak ada anak). Dengan memahami ilmu waris, kita dapat membagi harta warisan dengan adil dan setara.
DAFTAR PUSTAKA
Prodjodikoro, Wirjono. 1991. Hukum Kewarisan di Indonesia. Bandung: Sumber Bandung.
Al-khalafi Badawal, Syaikh Abdul Azhim bin. (2007, September). Kitab Warisan. Almanhaj.
https://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.htmlhttps://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.html
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Fiqih Mawaris. Bandung: CV. Pustaka Setia, 13-16.
(2015). Fitnah Sebagai Penghalang Menjadi Ahli Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam (Studi Analisis Ushuliyah). (Skripsi Sarjana, IAIN Jember).
http://digilib.uinkhas.ac.id/18175/1/Andri%20Irwantono_083111024.pdf
https://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.html
Al-Qur'anul Karim.
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqh Islam wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1985.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Ibnu Qudamah. Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Kementerian Agama RI. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Buku Ilmu Waris (Metode praktis menghitung warisan dalam syariat islam)
https://almanhaj.or.id/967-kitab-warisan.html
https://rumaysho.com/2502-panduan-ringkas-ilmu-waris.html
Al-Qur’an dan Hadits
Kitab Al-Hidayah, (karya Al-Marghinani)
Kitab Al-Muwatta, (karya Imam Malik)
Kitab Al-Umm, (karya Imam Syafi’I)