Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Ustadz Arif Fardhan, M.Hi
Disusun Oleh : Kelompok 3
1. Uu Ubaidillah (MPI)
2. Hendy Susanto (PAI)
3. Willy Rahman (SBA)
4. Muhammad Faiz Tholib (PAI)
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah mata kuliah Strategi Pembelajaran dengan judul “Asal-Usul dan Perkembangan Kelembagaan Pesantren di Indonesia“ tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Serang, 10 Februari 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB 1 PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN.
A. PONDOK PESANTREN.
1. Pengertian Pondok Pesantren.
2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren.
3. Jenis-Jenis Pesantren.
B. ASAL USUL PESANTREN.
1. Sejarah Pondok Pesantren.
2. Karakteristik Pondok Pesantren.
C. PERKEMBANGAN PESANTREN DARI MASA KE MASA.
1. Segi Arsitektur Bagunan.
2. Segi Materi Yang Disampaikan.
3. Segi Peran Pesantren.
BAB III PENUTUP.
A. Kesimpulan.
B. Saran.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam secara umum bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia.[1] Di Indonesia, yang biasanya diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam, sekurangnnya ada tiga lembaga yaitu pesantren, madrasah dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan yang ada. Kecenderungan untuk menyusun identifikasi semacam itu, dasarnya bersifat realistis historis dimana ketiganya dimasa lalu pernah menyatukan diri dalam satu barisan yang menentang sistem pendidikan kolonial, dan yang jelas sama-sama berangkat dari dan untuk kepentingan Islam dalam arti seluas-luasnya.[2]
[1]. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam,Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung:PT Remaja RosdaKarya,2004), hlm.78
[2] Adi Fadli,Pesantren: Sejarah dan Perkembangannya, Elhikam: Jurnal Pendidikan danKajian Keislaman, Vol 5 No. 1, 2012
Model pendidikan pesantren yang berkembang di seluruh Indonesia mempunyai nama dan corak yang sangat bervariasi, di Jawa termasuk Sunda dan Madura disebut pondok. Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu.[3] Sementara di Aceh di kenal dengan istilah dayah, rangkang, meunasah dan di Sumatra Barat disebut dengan nama Surau. Dan sekarang, lembaga pendidikan khas tersebut lazim diterima oleh umum sebagai pondok pesantren. Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).[4]
[3]. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:PenerbitLP3ES,1990), hlm.18
[4] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta:Penerbit Paramadina,1997), hlm.3
Sebagai lembaga indigenous pesantren memilki akar sosio historis yang cukup kuat, sehingga mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam masyarakat dan bisa bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan sehingga secara kualitas, pesantren di Indonesia cukup banyak. Akan tetapi bila dilihat dari segi kualitas, semua pihak yang terlibat dituntut untuk lebih meningkatkan lagi kualitas pesantren mengingat kondisi masyarakat sebagai input pesantren sudah sangat pintar dalam memilih lembaga pendidikan yang akan dimasukinya, terutama terhadap kualitas atau mutu output pesantren. Sejak dilancarkannya perubahan atau moderenisasi pendidikan Islam diberbagai kawasan dunia muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum.[5] Namun, pesantren masih bisa survive sampai hari ini dan sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam dan telah membuktikan keberadaan serta keberhasilannya dalam meningkatkan sumber daya manusia (human resources development).[6]
[5] Muhammad Heriyudanta, Moderenisasi Pendidikan Pesantren Perspektif Azyumardi Azra, Mudarrisa:Jurnal Kajian Pendidikan Islam, Vol 8, No. 1, Juni 2016
[6] Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Yogyakarta:Gama Media, 2004), hlm.2
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional. Lembaga ini telah hidup sejak 300-400 tahun yang lampau, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Di zaman kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.[7]
[7] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS,1994), hlm.3
Dalam perkembangan terakhir telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren merupakan “benteng pertahanan” yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Dari tahun ke tahun jumlah pesantren di seluruh Indonesia menunjukan adanya peningkatan. Data Kementerian Agama, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren hanya sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang.
Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Sementara, berdasarkan data Bagian Data, Sistem Informasi, dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada tahun 2016 terdapat 28,194 pesantren yang tersebar baik di wilayah kota maupun pedesaan dengan 4,290,626 santri, dan semuanya berstatus swasta.[8]
[8] http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/
Data-data ini menunjukan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi, meski jumlahnya masih berada di bawah lembaga pendidikan lain. Pesantren memberikan respon terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan oleh pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikannya dengan cara merevisi kurikulumnya dengan memasukan mata pelajaran dan keterampilan umum. Sejak pesantren mengadopsi pendidikan berkelas (madrasah maupun sekolah) para santri tidak hanya dibekali dengan pendidikan agama tetapi sekaligus akrab dengan pendidikan umum.[9]
[9] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.157
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat mandiri dan sejatinya merupakan praktek pendidikan berbasis masyarakat. Terlepas dari perubahan-perubahan sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum Muslim Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat kepada pesantren tidak berkurang bahkan semakin meningkat.[10]
[10] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, hlm.5
Melihat perkembangan pesantren yang pesat dan luas, maka dalam makalah ini akan dikemukakan asal-usul pesantren, pertumbuhan kelembagaan dan karakteristiknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian pesantren.
2. Bagaimana asal-usul pesantren.
3. Bagaimana karakteristik pesantren.
4. Bagaimana perkembangan pesantren di Indonesia.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini secara umum bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian pesantren.
2. Mengetahui asal usul pesantren?
3. Mengetahui pertumbuhan kelembagaan pesantren?
4. Mengetahui karakteristik pesantren?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PONDOK PESANTREN
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren adalah asrama tempat santri belajar mengaji. Pesantren sering disebut juga sebagai “Pondok Pesantren” berasal dari kata “santri” menurut kamus bahasa Indonesia, kata ini mempunyai 2 pengertian yaitu; 1) Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh orang saleh, 2) Orang yang mendalami pengajiannya dalam Agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh.[11] Pondok Pesantren juga merupakan rangkaian kata yang terdiri dari pondok dan pesantren. Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) yang dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. Ada pula kemungkinan bahwa kata pondok berasal dari bahasa arab “funduk” yang berarti ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana.
[11] Team Penyusunan Kamus Besar, (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 1990), h. 677
Pada umumnya pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.[12] Sedangkan kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang dibubuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri.[13] Menurut beberapa ahli, sebagaimana yang dikutip oleh Zamakhsyari antara lain: Jhons, menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC. Berg. berpendapat bahwa istilah ini berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[14] Nurchalish Madjid pernah menegaskan, pesantren ialah artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous.[15] Mastuhu memberikan pengertian dari segi terminologis adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[16]
[12] Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986), hlm. 98-99.
[13] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 18.16
[14] Ibid. hlm. 20
[15] Amir Haedari dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRP Press, 2004), hlm. 3
[16] Hasby Indra, Pesantren dan Transformasi Dalam Tantangan Moderenitas dan Tantangan Komlesitas Global. Jakarta: IRP Press, 2004), hlm. 3
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa dari segi etimologi pondok pesantren merupakan satu lembaga kuno yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama. Ada sisi kesamaan (secara bahasa) antara pesantren yang ada dalam sejarah Hindu dengan pesantren yang lahir belakangan. Antara keduanya memiliki kesamaan prinsip pengajaran ilmu agama yang dilakukan dalam bentuk asrama. Secara terminologi, KH. Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.[17]
[17] Amir Hamzah Wiryosukarto, et al., Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 51
Pesantren sekarang ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri khas tersendiri. Lembaga pesantren ini sebagai lembaga Islam tertua dalam sejarah Indonesia yang memiliki peran besar dalam proses keberlanjutan pendidikan nasional. KH. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.[18] Definisi di atas menunjukkan betapa pentingnya pesantren sebagai sebuah totalitas lingkungan pendidikan dalam makna dan nuansanya secara menyeluruh. Pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya.
[18] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: KIS, 2001), hlm. 17.
2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Gambaran umum tentang pendidikan pondok pesantren terfokus pada dua persoalan pokok, yaitu unsur-unsur fisik yang membentuk pesantren dan ciri-ciri pendidikannya. Menurut Prof. Dr. A. Mukti Ali, unsur-unsur fisik pesantren terdiri dari Kyai yang mengajar dan mendidik, Santri yang belajar dari kyai, Masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya, dan pondok, tempat untuk tinggal para santri.[19]
[19] A. Mukti Ali, Beberapa persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali , 1987), hlm. 16
a. Kyai
Posisi paling sentral dan esensial dari suatu pondok pesantren di pegang Kyai. Oleh karena itu Kyai memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh atas pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantrennya. Mengingat peranannya yang begitu besar ini maka dapat dikatakan bahwa maju atau mundurnya pondok pesantren tergantung pada kepribadian kyainya. Peranan ustadz/Kyai terhadap santrinya sering berupa peranan seorang ayah. Selain sebagai guru, kyai juga bertindak sebagai pemimpin rohaniyah keagamaan serta bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmaniah santri-santrinya.
Dalam kondisinya lebih maju kedudukan seorang Kyai dalam pondok pesantren sebagai tokoh primer. Kyai sebagai pemimpin, pemilik dan guru yang utama, kerja sangat berpengaruh di pesantren tapi juga berpengaruh terhadap lingkungan masyarakatnya bahkan terdengar keseluruhan penjuru nusantara.[20]
[20] M. Bahri Ghazali, MA. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Pendoman Ilmu Data, (Jakarta: IRP Press, 2001), hlm. 22
b. Santri
Istilah santri terdapat di pesantren sebagai pengejawentahan adanya haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang memimpin sebuah pesantren.[21] Pesantren yang lebih besar, akibat struktur santri yang antar regional, memiliki suatu arti nasional. Sedangkan pesantren yang lebih kecil biasannya pengaruhnya bersifat regional karena santri-santrinya datang dari lingkungan yang lebih dekat. Dengan memasuki suatu pesantren, seorang santri muda menghadapi suatu tatanan sosial yang pengaturannya lebih longgar, tergantung kepada kemauan masing-masing untuk turut serta dalam kehidupan keagamaan dan pelajaran-pelajaran di pesantren secara intensif. Sedangkan berdasarkan tempat kediaman mereka, santri dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
[21] Ibid, hlm. 22
1). Santri Mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetapkan di dalam kompleks pesantren.
2). Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren dan biasannya tidak menetap di dalam kompleks pesantren.[22] Pada awal perkembangan pondok pesantren, tipe ideal dari kegiatan menurut ilmu tercermin dalam “santri kelana” yang berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya guna memperdalam ilmu keagamaan pada kyai-kyai terkemuka. Dengan masuknya sistem madrasah ke dalam pondok pesantren dan ketergantungan santri pada ijazah formal, nampaknya belakangan ini tradisi santri semakin memudar.
[22] Zamakhsyari Dhofier, loc.cit, hlm. 51-52
c. Masjid.
Di dalam tradisi Islam, masjid tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, sejak masa Nabi Muhammad SAW menyebarkan Agama Islam hingga sekarang masjid tetap menjadi tempat diselenggarakannya pendidikan keagamaan. Lembaga-lembaga pesantren, khususnya di pulau jawa, memegang teguh tradisi ini. Ini dapat dilihat dari penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren dimana kyai mengajar santri-santrinya di masjid dan menjadikannya pusat pendidikan bagi pondok pesantren. Seorang kyai yang ingin membangun sebuah pesantren langkah pertama yang dilakukannya biasanya adalah membangun masjid di dekat tempat tinggalnya. Di dalam masjid inilah kyai tersebut menanamkan disiplin para santri dalam melaksanakan shalat lima waktu, memperoleh pengetahuan Agama dan kewajiban Agama lainnya.
d. Pondok
Pondok adalah tempat tinggal bersama atau (asrama) para santri yang merupakan ciri khas pondok pesantren yang membedakan dari model pendidikan lainnya. Fungsi pondok pada dasarnya adalah untuk menampung santri-santri yang datang dari daerah yang jauh. Kecuali santri-santri yang berasal dari desa-desa disekitar pondok pesantren, para santri tidak diperkenankan bertempat tinggal di luar kompleks pesantren, dengan pengaturan yang demikian, memungkinkan kyai untuk mengawasi para santri secara intensif, tradisi dan transmisi keilmuan di lingkungan pesantren membentuk tiga pola sebagai fungsi pokok pesantren. Sebagaimana telah disebutkan diatas, tugas dan peranan kyai bukan hanya sebagai guru, melainkan juga sebagai pengganti ayah bagi para santrinya dan bertanggung jawab penuh dalam membina mereka.
Besar kecilnya pondok tergantung dari jumlah santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh, dan keadaan pondok pada umumnya mencerminkan kemerdekaan dan persamaan derajat. Para santri biasanya tidur di atas lantai tanpa kasur dengan papan-papan yang terpasang di atas dinding sebagai tempat penyimpanan barang-barang. Tanpa membedakan status sosial ekonomi santri, mereka harus menerima dan puas dengan keadaan tersebut.
e. Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik
Untuk masa yang cukup lama, pengajaran kitab-kitab Islam klasik menandai. Berdasarkan muatan materinya kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dikelompokkan menjadi tiga tingkatan yaitu :
1). Kitab-kitab dasar.
2). Kitab-kitab tingkat menengah.
3). Kitab-kitab besar.[23]
[23] M. Bahari Ghazali, op.cit, hlm. 50-51
Seperti yang telah diuraikan di muka sejak dibukanya terusan suez yang melancarkan hubungan Islam dengan pusat Islam mekah dan madinah, perkembangan baru yang melanda kalangan muda muslim, khususnya di jawa, banyak diantara mereka yang menuntut ilmu dan bermukim disana untuk bertahun-tahun. Sekembalinya mereka ke tanah air, pada umumnya membawa kitab-kitab Islam. Hal ini mendorong terjadinya heterogenitas kitab-kitab yang diajarkan dikalang pesantren hingga sekarang.
Sekarang, meskipun sebagian besar pesantren telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya dan bahkan memiliki ciri “modern”, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasikal masih tetap dipertahankan. Berdasarkan gambaran lahiriyah pesantren sebagaimana di atas, nampak bahwa kehidupan di dunia pesantren memiliki berbagai keunikan dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya bahkan dengan kehidupan rutin masyarakat sekitarnya. Selain itu, gambaran unik pendidikan pesantren terlihat pula dalam metode pemberian materi pelajaran dan aplikasi materi dalam metode pemberian santri sehari-hari.
Pemberian materi pelajaran pada umumnya menggunakan dua metode yaitu: Metode weton/bondongan, sorogan, halaqoh, dan hafalan. Weton berasal dari bahasa jawa yang berarti waktu, sebab pengajian itu diberikan pada waktu-waktu tertentu yaitu sebelum/sesudah shalat fardhu, sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, halaqoh berarti lingkaran murid, dan metode hafalan diterapkan untuk menghafal kitab-kitab tertentu.[24]
[24] Derektorat Jendral Pendidikan Keagamaan Dan Pondok Pesantren, Pembakuan Serana Pendidikan, Jakarta: Dipertemen Agama RI, 2005), hlm. 9
3. Jenis - Jenis Pesantren
Dalam tahap perkembangannya, sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi, bentuk itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu:
1. Pesantren salaf
Pesantren salaf/salafi yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kitab-kitab klasik atau kitab-kitab kuning yang disusun oleh para ulama-ulama salaf dan kiai sebagai figur sentral. Pesantren ini tidak menyelenggarakan pendidikan formal seperti SD/MI, MTs/SMP, SMA/ SMK/MA atau bentuk pendidikan formal lainnya. Demikian dikutip dari laman Abusyuja.
2. Pesantren kholaf (modern)
Ini merupakan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan pengelolaan manajemen modern. Pusat pendidikan tidak berpusat pada seorang kiai, tetapi lebih pada sistem dalam bentuk kurikulum dan administrasi pendidikan formal.
3. Pesantren perpaduan salaf dan kholaf
Pesantren jenis ini masih menyelenggarakan pengajaran kitab-kitab klasik dengan kiai sebagai figur sentral, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal seperti SD/MI, MTs/SMP, SMA/SMK/MA atau bentuk pendidikan formal lainnya.
4. Pesantren takhassus
Jenis pesantren ini khusus pembelajaran materi tertentu. Contohnya pesantren tahfiz Alquran. Ada juga pesantren khusus ilmu fikih. Lalu pesantren khusus materi tentang hadits, dan sebagainya. Adapun sistemnya lebih banyak menggunakan pola pesantren salafiyah modern yang memiliki pendidikan formal. Keuntungan dari pesantren takhassus adalah kualitas alumni dalam bidang tertentu.
5. Boarding school bermodel pesantren
Lembaga pendidikan Islami modern ini mulai banyak didirikan. Tidak ada figur kiai di pesantren ini. Hanya ada manajemen sekolah. Tidak ada satu sosok sentral yang berilmu. Adanya kurikulum. Ciri-ciri pesantren jenis ini adalah fasilitasnya yang lengkap. Misalnya, masjid yang sangat bagus, kamar santri yang cukup baik, menu makanan yang luar biasa nikmat.
B. ASAL USUL PESANTREN
1. Sejarah pondok pesantren
Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dengan kyai sebagai sentral utama serta masjid sebagai pusat lembaga (Arifin,1993). Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di Jawa. Lembaga pendidikan Islam ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim pada 1399 M yang berfokus pada penyebaran agama Islam di Jawa.[25] Selanjutnya, tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pesantren pertama didirikan di Kembangkuning, yang waktu itu hanya dihuni oleh tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning.[26] Bahkan Kyai Machrus Aly menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istiqamah untuk ber-taqarrub kepada Allah.[27] Pesantren Sunan Ampel kemudian dipindahkan ke kawasan Ampel di seputar Delta Surabaya karena ini usulan Raden Rahmat yang akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Selanjutnya, putra dan santri dari Sunan Ampel mulai mendirikan beberapa pesantren baru, seperti Pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pesantren Demak oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.[28]
[25] Prof Ahd.Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren,(Yogyakarta:Lkis,2013),hlm 33.
[26] Ibid., hlm 34.
[27] Prof Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,(Jakarta: Erlangga,2011), hlm 8
[28] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren,(Jakarta: Gema Insani Press,1997),hlm 70.
Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur) cukup cermat dan dapat dipegangi sebagai pedoman. Dikatakan bahwa Mulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren. Sebagai Imam Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) mendirikan pesantren sesudah Sunan Ampel. Sejarah menyatakan bahwa teori kematian kedua wali ini menyebutkan bahwa Sunan Ampel wafat pada 1467 M. Sedang Sunan Gunung Jati pada 1570 M. Jadi terpaut 103 tahun yang dipandang cukup untuk membedakan suatu masa perjuangan seorang penyebar Islam. Sebagai ulama yang memandang Gunung Jati sebagai pendiri pesantren pertama mungkin saja benar, tetapi khusus di wilayah Cirebon atau umum Jawa Barat memandang Gunung Jati pertama yang mendirikan pesantren.
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahirnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Buktinya terdapat beberapa bangunan : rumah kediaman pengasuh (Kyai), sebuah surau/masjid dan asrama tempat tinggal para siswa (santri). Pesantren mampu bertahan berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri.[29] Semula pondok pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam: lembaga yang dipergunakan untuk penyebaran agama dan tempat untuk mempelajari agama Islam. Selanjutnya lembaga ini selain sebagai pusat penyebaran dan belajar agama juga mengusahakan tenaga-tenaga bagi pengembangan agama.[30]
[29] Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur,(Jakarta: Lp3es,1988), hlm 40-43
[30] Sunyoto,Pesantren Dalam pendidikan Nasional : Pesantren Dan Pembaharuan,(Jakarta: Lp3es,1988), hlm 61.
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kyai yang menetap (bermukim) pada suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Karena banyak santri yang datang mereka pun mendirikan pondok disekitar rumah kyai atau masjid. Biasanya tanah tempat terletaknya pondok itu adalah milik pribadi keluarga kyai. Ada yang kemudian diwakafkan untuk umat Islam dan ada pula yang tetap berstatus milik keluarga kyai yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.[31]
[31] Ibid., hlm 19.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda :[32]
[32] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,( (Jakarta: Lp3es,1994), hlm 55.
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, ”Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).
Menurut Sunyoto (1990: 13) kemungkinan besar pesantren di adaptasi sebagai bentuk persuasif-adaptif oleh Malik Ibrahim dari bentuk asrama dan biara yang terkesan sebagai mandala Hindu-Budha Majapahit (berkuasa 788-833/1386-1429), sebagai bentuk persuasif adaptif dari kata Arab sholat (menyembah Tuhan dengan ritual yang telah digunakan) menjadi sembahyang atau menyembah yang Hyang (Tuhan) kata Arab mushalla (tempat melakukan sholat) di Jawa disebut langgar yang agak mirip dengan kata sanggar tempat peribadatan orang Hindu.
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus dalam perspektif wacana pendidikan nasional sekarang ini, sistem pondok pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam. Minimal ada tujuan teori yang mengungkapkan spekulasi. Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan Hindu dan Budha sebelum Islam datang di Indonesia. Teori kedua mengklaim berasal dari Indonesia. Teori ketiga menyatakan bahwa model pondok pesantren ditemukan di Baghdad. Teori keempat melaporkan bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (pra-Muslim di Indonesia) dan India. Teori kelima mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab. Teori ke enam menegaskan dari India dan orang Islam Indonesia. Dan teori ketujuh menilai dari India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.
Dari berbagai pandangan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga keagamaan yang memberikan sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang keberadaannya dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan para santri dan masyarakat.
2. Karakteristik Pondok Pesantren
Pondok pesantren memiliki karakteristik yang pada umumnya pondok pesantren memiliki tempat-tempat belajar yang saling berdekatan sehingga memudahkan para santri untuk melangsungkan proses pembelajaran, diantara tempat itu berupa madrasah sebagai tempat pembelajaran, asrama sebagai tempat tinggal santri yang mondok, masjid sebagai tempat ibadah para penghuni pesantren dan juga sebagai pusat belajar para santri, perpustakaan sebagai tempat peminjaman berbagai kitab dan buku-buku pelajaran, rumah tempat tinggal kyai, ustadz dan ustadzah, dapur umum yang digunakan sebagai tempat memasak untuk para santri, dan tempat pemandian para santri.
Ada beberapa karakteristik pesantren secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pondok pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi santri-santri.
2. Sebagai sentral peribadatan dan pendidikan islam.
3. Pengajaran kitab-kitab islam klasik.
4. Santri sebagai peserta didik. Dan
5. Kyai sebagai pemimpin dan pengajar di pesantren.
C. Perkembangan Pesantren Dari Masa Ke Masa
Pesantren merupakan lembaga pendidikan - proses pembelajaran yang tersistem dan terorganisir - yang paling lama keberadaannya. Di Indonesia kita mengenal pesantren pada era perjuangan Wali Songo, dimana setiap wali mempunyai murid yang menginap, bermukim. Antara lain Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat dsb. Sehingga istilah Pondok juga berasal dari Bahasa Arab, kata Alfunduk = hotel/kamar-kamar. Sedang kata santri berasal dari bahasa Sansekerta Sashtri = orang yang membawa kitab suci, sebagaimana para bhiksu. Ada pula yang berpendapat dari kata Cantrik, orang yang melayani / mendampingi para bhiksu.
Bagaimanakah perkembangan Pesantren mulai dari awal munculnya di masa Wali Songo hingga saat ini di masa canggihnya tehnologi.
Kita bisa memilah perkembangan tersebut dalam empat segi : Arsitektur bangunan, materi, peran dan manajerial. Karena ternyata keempat hal tersebut mengalami perubahan yang bisa dilihat dan dirasakan.
1. Segi arsitektur bangunan
Di awal tumbuhnya pesantren hanya sebuah berupa bangunan kecil, semacam padepokan. Terbuka dengan alam, beratap genteng, beralas tanah, kamar dan aula menjadi satu. yang dihuni beberapa santri. Ini terjadi abad 16-17, di era Wali Songo.
Dimasa pasca Wali Songo, abad 19, bangunan mulai agak besar, sudah dipisahkan antara aula dan kamar santri. Segi bangunan sudah ada perkembangan, meski bahan dasar gedung masih belum berkembang, atap genteng, dinding kayu, alas tanah. karena jumlah santri mulai banyak, berasal dari berbagai daerah, bahkan lintas pulau. di Lamongan pesantren yang tua adalah Pondok Yai Bakir Paciran, Pondok Yai Abdul Hadi ayah Yai Faqih Langitan Tuban. Dari dua pesantren tersebut menyebar santri-santrinya mengembangkan Islam ke banyak daerah. Pada akhir abad 19, Bangunan sudah mulai berupa gedung, dikelompokkan per kamar, tersedia aula tersendiri untuk jama’ah dan mengaji, lantai sudah berbahan semen, begitu pula dindingnya. Awal abad 20 memasuki era modern, pesantren sudah berupa gedung dengan arsitektur yang indah. Sudah lebih dari satu lantai, alas keramik. Sudah berkembang disamping gedung asrama untuk penginapan, juga tersedia gedung untuk madrasah/ lembaga formal.
2. Segi Materi yang disampaikan
A. Masa Wali Songo
Setelah Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, penyampaian syariat aqidah di pesantren sudah menggunakan ilmu aslinya, menggunakan kitab-kitab kuning. Yang setiap pesantren mempunyai materi yang berdiri sendiri. Belum ada kelas-kelas tertentu. Secara umum yang disajikan adalah Ilmu Nahwu (mulai Jurumiyah hingga Alfiyah Ibnu Malik), Fiqih (mulai fathul Qorib hingga Fathul Wahab), kemudian diperdalam dengan Faroidl, Usuhul Fiqih, tafsir, Hadist, dsb.
a. Abad 19
Masa berkembang pesatnya agama Hindu ditandai dengan kejayaan Majapahit di Jawa yang menguasai 2/3 dunia. Maka karena kecerdasan, kreatifitas, kebijaksanaan para waliyullah, mengakulturasikan ajaran aqidah dan syariat Islam dengan budaya lokal. Pernyataan ini diperkuat dengan beberapa ajaran, kegiatan antara lain: Ajaran Molimo Sunan Ampel (mo madon/tidak berzina, mo maling/tidak mencuri, mo main/tidak berjudi, mo minum/tidak minum arak, mo madat/tolak narkoba) ajaran dengan istilah yang merakyat. Kesukaan terhadap pertunjukan wayang, oleh Sunan Kalijaga dibuatkan Wayang dengan kisah-kisah islami, dan para lakon Semar Petruk Gareng, Oleh Sunan Bonang dibuatkan alat musik pengiringnya seperangkat gamelan, yang bunyi dasarnya adalah ning… nang… ning… nang… nong… ndang.. ndang… ndang… ngang… Gung. Yang bermakna nang kono nang kene (kesana-kesini) silahkan beraktifitas, tapi begitu usai ndang-ndang (segeralah) ke yang Maha Agung (gung…). Oleh Sunan Drajat dibuat Suluk pujian kepada Allah dalam bentuk lagu.
Tentang Aqidah keberadaan Allah dan siklus hidup manusia diciptakan Tembang Macapat yang terdiri dari: Maskumambang, Mijil, Kinanti, Sinom, asmarandhana, Gambuh, Dhandanggula, Durma. Dan sebagainya.
b. Abad 20
Dimulai akhir abad 19, Materi di pesantren mulai di organisir, sistem klasikal. Ini diperkuat dengan lahirnya UU Sisdiknas tahun 2003 yang mencantumkan tentang pondok pesantren. Yang pada waktu selanjutnya dinamakan Madrasah Diniyyah. Pemerintah mencoba memberikan sumbangsih materi-materi, kurikulum dsb dalam Madin. Namun semuanya kembali kepada Pesantren. Karena dari sejarah dan awal berdirinya pesantren adalah lembaga mandiri yang pemerintah tidak ikut campur tangan secara mendalam.
c. Abad 21
Kebijakan pemerintah yang sangat menganggap penting formalitas, legalitas, ijazah. Sehingga banyak jebolan santri yang ilmu agamanya setinggi langit tidak bisa berkiprah di lembaga pendidikan formal karena tak berijazah. Menghadapi kenyataan tersebut, direspon masyarakat untuk menyekolahkan anaknya agar mendapat ijazah dengan tetap mondok untuk menjaga akhlak dan memperdalam ilmu agamanya. Sehingga di masa ini, pesantren-pesantren banyak yang mendirikan lembaga formal, mulai dari TPQ, TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/ MA. Di beberapa pesantren keberadaan Madrasah Muallimin/Muallimat yang terbentuknya lebih dahulu, tetap dipelihara. Efek yang terasa secara perlahan tapi pasti adalah bergesernya ghirah semangat santri untuk mengkaji ilmu agama, hanya sekedarnya saja. Apa lagi jika dibandingkan dengan dulu saat pesantren hanya berkonsentrasi pada ilmu agama, atau pesantren salafi. Diperkuat efek globalisasi, modernisasi yang menghasilkan mental kapitalisme alias keduniaan.
3. Segi Peran Pesantren
a. Masa Walisongo
Selain pesantren sebagai pusat diproduksinya kader-kader pengembang Islam. Pesantren juga berperan dalam bidang politik. Ini dibuktikan dengan Sunan Ampel yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa yakni Kerajaan Islam Demak. Sunan Gunung Jati yang mendirikan Kerajaan Cirebon, Banten dan selanjutnya menguasai Kerajaan Pajajaran.
b. Masa Penjajahan
Pesantren yang dengan dasar penjajah adalah kafir dan menjajah, maka berperang melawan mereka adalah jihad fisabilillah. Diperkuat dengan sikap penjajah yang menguras kekayaan alam, menguras energi manusia, menguasai perdagangan dsb. Maka Pesantren sebagai pusat perlawanan terhadap penjajah baik Belanda, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang, Komunis. Dalam sejarah tercatat ada Perang Imam Bonjol, Perlawanan Diponegoro, dan sebagainya. Pada saat mempertahankan kemerdekaan perlawanan dilakukan dengan berdasar pada Komando Jihad oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Juga diperkuat datanya dengan dibentuknya satuan tentara dan organisasi Islam yang dipelopori dari pesantren, dibentuk para kyai. Sebut saja Syarikat Islam, Masyumi dan lain-lain.
c. Masa Orde Baru
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto, peran pesantren menduduki level bawah, dipandang sebelah mata. Sehingga pesantren menarik diri dari hiruk pikuk politik dan pemerintahan. Pesantren fokus pada bidang pendidikan dan dakwah Islam.
d. Masa akhir abad 19 dan abad 20
Pesantren berbenah menghadapi tantangan zaman. Berdiri lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi. Output pesantren menjadi terdidik, bertitel. Mental pesantren penampilan educated. Orde baru tumbang, berganti masa reformasi, semua berubah, pesantren dengan santrinya siap berkiprah dimanapun, di birokrasi ok, dipolitik siap, dimiliter tidak menolak. Bisa kita ambil contoh Pak Nuh yang menjadi Mendiknas, Pesantren dengan bertangan NU mempunyai partai PKB dan sebagainya.
e. Abad 21
Gencarnya tehnologi komunikasi yang tak bisa dihindari. Mempengaruhi pesantren yang tetap dan selalu sebagai ujung tombak dakwah Islam. Pesantren berkiprah dakwah dengan memanfaat tehnologi komunikasi, internet dan lain-lain.
4. Segi Manajerial
Dari awal berdirinya pesantren didirikan oleh sosok Kyai. Berarti langkah selanjutnya adalah sak kerso beliau. Dimulai dari pengaturan personalia tenaga pengajar, administrasi keuangan, konsumsi dan sebagainya.
Di tahun 1980an muncul Pesantren Modern Darussalam Gontor yang memberikan fenomena baru yang bukan ndalem sentris, melainkan dengan manajemen terbuka. Semua lubang yang berpotensi menghasilkan dana, dikelola dengan terbuka dengan menggunakan SDM yang dimiliki pesantren tersebut, mulai unit Catering, Bank, Percetakan, minimarket, kesehatan dan sebagainya.
Gayung bersambut, pesantren salaf membuka dirinya dengan mendirikan lembaga pendidikan formal yang sangat berkepentingan dengan lembaga lain dan orang banyak, maka digunakanlah menejemen terbuka. Ada laporan keuangan, laporan kegiatan, laporan BOS, Akreditasi dan lain-lain.
Pesantren yang dulu terkesan kumuh, jorok, pusat penyakit kulit. Maka sekarang bertaburan pesantren yang jernih, bersih, modern, fasilitas mewah dan otomatis mahal. Sebutlah di Jawa Timur ada Pesantren Ar Risalah Lirboyo yang saat pertama masuk harus merogoh saku 34 Juta rupiah. Tiap bulan ada juga pesantren yang perlu dana hingga 9 juta rupiah. Namun pesantren dengan rasa jendral harga kopral pun masih banyak kita temui.
Jika dulu pesantren menerapkan kemandirian, kesetiakawanan, keikhlasan, tawadlu, dsb yang sangat tinggi. Dengan santri yang masak mandiri dengan berkelompok, makan lengseran, mencuci baju berkelompok, tidur sebantal berdua, piket kebersihan, ro’an, yang kesemuanya melahirkan kepribadian diatas.
Sementara sekarang pesantren untuk makan menggunakan sistem catering, cuci baju dengan laundry, tidur dengan bad sendiri-sendiri dsb. Dengan sistem tersebut apakah masih bisa melahirkan santri yang mandiri, ikhlas, setiakawan dll? Kita lihat saja.
Akhirnya, Pesantren sebagai ujung tombak dakwah Islam, sebagai benteng moral bangsa tetaplah hingga ini kita pegang. Zaman makin menyesakkan dada, pesantren adalah solusi terbaik back up mental bercasing iman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di negeri kita. Asal-usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang. Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje.
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat. Para pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu Kiai, Santri, Masjid, Pondok, dan Pengajian. Pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979. Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren, salafiyah dan khalafiyah.
B. Saran
Demikian makalah yang penyusun buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita dalam mengenal sejarah pondok pesantren. Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu kami penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti. Beberapa persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali , 1987)
Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren, ( (Jakarta: Lp3es,1994)
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: PenerbitLP3ES,1990)
Derektorat Jendral Pendidikan Keagamaan Dan Pondok Pesantren, Pembakuan
Fadli, Adi. Pesantren. : Sejarah dan Perkembangannya, Elhikam: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, Vol 5 No. 1, 2012
Ghazali, M. Bahri MA. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Pendoman Ilmu Data, (Jakarta: IRP Press, 2001)
Haedari, Amir dkk. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRP Press, 2004)
Heriyudanta, Muhammad. Moderenisasi Pendidikan Pesantren Perspektif Azyumardi Azra, Mudarrisa: Jurnal Kajian Pendidikan Islam, Vol 8, No. 1, Juni 2016
https://roudlotulquran.sch.id/2017/07/20/perkembangan-pesantren-dari-masa-ke-masa/#:~:text=merupakan%20lembaga%20pendidikan,Abdul%20Hadi%20ayah
http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/
Indra, Hasby. Pesantren dan Transformasi Dalam Tantangan Moderenitas dan Tantangan Komlesitas Global. Jakarta: IRP Press, 2004)
Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Yogyakarta:Gama Media, 2004)
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta:Penerbit Paramadina,1997)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS,1994)
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung:PT Remaja RosdaKarya,2004)
Qomar, Mujamil. Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,(Jakarta: Erlangga,2011)
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001)
Serana Pendidikan, Jakarta: Dipertemen Agama RI, 2005)
Sunyoto,Pesantren Dalam pendidikan Nasional : Pesantren Dan Pembaharuan,(Jakarta: Lp3es,1988)
Soebahar, Halim. Modernisasi Pesantren,(Yogyakarta:Lkis,2013)
Team Penyusunan Kamus Besar, (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 1990)
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren,(Jakarta: Gema Insani Press,1997)
Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur,(Jakarta: Lp3es,1988)
Wiryosukarto, Amir Hamzah et al., Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996)
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: KIS, 2001)
Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar