Kamis, 01 Februari 2024

Qisas Dan Had

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Humaidi Tamri, Lc, M.Pd
Oleh Kelompok 10 Angkatan 5 :
1. Siti Fauzia Tis Sakinah (SBA)
2. Dina Zahernanda (SBA)
3. Efni Redho (PAI)
4. Fitrianti. A (PAI)

KATA PENGANTAR

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، وكفى بالله شهيداً.وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً مزيداً.أما بعد

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Qisas dan Had sebagai salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fiqih. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, dan memohon ampunan kepada-Nya. Sholawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi besar kita nabi Muhammad Shallallahu ’alihi wasallam, beserta keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau dan semua keturunannya hingga hari akhir nanti.

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memahami beberapa hukum-hukum dalam islam, kami dari kelompok sepuluh akan berusaha menyusun dengan mencantumkan sumber-sumber dan dalil-dalil yang shohih dan terpercaya, semoga penyusunan makalah ini dicatat sebagai amal shalih disisi Allah Ta’ala dan semua yang terlibat memperoleh ganjaran berlipat ganda.

Akan tetapi jika dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, kami selaku penyusun dengan senang hati menerima saran, masukan dan kritikannya untuk memperbaiki apa yang kurang dari pembahasan pada makalah ini.

Segala kekurangan yang ada pada makalah ini adalah milik penyusun dan segala kebenarannya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga setiap kita dapat mengambil manfaat dari tulisan yang telah kami susun ini.

Bangkinang, 1 Februari 2024

Penyusun Makalah
Kelompok 10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian Jinayah.
2.2 Dasar Hukum Jinayah.
2.3 Pengertian Qisas.
2.4 Perbuatan Yang Terkena Qisas.
2.5 Pengertian Had.
2.6 Perbuatan Wajib Had.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia menjadi lebih baik dengan menegaskan perkara yang baik dan perkara yang buruk melalui hukum syari’at. Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari agama islam yaitu hukum yang diturunkan oleh Allah Ta’ala untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Perkataan “yang diturunkan oleh Allah” dalam defenisi di atas menunjukkan bahwa hukum islam itu ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia. Hal ini karena yang berhak dan berwenang membuat hukum adalah Allah. Allah mempunyai hak perogratif untuk membuat dan menciptakan hukum, yaitu antara lain menghalalkan sesuatu dan mengharamkan yang lainnya.

Hukum adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melalukan pelanggaran berhenti dan tidak mengulanginya. Selain itu juga menjadi pelajaran kepada orang lain untuk tidak mencoba-coba melakukan pelanggaran itu. Setiap peradaban pasti memiliki bentuk hukum dan jenis hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Salah satu bentuk hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus dilaksanakan oleh ummat Islam adalah hukum Qishash. Hukum ini pada esensinya memberikan hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada orang yang merugikannya dengan kadar yang seimbang. Kata Qishash dapat berarti pembalasan, pembunuhan dibalas pembunuhan, melukai dibalas dengan melukai, pemenggalan dibalas pemenggalan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Jinayah dan dasar hukumnya?
2. Apa pengertian Qishash dan perbuatan yang terkena Qishash?
3. Apa pengertian Had dan perbuatan wajib Had ?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui apa pengertian Jinayah dan dasar hukum Jinayah.
2. Mengetahui apa pengertian Qishash dan perbuatan yang terkena Qishash.
3. Mengetahui apa pengertian Had dan perbuatan wajib Had.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jinayah

Kata jinâyât menurut bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari kata jinâyah yang berasal dari janâ dzanba yajnîhi jinâyatan (جَنَى الذَنْبَ يَجْنِيْهِ جِنَايَةً) yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinâyah dipakai dalam bentuk jama’ (plurals), karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak.Kata ini juga berarti menganiaya badan atau harta atau kehormatan. Menurut istilah syar’i, kata jinayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukum qishahs atau membayar diyat.

2.2 Dasar Hukum Jinayah

1. Al-qur’an

Hukum Pidana adalah bagian dari hukum islam. Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran slam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Diantaranya kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya.

Sumber ajaran islam adalah Al-qur‟an, As-sunnah dan jtihad kesepakatan itu tidak semata-mata didasarkan kemauan bersama tapi kepada dasar-dasar normatif yang berasal dari Al-qur’an dan al-sunnah sendiri, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 105

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat".

2. Al-Sunnah / Hadits

Al-Sunnah / Hadits merupakan sumber hukum ajaranslam yang ke 2, karena hal-hal yang di ungkapkan dalam Al-qur’an bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka nabi Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadist. Adapun yang dimaksud dengan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi. Selain al-Qur’an, baik berupa perkataan,perbuatan atau taqriir( penetapan) yang bsik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i. Fungsi dari As- sunnah sendiri adalah untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadist berfungsi untuk menjelaskan. Adapun contoh-contoh Hadist dalam pidana islam sebagai berikut:

“Dari anas bin Malik berkata : Li‟an pertama yang terjadi dalam islam ialah bahwa Syarik bin Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan strinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la).”

3. Ijma’

Apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa tentang masalah hukum, maka kita wajib mengikuti hukum hasil ijma tersebut, karena kekuatan hukum hasil ijma’ ulama mujtahid sudah mempunyai nilai yang qothiy, tidak bisa dihapus dan tidak bisa ditentang karena hasil kesepakatan seluruh ulama mujtahid, kebenarannya sudah dianggap memenuhi seperti dalam surat al Nisa’ ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan Ulil Amri diantara kamu”.

Kesepakatan ulil amri termasukk didalamnya para mujtahid wajib diikuti karena dasarnya al-qur’an, dan didalam surat lain dinyatakan, al-Nisa’ ayat 82 : “Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)".

Kemudian hadits yang menjelaskan dan mendukng bahwa hasil kesepakatan ulama mujtahid itu yang menunjukan bahwa tidak mungkin mujtahid itu akan berbuat bohong, diantaranya hadits yang di riwayatkan oleh Abu Daud ”Latajtamiu’ ummati ‘ala al-khata’” artinya” tidak mungkin umatku bersepakat dalam kesalahan”.

Dasar Hukum Ijma’ Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 : “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam,dan jahannam itu seburuk-buruk tempat Kembali”

4. Qiyas

Qiyas menurut Bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. Qiyas menurut Istilah adalah mengembalikan (menyamakan) cabang kepada pokok, karena ada illat atau sebab yang mengumpulkan keduanya kedalam suatu hukum.

Qiyas adalah menganalogikan hukum syara’ suatu perkara kepada perkara lain, karena mempunyai ‘illat yang sama. Kehujjahan qiyas menempati posisi keempat dalam menetapkan hukum setelah Al-Qur’an, sunnah dan ijma. Qiyas tidak memerlukan konsensus para ulama, setiap mujahid dengan ketajaman analisanya dapat menggunakan qiyas dalam menghadapi setiap masalah yang tidak ada ketentuan hukum-nya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’.

Qiyas merupakan sumber hukum ke empat, artinya jika suatu masalah di dalam Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Sahabat tidak ditemukan status hukumnya maka menggunakan qiyas untuk menggali hukum masalah tersebut. Qiyas tidak bisa diterapkan dalam masalah Ibadah, sebab masalah ibadah merupakan tauqifi dari Allah. Ketentuan ibadah sudah sangat jelas, maka jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Ijma’ maka tidak perlu mencari-cari dalil untuk memberikan pembenaran terhadap ibadah tersebut. Qiyas hanya bisa di terpakai pada masalah muamalah, makanan dan minuman. Seperti haramnya berbagai jenis merk minuman keras, serta zat adiktif psikotropika. Al-Qur’an dan Hadits tidak menjelaskan secara tekstual, tetapi keduanya menjelaskan tentang khamar. Berbagai jenis minuman tersebut memiliki sifat yang sama dengan khamar, maka keharaman jenis minuman keras tersebut haram sebagaimana haramnya khamar. Maka, qiyas berfungsi memberikan status hukum terhadap suatu masalah yang belum di jelaskan secara tekstual oleh sumber hukum di atasnya, yaitu Al-Qur’an, Hadits dan Ijma.

5. Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahda artinya al-mayaqqad (sulit atau berat, susah atau sukar). menurut ahli ushul fiqih memberikan banyak definisi yang berbeda-beda mengenai ijtihad, dengan men- definisikan ijtihad dari berbagai pandangan namun adapun maksud mereka ialah agar mentup jalan ijtihad dari orang tergesa-gesa mengambil hukum dan orang-orang lalai mengambil hukum seenaknya tanpa memeras kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamannya dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil yang bertentangan dengannya.

Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagai seorang hakim ke Yaman, yang bunyi Hadits tersebut; Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "Bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan", Muadz menjawab “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah”, Rasulullah SAW berkata: "Jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah?" Muadz menjawab: "Saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah SAW”. Rasulullah SAW berkata: "Jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah SAW?", Muadz menjawab "Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku". Maka Rasulullah SAW merasa lega dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (Muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah SAW”. Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi Al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.

2.3 Pengertian Qishash

Qishash merupakan salah satu dari hukum yang terdapat dalam bab Jinayat (pidana). Qishash berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَاصُ yang berarti mencari jejak seperti al-Qashash. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya.

Menurut Syaikh Prof. Dr Shalih bin Fauzan -hafizahullah- mendefinisikan dengan al-Qishash adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.[1]
[1] https://almanhaj.or.id/3121-fikih-qishash.html#_ftn3 (diakses pada Selasa, 30 Januari 2024. Pada pukul 19.30 WIB)

Qishash dikenal pula dengan istilah al-qawad (asal kata dari qaada-yaquudu, artinya menggiring), yang berarti membunuh si pembunuh (yang melakukannya secara sengaja). Disebut dengan qawad, karena biasanya pelaku kejahatan pembunuhan yang akan diqishash biasanya digiring terlebih dahulu dalam keadaan tangan diikat dengan sesuatu seperti tali atau lainnya ke tempat pelaksanaan eksekusi.

Definisi qishash dalam Ensiklopedi Islam disebutkan yaitu sebuah prinsip yang diberlakukan oleh al-Qur’an untuk menghukum pelaku tindak kejahatan penganiayaan. Ketika terjadi tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pihak korban dan juga kecederaan ringan yang dialami korban sehingga berakibat diberikan hukuman dengan perlakuan yang setimpal kepada pelakunya.

Wahbah az-Zuhaily mendefinisikan qishash yaitu menghukum pelaku kejahatan pembunuhan atau kekerasan fisik berupa pemotongan anggota tubuh atau melukai yang dilakukan secara sengaja, dengan bentuk hukuman yang sama seperti yang dilakukan terhadap korban. Dalam hukuman qishash disyaratkan harus ada pengajuan dakwaan dan tuntutan ke pengadilan dari pihak wali korban. Berbeda dengan hukuman hadd selain hukuman hadd qadzf dan pencurian, tidak disyaratkan adanya pengajuan tuntutan dari korban, akan tetapi cukup dengan sistem hisbah.[2]
[2] Al-MIZAN 4 Mira Maulidar.indd (diakses pada Selasa, 30 Januari 2024. Pada pukul 19.56 WIB)

Menurut Sayid Sabiq, qishash merupakan tindakan kejahatan yang menjadikan jiwa manusia atau anggota tubuhnya menderita musibah dalam bentuk luka atau terpotong organ tubuh.[3] Adapun menurut Abdul Qadir Audah, qishash adalah serupa, yaitu hukuman balas yang harus diberlakukan kepada pelaku kejahatan sebagaimana kejahatan yang dilakukannya kepada si korban. Jadi pelaku kejahatan tersebut mesti dibunuh karena telah membunuh orang lain. Dan hukuman qishash ini berlaku untuk pembunuhan yang didahului oleh kekerasan atau tidak didahului kekerasan, sama halnya seperti pembunuhan yang disertai dengan kejahatan lainnya atau tidak.
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 3 hal. 399

Berdasarkan dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa qishash adalah salah satu bentuk ancaman hukuman dalam sistem hukum pidana Islam yang berhubungan dengan jiwa dan anggota tubuh sebagai balasan yang diberikan kepada pelaku tindak kejahatan pembunuhan atau penganiayaan secara sengaja yang dilakukan dengan prinsip persamaan dalam hukum (law of equality), dan pelaksanaannya berada dalam pengawasan pihak yang berwenang (as-sulthan).[4]
[4] Al-MIZAN 4 Mira Maulidar.indd (diakses pada Selasa, 30 Januari 2024. Pada pukul 19.56 WIB)

Adapun dasar hukum pemberlakuan hukuman qishash adalah firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 45 :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

2.4 Perbuatan Yang Terkena Qishash

Hukum Qishash wajib di penuhi jika memenuhi beberapa syarat-syarat sebegaimana berikut:

1. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik).

Jika seorang mukmin membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Artinya: “Tidak dibunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir.” ( HR. Al- Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir tidak di hukum qishash. Pun demikian, harus dipahami bahwa orang kafir terbagi menjadi dua; pertama; kafir harbi, dan kedua; kafir dzimmi.

- Kafir harby adalah kafir yang melakukan tindak kedzaliman kepada kalangan muslimin hingga sampai pada tahapan “memerangi”. Seorang muslim yang membunuh kafir ini tidak diqishash dan tidak dikenai hukuman.

- Kafir dzimmi adalah kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan berinteraksi secara damai dengan kalangan muslimin. Penguasa muslim berhak menghukum seorang muslim yang membunuh kafir dzimmi. Semakin jelas disini, bahwa pada prinsipnya seorang muslim harus menghargai siapapun, termasuk juga kalangan non muslim, selama mereka tidak berniat menghancurkan dinul Islam.

2. Pembunuh sudah baligh dan berakal.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassallam: Artinya: “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: terangkat hukum (tidak kena hukum) dari tiga orang yaitu; orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

3. Pembunuh bukan bapak (orang tua) dari terbunuh

Jika seorang bapak (orang tua) membunuh anaknya maka ia tidak di-qishash. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Artinya: “Tidak dibunuh seorang bapak (orang tua) yang membunuh anaknya.” (H.R. Ahmad dan al-Tirmidzi)

Umar bin Khattab dalam satu kesempatan juga berkata:Artinya: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : Tidak boleh bapak (orang tua) diqishash karena sebab ( membunuh ) anaknya.” (HR. Tirmidzi)

Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan hukuman ta’zir kepada orang tua tersebut, semisal mengasingkannya dalam rentang waktu tertentu atau hukuman lain yang dapat membuatnya jera. Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya maka ia wajib dihukum qishash.

4. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh, seperti muslim dengan muslim, merdeka dengan merdeka dan hamba dengan hamba.

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 178: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita."

5. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala. QS: al-Maidah ayat 45 yang telah kita bahas kandungan umumnya pada halaman sebelumnya:

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukiapun ada qishashnya.” [5]
[5] https://an-nur.ac.id/qishash-pengertian-macam-hukum-dan-syarat-syarat-qishash/ (diakses Rabu, 31 Januari 2024. Pada pukul 22.57 WIB)

2.5 Pengertian Had

1. Secara Bahasa: Hudud ialah bentuk plural (jamak) dari Had yang secara asal bermakna sesuatu yang menghalangi antara dua hal.[6] Hududullah ialah apa-apa yang Allah haramkan diamana ia terlarang untuk dilakukan dan dikerjakan.[7]
[6] Abdul Azhim, Al wajiz, (Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009),h. 543
[7] Shalih Al Fauzan, Al Mulakhos Al Fiqhy, (Dammam: Dar Ibnul Jauzy, 14433 H), h. 439

2. Secara Istilah: Hukuman yang sudah ada takarannya dalam syariat diaman ia tidak boleh ditambah dan dikurangi[8]. Ada pula yang mengartikan sebagai hukuman yang sudah ditentukan kadarnya secara syari’at pada tindakan pelanggaran untuk menghindari kejahatan tersebut.[9]
[8] Musthafa Al Bugha dkk, Al fiqh Al Manhajy, (Damaskus: Darul Qalam, 1992), jilid. 8,h. 54
[9] Abdul Azhim, Al wajiz, (Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009),h. 543

2.6 Perbuatan Yang Wajib Had

1. Zina

Menurut IbnuRusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak). Secara garis besar, pengertian ini telah disepakati olehpara ulama Islam, meskipun mereka masih berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan hukuman hadd dan manapula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.[10]
[10] Ibnu Rusyd, Bidayahal Mujtahid, (Beirut: DarAl-Jiil, 1409 H/1989), jilid..2,h.324.

Zina termasuk dosa besar sebagaimana firman Allah:

﴿ وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا ٣٢ ﴾

“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”[11]
[11] Q.S Al-Isra' (17): 32

Dalam Islam zina terbagi menjadi dua macam:

a) Zina Muhsan;

Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristeri). Hukuman untuk pelaku zina muhsan ini ialah dirajam sampai mati. Sebagaimana dalam hadist Nabi :

عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ

Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah , “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil, atau pengakuan.”[12]
[12] HR. Al Bukhari: 6442 dan Muslim: 1691

Dalam Al Qur’an juga sebenarnya pernah diturunkan ayat rajam[13] yang dihafal oleh para sahabat lalu lafadznya di nasakh namun hukumnya tetap berlaku. Ayatnya ialah:
[13] Shalih Al Fauzan, Al Mulakhos Al Fiqhy, (Dammam: Dar Ibnul Jauzy, 14433 H), h. 445

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”[14]
[14] HR. Ibnu Majah: 2553, Ahmad: 21207. Dalam riwayat ahmad ini dijelaskan ayat rajam dahulunya termasuk dari surat Al Ahzab.

Dalam praktek dilapangan Nabi pernah merajam sahabt yang berzina dimana mereka sudah menikah yaitu Ma’iz[15] dan perempuan Al Ghamidiyah[16] رضي الله عنهم.
[15] Lihat HR. Al Bukhari: 6430 dan Muslim. 1691
[16] Lihat HR. Muslim: 1696

b) Zina ghair muhsan.

Zina ghair muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina ghair muhsan ini ada dua macam, yaitu 1) dera seratus kali, dan 2) pengasingan selama satu tahun.

Adapun dalil hukuman dera 100 kali ada di dalam Al Qur’an:

﴿ اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢ ﴾

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”[17]
[17] Q.S An-Nur (24): 2

Untuk hukuman pengasingan terdapat dalam hadist:

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ أَمَرَ فِيمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصِنْ بِجَلْدِ مِائَةٍ وَتَغْرِيبِ عَام

“Dari Zaid bin Khalid Radhiyallau ‘anhu dari Rasulullah ; bahwasanya diperintahkan bagi yang berzina dan belum muhshan untuk dicambuk 100 kali dan diasingkan satu tahun”[18]
[18] HR. Al Bukhari: 2649

2. Qadzaf

Qadzaf ialah menuduh orang lain berzina.[19]
[19] Abdul Azhim, Al wajiz, (Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009),h. 554

Orang yang melakukan Qadzaf ini akan dilaknat Allah sebagaimana firman-Nya:

﴿ اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ ٢٣ ﴾ ( النّور/24:23)

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar”[20]
[20] Q.S An-Nur(24): 23

Had bagi pelakunya ialah dengan didera (dicambuk) 80 kali. Allah Ta’ala berfirman:

﴿ وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ ٤ ﴾

“Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”[21]
[21] Q.S An-Nur(24) : 4

3. Mencuri

Hadnya ialah dengan dipotong tangannya, sebagaimana firman Allah:

﴿ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوْا عَلَيْهِمْۚ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ٣٤

“Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menangkapnya. Maka, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[22]
[22] Q.S Al-Ma'idah(5): 34

Dalam kitab Minhajut Thalibin[23] yang dikarang oleh Imam Nawawi disebutkan 4 syarat barang yang dicuri, yaitu:
[23] An Nawawi, Minhajut Thalibin, (Beirut: Darul Basyair Al Islamiyah, 2011), jilid. 3, h. 221

a. Yang dicuri minimal ¼ dinar atau senilai dengan itu.

b. Barang yang dicuri milik penuh orang lain

c. Tidak adanya syubhat (ketidak jelasan).

d. Barang yang dicuri diletakkan ditempat yang terjaga.

4. Mabuk

Hadnya ialah dengan dicambuk 40 kali jika seorang Imam menganggap perlu menambah maka boleh menambahnya menjadi 80 kali[24] sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dalilnya ada pada Hadist Al Hushain bin Al Mundzir:
[24] Abdul Azhim, Al wajiz, (Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009),h. 563

“Bahwasanya Ali mencambuk Al Walid bin ‘Uqbah setelah minum Khamr sebanyak 40 kali, lalu ia berkata; Nabi juga mencambuk 40 kali, begitu pula Abu Bakar, dan Umar 80 kali dan semuanya ialah sunnah (petunjuk), namun yang ini lebih aku sukai (40 kali cambuk)”[25]
[25] HR. Muslim: 1707

5. Merampok

Yang menjadi dasar Hadnya ialah firman Allah:

﴿ اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ٣٣ ﴾ ( الماۤئدة/5:33)

“Balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu merupakan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat (kelak) mereka mendapat azab yang sangat berat”[26]
[26] Al-Ma'idah(5): 33

Hukuman bagi para perampok ada beberapa rincian:

a. Merampok dengan melakukan pembunuhan dan perampasan harta: dibunuh dan disalib.

b. Merampok dengan melakukan pembunuhan saja: wajib dibunuh.

c. Merampok dengan merampas harta saja: dipotong tangan pada pergelangan tangan kanan dan dipotong kaki pada pergelangan kaki kiri.

d. Merampok dengan menakuti-nakuti (meneror) orang: dibuang dari negeri (tempat kediaman).[27]
[27] Manhajus Salikin, hal. 243

6. Murtad

Murtad ialah mereka yang kufur setelah keislamannya.[28] Adapun Hadnya ialah dengan dibunuh setelah dimintai taubah terlebih dahulu.
[28] Abdul Azhim, Al wajiz, (Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009),h. 568

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda,

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.”[29]
[29] HR. Bukhari: 6878, Muslim: 1676

Dalam hadis lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah bersabda,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.”[30]
[30] HR. Bukhari: 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya

7. Pemberontakan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang datang kepada kalian, ketika kalian bersatu di bawah satu pimpinan, dia berkeinginan untuk memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia”[31]
[31] HR Muslim: 1842

Imam An-Nawawi menjelaskan,

فيه الأمر بقتال من خرج على الإمام أو أراد تفريق كلمة المسلمين ونحو ذلك وينهى عن ذلك فإن لم ينته قوتل وإن لم يندفع شره إلا بقتله فقتل

“Dalam hadits ini terdapat perintah untuk memerangi orang yang memberontak/kudeta terhadap imam/penguasa, atau ia ingin memecah-belah kalimat (persatuan) kaum muslimin dan semisalnya. Hal ini adalah telarang. Jika tidak berhenti, maka ia diperangi dan jika kejahatannya tidak bisa dicegah kecuali dengan membunuhnya, maka ia boleh dibunuh.”[32]
[32] Syarh Muslim 12/241, Dar Ihya’ At-Turats, syamilah

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jinayah adalah sebuah kajian ilmu hukum islam yang berbicara tentang kejahatan. Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana islam. Hukum jinayah memiliki beberapa sumber dasar yaitu Al-qur’an, As-sunnah/hadits, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad.

Qishash adalah salah satu ancaman hukuman dalam sistem hukum pidana Islam yang berhubungan dengan jiwa dan anggota tubuh sebagai bentuk balasan yang diberikan kepada pelaku tindak kejahatan pembunuhan secara sengaja yang dilakukan dengan prinsip persamaan dalam hukum (law of equality), dan pelaksanaannya berada dalam pengawasan pihak yang berwenang (assulthan).

Pelaksanaan qishash merupakan suatu bentuk keadilan dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia dan juga dapat menjamin ketentraman dalam masyarakat sebagai salah satu tugas negara dalam melindungi warga negaranya. Begitu juga dalam Islam yang sangat menjunjung tinggi perlindungan terhadap nyawa manusia sebagaimana yang disebutkan sebagai salah satu bagian dari maqashid syari’ah. Sehingga tidak dapat dengan serta merta divonis sebagai hukuman yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM, karena Islam lebih mengedepankan hak hidup manusia secara kolektif dari pada hak hidup manusia secara individu.

Had merupakan hukuman yang sudah ada takarannya dalam syari’at Dimana ia tidak boleh ditambah dan dikurangi. Adapun perbuatan yang wajib had adalah zina, qadzaf (orang yang menuduh berzina), mencuri, mabuk, merampok, murtad, dan pemberontakan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azhim, Al wajiz, Al Manshurah: Dar Ibnu Rajab, 2009

Al-MIZAN 4 Mira Maulidar.indd (diakses pada Selasa, 30 Januari 2024. Pada pukul 19.56 WIB)

An Nawawi, Minhajut Thalibin, Beirut: Darul Basyair Al Islamiyah, 2011

Fikih Qishash, https://almanhaj.or.id/3121-fikih-qishash.html#_ftn3, 13 July 2011

Fikih Sunnah – Jilid 3, Sayyid Sabiq, Cakrawala publishing, 2015

Hukuman Qishash dalam Fiqh Jinayat, Mira Maulidar, Al-MIZAN 4 Mira Maulidar.indd, 2017

https://almanhaj.or.id/3121-fikih-qishash.html#_ftn3 (diakses pada Selasa, 30 Januari 2024. Pada pukul 19.30 WIB)

https://an-nur.ac.id/qishash-pengertian-macam-hukum-dan-syarat-syarat-qishash/ (diakses Rabu, 31 Januari 2024. Pada pukul 22.57 WIB)

Ibnu Rusyd, Bidayahal Mujtahid, Beirut: DarAl-Jiil, 1409 H/1989

Manhajus Salikin

Musthafa Al Bugha dkk, Al fiqh Al Manhajy, Damaskus: Darul Qalam, 1992

Qishash : Pengertian, Macam, Hukum, dan Syarat-syarat Qishash, https://an-nur.ac.id/qishash-pengertian-macam-hukum-dan-syarat-syarat-qishash/, 21 November 2022

Shalih Al Fauzan, Al Mulakhos Al Fiqhy, Dammam: Dar Ibnul Jauzy, 14433 H

Syarh Muslim 12/241, Dar Ihya’ At-Turats, syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar