Kamis, 28 September 2023

Pemanfaatan Model-Model Evaluasi

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Evaluasi Pendidikan
Dosen pengampu : Sabar Siswoyo, MPd.
Oleh Kelompok 05 Angkatan 5:
1. Azzubair Juarsa (SBA)
2. Hendy Susanto (PAI)
3. Muhammad Faiz Tholib (PAI)
4. Osa Maliki (MPI)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Ta’ala. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Pemanfaatan Model-Model Evaluasi” dapat kami selesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah ta’ala karuniakan kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun dengan baik melalui beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan doa sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menjadi pengetahuan dan ilmu untuk kami para penyusun makalah dan para pembaca.

Demikian makalah ini dibuat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, maka kami mohon maaf. Kami menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Lahat, 30 September 2023 M / 14 Rabi’ul Awal 1444 H

Penyusun Makalah Pemanfaatan Model-Model Evaluasi
Kelompok 5

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Macam-Macam Model Evaluasi.
1. Model Tyler.
2. Model Evaluasi Sumatif dan Formatif.
3. Penilaian Acuan Nomatif dan Penilaian Acuan Patokan.
4. Model Countence.
5. Model Bebas Tujuan.
6. Model Context Input Process Product (CIPP).
7. Model Connoisseurship atau Model Ahli.
2.2 Memanfaatkan Model Evaluasi.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
3.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Evaluasi kurikulum merupakan suatu aktivitas ilmiah yang memiliki keterkaitan erat dengan proses pengembangan kurikulum. Keduanya tidak terpisahkan dan hubungan antara keduanya saling terkait dan menjadi hal yang penting. Evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti, sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal baik dalam proses konstruksi kurikulum maupun dalam proses pelaksanaan kurikulum.

Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu kebijakan publik. Keberadaan evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum harus terbuka untuk di evaluasi. Dengan adanya Undang- Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan adanya evaluasi terhadap konstruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya maupun pengambilan keputusan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan langkah pengembangan kurikulum selanjutnya.

Evaluasi kurikulum sendiri memiliki beberapa model-model yang digunakan dalam mengevaluasi kurikulum. Model-model tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Evaluator yang akan melakukan pekerjaanya harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut dan kemudian menggunakan model yang sesuai dengan keperluannya.

Beberapa model-model evaluasi kurikulum yang cukup popular akan dibahas pada sub bahasan tulisan .

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja model-model evaluasi?
2. Bagaimana memanfaatkan model-model evaluasi?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui macam-macam model evaluasi.
2. Mengetahui manfaat model evaluasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-Macam Model Evaluasi

1. Model Tyler

Model evaluasi yang pertama dan termasuk populer dibidang pendidikan yaitu model tyler. Walaupun model ini tergolong tua tapi masih banyak digunakan dalam proses evaluasi kurikulum, sehingga masih dianggap aktual. Model ini dibangun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang ditunjukkan pada peserta didik dan bahan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik dan saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum itu sendiri.[1] Fokus evaluasi ini sebenarnya hanya berhubungan pada dimensi belajar.[2]
[1] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT. Rosda Karya, 2014), hlm 281.
[2] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2009), hlm. 188.


Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:

a) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.[3]
[3] Ibd., hlm. 190-191

b) Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.[4]
[4] Ibid.

c) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.[5]
[5] Ibid., 190-193.

Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena fokus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.[6] Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi fokus evaluasi.[7]
[6] Ibid., hlm. 193
[7] Ibid.

2. Model Evaluasi Sumatif dan Formatif

Model evaluasi ini, berpijak pada prinsip evaluasi model tyler. Aplikasi evaluasi sumatif dan formatif sudah banyak dipahami oleh para guru, karena model ini dianjurkan oleh pemerintah melalui menteri pendidikan dan termasuk dalam lingkup evaluasi pembelajaran dikelas. Dua model yang sangat populer dalam kaitannya dengan evaluasi pembelajaran adalah evaluasi sumatif dan formatif.

a) Evaluasi sumatif

Pada proses belajar mengajar evaluasi sumatif dilakukan oleh para evaluator untuk memperoleh informasi guna menentukan keputusan para siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Evaluasi sumatif dilakukan oleh para guru setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan waktu tertentu, misalnya pada akhir proses belajar mengajar, termasuk juga akhir kuartal atau akhir semester. Evaluasi sumatif ini secara umum bertujuan untuk menentukan posisi siswa dalam kaitannya dengan penguasaan materi pembelajaran materi pembelajaran yang telah diikuti selama satu proses pembelajaran.

Evaluasi sumatif ini banyak dilakukan di lembaga pendidikan formal maupun pendidikan dan latihan (diklat) yang dibiayai oleh pihak sponsor. Fungsi evaluasi sumatif adalah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan proses pembelajaran, disamping juga untuk menentukan pencapaian hasil belajar yang telah diikuti oleh para siswa. Dikarenakan merupakan evaluasi tahap akhir maka fokus perhatian agar tidak bias, diarahkan pada variabel-variabel yang dianggap penting dalam satu proses pembelajaran. Informasi yang diperoleh dari evaluasi sumatif ini,oleh para guru, kemudian secepatnya dianalisis guna menentukan posisi siswa dalam penguasaan materi pembelajarannya. Siswa yang memiliki dengan hasil baik dapat dikatakan berhasil dan direkomendasikan dapat melanjutkan ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang gagal dalam pencapaian hasil belajar, diberi remidi lagi atau tetap mengulang dikelas yang sama.

b) Evaluasi Formatif

Selain evaluasi sumatif yang bertujuan menentukan derajat penguasaan materi siswa pada satu proses pembelajaran, juga ada evaluasi lain yang dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan oleh seorang evaluator tentang siswa guna menentukan tingkat perkembangan siswa dalam satuan unit proses belajar mengajar. Evaluasi formatif dilakukan secara periodik melalui blok atau unit-unit dalam proses belajar mengajar. Fungsi evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan guru untuk memperbaiki proses pembelajaran maupu strategi pengajaran yang telah diterapkan. Pelaksanaan evaluasi ini dapat dilakukan secara kontinu atau periodik tertentu dalam satu proses belajar mengajar. Yang dimaksud periodik disini yaitu termasuk pada awal,tengah, atau akhir dari proses pembelajaran. Fokus evaluasi berkisar pada penacapaian hasil belajar mengajar pada setiap unit atau blok material yang telah direncanakan untuk dievaluasi. Informasi yang diperoleh dari evalusai formatif ini secepatnya dianalisis guna memberikan gambaran kepada guru atau administrator, tentang perlu tidaknya dilakukan program-program perbaikan bagi para siswa yang memerlukan.

3. Penilaian Acuan Normatif dan Penilaian Acuan Patokan

Sesudah evaluasi sumatif dibuat, guru biasanya menetapkan nilai, skor, atau grade hasil kerja siswa. Guru sering merasa puas dalam menetapkan skor para siswa yang diajarnya, tetapi juga tidak jarang, tiap menggerutu atau kecewa karena hasil belajar para siswanya ternyata banyak yang jeblok atau dibawah rerata skor yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam memutuskan skor atau grade hasil belajar, para guru biasanya akan memilih satu diantara dua dasar penilaian yaitu prosedur acuan patokan dan prosedur acuan normatif.

a) Penilaian Acuan Normatif

Penilaian acuan normatif atau PAN merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode pengukuran yang menggunakan prinsip belajar kompetitif. Menurut prinsip pengukuran normatif, tes baku pencapaian diadministrasi dan penampilan baku normatif dikalkulasi untuk kelompok-kelompok pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan. Guru kelas kemudian mengikuti asa yang sama mengukur pencapaian hasil belajar seorang siswa dengan tetap membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama. Seperti dalam evaluasi empiris, guru melakukan pengukuran. Administrasi, menghitung skor, merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah, menentukan skor rerata menentukan simpang baku dan variannya.

b) Penilaian Acuan Patokan

Acuan patokan (PAP) juga sering di sebut kriterion evaluation merupakan pengukuran lain dengan menggunakan acuan beda. Dalam pengukuran ini penampilan siswa dikomparasikan dengan kriteri yang telah ditentukan lebih dahulu dalam tujuan intruksional, bukan dengan penampilan siswa lain. Keberhasilan siswa dalam prosedur acuan patokan tergantung pada penguasaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan intruksional.

Walaupun benar bahwa dari kedua model penilaian, guru dapat menggunakan acuan yang berbeda, dan dengan sifat-sifat yang berbeda, penilaian atas dasar acuan normatif lebih mudah dikomunikasikan dengan stakeholder yang relevan termasuk pmpinan sekolah, siswa, orang tua dan masyarakat pengguna. Kemudian bagaimana untuk kondisi tertentu misalnya pemilihan suatu jabatan dilembaga pendidikan.

4. Model Countenance

Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.[8] Penjelasannya sebagai berikut:[9]
[8] Hamid Hasan, hlm. 205.
[9] Ibid., hlm. 208-210.


a). Matrik Deskripsi

Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.

b). Matrik Pertimbangan

Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan fokus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.

Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas contigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiris berdasarkan data lapangan.[10]
[10] Ibid., hlm. 212.

Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congruence atau perbedaan yang terjadi antara yang direncanakan dengan yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuaiannya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai atau tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.

5. Model Bebas Tujuan

Evaluasi model bebas tujuan ini, diajukan oleh Scrieven (1972). Menurutnya dan pendukungnya, seorang evaluator harus menghindari tujuan dan mengambil setiap tindak pencegahan. Menurut Screven evaluasi program dapat dilakukan tanpa mengetahui tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, evaluasi perlu menilai pengaruh nyata tentang profil kebutuhan yang dilanjutkan denagn tindakan dalam pendidikan. Pendapat ini searah dengan ahli lain, yaitu Isaac (1982), yang menyatakan bahwa evaluator sebaiknya menemukan pengaruh program atas dasar kriteria yang terpisah dari kisi-kisi konsep kerja program tersebut.

Untuk melakukan evaluasi dengan model bebas tujuan, evaluator perlu menghasilakan dua item inforamasi, yaitu a) penilaian tentang pengaruh nyata, dan b) penilaian tentang profil kebutuhan yang hendak dinilai. Jika suatu produk mempunyai pengaruh yang dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap suatu kebutuhan, inin berarti bahwa suatu produk yang direncanakan berguna dan secara positif perlu dikembangkan; dan interpretasi sebaliknya terjadi, jika suatu produk, termasuk kegiatan belajar mengajar, tidak mempunyai pengaruh nyata pada siswannya.

Kelebihan dari model bebas tujuan di antaranya adalah pengaruh konsep pada masyarakat , bahwa tanpa mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi. Kelebihan lain dengan munculnya model bebas tujuan yang diajukan oleh secrieven, adalah mendorong pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul dari produk.

Walaupun demikian yang diajukan secrieven ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut: 1) model bebas tujuan ini pada umumnya bebas menjawab pertanyaan penting, seperti apa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut?, 2) walaupun ide secrieven bebas tujuan bagus untuk membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi atas dasar kejujuran, pada tingkatan praktis secrieven tidak terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan, dan 3) tidak merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan walau pada akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan.

Model bebas tujuan merupakan titik evaluasi program, dimana objek yangevaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut, tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program apakah bermanfaat atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.

6. Model Context Input Process Product (CIPP)

Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi context (konteks), input (masukan), process (proses), dan product (hasil).[11] Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut :[12]
[11] Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015), hlm. 487. Lihat juga di, Yatin Mulyono, Sardimi, Ayatusa’adah, dan Nanik Lestariningsih, Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi Terintegrasi Keislaman Di Madrasah Aliyah (MA): Model Evaluasi CIPPO, Jurnal Transformatif, vol. 1, no. 2 (Oktober 2017), hlm. 250.
[12] Mohammad Ansyar, hlm. 487-488.


a). Evaluasi Context

Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.

b). Evaluasi Input

Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.

c). Process

Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.

d). Product

Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untukmenentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).

Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.

7. Model Connoisseurship atau Model Ahli

Model evaluasi kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W. Eisner dan kemudian dinamakan model evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang Pendidikan seni dari University of Chicago dan Ph.D dalam bidang Pendidikan pada universitas yang sama.[13]
[13] nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 103.


Berdasarkan bidangnya pada seni, evaluasi model ini didasari oleh kegiatan Eisner dalam mengkritisi hasil karya seni misalnya lukisan, opera dan film bahkan anggur. Model kritik Eisner diadopsi pada dunia pendidikan dan melahirkan model baru dalam mengevaluasi kurikulum yang disebut dengan model kononurship dan kritisisme. “Eisner points out that educational connoisseurship is the art of appreciating the educationally significant”. Eisner mengatakan menilai pendidikan merupakan salah satu seni terhadap pendidikan.[14]
[14] Ibid.

Ciri khas dari model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistic naturalistik, evaluan berpartisipasi langsung sebagai observer pada proses penelitiannya. Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri lainnya pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.[15]
[15] Ibid., hlm. 105.

Walaupun model ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi model penelitian ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap kedua yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi pada yang terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini evaluand akan memberikan pertimbangan dan keputusan dari program tersebut.[16] Pertimbangan dan keputusan yang dibuat oleh evaluand didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.
[16] Ibid.

2.2 Memanfaatkan Model Evaluasi

Munculnya beberapa model menunjukkan bahwa pada bidang evaluasi terjadi pertumbuhan yang dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu da teknologi. Semula pendekatan evaluasi hanya terbatas pada pendekatan ilmiah dan selebihnya menyatakan diluar model pendekatan itu tidak diakui, karena kurang bisa diterima secara logika. Sementara itu acuan yang semula hanya bertujuan sebagai tujuan yang di acu, pada perkembangan berikutnya ternyata lain, yaitu menjadi kebutuhan masyarakat yang juga merupakan embrio perkembangan need assesement dalam pendidikan, yang selanjutnya digunakan sebagaiacuan evaluasi. Dibidang seni yang lebih berorientasi pada unsur interpretasi, juga mengalami perkembangan. Eksplanasi yang semula susah dipahami, memunculkan model evaluasi responsif atau eavaluasi alamiah dan populer juga disebut sebagai evaluasi naturalistik dengan manusia atau evaluator sebagai instrumen.

Seorang evaluator hendaknya memiliki kemampuan memahami macam-macam model seperti tersebut diatas, kemudian memilih yang paling tepat dengan keperluan evaluasi peserta didik dan kemudian menerapkan secara efektif, sehingga diperoleh informasi yang mendekati kebenaran dengan kondisi yang di perlukan oleh peserta didik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa model evaluasi yaitu : Model Tyler, Model sumatif dan formatif, Penilaian acuan normative dan penilaian acuan patokan, model countenance, model bebas tujuan, model context input process product (CIPP) dan model connoisseurship atau model ahli. Yang dapat dimanfaatkan oleh evaluator untuk keperluan evaluasi peserta didik dan kemudian diterapkan secara efektif.

3.2 Saran

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga berrmanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Pada saat pembuatan makalah, kami menyadari bahwa makalah yang kami susun terdapat banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah yang kami susun. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima dihati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, Mohamad. 2015.Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Arifin, Zainal. 2014. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT. Rosda Karya.

Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Rosda Karya.

http://cobah-ajah.blogspot.com/2012/10/pemanfaatan-model-model-evaluasi.html

Sukmadinata,Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar