Sabtu, 18 Mei 2024

Elaborasi dan Eksplorasi Hadits-Hadits tentang Pendidikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadist
Dosen Pengampu : Muh. Ihsanuddin, M.Phil.
Oleh Kelompok 10 Angkatan 5:
1. Suci Mardothillah (PAUD)
2. Jannatul Firdausi Nuzula (PAI)
3. Khairun Nisa Nurpratiwi (PAUD)
4. Fitrianti A (PAI)

KATA PENGANTAR

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ اَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ وَهَدَىنَا عَلَى الدِّيْنِ الْاِسْلَامِ صَلَاةُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ وَءَالِهِ وَصَحْبِهَ اَجْمَعِيْنَ، أمَّا بَعْدُ

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah subhanahu wa ta’ala atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Hadist berjudul “Elaborasi dan Eksplorasi Hadist-Hadist tentang Pendidikan” dan bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.

Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Ilmu Hadist yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Jakarta, 16 Mei 2023

Penyusun Makalah
Kelompok 10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang Masalah.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Definisi Elaborasi dan Eksplorasi Hadist-Hadist Pendidikan.
2.2 Kewajiban Menuntut Ilmu Agama.
2.3 Keutamaan Menuntut Ilmu Agama.
2.4 Tujuan Menuntut Ilmu.
2.5 Tahapan Menuntut Ilmu.
2.6 Metode Menuntut Ilmu.
2.7 Evaluasi Dalam Menuntut Ilmu.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hadist dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rujukan atau sumber kedua setelah al-Qur’an dalam agama Islam. Al-Qur’an adalah wahyu yang diterima oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui malaikat, untuk disampaikan kepada manusia. Semua ayat al-Qur’an diterima oleh sahabat rasulullah secara mutawātir (beruntun/beriringan), ditulis da dikumpul sejak zaman nabi masih baik melalui hafalan dan tulisan di batu ataupun pelepah kurma, lalu dibukukan secara rasmi sejak zaman kalifah Abu Bakr al-Siddiq (w. 13 H). Karena itu Al-Qur’an memiki sifat yang pasti otentisitasnya (qath’i as-subut). Manakala hadist Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagian besar tidak diriwayatkan secara mutawātir. Pembukuan hadist secara rasmi baru dilakukan pada saat zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), dikarenakan itu otentitas hadist masih bersifat dugaan kuat atau sangkaan. Oleh karena itu orisinalitas dan kualitas sebuah hadis, membutuhkan ilmu hadis, baik ilmu hadis riwāyah (praktis) maupun ilmu hadis dirāyah (teoretis).

Pendidikan memiliki pengertian yang sangat luas, juga memiliki peran yang besar dalam mewujudkan perubahan baik dalam cara hidup ataupun dalam bertindak. Karena dengan pendidikan manusia dapat mencapai sebuah tujuan dengan yang telah ditetapkan. Dilihat pada penting pendidikan tersebut, oleh karena itu dibutuhkan materi-materi yang harus dijadikan landasan dan sadaran dalam pendidikan. Maka materi Pendidikan Agama Islam adalah hal dasar yang harus diajarkan dari sejak kecil. Pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama Islam hendaklah disusun sebaik mungkin agar dapat disajikan ataupun disampaikan kepada anak didik.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam segala aspek kehidupan manusia, telah meletakan beberapa materi pendidikan yang bisa ditelusuri dalam hadis-hadis beliau. Oleh sebab itu dalam di sini akan dimunculkan beberapa materi pendidikan dalam hadis Nabi. Di makalah ini akan membahas terkait bagaimana elaborasi (teknik/strategi) dan eksplorasi (tahap) hadist-hadist tentang pendidikan, baik kewajiban menuntut ilmu, keutamaan, tujuan, tahapan metode dan evaluasi dalam menuntut ilmu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi elaborasi dan eksplorasi hadist-hadist tentang pendidikan ?
2. Apa saja hadist kewajiban menuntut ilmu dan penjelasannya ?
3. Apa keutamaan menuntut ilmu dan penjelasanya ?
4. Apa tujuan menuntut ilmu ?
5. Apa tahapan dalam menuntut ilmu ?
6. Apa metode menuntut ilmu ?
7. Bagaimana evaluasi dalam menuntut ilmu?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui elaborasi dan eksplorasi hadist-hadist tentag pendidikan?
2. Mengetahui hadist kewajiban menuntut ilmu dan penjelasannya?
3. Mengetahui keutamaan menuntut ilmu dan penjelasanya?
4. mengetahui tujuan menuntu ilmu?
5. Apakah tahapan dalam menuntut ilmu?
6. Apakah metode dalam menuntut ilmu
7. Apa metode menuntut ilmu?
8. Bagaimana evaluasi dalam menuntut ilmu?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Elaborasi dan Eksplorasi Hadist-Hadist Pendidikan

Elaborasi dan eksplorasi merupakan dua konsep penting dalam memahami dan mengkaji hadis-hadis pendidikan. Elaborasi berarti menguraikan atau menjelaskan secara rinci dan mendetail, sedangkan eksplorasi berarti menggali atau mengkaji secara mendalam.

a. Elaborasi Hadis-Hadis Pendidikan:

Elaborasi hadis-hadis pendidikan adalah proses menjelaskan dan menguraikan makna, konteks, dan implikasi dari hadis-hadis yang berkaitan dengan pendidikan secara rinci dan terperinci. Ini melibatkan penjelasan tentang latar belakang hadis, makna kata-kata kunci, hubungannya dengan ayat-ayat Al-Quran, dan bagaimana hadis tersebut dapat diterapkan dalam konteks pendidikan modern[1]
[1] Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf. (2015). Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim bin Al-Hajjaj. Beirut: Dar Al-Minhaj.

b. Eksplorasi Hadis-Hadis Pendidikan:

Eksplorasi hadis-hadis pendidikan adalah proses menggali dan mengkaji hadis-hadis terkait pendidikan secara mendalam dan komprehensif. Ini melibatkan penelitian terhadap sumber-sumber hadis yang otentik, studi kritis terhadap sanad (rantai periwayatan) dan matan (teks) hadis, serta analisis kontekstual dan historis dari hadis-hadis tersebut[2]
[2] Azami, M. M. (2008). Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Tujuan dari elaborasi dan eksplorasi hadis-hadis pendidikan adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang ajaran-ajaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dalam bidang pendidikan, serta mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik pendidikan modern dengan tetap mempertahankan keaslian dan autentisitas hadis.

Dalam melakukan elaborasi dan eksplorasi hadis-hadis pendidikan, para sarjana dan peneliti menggunakan berbagai metode dan pendekatan, seperti pendekatan historis, linguistik, sosio-kultural, dan lain-lain. Hal ini membantu dalam memahami hadis-hadis secara komprehensif dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.

2.2 Kewajiban Menuntut Ilmu Agama

Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas. Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala.

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah, 'Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض

“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)

Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)

Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.

Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:

1) Ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

2) Ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

3) Ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.

4) Ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)

Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh, betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu agama yang memadai.

Terakhir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)[3]
[3] dr. M. Saifudin Hakim, MSc., Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama, https://muslim.or.id/18810-setiap-muslim-wajib-mempelajari-agama.html. Diakses pada hari Kamis, 16 Mei 2024 Pkl. 11.34 Wib

2.3 Keutamaan Menuntut Ilmu Agama

Allah Ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang suci. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian kecil darinya. Di antaranya:

1. Kesaksian Allah Ta’ala kepada orang-orang yang berilmu

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran/3: 18]

Pada ayat di atas Allah Ta’ala meminta orang yang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang sangat agung untuk diberikan kesaksian, yaitu keesaan Allah Ta’ala. Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu.

Di antara dalil yang juga menunjukkan hal ini adalah hadits yang masyhur, bahwasanya Rasulullah shallal-laahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ، يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ، وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan memberantas penyimpangan/perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw (yang melampaui batas), menolak kebohongan pelaku kebathilan (para pendusta), dan takwil orang-orang bodoh.”

2. Orang yang berilmu akan Allah angkat derajatnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah/58:11]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendah-kan beberapa kaum dengannya.”

3. Orang yang berilmu adalah orang-orang yang takut kepada Allah

Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“… Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir/35:28]

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takutnya kepada Allah.

4. Ilmu adalah nikmat yang paling agung

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat dan karunia-Nya atas Rasul-Nya (Nabi Mu-hammad) shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikan nikmat yang paling agung adalah diberikannya Al-Kitab dan Al-Hikmah, dan Allah mengajarkan beliau apa yang belum diketahuinya. Allah berfirman:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’/4: 113]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ…

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (As-Sunnah) bersamanya…”

5. Faham dalam masalah agama termasuk tanda-tanda kebaikan

Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal.

6. Orang yang berilmu dikecualikan dari laknat Allah

Imam at-Tirmidzi (wafat th. 249 H) rahimahullaah meriwayatkan dari Abu Hurairah (wafat th. 57 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.”

7. Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada ibadah sunnah dan wajib kifayah

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).”

8. Ilmu adalah kebaikan di dunia

Mengenai firman Allah Ta’ala,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً

“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia.”

Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas.

9. Orang yang menuntut ilmu akan dido’akan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ ِلِله، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ: مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.”

10. Pahala ilmu yang diajarkan akan tetap mengalir meskipun pemiliknya telah meninggal dunia

Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.”

Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.[4]
[4] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Keutamaan Ilmu Syari dan Mempelajarinya 2, https://almanhaj.or.id/13080-keutamaan-ilmu-syari-dan-mempelajarinya-2.html , Diakses pada hari Kamis, 16 Mei 2024 pukul 12.07 Wib

2.4 Tujuan Menuntut Ilmu

Tujuan menuntut ilmu untuk mengharap ridha Allah agar kita mengetahui cara mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah bermanfaat dan supaya amal ibadah yang kita lakukan tidak sia-sia, karena jika tidak mengetahui ilmunya maka perbuatan yang kita anggap benar belum tentu baik menurut Allah subhanahu wata’ala.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR. Muslim).

إِنَّكُمْ قَدْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٍ خُطَبَاؤُهُ كَثِيرٍ مُعْطُوهُ، قَلِيلٍ سُؤَّالُهُ، الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، الْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

“Sungguh kalian sekarang benar-benar berada di sebuah zaman yang banyak orang-orang faqihnya, sedikit para penceramahnya, banyak para pemberi, dan sedikit para peminta-minta. Amal di masa ini lebih baik daripada ilmu. Akan datang suatu zaman nanti di mana sedikit orang-orang faqihnya, banyak para penceramahnya, sedikit para pemberi, dan banyak para peminta-minta. Ilmu di masa itu lebih baik daripada amal." (Shahih: HR. Ath-Thabrani no. 3111).

Tujuan menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan ketidaktahuan atau menghilangkan kebodohan orang lain dengan mengajarkan ilmu, setelah kita memiliki pengetahuan tentu kita juga ingin agar orang lain mengetahuinya. Dengan pengetahuan yang kita miliki kita dapat membimbing mereka dalam perkara-perkara yang memberikan kemaslahatan dalam urusan dunia dan akhirat. Dengan kita memiliki ilmu, maka Allah akan disembah, dengan ilmu maka hak Allah pasti ditunaikan, dan dengannya pula agama islam tersebar.

2.5 Tahapan Menuntut Ilmu

Menurut Umar bin Khattab dalam mencari ilmu ada tiga tahapan yang dilalui seseorang, yaitu tahap kesombongan, tahap tawadhu, dan tahap tidak tahu apa-apa.

1. Kesombongan

Dalam menuntut ilmu, disadari atau tidak seseorang pasti merasakan kesombongan karena ilmu, misalnya ketika seseorang merasasangat memahami sesuatu yang baru diketahui, padahal belum didalami sepenuhnya, sementara orang lain yang belum belajar ilmu itu dianggap lebih rendah daripada dia, padahal mungkin kondisinya dialah yang masih banyak kekurangan.

الْـكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia" (H.R Muslim).

2. Tawadhu

Seseorang yang melewati tahapan ini semakin merasa masih banyak hal yang belum diketahui, layaknya seperti padi semakin berisi semakin merunduk, yang mana dihatinya tidak ada lagi rasa sombong, bahkan dia lebih merendahkan hatinya terhadap orang lain.

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongakan diri dan melampaui batas pada yang lain.”

3. Tidak tahu apa-apa

Pada tahapan ini, walaupun seseorang memiliki banyak ilmu, namun ia merasakan dirinya tidak ada apa-apanya, dia menyadari bahwa ilmu yang dimiliki ibarat sebutir pasir di padang pasir. Tahapan ini sudah masuk ke dalam golongan tasawuf sufi.

2.6 Metode Menuntut Ilmu

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya Hilyah Thalibil ‘Ilmi menerangkan bahwa ilmu itu ibadah. Maka harus memenuhi dua syarat ibadah, yaitu iklash dan mutaba’ah (sesuai dengan contoh rasulullah).Di antara metode dalam menuntut ilmu adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut :

نضَّر الله امرأً سَمِع مقالتي فوَعَاها وحَفِظها وبَلَّغها، فرُبَّ حامل فِقْه إلى مَن هو أفقه منه،

“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya lalu menghafalnya lalu menyampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih paham darinya” (HR At-Tirmidzi).

Hadits ini mutawatir. Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekitar dua puluh orang sahabat.

Dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan metode menuntut ilmu:
1. Mendengar.
2. Memahami.
3. Menghafal.
4. Menyampaikan.

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Awal ilmu adalah husnul istimaa’, yaitu mendengar dengan baik. Mendengar akan lebih sempurna dengan mencatat. Sebagaimana dikatakan oleh imam Az-Zuhri, “Ikatlah ilmu dengan mencatatnya.” Maka hendaklah para penuntut pintar mendengar dan mencatat ilmu terlebih dahulu. Orang yang tak pandai mendengar ia tidak akan dapat menuntut ilmu.[5]
[5] Badrussalam,LC, Metode Menuntut iIlmu, https://muslim.or.id/31142-metode-menuntut-ilmu.html, diakses 15 Mei 2024

2.7 Evaluasi Dalam Menuntut Ilmu

Evaluasi merupakan proses penaksiran terhadap ada tidaknya perkembangan, untuk mengetahui kadar dan tingkat kemajuan seseorang sebagai alat untuk membantu seseorang agar merubah sikap dan tingkah lakunya dan untuk mempertimbangkan kecukupan alat yang dipakai maupun administrasi yang ada.

Sasaran evaluasi dalam pendidikan islam adalah sejauh mana loyalitas dan pengabdian seorang hamba kepa Allah ta’ala, sejauh mana dia dapat mengaplikasikan islam ditengah masyarakat, lingkungan alam, dan bagaimana dia memposisikan dirinya di hadapan Allah dan di sisi manusia. Dasar melaksanakan evaluasi dalam pendidikan islam tidak memandang formalitas, tetapi substansi dan kualitas sebuah tindakan, sebagaimana dalam firman-Nya :

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridaan Allah tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”(QS. Al Hajj : 37)

Dalam melaksanakan evaluasi seorang evaluator harus memperhatikan prinsip-prinsip kontinuitas, komperhenship, objektifitas baik diterapkan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Dalam perspektif Islam, evaluasi dalam menuntut ilmu memiliki beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan:

1. Niat yang Lurus

Sebelum memulai proses menuntut ilmu, seorang Muslim harus memiliki niat yang lurus dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Niat ini menjadi landasan utama dalam mengevaluasi diri sendiri sejauh mana ilmu yang diperoleh dapat mengantarkan dirinya untuk menjadi hamba yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah.

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan."(QS. Al Alaq : 1 )

2. Sesuai dengan Syariat Islam

Ilmu yang diperoleh harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Evaluasi diperlukan untuk memastikan bahwa ilmu yang dipelajari tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, seperti kemusyrikan, kesesatan, atau menjerumuskan kepada kemaksiatan.

وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الۡكِتٰبَ بِالۡحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ الۡكِتٰبِ وَمُهَيۡمِنًا

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, untuk membenarkan Kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya." (Al-Quran, 5:48)

3. Penerapan Ilmu dalam Kehidupan

Dalam Islam, ilmu tidak hanya sekedar untuk diketahui, tetapi juga harus diamalkan. Evaluasi diperlukan untuk menilai sejauh mana ilmu yang diperoleh dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun dalam bermuamalah dengan sesama manusia.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ

"Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fatir : 28)

4. Peningkatan Kualitas Diri

Evaluasi dalam menuntut ilmu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri seorang Muslim, baik dari segi spiritual maupun intelektual. Seorang Muslim harus senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah dan mengembangkan potensi diri dengan terus menuntut ilmu.

وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadalah : 11)

5. Rasa Syukur kepada Allah

Dalam menuntut ilmu, seorang Muslim harus senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat ilmu yang diperoleh. Evaluasi diperlukan untuk mengingatkan diri akan pentingnya rasa syukur dan memohon pertolongan kepada Allah agar ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim : 7)

Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, evaluasi dalam menuntut ilmu dalam perspektif Islam tidak hanya berfokus pada aspek akademis semata, tetapi juga pada aspek spiritual dan moral yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, kami berkesimpulan bahwa agama Islam diturunkan oleh Allah Ta’ala sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada seluruh semesta alam dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mewajibkan manusia agar belajar selama hidupnya melalui Al-Qur’an, Sunnah, dan hadist tentang menuntut ilmu. Orang yang menuntut ilmu hendaklah memiliki kesabaran dan tetap merendah diri dengan ilmu yang dimiliki.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam diutus Allah ta’ala untuk memperbaiki kehidupan manusia melalui ilmu dan pengetahuan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan serta beriman kepada Allah ta’ala dapat membentuk akhlak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf. (2015). Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim bin Al-Hajjaj. Beirut: Dar Al-Minhaj.

Azami, M. M. (2008). Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dr. M. Saifudin Hakim, MSc., Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama, https://muslim.or.id/18810-setiap-muslim-wajib-mempelajari-agama.html

Fatharani Fariha, Keutamaan Menuntut Ilmu Agama. https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html

https://www.gontor.ac.id/berita/kewajiban-menuntut-ilmu-dalil-dari-al-quran-dan-hadits

Muslim.or.id, Metode menuntut Ilmu. https://muslim.or.id/31142-metode-menuntut-ilmu.html.

Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Keutamaan Ilmu Syari dan Mempelajarinya 2, https://almanhaj.or.id/13080-keutamaan-ilmu-syari-dan-mempelajarinya-2.html ,

Yulian Purnama, S.Kom. Tahapan dalam menuntut Ilmu, https://muslim.or.id/9063-tahapan-dalam-menuntut-ilmu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar