Kamis, 25 April 2024

Ilmu Jarh wa Ta'dil

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 7 Angkatan 5 :
1. Azzubair Juarsa (SBA).
2. Hadni (PAI).
3. Osa Maliki (MPI).
4. Agis Sugiana (SBA).
5. Nanda Fajar Aprillianto (PAI).


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

Alhamdulillah, puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Ta’ala. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Ilmu Jarh wa Ta'dil” dapat kami selesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman bagi pembaca tentang bagian dari ilmu hadis ini. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah ta’ala karuniakan kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun dengan baik melalui beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan do'a sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menjadi pengetahuan dan ilmu untuk kami para penyusun makalah dan para pembaca.

Demikian makalah ini dibuat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, maka kami mohon maaf. Kami menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

Bekasi, 05 Maret 2024 M
24 Sya'ban 1445 H

Penyusun Makalah
Kelompok 7

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1  Latar Belakang Masalah.
1.2  Rumusan Masalah.
1.3  Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Ilmu Jarh wa Ta'dil
2.2  Syarat pen-Ta'dil dan pen-Tajrih.
2.3  Cacat-cacat yang Merusak Kesahihan Hadits.
2.4  Lafadz dan Maratib Jarh wa Ta'dil
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

“Konon”, “kabarnya”, “menurut sumber terpercaya”, katanya” adalah istilah-istilah yang biasa dipakai oleh pembawa informasi kepada kita saat ini. Siapa sesungguhnya pembawa informasi tidak begitu menjadi soal atau suatu hal yang penting. Sehingga hal ini menunjukkan kepada kita, betapa berita, kabar, atau apapun yang bersifat informatif yang beredar di masyarakat kita, sesungguhnya memiliki akurasi yang diragukan.

Dan hal ini berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama ilmiah, Islam mengedepankan sikap kehati-hatian yang tinggi dalam menyebarkan informasi kepada umatnya. Hadits, atsar shahabat, perkataan ulama, tarikh (sejarah) dan sebagainya, semuanya merupakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kepada publik.

Adapun untuk hadits yang disandarkan ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran tentunya untuk mengkaji keabsahan sebuah hadits dibutuhkan ilmu dan alat agar bisa diketahui apakah hadits tersebut layak dijadikan hujjah atas suatu hukum atau tidak. Layak dijadikan sumber pegangan dalam beramal atau tidak. Salah satu alat yang bisa digunakan untuk menilai sebuah hadits ialah ilmu jahr wa ta’dil, yang khusus untuk menilai para perawi hadits apakah periwayatannya bisa diterima atau ditolak. Hal tersebut perlu dilakukan karena perawi hadits sebagai mata rantai dari teks hadits, sehingga kualitas teks hadits sangat berpengaruh terhadap kualitas para perawinya. Jika perawinya lemah atau fasik (tercela) maka bisa dipastikan teks hadits yang disampaikan jauh dari level shahih. Untuk itu, dalam memahami hadits tidak cukup hanya langsung kepada matan hadits (subtansi)-nya, namun juga harus kepada perawinya karena ia adalah penyampai dari sumber primer hadits itu sendiri yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian bukan berarti Islam menihilkan perbedaan. Perbedaan dalam mengukur kesahihan informasi memang terkadang muncul tanpa bisa dielakkan. Tapi perbedaan yang ditolerir Islam di sini adalah perbedaan yang dilatari dalil-dalil ilmiah. Bukan dalil yang dibangun di atas fanatisme madzhab atau golongan. Bukan pula pembenaran yang dibangun di atas logika yang dangkal.

Melalui kajian ilmu jahr wa ta’dil ini besar harapan umat Islam bisa lebih objektif dalam mempelajari, memahami dan menilai tentang sebuah hadits untuk benar-benar bisa dijadikan hujjah dalam beramal secara shahih.

Selain sebagai dasar ilmu hadits, jarh wa ta’dil juga diterapkan sebagai benteng bagi tersebarnya pemikiran atau isme-isme menyimpang yang banyak dikumandangkan sejumlah ‘intelektual’ Islam, orientalis, dan pengekor ideologi barat.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang perlu dijelaskan dan dikaji dalam makalah ini adalah:

1.  Pengertian Ilmu Jarh wa Ta'dil?
2.  Syarat pen-Ta'dil dan pen-Tajrih?
3.  Cacat-cacat yang Merusak Kesahihan Hadits?
4.  Lafadz dan Maratib Jarh wa Ta'dil?

1.3  Manfaat Penelitian.

Adapun berdasarkan rumusan masalah diatas, manfaat dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui Pengertian Ilmu Jarh wa Ta'dil?
2. Mengetahui Syarat pen-Ta'dil dan pen-Tajrih?
3. Mengetahui Cacat-cacat yang Merusak Kesahihan Hadits?
4. Mengetahui Lafadz dan Maratib Jarh wa Ta'dil?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ilmu Jarh wa Ta'dil

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang.

· Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.

· At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendha’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.

Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.

· Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).

· At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.[1] 
[1] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005) h. 78

Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh wa al-Ta’dil".

Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:

هوالعلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها

"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".[2] 
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h.268

Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan:

"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".[3] 
[3] Mudasir, “Ilmu Hadits”, (Bandung: Pustaka Setia), 1999, h.51

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :

- Sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).

- Sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang Tengah melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu‟awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR.Muslim).

Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta‟dil, salah satunya berdasarkan hadits :

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).

Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta‟dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.

2.2  Syarat pen-Ta'dil dan pen-Tajrih

Ilmu Al- jarh wa At- ta’dil sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat di terima atau harus di tolak. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwatannya harus di tolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwatannya di terima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.

Diisyaratkan kepada mua’ddil pada jarih, ilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’asshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan sebab-sebab tazkiyah (ta’dil). Orang yang tidak demikian keadaan nya, tidaklah dapat di terima tazkiyah dan jarahnya.

Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :

1. Berilmu

Yaitu menguasai berbagai macam di siplin ilmu-ilmu agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam materi hadits, karena mustahil bagi orang yang mentarjih atau menta’dil itu bisa memberikan argumen-argumen ataus tuduhan jikalau tidak ada ilmu yang di miliki. Di samping itu, ilmu ini butuh penalaran yang sangat tinggi sehingga ilmu ini tidak menerima riwayat dari orang yang cerdas dalam berfikir.

2. Taqwa

Bagi orang yang mentarjih atau menta’dil harus dalam keadaantakut kepada Allah karena hal ini akan sangat berdampak negative jika seorang penjarah atau penta’dil tidak meyakini existensi sang maha pencipta

3. Wara’

Yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau perbuatan maksiat, hal-hal yang subhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat. Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang di murkai Allah.

4. Jujur

Adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam memberikan persaksian bahwa si fulan telah begini dan begitu. Karena tidak menutup kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan orang yang tidak di sukai.

5. Jauh dari ta’ashub ( fanatic golongan)

Syarat ini ada kaitan nya dengan jujur karena orang yang tidak menjauhi sekte nya masing – masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan dalam mempertahankan sekte yang di anut. Maka pada akhirnya, pendapat nya akan tidak jujur di sebabkan karena arogansi yang di miliki oleh masing- masing sekte.

6. Mengetahui Sebab-Sebab mentajrih dan menta’dil

Sebagaimana yang telah di ketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak di terima tajrih dan ta’dil jika tidak mentebutkan sebab-sebabnya. Oleh karena itu, para ulama yang setuju dengan pendapat di atas telah sepakat untuk memasukan syarat bagi orang yang mentajrih atau menta’dil bahwa harus ada penyebutan sebab-sebab, mengapa dia mentajrih atau menta’dil menjarahkan ataupun menta’dilkan seorang perowi, maka kita tidak perlu segera menerima pendapatnya tersebut tetapi hendaklah kita melakukan penelitian terlebih dahulu. Karena, kadang-kadang sebab-sebab yang di gunakan untuk menjarah atau menta’dil itu setelah kita adakan penyelidikan ternyata dapat di pakai untuk menolak tuduhan. Di katakana kepada yahya bin sa’id alqathan, “apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata ,”mereka menjadu musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah.”[4]
[4] https://id.scribd.com/document/530822332/TUGAS-ILMU-HADITS-SYARAT-SYARAT-PENTA-DIL

2.3  Cacat-cacat ('Illat) yang Merusak Kesahihan Hadits

Kata ‘illat (jamaknya ‘ilal) secara etimologi berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini, maka yang disebut hadits ber-‘illatadalah hadits yang ada cacat atau penyakitnya. Secara terminologi, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak keshahihan hadits tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.[5] 
[x]. Munzier Suparta,op. cit.,h.133.

Menemukan ‘illat hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat, dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘illat itu sendiri samar lagi tersembunyi, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu-ilmu hadits. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata, “Menemukan ‘illat ini termasuk bagian ilmu hadits yang paling samar dan paling rumit dan yang bisa melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan.”

Pakar yang berpengalaman mengenai jenis ilmu ini benar-benar mengandalkan kepada semacam ilham yang dikaruniakan Allah untuk mengetahui salah satu‘illatyang tersembunyi. Hal itu tidak aneh, karena pengetahuan tentang hadits bukanlah sekedar hafalan lisan, melainkan adalah ilmu yang diberitahukan dan dimasukkan oleh Allah dalam hati.[6]
[6] Subhi As-Shalih,op. cit.,h. 171.28

Adapun cara untuk mengetahui ‘illat hadits adalah: 
1) semua sanad yang berkaitan dengan hadits yang diteliti dan dihimpun, dan 
2) seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat dan ‘illat hadits.

Ulama hadits umumnya menyatakan bahwa ‘illat hadits kebanyakan berbentuk:

1) sanad yang tampak muttashil[7] dan marfu’[8] ternyata muttashil tetapi mauquf,[9]
[7] Muttashil secara bahasa adalah isim fa’il dari  ًﻻﺎَﺼﱢﺗا ُﻞِﺼﱠﺘَﯾ َﻞَﺼﱠﺗا yang berarti yang bersambung. Sebagian ulama menyebutnya hadits maushul, isim maf’ul dari ًﻼْﺻَو ُﻞِﺼَﯾ َﻞَﺻَو yang bermakna disambung. Dalam istilah, hadits muttashil atau maushūl adalah   ٌءاَﻮَﺳ ِﮫِﺘَﯾﺎَﻏ ﻰَﻟِإ ُهُﺪَﻨَﺳ َﻞَﺼﱠﺗا ﺎَﻣ ﺎًﻓْﻮُﻗْﻮَﻣ ْمَأ َﻢﱠ ﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫّ ﻠﻟا ﻰﱠ ﻠَﺻ ِلْﻮُﺳّ َﺮﻟا ﻰَﻟِإ ﺎًﻋْﻮُﻓْﺮَﻣ َنﺎَﻛ artinya “Sesuatu yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’ disandarkan kepada Rasul saw maupun mauquf (disandarkan kepada sahabat). ”Lihat Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. ke-2, h. 264.
[8] Marfu’ menurut bahasa artinya yang diangkat atau yang ditinggikan, merupakan lawan kata dari makhfudh. Menurut istilah sebagian ahli hadits ialah َﻢﱠ ﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫّ ﻠﻟا ﻰﱠ ﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ُلْﻮُﻘْﻨَﻤْﻟا ُﺚْﯾِﺪَﺤْﻟا ِﮫْﯿَﻟِإ ِﮫِﻌْﻓَرَو ِهِدﺎَﻨْﺳِﺈِﺑ artinya, “Hadits yang dipindahkan dari Nabi saw dengan menyandarkan dan mengangkat kepadanya.” Lebih jelasnya, hadits marfu’ adalah hadits yang terangkat sampai kepada Rasulullah saw, dan atau ia dinamakan marfu’ untuk menunjukkan kedudukan beliau sebagai seorang Rasul. Lihat ibid.,h. 251-252.
[9] Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqaf yang artinya berhenti. Menurut pengertian istilah ulama hadits ialah ﺎًﻌِﻄَﻘْﻨُﻣ ْوَأ َنﺎَﻛ ًﻼِﺼﱠﺘُﻣ َﻚِﻟاَذ ِﻮْﺤَﻧ ْوَأ ٍﻞْﻌِﻓ ْوَأ ٍلْﻮَﻗ ْﻦِﻣ ﱢﻲِﺑﺎَﺤﱠﺼﻟا ﻰَﻟِإ َﻒْﯿِﺿُ أ ﺎَﻣ artinya, “Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau yang lainnya, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”Lebih jelasnya, hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, baik bersambung sanadnya atau terputus. Lihat ibid.,h. 257.

2) sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi mursal[10] (hanya sampai ke al-tabi’i),[11] 
[10] Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang berarti melepaskan. Jadi, seakan-akan lepas dari ikatan sanad dan tidak terikat dengan perawi yang sudah dikenal. Menurut istilah yakni hadits yang gugur pada akhir sanad setelah tabi’in. Gambarannya adalah bahwa sorang tabi’in (baik tabi’in senior maupun junior) mengatakan: Rasulullah saw bersabda begini-begini, atau telah mengerjakan begini-begini, atau dilakukannya suatu perbuatan dengan kehadiran beliau begini-begini. Bentuk seperti ini merupakan mursal menurut para pakar hadits. Lihat Mahmud Thahan, Taisir Mushthalaẖ Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Abu Fuad dengan judul, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), Cet. ke-3, h. 84.
[11] Al-Tabi’i merupakan bentuk mufrad dari tabi’in yang berarti adalah pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in ialah seluruh orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu dengan Nabi saw, dan tidak pula semasa dengan Nabi saw. Ibnu Hajar berkata: ﱠﺼﻟا َﻲِﻘَﻟ ْﻦَﻣ ﱡﻲِﻌِﺑﺎﱠﺘﻟا ِمَﻼْﺳﺈْﻟﺎِﺑ ﺎًﻨِﻣْﺆُﻣ ﱠﻲِﺑﺎَﺤ  Artinya, “Tabi’i itu orang yang menjumpai shahab dalam keadaan beriman dan mati dalam Islam. ”Lihat Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. ke-2, h.217.29

3) terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain, dan 

4) terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama tsiqah.

Dua bentuk ‘illat yang disebutkan pertama berupa sanad hadits terputus, sedang dua bentuk ‘illat yang disebutkan terakhir berupa periwayat yang tidak dhabith, sedikitnya tidak tamm al-dhabth.[12]
[12] M. Syuhudi Ismail,Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, op. cit.,h. 155.

2.4  Lafadz dan Maratib Jarh wa Ta'dil

Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya al-jarh wa at-Ta'dil telah membagi jarh dan ta'dil menjadi empat macam. Masing-masing tingkatan dijelaskan hukumnya. Lalu para ulama telah menambah lagi dengan dua tingkatan jarh dan ta'dil, sehingga menjadi enam tingkatan, yaitu :

1. Tingkatan Ta'dil Dan Lafadz-Lafadznya[13]
[13] Dr. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalaẖ Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Abu Fuad dengan judul, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal 95

a. Lafadz yang menunjukan mubalaghoh (kelebihan) dalam hal ketsiqohan (keteguhan), atau lafadz yang yang mengikuti wazan fa'ala. Contohnya : fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si fulan itu paling tingi keteguhannya), atau dulanun tsabata an-bas (si fulan itu termasuk orang yang paling teguh.
  
b. Lafadz yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqoh. Seperti, tsiqatun tsiqoh (orang yang sangat-sangat tsiqoh), atau tsiqotun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).

c. Lafadz (ungkapan) yang menunjukan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun (orangnya tshiqah), atau hujjatun (orangnya ahli argumen).  

d. Lafadz yang menunjukan ta'dil tanpa menampakan kedhabitan. Seperti, Shoduqun (orangnya  jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shoduq, atau la ba'sa bihi (orangnya tidak punya masalah -cacat-) yang diungkapkan oleh selain Ibnu Ma'in, karena kata la ba'sa bihi yang ditujukan terhadap rawi dan dikatakan oleh ibnu Ma'in mempunyai arti tshiqah.

e. Lafadz yang tidak menunjukan kestsiqahan atau tidak menunjukan adanya jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu seorang syakh/guru), atau ruwiya 'anhu an-nas (manusia meriwayatkan darinya). 

f. Lafadz yang mendekati adanya jarh. Sepeti, fulanun shalih al-hadits (si fulan yang haditsnya shahih), atau yuktabu hadistuhu (orang yang haditsnya dicatat). 

2. Hukum Tingkatan-Tingkatan Tersebut[14]
[14] Dr. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalaẖ Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Abu Fuad dengan judul, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal 96

a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatanya berbeda dengan sebagian lainnya.

b. Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. meski demikian, haditsnya bisa dicatat dan diberitakan[15], walaupun mereka tergolong tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
[15] yaitu diberitahukan mengenai kedhabitannya, untuk (riwayat) haditsnya, dibandingkan dengan hadits-hadits yang tsiqah dan dhabit. Jika mereka sesuai haditsnya, maka haditsnya dapat dijadikan sebagai hujjah, jika tidak maka tidak dapat  dijadikan sebagai hujjah. jadi, jika dikatakan sebagai shaduq terhadap rawinya, maka haditsnya tidak dapat  dijadikan sebagai hujjah sebelum adanya penjelasan. Karena itu, adalah keliru orang-orang yang menyangka bahwa seseorang yang dkomentari dengan shoduq berarti haditsnya hasan, karena hadits hasan itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini menurut pengertian para imam jarh dan ta'dil. Srbagian al-hafidz Ibunu Hajar, dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib, mempunyai pengertian khusus terhadap kata shoduq. Wallahu A'lam
 
c. Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian hadits-hadits mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah berita (hadits yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya ketidakdhabitan mereka.

3. Tingkatan Jarh Dan Lafadz-Lafadznya[16]
[16] Dr. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalaẖ Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Abu Fuad dengan judul, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal 97

a. Lafadz yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun layinun al-hadits (si fulan haditsnya lunak), atau fihi maqalun (didalamnya dipertimbangkan).
 
b. Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun la yuktabu bihi (si fulan yang haditsnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah), atau dha'if (lemah), lahu manakir (dia haditsnya munkar).  
 
c. Lafadz yang menunjukkan tidak bisa ditulis haditsnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun la yuktabu haditsuhu (si fulan yang hadistnya tidak bisa dicatat), la tahillu riwayatu 'anhu (tidak boleh meriwayatkan hadits darinya), dha'if jiddan (amat lemah), wahn bi marratin (orang yang melakukan persangkaan).  
  
d. Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya, fulanun muhtammun bi al-kadzib (si fulan yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadh'i (orang yang dituduh berbuat palsu), atau yasriqu al-hadits (yang mencuri hadits), atau shaqithun (gugur), atau mathruk (ditinggalkan) atau laisa al-tsiqatin (tidak tsiqah).    

e. Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya, kadzdzab (pendusta), atau dajjal, atau wadla' (pemaldu), atau yukadzdzibu (didustakan), atau yadla'u (pembuat hadits palsu).  

f. Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghah (tingkatan yang sangat berat) dalam perbuatan dusta. Dan ini tingkatan yang paling buru. Contohnya, fulanun akdzabu an-nas (si fulan itu orang yang paling pendusta). ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), huwa ruknu al-kadzbhi (dia orang yang menjadi penopang dusta).    

4. Hukum Terhadap Masing-Masing Tingkatan[17]
15] Idem.

a. Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi hadits-hadits mereka bisa ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka termasuk kelompok tingkat yang kedua, bukan tingkat yang pertama.

b. Sedangkan yang termasuk empat tingkatan terakhir, hadits-hadits mereka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan sebagai pelajaran.  

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

Ilmu Al- jarh wa At- ta’dil sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat di terima atau harus di tolak. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwatannya harus di tolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwatannya di terima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.

Melalui kajian ilmu jahr wa ta’dil ini besar harapan umat Islam bisa lebih objektif dalam mempelajari, memahami dan menilai tentang sebuah hadits untuk benar-benar bisa dijadikan hujjah dalam beramal secara shahih.

Selain sebagai dasar ilmu hadits, jarh wa ta’dil juga diterapkan sebagai benteng bagi tersebarnya pemikiran atau isme-isme menyimpang yang banyak dikumandangkan sejumlah ‘intelektual’ Islam, orientalis, dan pengekor ideologi barat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013),

Dr. Mahmud Thahan, Taisir Mushthalaẖ Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Abu Fuad dengan judul, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005)

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar