Jumat, 27 Januari 2023

Pendidikan Islam Masa Umayyah Dan Abasiyah

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Arif Fardhan, M.Hi
Disusun Oleh Kelompok 1 Angkatan 5 :
1. Nila Sari (PAI)
2. Suci Mardhotilla (PAUD)
3. Dina Zahernanda (SBA)
4. Neng Hindy Handiyani (SBA)

KATA PENGANTAR

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، وكفى بالله شهيداً.وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً مزيداً.أما بعد

Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, dan memohon ampunan kepada-Nya. Diantara kewajiban yang harus seseorang terhadap perintah dan larangan dari Allah adalah berilmu dengan hal tersebut.

Maka kami kelompok satu akan berusaha menjadi bagian dari penyusunan sebuah pembahasan tentang Pendidikan Islam Masa Umayyah dan Abbasiyah, semoga penyusunan makalah ini dicatat sebagai amal shalih disisi Allah dan semua yang terlibat memperoleh ganjaran berlipat ganda

Akan tetapi jika dalam penyusunan ini terdapat kesalahan, kami selaku penyusun meminta saran dan kritiknya untuk memperbaiki apa yang kurang dari pembahasan pada makalah ini.

Shalawat berserta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi-Nya, Muhammad bin abdillah, juga kepada keluarganya dan para sahabat beliau serta kepada orang-orang yang setia mengikuti jalannya hingga hari kiamat. Aamiin

Lahat, Januari 2023 M/Sha’ban 1443 AH
Penyusun Makalah Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Kelompok Satu

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI.
BAB IPENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Manfaat Penelitian.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Sistem Pemerintahan dan Politik Masa Bani Umayyah dan Abbasiyah.
2.2 Pengembangan Peradaban Islam Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah.
2.3 Sejarah Kemunduran daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah pendidikan islam merupakan keterangan yang menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam didunia Islam dari waktu ke waktu, dari suatu Negara ke Negara lain, dari masa Rasulullah ﷺ sampai masa sekarang.[1]
[1] Riksan Robin, “Makalah Tugas Sejarah Pendidikan Islam Bani Abasiyah”, Hal 1, (diakses pada Rabu 25 Januari 2023, pukul 20:15).

Proses pendidikan telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi. Bahkan pendidikan mengambil peranan yang sangat menentukan untuk tercapainya kehidupan di dunia maupun di akhirat yang lebih baik serta menentukan kemajuan peradaban manusia.

Demikian juga dengan pendidikan Islam yang berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, dimana Islam lahir dan berkembang lengkap dengan usaha-usaha pendidikan untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan.

Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban. Dan pada masa daulah Abbasiyah merupakan puncak kegemilangan dalam sejarah Islam. Pada masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan yang dikenal dengan masa keemasan Islam (golden age).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sistem Pemerintahan dan Politik masa Bani umayyah dan Abbasiyah ?
2. Bagaimana Pengembangan Peradaban Islam Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah ?
3. Bagaimana Sejarah Kemunduran daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah ?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui Sistem Pemerintahan dan Politik masa Bani umayyah dan Abbasiyah.
2. Mengetahui Pengembangan Peradaban Islam Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah.
3. Mengetahui Bagaimana Sejarah Kemunduran daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pemerintahan dan Politik Masa Bani Umayyah dan Abbasiyah

A. Awal Pembentukan Dinasti Umayyah

Daulah Bani Umayyah mengambil nama keturunan dari Umayyah Ibnu Abdi Syms Ibn Abdi Manaf, berdiri pada tahun 661 M sampai dengan 750 M. Pendiri dinasti ini berawal dari masalah tahkim yang menyebabkan perpecahan dikalangan pengikut Ali Bin Abi Tholib yang berakhir dengan kematiannya.[2] Setelah terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, maka kedudukannya digantikan dan dijabat oleh anaknya Hasan. Ia memegang kekhalifahan setelah kematian ayahnya, Ali bin Abi Thalib dengan pembaiatan yang dilakukan oleh orang-arang yang ada di Kufah (suatu kota yang ada di Irak, bagian Barat dari sungai Eufrat) dan tinggal di sana selama kurang lebih enam bulan. Pada suatu hari datanglah Mu’awiyah bin Abi Sufyan datang kepada Hasan dengan melakukan perundingan. Dia berupaya agar Hasan menyerahkan kekuasaan khalifah kepadanya dengan syarat tidak seorang pun menuntut kepadanya dari kalangan orang-orang Madinah, Hijaz, dan Irak. Permasalahan yang terjadi pada masa ayahnya, Ali bin Abi Thalib dengan menunaikan ataupun melepaskan segala hutang-hutangnya dan itu disanggupi oleh Mu’awiyah seperti yang diinginkan oleh Hasan dan karenanya ia pun membuat perjanjian damai. Maka tercapailah perdamaian diantara kedua belah pihak. Perjanjian inilah yang kemudian akhirnya dapat mempersatukan Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, yaitu kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa yang absolut dalam sejarah pemerintahan Islam. Di mana tahun 41 H/661 M atau tahun persatuan dikenal dalam sejarah sebagai tahun bersatunya umat Islam (‘am jama’ah).[3]
[2] Puspitasari Darmelia, “Sistem politik dan pemerintahan dizaman daulah bani Umayyah”, https://www.kompasiana.com/darmelia25354/5db6eeeed541df2df15f5243/sistem-politik-dan-pemerintahan-di-zaman-daulah-bani-umayyah, (Diakses pada 28 Oktober 2019, pukul 20:36 WIB)
[3] Haris Munawir. 2018. Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Jurnal Studi Islam 10 (2), hal 394

B. Sistem Pemerintahan dan Politik Bani Umayyah

Pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan Sebagaimana dikemukakan bahwa Mu’awiyah adalah awal kekuasaan Bani Umayyah, yang menerapkan monarchi heridetis (kerajaan turun-temurun) sebagai ganti dari pemerintahan kekhalifahan yang demokratis. Berdasarkan data sejarah yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh dengan dan melalui diplomasi, kekerasan, tipu daya, dan tidak melalui pemilihan dengan suara terbanyak. Kesuksesan kepemimpinan secara turun-temurun sesungguhnya dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Dilihat dari bentuk pemerintahannya, sebenarnya Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarki di Persia dan Byzantium.[4] Dalam buku-buku sejarah menyebutkan bahwa ide awal pewarisan kekhalifahan berasal dari al-Mughirah ibn Syu’bah, yang kala itu menjabat sebagai gubernur Kufah di masa Mu’awiyah. Justru dialah yang memberi saran kepada Mu’awiyah untuk mengangkat anaknya Yazid untuk menjadi khalifah penggantinya.
[4] Ibid hal 398

Tak dapat disangkal bahwa Mu’awiyah dalam memimpin masih tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah”, dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.[5] Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan ibu kota negara yang sebelumnya di Madinah dipindahkan ke Damaskus. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah Daulah Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab. Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke Sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kemudian dilanjutkan ke Byzantium, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai daerah Balukistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[6] Konsolidasi internal dilakukan sejak masa pemerintahan Mu’awiyah dengan tujuan untuk memperkokoh barisan dalam rangka pertahanan dan keamanan dalam negeri, antisipasi atas setiap gerakan pemberontakan, dan untuk memperlancar program pemerintah. Idealnya konsolidasi tersebut dijadikan sebagai prasarana menuju keberhasilan program-program dinasti. Ada lima Diwan yaitu Diwan al-Jund (Dinas Urusan Kemiliteran), (Dinas Urusan Administrasi dan Surat atau The Board of Correspondence), Diwan al-Barid (Dinas Urusan Pos atau The Board of Posts), Diwan al-Kharaj (Dinas Urusan Keuangan atau the Board of Finance), dan Diwan al-Khatam (Dinas Urusan Dokumentasi atau The Board of Signet). Instrumen tertinggi dalam pemerintahan yang bercorak Arab adalah Syura, sebuah diwan (kansil), syaikh yang ditunjuk oleh khalifah atau oleh gubernur provinsi, dengan fungsi konsultatif dan eksekutif. Mu’awiyah sendiri jarang memberi perintah, tetapi dalam melaksanakan pemerintahannya cukup melalui proses yang dapat diandalkan berdasarkan kepercayaan dan melalui kemampuan, serta pengaruh pribadinya. Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan pada masa pemerintahannya. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan qadhi (hakim), mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Selain itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Walaupun berbentuk kerajaan, Mu’awiyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.
[5] Ibid hal 399
[6] ibid

C. Sistem Pemerintahan dan Politik Masa Bani Abbasiyah

Bani Abbas adalah keturunan dari al-Abbas paman Rasulullah Salallahu alaihi wasallam. Pada dasarnya selama abad pertama hijriyah, keturunan al-Abbas sama sekali tidak pernah berniat untuk memegang kekhalifahan, mereka hanya memusatkan dukungan kepada keturunan Ali ibn Abi Thalib serta memperjuangkan hak mereka atas khilafah.[7] Al-Abbas sangat meyakini hak Ali atas khilafah yang kemudian diikuti oleh anaknya, Abdullah. Ketika ia dikaruniai anak laki-laki ia memberinya nama Ali sebagai bukti penghargaannya kepada Ali. Ali bin Abdullah ini kemudian memperjuangkan keyakinan keluarganya mengenai hak Ali bin Abi Tholib dan keturunannya atas khilafah. Untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan keturunan Ali dan keturunan al-Abbas, Khalifah Umayyah’ Abd al-Malik ibn Marwan memanggil Ali ibn Abdullah beserta keluarga dan beberapa keturunan Ali ibn Abi Thalib dengan menyediakan sebuah kawasan bermukim di Hamimah (sebelah Timur Yordania). Hal ini dalam rangka kepentingan kontrol dan pengawasan terhadap mereka. Kegiatan propaganda secara terang-terangan pada masa khalifah terakhir Umayyah, Marwan Ibn Muhammad, dipusatkan di Khurasan dan dengan cepat dapat menguasai ibu kota Maruw. Hal tersebut membuat wali Umawiy di sana meminta bantuan ke pusat. Pusat tidak tahu sama sekali kepada siapa tuntutan khilafah tersebut ditujukan hingga tibanya kitab rencana dan kegiatan propaganda Ibrahim al-Abbasiy kepada Marwan ibn Muhammad. Segera khalifah memerintahkan penangkapan atas Ibrahim, namun sebelumnya Ibrahim mewasiatkan saudaranya Abu al-Abbas untuk menjadi al-Imam dan menginstruksikannya ke Kufah. Sebelum didahului oleh Abu Salamah al-Khilal yang berniat untuk mengambil alih posisi al-imam, Abu al-Abbas dengan dibantu Abu Muslim menghambat usaha Abu Salamah tersebut, Abu Muslim yang telah resmi sebagai panglima pemberontak mengirim orangnya ke Kufah untuk segera membaiat Abu al-Abbas. Dengan terpaksa Abu Salamah turut membaiat. Setelah dibaiat Abu al-Abbas segera memusatkan usahanya untuk menghancurkan Marwan Ibn Muhammad Khalifah Umayyah terakhir, terjadilah Perang al-Zab, yang dalam sejarah disebut sebagai salah satu perang yang sangat hebat. Tentara Bani Abbas dipimpin oleh paman Abu al-Abbas, Abdullah ibn Ali, sedangkan tentara Umayyah dipimpin langsung oleh Khalifah Marwan ibn Muhammad. Tentara Umayyah mengalami kekalahan dan mundur ke Damaskus. Tentara Abbasiyah terus mengejar dan memasuki Damaskus, satu per satu daerah Syiria dapat ditaklukkan. Marwan ibn Muhammad akhirnya tertangkap di Mesir dan terbunuh pada bulan Zulhijjah 132 H/750 M. Secara resmi kekhalifahan Umayyah runtuh dan digantikan oleh Abbasiyah, kekhalifahan baru dengan khalifah pertama Abu al-Abbas, ’Abdullah Ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas yang terkenal dengan gelar al-Shaffah (Sang Pembantai). Damaskus tetap menjadi ibu kota kekhalifahan, dan baru pada masa Abu Ja’far al-Mansur khalifah kedua, ibu kota dipindahkan ke Baghdad.
[7] Ibid hal 400

Daulah Abbasiyah sebagai sebuah kekhalifahan baru mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dengan Daulah Umayyah sebelumnya. Selain domisili Arab pada pemerintahan yang digantikan oleh Persia, Turki dan Mawaliy ada beberapa perbedaan dari berbagai dimensi yaitu para khalifah Abbasiyah berusaha memberi Daulah mereka sifat kesucian (qadasah), dengan menjadikan pemerintahan mereka bersumber dari syariat Allah, berbeda dengan Daulah Umayyah yang Arab sentris membuat para khalifah seperti seorang kabilah. Hal ini berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang bersumberkan kepada hal-hal yang bersifat materil. Dalam artian bahwa kedudukan khalifah Abbasiyah adalah pemberian dari Allah bukan dari rakyat. Hal ini berpengaruh kepada kehidupan pemerintahan. Para khalifah menamakan diri mereka al-Imam yang pada masa sebelumnya dipakai pada pemimpin shalat. Sistem kerajaanpun diwarnai dengan berbagai macam upacara dan etiket, khalifah tidak dapat ditemui langsung sebelum melalui beberapa al-hajib (semacam protokoler). Dimensi keagamaan dan keyakinan bahwa khalifah menjalankan perintah Tuhan dipercayai oleh masyarakat. Ini tidak terlepas dari usaha para propagandis yang dalam usahanya tersebut sering memakai Hadis-Hadis Nabi yang tidak akurat atau shahih, yang menegaskan bahwa hak tersebut berlanjut hingga hari kiamat. Mungkin inilah sebab keberhasilan mereka dalam menggalang massa untuk melawan pemerintahan Bani Umayyah. Dan hal ini juga yang membuat pemerintahan mereka dapat bertahan lama. Pada pemerintahan Abbasiyah masalah politik dan agama menyatu, berbeda pada masa sebelumnya yang memusatkan pemerintahan pada masalah keduniawian. Tampak pada berbagai macam pemberontakan yang terjadi, selalu berangkat dari masalah keagamaan. Para khalifah Abbasiyah mengatakan bahwa mereka berusaha menegakkan keadilan dan menghidupkan sunnah. Karena adanya pembauran masalah politik dan agama, hal ini membuat rakyat harus taat kepada khalifah sebagai sebuah bagian dari ritual keagamaan. Pada masalah politik ini juga jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan banyak mengadopsi dari Persia seperti adanya wazir, al-hajib, dan beberapa birokrasi istana. Berbeda dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah tidak lagi melakukan perluasan wilayah, akan tetapi hanya mempertahankan batas wilayah, memberi pelajaran kepada kerajaan yang menyalahi perjanjian dan menyerang kelompok pemberontak. Tidak adanya perluasan wilayah tidaklah menandakan Daulah Abbasiyah lemah, tapi sebaliknya Daulah Abbasiyah sangat kuat dari segala segi. Daulah Abbasiyah adalah daulah Islam yang berumur paling lama dengan umur sekitar 524 Tahun. Sebanyak 37 khalifah secara bergantian memegang pemerintahan, namun hanya pada masa sembilan khalifah pertama Daulah Abbasiyah mengalami masa keemasan.

Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :[8]
1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah.
[8]“Sistem Politik Pada Bani Abbasiyah”, https://www.academia.edu/5653656/Sistem_politik_pada_bani_abbasiyah, (Diakses pada 28 Oktober 2019, pukul 20:36 WIB)

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol dan Daulah Fatimiyah.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatannya disebut dengan “wizaraat”. Sedangkan Wizaraat itu dibagi lagi menjadi dua, yaitu :
1. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidensiil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2. Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja.

2.2 Pengembangan Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah Dan Abbasiyah

▪️ Pemisahan Kekuasaan

Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik. Muawiyah bukanlah seorang yang ahli dalam soal-soal keagamaan, maka masalah keagamaan diserahkan kepada para ulama.

▪️ Pembagian wilayah

Pada masa khalifah Umar ibn Khattab terdapat 8 propinsi, maka pada masa Dinasti Umayyah menjadi 10 propinsi dan tiap-tiap propinsi dikepalai oleh seorang gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada Khalifah. Gubernur berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan ‘amil.

▪️ Bidang administrasi pemerintahan

Dinasti umayyah membentuk beberapa Departemen yaitu :
a. Diwan al Rasail, semacam sekretaris jendral yang berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka;
b. Diwan al Kharraj, yang berfungsi untuk mengurus masalah pajak.
c. Diwan al Barid, yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat;
d. Diwan al Khatam, yang berfungsi untuk mencatat atau menyalin peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah;
e. Diwan Musghilat, yang berfungsi untuk menangani berbagai kepentingan umum.

▪️ Organisasi Keuangan

Percetakan uang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan, Walaupun pengelolaan asset dari pajak tetap di Baitul Mal.

▪️ Organisasi Ketentaraan

Pada masa ini keluar kebijakan yang agak memaksa untuk menjadi tentara yaitu dengan adanya undang-undang wajib militer yang dinamakan ‘Nidhomul Tajnidil Ijbary”.

▪️ Organisasi Kehakiman

Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas yaitu:
a. Seorang qadhi atau hakim memutuskan perkara dengan ijtihad.
b. Kehakiman belum terpengaruh dengan politik.

▪️ Bidang Sosial Budaya

Pada masa ini orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab, bahkan mereka memberi gelar dengan “Al Hamra”.

▪️ Bidang Seni Dan Sastra

Ketika Walid ibn Abdul Malik berkuasa terjadi penyeragaman bahasa, yaitu semua administrasi negara harus memakai bahasa Arab.

▪️ Bidang Seni Rupa

Seni ukir dan pahat yang sangat berkembang pada masa itu dan kaligrafi sebagai motifnya.

▪️ Bidang Arsitektur

Telah dibangunnya Kubah al-Sakhrah di Baitul Maqdia yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik ibn Marwan.[9]
[9] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hlm. 81

Mencermati sekilas tentang kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Umayyah mengandung pesan yang dapat kita tangkap disini bahwa ketika pemerintah mempunyai kemauan yang keras untuk membangun negaranya maka rakyat yang dipimpinya akan mendukung semua program pemerintah tersebut.

A. Sistem Pendidikan yang Diterapkan pada Dinasti Umayyah

Walaupun sistemnya pendidikannya masih sama seperti pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini pola pendidikan telah berkembang, sehingga peradaban Islam sudah bersifat internasional yang meliputi tiga Benua, yaitu sebagian Eropa, sebagian Afrika dan sebagian besar Asia yang kesemuanya itu dipersatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara.

Adapun Corak pendidikan pada Dinasti Umayyah yang dikutip dari Hasan Langgulung yaitu;[10]
[10] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, (Jakarta, Pustaka al-Husana, 1988)

1. Bersifat Arab dan Islam tulen artinya pada periode ini pendidikan masih didominasi orang-orang arab, karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politis, agama dan budaya. Meskipun hal ini tidak semuanya diterapkan pada semua pemerintahan Dinasti Umayyah hal ini terbukti dengan masa Muawiyah yang membangun pemerintahannya yang mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium.

2. Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru Muncul. Hal ini berawal dari pandangan mereka bahwa Islam adalah agama, negara, sekaligus sebagai budaya, maka wajar dalam periode ini banyak melakukan penaklukan wilayah-wilayah dalam rangka menyiarkan dan memperkokoh ajaran Islam. Hal ini terbukti ketika pada masa pemerintahan Umar bin abd Aziz pernah mengutus 10 orang ahli fikih ke Afrika utara untuk mengajarkan anak-anak disana.

3. Prioritas pada Ilmu Naqliyah dan Bahasa. Pada periode ini pendidikan Islam memprioritaskan pada ilmu-ilmu naqliyah seperti baca tulis al-Quran, pemahaman fiqih dan tasyri, kemudian ilmu bahasa, seperti nahwu dan sastra.

B. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah

Zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai zaman keemasan dan kejayaan Islam, secara politis para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan cinta ilmu pengetahuan sekaligus merupakan pusat kekuasaan politik dan agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat tertinggi. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan sehingga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dinasti Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal ahli bahasa atau terjemahan, penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan dinasti Umawiyah. Ketika kekuasaan beralih ketangan dinasti Abbasiyah, kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab semakin marak dan dilakukan secara besar-besaran. AlManshur termasuk khalifah Abbasiyah yang ikut andil dalam membangkitkan pemikiran, dia mendatangkan begitu banyak ulama cendikia dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke Baghdad. Di samping itu, dia juga mengirimkan utusan untuk mencari buku-buku ilmiah dari negeri Romawi dan mengalihkannya ke bahasa Arab. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat. Adapun puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah yaitu al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Wasiq dan al-Mutawakkil.

Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Popularitas daulat ‘Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikannya. Pada masanya juga sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menempati dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. [11]
[11] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010 hlm 53

Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin. Ia dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah al-Makmun memperluas Baitul Hikmah yang didirikan ayahnya, Harun al-Rasyid sebagai perpustakaan, observatorium dan pusat penerjemahan, Pendirian Bait al Hikmah merupakan karya monumental Al Makmun yang dimaksudkan untuk memasukkan hal-hal positif dari kebudayaan Yunani ke dalam Islam. Bait al Hikmah merupakan pusat pengkajian dan penelitian berbagai macam ilmu sekaligus sebagai perpustakaan yang lengkap dengan team penerjemah. Team ini bertugas menerjemahkan teks-teks asli Yunani, Persia, dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah yang terdiri dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi yang digaji oleh khalifah dengan gaji yang tinggi. Di samping dewan penterjemahan, beberapa dari rakyat yang kaya melindungi penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Pada masa inilah Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dan selama pemerintahan Abbasiyah pertama, ada empat orang penterjemah yang terkemuka, yaitu, Hunayn bin Ishaq, Wa’qub bin Ishaq, dari suku arah Kinda, Thabit ibn Qurra dari Harran, dan Umar ibn al-Farrakhan dari Tabaristan.[12]
[12] Hasan, Ibrohim Hasan. Sejarah dan kebudayaan Islam. Yogyakarta, kota kembang 1989, hlm 134

Sejak upaya penterjemahan meluas dan sekaligus sebagai hasil kebangkitan ilmu pengetahuan, banyak kaum muslimin mulai mempelajari ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa Arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut mempelajari, mengomentari, membetulkan buku-buku penterjemahan atau memperbaiki atas kekeliruan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat atau ide baru, serta memperluas penyelidikan ilmiah untuk mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuan yunani kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad lalu diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian (Baitul Hikmah) sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Sejak akhir abad ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita di bidang ketatanegaraan dan politik seperti, khaizura, Ullayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusasteraan dikenal Zubaidah dan Fasl. Di bidang sejarah para ahli sejarah Arab mulai menyelidiki sejarah mereka sendiri, sebagian baik yang sudah kabur maupun hanya merupakan penggalan cerita ataupun yang sudah tertulis dalam bentuk yang sudah disetujui dan cenderung kepada sekte keagamaan yang bermacam-macam. Ide/proposal penyusunan sejarah dalam ukuran besar didorong oleh paradigma orang-orang Persia seperti Pahlevi Khuday Namich atau sejarah-sejarah raja yang diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’dari bahasa Persia kuno ke dalam bahasa Arab dengan judul : sejarah raja-raja Persia (Turkish Muluk al’Ajam). Buku kehakiman, muncul Zainab Umm Al-Muwayid. Di bidang seni musik, Ullayyah dikenal sangat tersohor pada waktu itu. Sementara di bidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar, sekitar 30.000 mesjid di Baghdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangan pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah dibagi dua tahap, tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai sistem pendidikan khas Arabia dan tahap kedua (abad ke-11 M) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah.[13]
[13] Zuhairini,Moh. Kaisaran. Dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Depag. 1985 hlm 99

2.3 Sejarah Kemunduran Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah

1. Sejarah Kemunduran Daulah Bani Umayyah

Faktor Internal yang menyebabkan kejatuhan Dinasti Umayyah yaitu:

Pertama, konflik antara Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Ali ibn Abu Thalib. Kemunduran dan kehancuran Dinasti Umayyah tidak terlepas dari masa pembentukannya. Terjadi konflik antara Muawiyah dan Ali setelah kematian Utsman ibn Affan. Muawiyah memanfatkan kondisi ini dan memperkuat penolakannya terhadap Ali dengan alasan memberikan balasan atas kematian Utsman. Muawiyah pun berusaha membangkitkan semangat dan emosi rakyat Syria dan mendirikan pemerintahan tandingan. Setelah Ali terbunuh, maka Hasan sebagai anaknya yang menggantikan kepemimpinan ayahnya. Namun, karena tidak menginginkan lagi adanya pertumpahan darah maka kepemimpinan diserahkan sepenuhnya kepada Muawiyah, dan mulailah kekuasaan Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Muawiyah ibn Abu Sufyan. Golongan Khawarij maupun Syiah, mereka sama-sama menentang pemerintahan Bani Umayyah. Mereka menjadi gerakan oposisi baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Penumpasan gerakan oposisi inilah yang nantinya menyebabkan kekuatan pemerintahan Dinasti Umayyah kewalahan dan semakin berkurang.

Kedua, sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem pemerintahan monarchi heridetis (kerajaan turun temurun). Ketika Hasan ibn Ali memberikan kekuasaan penuh kepada Muawiyah ibn Abu Sufyan, berakhirlah periode dari masa Khulafaur Rasyidin. Akan tetapi ketika Muawiyah merasakan akhir dari masanya, Muawiyah tidak mentaati syarat yang diberikan oleh Hasan ibn Ali. Yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah kepemimpinan Muawiyah diserahkan kepada musyawarah dan mufakat umat Islam. Dan menunjuk Yazid ibn Muawiyah anaknya sendiri.

Ketiga, terjadinya perebutan kekuasaan. Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II khalifah ke 3 Dinasti Umayyah) dalam masa kepemimpinannya, tidak dapat berbuat banyak. Dikarenakan ia tidak mampu menjalankan roda pemerintahan tersebut. Sepeninggalnya ia tidak menunjuk atau pun memilih siapa penggantinya. Ditambah lagi pada saat itu dia tidak mempunyai keturunan. Sehingga, pada masa itu keluarga Bani Umayyah berpecah belah dan muncullah berbagai ambisi jabatan khalifah. Tidak terdapat peraturan yang jelas mengenai aturan kekhalifahan setelah meninggalnya Muawiyah II. Demikian konflik keluarga istana yang disebabkan tidak adanya mekanisme dan aturan baku mengenai pergantian kekuasaan sehingga menyebabkan melemahnya kekuatan internal Dinasti Umayyah.

Keempat, kelalaian pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan di Dinasti Umayyah. Pada masa Dinasti Umayyah sistem perbudakan kembali diterapkan. Selain itu Kebiasaan pola hidup yang sangat mewah dan senang berfoya-foya dari sebagian khalifah merupakan faktor yang membuat Dinasti Umayyah melemah. Salah satunya adalah Yazid ibn Muawiyah (khalifah ke II Dinasti Umayyah). Ia terkenal sebagai pengagum wanita. Bahkan penyanyi wanita dipelihara. Yazid juga memelihara burung buas, anjing, singa padang pasir, dan ia juga seorang pecandu minuman keras. Kelemahan keluarga yang memerintah merupakan sebab yang utama dan terpenting membawa Dinasti Umayyah pada kemunduran dan akhirnya jatuh. Kelalaian yang terjadi dalam pengelolaan administrasi pemerintahan, menjadi sebab kelemahan dari Dinasti Umayyah.

Kelima, Perbedaan derajat Kesuksesan Dinasti Umayyah tidak lepas dari peranan orang-orang Arab. Hal ini menyebabkan orang-orang Arab dari Dinasti Umayyah merasa besar kepala. Mereka memandang orang-orang Islam non-Arab (mereka menyebutnya kaum mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga sikap tersebut menimbulkan fitnah diantara sesama kaum muslim. Bangsa Arab menganggap bahwa merekalah bangsa yang paling utama (mulia) dan jauh lebih tinggi derajatnya dari kaum non-Arab. Mereka juga menganggap bahwa bahasa mereka (bahasa Arab) merupakan bahasa yang paling tinggi derajatnya. Ketika Dinasti Umayyah memegang tempuk kekuasaan, kebanyakan para penguasanya mendiskriminasi orang-orang mawali dan lebih berpihak kepada orang-orang Arab. Sehingga kaum tersebut melakukan pemberontakan dan benci terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah.

Keenam, Perang antar suku Persaingan antar suku yang sudah lama, memperlemah Dinasti Umayyah. Suku-suku Arab terbagi menjadi dua kelompok. Arab sebelah Utara disebut Mudariyah (Bani Qays) dan Arab sebelah selatan disebut Yamaniyah (Bani Kalb). Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah mendukung salah satu dari kelompok Arab tersebut, tergantung yang mana cocok dengan mereka. Kalau khalifah dekat dengan suku Arab Utara, suku Arab Selatan merasa iri hati, dan sebaliknya, kalau Khalifah mengutamakan suku Arab Selatan, suku Arab Utara merasa tidak senang. Peristiwa ini terkadang membawa kepada pertempuran.

Faktor Eksternal keruntuhan bani umayyah diantaranya adalah cara memimpin khalifah-khalifah Dinasti Umayyah yang menyebabkan banyak dari masyarakat tidak puas. Bahkan, muncul gerakan-gerakan oposisi yang menentang pemerintahan dinasti tersebut. Pada masa awal pembentukan Dinasti Umayyah, terdapat 2 golongan yang tidak menyukai pemerintahan tersebut yaitu Khawarij dan Syi’ah. Selain golongan Khawarij dan Syi’ah, golongan yang lainnya yaitu, golongan mawali, Hasyim, dan Abbasiah.

Sebagai sebab langsung jatuhnya Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Abbas ibn Abdul Muthalib pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik. Munculnya gerakan kaum Abbasiyah tersebut mendapat dukungan penuh dari golongan-golongan lain. Sehingga kaum Abbasiyah memanfaatkan momentum tersebut dengan terus melancarkan serangan ke Dinasti Umayyah. Hingga pada masa kepemimpinan Marwan ibn Muhammad (khalifah Dinasti Umayyah terakhir), kekuasaan Dinasti Umayyah harus takluk dan digulingkan.

2. Kondisi Umat Islam Masa Kejatuhan Dinasti Umayyah

Masa kejatuhan Dinasti Umayyah dipihak Bani Umayyah, banyak mendapatkan pukulan mematikan. Pasalnya pihak Bani Abbasiyah yang saat itu mengambil alih kekuasaan Bani Umayyah, telah membalikkan keadaan yang digenggam sebelumnya oleh Bani Umayyah. Dimana awalnya Bani Umayyah merupakan keluarga kehormatan menjadi keluarga yang menjadi buronan dari pihak Bani Abbasiyah. Setelah kekuasaan Daulah Umayyah yang kurang lebih 90 tahun jatuh kegenggaman Bani Abbasiyah, orang-orang Abbasiyah mengeluarkan perintah pada tahun 750 M dengan dendam yang telah lama tersimpan dan telah mendarah daging terhadap Bani Umayyah, orang-orang Abbasiyah memerintahkan kepada pasukannya untuk mengikis habis orang-orang yang ada kaitannya dengan Dinasti Umayyah. Dalam tragedi itu orang-orang Abbas membunuh semua keturunan laki-laki Bani Umayyah agar tidak ada lagi dari kalangan mereka yang dapat menjadi khalifah di kemudian hari.

Kondisi tersebut merupakan dampak dari kejatuhan kekuasaan Dinasti Umayyah yang beralih ketangan Bani Abbasiyah. Yang memberikan pukulan berat terhadap pihak bani Umayyah. Bisa dikatakan kejatuhan dari Dinasti Umayyah ini merupakan balasan dari perbuatan yang melenceng dari ajaran-ajaran Islam oleh khalifah-khalifah terdahulu sebelum Marwan ibn Muhammad. Pada masa kekhalifahan Dinasti Umayyah, banyak dari pihak bani Umayyah melakukan hal-hal yang telah dilarang oleh Islam terutama menzalimi orang-orang Islam non Arab. Hal tersebutlah yang membuat kekuasaan Dinasti Umayyah mudah digulingkan. Karena banyaknya orang-orang terzalimi oleh bani Umayyah, maka Allah memberikan balasan terhadap bani Umayyah. Setelah selama 90 tahun menguasai pemerintahan Islam, pada akhirnya runtuh akibat serangan bani Abbasiyah.[14]
[14] Andi Muhammad Alif Ramadhan, Skripsi : Dampak kejatuhan Dinasti Umayyah Terhadap Diaspora Umat Islam, (Makassar: UIN, 2018), hal 35-56

3. Sejarah Kehancuran Daulah Bani Abbasyah

Daulah bani abbasiyah mengalami kemunduran disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor eksternal dan internal. faktor eksternal kemunduran Dinasti Abbasiyah, yaitu :
1) Luasnya wilayah kekuasaan,
2) Berdirinya dinasti-dinasti kecil,
3) Perebutan kekuasaan di pusat pemerintah,
4) Persaingan antar bangsa,
5) Kemerosotan ekonomi,
6) Konflik keagamaan,
7) Gaya hidup bermewah-mewahan dan bersenang-senang,
8) Korupsi (memperkaya diri sendiri),
9) Umat Islam meninggalkan ajaran agamanya,
10) Sistem pergantian khalifah secara turun menurun, serta khalifah usia muda dan tidak memiliki kemampuan memimpin.

Penyebab yang paling dominan dari berbagai macam faktor kemunduran dinasti abbasiyah diatas adalah karena umat islam meninggalkan ajarannya. Faktor eksternal selanjutnya adalah perang salib dan serangan tentara mongol. Serangan yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap kekuatan Muslim dalam periode 1095-1291 M yang dikenal dengan perang Salib. Pihak Kristen melakukan ini diduga karena adanya motivasi keagamaan, perang ini juga menggunakan simbol salib. Ada beberapa penafsiran tentang berapa kali Perang Salib itu terjadi. Batas antara Perang Salib yang satu dengan yang lainnya secara pasti tidak dapat ditentukan, menurut K. Hitti perang salib terjadi tiga kali, sedangkan menurut Shalaby tujuh kali, dan menurut Sa’ad Abd Fatah ‘Asyur delapan kali. Perang Salib awalnya disebabkan persaingan pengaruh antara Islam dan kristen. Dengan peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, sehingga terjadinya perang salib.

Kemudian serangan tentara Mongol. Awal permusuhan dan perperangan bangsa Mongol dengan negeri Islam bermula dari peristiwa tahun 1212 M. Melihat dari kemampuan bangsa Mongol menaklukkan bangsa Cina, dengan demikian bangsa Mongol memiliki tentara yang kuat dan terlatih dalam seni perang. Sehingga bangsa Mongol merasa terhina atas peristiwa tersebut dan kemudian melakukan serangan terhadap umat Islam. Setelah tumbangnya Dinasti Abbasiyah umat Islam dipimpin oleh seorang raja beragama Syamanism.

4. Dampak Kehancuran Dinasti Abbasiyah Terhadap Dunia Islam

Dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam dapat dikaji dari tiga aspek, yakni: ilmu pengetahuan, politik dan ekonomi. Pertama, Aspek Ilmu Pengetahuan. Dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam kontemporer, yakni perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Ketika Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada di sana juga ikut lenyap. Umat Islam mengalami ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dibandingkan dengan negara-negara barat.

Kedua, Aspek Politik. Dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam kontemporer, terlihat dari hilangnya hegemoni Arab dan berakhirnya kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ditangan bangsa Mongol, bukan saja mengakhiri khilafah, tetapi juga merupakan awal kemunduran politik dan peradaban Islam. dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam kontemporer dalam aspek politik, yaitu umat Islam yang terkotak-kotak, negara Islam mengalami penjajahan, dan tidak ada lagi sistem kekhalifahan.

Ketiga, aspek ekonomi, dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam kontemporer yakni, terjadinya kemunduran secara ekonomi. Dengan hancurnya kota Baghdad secara total menjadikan umat Islam ketika itu terpuruk, karena fasilitas yang ada sudah dihancurkan seperti irigasi untuk mengairi pertanian, dan fasilitas umum lainnya dihancurkan. Sehingga menjadikan umat Islam kesulitan dalam bidang ekonomi. Dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap dunia Islam kontemporer, yakni terjadinya krisis ekonomi bagi umat Islam hingga saat ini. Sehingga negara Islam mengalami keterbelakangan dari aspek ekonomi dibandingkan negara-negara barat dan negara nonmuslim.[15]
[15] Muhammad Amin, “Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Serta Dampaknya Terhadap Dunia Islam Kontemporer”. jurnal el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016, hal 90 -103

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sejarah pendidikan islam merupakan keterangan yang menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam didunia Islam dari waktu ke waktu, dari suatu Negara ke Negara lain, dari masa Rasulullah ﷺ sampai masa sekarang.

Proses pendidikan telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi. Bahkan pendidikan mengambil peranan yang sangat menentukan untuk tercapainya kehidupan di dunia maupun di akhirat yang lebih baik serta menentukan kemajuan peradaban manusia.

Dalam sejarah kebudayaan Islam, Puncak kejayaan umat Islam terjadi pada masa dinasti Abbasiyah yang dikenal dengan masa keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.

Kemunduran daulah bani umayyah dan abbasiyah ini dikarenakan banyak sebab. Bisa dibagi menjadi faktor internal dan eksternal.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Muhammad Alif Ramadhan, Skripsi : Dampak kejatuhan Dinasti Umayyah Terhadap Diaspora Umat Islam, (Makassar: UIN, 2018),

Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010

Haris Munawir. 2018. Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Jurnal Studi Islam 10 (2)

Hasan, Ibrohim Hasan. Sejarah dan kebudayaan Islam. Yogyakarta, kota kembang 1989

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, (Jakarta, Pustaka al-Husana, 1988)

Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)

Muhammad Amin, “Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Serta Dampaknya Terhadap Dunia Islam Kontemporer”. jurnal el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016

Puspitasari Darmelia, “Sistem politik dan pemerintahan dizaman daulah bani Umayyah”,https://www.kompasiana.com/darmelia25354/5db6eeeed541df2df15f5243/sistem-politik-dan-pemerintahan-di-zaman-daulah-bani-umayyah

Riksan Robin, “Makalah Tugas Sejarah Pendidikan Islam Bani Abasiyah”

“Sistem Poltik Pada Bani Abbasiyah“, https://www.academia.edu/5653656/Sistem_politik_pada_bani_abbasiyah

Zuhairini,Moh. Kaisaran. Dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Depag. 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar