Sabtu, 18 Juni 2022

Ujian Mata Kuliah Akhir Pendidikan Adab (Akhlak)

Mata Kuliah : Pendidikan Adab (Akhlak)
Dosen : Abu Fuhairah az-Zahid
Kampus : Kuliah Islam al-Ma’wa
Hari/Tanggal : Ahad 19 Juni 2022

Jawablah pertanyaan berikut ini!
--------------------Wish you Luck--------------------

1. Apa yang anda ketahui tentang Adab?
2. Apakah sepasang suami-istri wajib menjaga Adabnya masing-masing? Jelaskan!
3. Apa pendapat anda tentang persaudaraan sesama muslim?
4. Mengapa kita wajib beradab kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam?
5. Tulislah apa yang anda ketahui tentang:
a. Adab Guru (‘Alim)
b. Adab Muta’allim (Murid)
c. Adab Berfatwa

1. Apa yang anda ketahui tentang Adab?
Jawaban :
1. Pengertian Adab :
Ibnu Manzhur ketika menyebut asal kata adab berarti undangan. Maka maksudnya adalah menyeru, mengajak dan mengundang seseorang kepada setiap perbuatan terpuji serta mencegah dari segala yang buruk.

Ia juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’udْ Radhَ iyallahu anhu : “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah jamuan dari Allah, maka belajarlah dari jamuan-Nya itu sesuai kemampuanmu”. (HR.ath-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.8567, al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shugra, no.731, ad-Darimi, as-Sunan ad-Darimi, no,2251).

Di dalam hadis ini, al-Qur’an dibuat perumpamaan (tasybih) dengan jamuan. Allah telah menyiapkan jamuan yang berisi kebaikan dan manfaat. Lalu Allah SWT mengundang manusia untuk merasakannya.

Ahmad bin Muhammad Ali al-Fayyumi Rahimahullah mencoba untuk mengaitkan kata Adab dengan kondisi jiwa manusia. Al-Fayyumi menyatakan bahwa Adab dibentuk dari pola a-da-ba (َدب أ) seperti dha-ra-ba (َب َض ََ ). Menurutnya, kata Adab berarti latihan jiwa dan akhlak baik.

Pemaknaan Adab al-Fayyumi ini disepakati oleh Abu Zaid al-Anshari. Menurutnya, “Adab mencakup semua latihan yang terpuji, membuat seseorang mencapai satu keutamaan (fadhilah)”.

Dari pandangan para ahli bahasa di atas terlihat bahwa kata adab sudah mengalami pergeseran makna, dalam bahasa Izutsu sudah mengalami transformasi semantik, atau sudah mengalami Islamisasi bahasa menurut al-Attas. Sehingga di dalam kata adab sudah terkandung unsur-unsur Islami dan nilai-nilai kebaikan yang bisa mendatangkan kebahagiaan jiwa.

Adapun secara terminologis, makna Adab telah disampaikan oleh banyak ulama. Di antara sebagaimana berikut ini:

Abu Qasim al-Qusyairi Rahimahullah (w.465 H) menyatakan bahwa, “Esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik. Oleh karena itu orang beradab adalah orang yang terhimpun sikap baik di dalam hatinya”.

Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, “Adab lebih dari sekadar sikap. Substansi adab adalah aplikasi atau pengamalan akhlak yang baik. Karena itu, adab merupakan upaya aktualisasi kesempurnaan karakter dari potensi menuju aplikasi”.

Imam al-Ghazali Rahimahullah memberikan makna yang berbeda untuk adab. Menurutnya, “Adab adalah pendidikan diri lahir dan batin yang mengandung empat perkara: perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang”.

Dalam pandangan Islam, meski aspek eksoteris dan esoteris manusia berbeda, namun saling terkait satu dengan lainnya. Sehingga, aspek batin yang baik akan melahirkan perilaku terpuji, berupa ucapan ataupun perbuatan.

Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani Rahimahullah menyampaikan definisi lain tentang adab. Ia mendefinisikan, “Adab dengan pengetahuan yang menjaga pemiliknya dari berbagai kesalahan. Juga memposisikan adab sebagai pengenalan (ma’rifat)”.

Dari definisi para ulama terlihat bahwa adab bukan lagi istilah yang berdiri sendiri, akan tetapi terkait erat dengan konsep lain dalam Islam, sikap, pengalaman, kebaikan, dan keutamaan. Oleh karena itu tidak salah jika adab disebut sebagai kata yang singkat tapi padat maknanya.

Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan Kata Adab dengan berbagai derivasinya. Namun ada satu ayat di dalam al-Qur’an yang ditafsirkan dengan perintah untuk menanamkan adab dan mengajarkan ilmu, yaitu surah at-Tahrim ayat : 6 berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Menurut ahli tafsir di kalangan sahabat, yaitu Abdullah bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhuma. Merekَa menafsirkan ayat ini: “Didiklah mereka dengan Adab, dan ajarkanlah mereka ilmu”.

Tafsiran ini disepakati oleh Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah. Pada bab Adab al-Walid wa Birruhu li Waladihi (Adab ayah dan kebaikannya untuk anaknya) dari kitab al-Adab al-Mufrad, ia mengutip pernyataan pendapat para ulama yang mengatakan bahwa kebaikan itu dari Allah SWT. Dan adab itu datang dari orangtua.

Maksudnya adalah orangtua tidak boleh hanya menunggu kasih sayang Allah SWT agar anaknya menjadi manusia beradab. Akan tetapi harus ada usaha (ikhtiar) dari orangtua untuk menanamkan adab itu kepada anak-anaknya, karena hal itu merupakan amanah Allah SWT kepada dirinya.

Dari pandangan ulama ini, meskipun kata adab tidak disebutkan dalam al-Qur’an, namun tafsiran-tafsiran yang ada menguatkan bahwa adab merupakan bagian sangat penting dan utama dalam pendidikan Islam. Adab adalah hak setiap anak yang harus ditanamkan oleh setiap orangtua dan guru sebelum berserah diri kepada karunia dari Allah SWT.

Adapun dalam hadis Nabi Muhammad SAW, kata adab bisa ditemukan dengan berbagai makna. Di antaranya adalah sebagaimana berikut ini :

1. Adab berarti firman Allah

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Bukanlah seorang pendidik kecuali ia senang diberikan adabnya. Dan sesungguhnya adab Allah itu adalah al-Qur’an”. (HR. ad-Darimi, kitab Sunan ad-Darimi, bab keutamaan orang yang membaca al-Qur’an, no.3364). Artinya, seseorang pendidik harus senang hati jika disampaikan firman Allah SWT kepadanya. Ia harus senang membaca, memahami, mengamalkan dan menyebarkannya.

2. Adab berarti perilaku.

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, no.3671)

Adab dalam hadis ini berarti perilaku. Menurut para ulama, cara memperbaiki perilaku anak adalah dengan mengajarkan mereka latihan jiwa dan akhlak baik. Makna yang sama untuk kata adab juga bisa ditemukan dalam haَdis lainَnَya. “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya lebih baik dibandingkan dengan adab baik”. (HR. Ahmad, dalam Musnad Ahmad, no.15439, al-Hakim dalam Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, no.7679).

Menurut para ulama, untuk membentuk perilaku yang baik, anak harus dididik dengan teguran, peringatan, bahkan sampai pukulan dengan cara baik, agar ia terbiasa melakukan hal baik dan menjauhkan hal buruk. Terkait masalah ini, Imam al-Ghazali Rahimahullah berpandangan bahwa sumber adab lahir dan batin adalah Nabi Muhammad SAW. Artinya, contoh paripurna dalam masalah adab ini yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena dirinya senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan adab yang baik dan akhlak mulia. Lalu Allah turunkan kepadanya al-Qur’an dan mendidiknya dengannya, sehingga akhlaknya adalah al-Qur’an.

Pendapat ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain untuk menjadi manusia beradab secara lahir dan batin kecuali dengan meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling sempurna (an-Insan al-Kamil) yang di dalam dirinya terhimpun segala sifat dan perilaku terpuji.

3. Adab berarti sanksi kedisiplinan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Gantungkanlah cemeti (cambuk) di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah, karena itu menjadi adab (kedisiplinan) untuk mereka”. (HR. ath-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.10523).

Dalam riwayat lain Ibnu Sahnun Rahimahullah menyebutkan bahwa : “Sanksi (kedisiplinan) untuk anak adalah tiga kali pukulan (cambuk). Jika lebih dari itu akan dikenakan qishash pada hari kiamat. Sanksi suami untuk istrinya adalah enam kali pukulan (campuk). Jika lebih dari itu maka ia akan dipukul pada hari kiamat. Dan sanksi untuk budak perempuan adalah sepuluh sampai lima belas kali. Jika lebih dari itu sampai dua puluh, maka ia akan dipukul pada hari kiamat”.

Sebagian ulama berkata : “Sesungguhnya sanksi (kedisiplinan) itu sesuai dengan kesalahan (dosa)”.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah memaknai pukulan sebagai bentuk sanksi kedisiplinan (adab). Di dalam kitab al-Adab al-Mufrad, bab Adab al-Yatim dan bab Adab al-Khadim, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah memasukkan dua hadis yang mengandung penerapan adab melalui pukulan.

Pertama, dari Syumaisah al-Atakiyah, ia berkata: “Sesungguhnya aku memukul (untuk mendidik) yatim sehingga ia menjadi bahagia”. (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, hal.45).

Kedَua, dari Abdullah binَ Qusaith : Abdullah bin Umar mengutus budaknya untuk membawa emas atau uang. Lalu ia menukarnya dan aku melihat ia menukar uang itu. Ketika budak itu kembali dipukullah ia (untuk mendidiknya) dengan keras. Dan Ibnu Umar berkata: “Ambil punya saya dan jangan kamu tukar”. (HR. al-Bukhari, al- Adab al-Mufrad, hal.51).

Dari beberapa riwayat di atas adab memang terlihat sebagai proses pendidikan untuk menanamkan kebaikan. Baik dengan cara menyampaikan pesan Allah SWT, latihan jiwa ataupun pemberian sanksi kedisiplinan.

2. Apakah sepasang suami-istri wajib menjaga Adabnya masing-masing?
Jawaban :
Allah subhanahu wata’ala menciptakan seluruh makhluk dengan berpasang-pasangan, termasuk manusia. Seperti dalam Q.S. Az Zariyat ayat 59 : Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)." (QS. Az Zariyat: 49)

Dan setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk menikah dan mempunyai rumah tangga yang harmonis dan agamis tentunya. Rumah tangga merupakan tempat belajar seumur hidup. Maka dari itu, para calon suami dan isti perlu banyak ilmu dan bekal tentunya untuk mempersiapkan dan membina rumah tangga agar sesuai dengan nilai nilai Al Qur’an.

Menikah juga bukan sekedar memperbanyak keturunan. Lebih dari itu, menikah ialah menyatukan dua insan yang berbeda pola pikir, latar belakang, dan sifat. Penyatuan tersebut tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Salah satu tujuan menikah dalam Islam adalah beribadah kepada Allah. Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya : "Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala dalam memelihara yang sebagian lagi." (HR. Thabrani dan Hakim).

Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan dan ada hikmah di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat: 49)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Setiap makhluk itu berpasang-pasangan. Ada matahari dan bumi. Ada malam dan ada siang. Ada matahari dan ada rembulan. Ada daratan dan ada lautan. Ada terang dan ada gelap. Ada iman dan ada kafir. Ada kematian dan ada kehidupan. Ada kesengsaraan dan ada kebahagiaan. Ada surga dan ada neraka. Sampai pada hewan pun terdapat demikian. Ada juga jin dan ada manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan. Ada pula berpasang-pasangan pada tanaman.”

Ibnu Katsir melanjutkan, “Oleh karena itu Allah menyatakan ‘supaya Kami mengingat kebesaran Allah’, yaitu supaya kalian mengetahui bahwa Pencipta itu semua hanya satu, Dia tidak bersekutu dalam hal itu.”

Hal ini diutarakan pula Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya bahwa setiap hewan dan juga manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya manusia mau memikirkan nikmat yang telah Allah berikan padanya, yaitu memikirkan akan ketetapan ini. Hikmahnya adalah dengan berpasangan tersebut keberadaan makhluk tetap ada, karena akan tumbuh dan berkembang. Dari situlah diraih banyak manfaat.

Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan pula bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan seperti adanya laki-laki dan perempuan. Ada pula langit dan ada bumi. Ada matahari dan ada rembulan. Ada kemudahan dan ada kesulitan. Ada musim panas dan ada musim dingin. Ada manis dan ada masam. Ada cahaya dan ada kegelapan. Hikmahnya, supaya diketahui bahwa yang menciptakan yang berpasang-pasangan itu hanya Rabb yang satu, sehingga Dia-lah yang pantas diibadahi.

Maka menjaga adab antara pasangan suami dan istri adalah sesuatu yang waji dijalankan untuk kelangsungan hidup keluarga yang diberkahi dan sejahtera dalam lindungan Allah Subhanahu wa ta’ala.

3. Apa pendapat anda tentang persaudaraan sesama muslim?
Jawaban :
Diantara adab persaudaraan sesama muslim adalah :

1. Mendoakan Saudara Semuslim Tanpa Sepengetahuannya

Salah satu sunnah yang mungkin sangat jarang kita lakukan adalah mendoakan saudara muslim kita semisal teman, sahabat, guru dan lain-lain tanpa sepengatahuan dia. Kita doakan dia dengan ikhlas dan tulus agar dia mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Tidak mudah melakukan sunnah ini, karena butuh keimanan yang tinggi serta hati yang tulus dan ikhlas, karena sifat dasar manusia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri saja. Setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, barulah dia memperhatikan orang lain. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa sunnah ini adalah tanda jujurnya keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang, karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (Syarh Riyadhus Shalihin 6/54)

Mengenai sunnah ini, terdapat dalil hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan sunnah ini, yaitu apabila kita mendoakan saudara muslim, maka malaikat akan mendoakan bagi kita yang semisal doa yang kita panjatkan. Jadi apa yang kita doakan kepada saudara kita, kita pun akan mendapatkannya dengan izin Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya, “Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu."

Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini dengan keimanan yang jujur dan ikhlas. Salah satu riwayat mereka menerapkan sunnah ini adalah riwayat dari Abu Darda’. Istri beliau, Ummu Darda’ menceritakan, "Dahulu Abu Darda memiliki sekitar 300 orang sahabat (pertemanan di dalam ketaatan), yang di dalam shalatnya, Abu Darda seringkali mendoakan mereka. Maka aku pun berkata kepadanya tentang apa yang ia lakukan."

Maka Ia pun berkata, "Sesungguhnya tidaklah seseorang mendoakan bagi saudaranya tanpa sepengetahuanya, kecuali Allah mengutus dengannya dua malaikat, yang keduanya akan mengatakan, ‘Begitu juga denganmu.’ Apakah aku tidak boleh mendambakan malaikat mendoakanku?" (Siyar A’lamin Nubala’ 2/351)

Dalam hadits disebutkan bahwa malaikat ikut mendoakan bagi yang berdoa. Para ulama mejelaskan bahwa doa malaikat itu mustajab.

Abul Hasan Al-Mufarakfuri berkata, “Doa para malaikat itu mustajab.” (Mura’atul Mafatih 5/309)

2. Menutup Aib Saudaranya Sesama Muslim

Seorang ulama salaf berkata, “aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat atau cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun membicarakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”

Manusia terbagi menjadi dua macam :

a. Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Apabila orang seperti ini tergelincir ke dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh adzab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (QS. An-Nur: 19)

b. Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya.

Rasulullahu Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Barangsiapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya...” (HR. Muslim no.2699)

3. Menyelesaikan Perselisihan Saudara Dan Teman

Seorang manusia mempunyai emosi di dalam dirinya. Kadangkala bisa meluapkan amarah, kekecewaan, dan kesedihan. Emosi yang ada dalam diri manusia dapat menyebabkan konflik karena beberapa alasan. Misalnya tawuran yang terjadi oleh para siswa antar sekolah, bisa saja tawuran timbul karena teman satu sekolah tidak terima diejek atau dipukul dan sebagainya. Semakin lama banyak yang ikutan membela temannya yang akhirnya terjadi tawuran. Timbulnya suatu konflik bisa mengarah kepada kekerasan seperti contoh tawuran. Untuk mencegah konflik yang bisa berakibat pada kekerasan, diperlukan rasa saling menerima keberadaan masing-masing individu maupun kelompok yang bertikai. Salah satu cara untuk mendorong perdamaian, diperlukan pihak ketiga sebagai pihak untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih.

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.(HR. Muslim)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebelum menjadi Rasulullah, telah memiliki sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat yang ada pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam antara lain rajin, jujur, dan dapat dipercaya. Sebelum diangkat menjadi Rasulullah, pernah terjadi pertikaian pada kaum Quraisy saat itu. Berawal dari kegiatan merenovasi bangunan Ka’bah akibat banjir yang telah melanda kota Mekkah. Pada tahap peletakkan Hajar Aswad, mulailah perselisihan para tokoh kaum Quraisy. Masalah yang timbul adalah siapakah yang pantas dalam meletakkan Hajar Aswad tersebut. Kaum Quraisy terdiri dari beberapa kelompok (bani). Masing-masing kelompok mengajukan bahwa pemimpin kelompok mereka yang pantas meletakkan Hajar Aswad. Tidak menemukan jalan keluar, mereka akhirnya sepakat bahwa barang siapa yang datang paling awal lewat pintu maka dialah yang pantas meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. (Al-Mubarakfur, 2015).

Seseorang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Mereka menjelaskan kepada Rasulullah mengenai kondisi yang mereka hadapi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam diminta untuk mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian ini. Beliau akhirnya meminta sebuah selendang kain. Kemudian para pemuka yang telah berselisih diminta untuk memegang ujung-ujung selendang, Rasulullah meletakkan hajar aswad di tengah-tengah selendang. Para pemuka membawa Hajar Aswad dengan selendang yang dipegang pada ujung-ujung selendang. Mereka bersama-sama mengangkat dan membawanya ke tempat batu yang akan diletakkan. Ketika sudah mendekati tempat yang akan diletakkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengambil hajar aswad dan meletakkan ke tempat yang ditujukan.

Cara ini merupakan solusi yang paling tepat untuk para pemuka yang berselisih. Alasannya ialah semua pemuka merasakan bahwa mereka ikut terlibat dalam peletakkan Hajar Aswad. Walaupun mereka bukan yang meletakkan batunya, namun dengan memegang ujung selendang, mereka sudah merasa ikut meletakkan. Selain itu sejak awal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak mencari siapa yang paling berhak, tapi bagaimana semua ini terlibat. Ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa ketika ada orang yang berselisih tidak memihak salah satu.

Kita sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban dalam mendamaikan bagi yang bertikai. Apabila yang bertikai tidak mau saling mengalah, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perpecahan umat Islam. Silaturahim akan hancur dan akan saling membenci.

Berikut adalah ayat-ayat tentang mendamaikan orang yang berselisih, “Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (Q.S.Al-Hujurat [49] : 9).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Q.S.Al-Anfal [8] : 1)

Kadangkala kita merasa takut dalam mendamaikan perselisihan. Kita khawatir apabila ikut campur dalam perselisihan, masalah akan timbul lebih parah. Padahal tidak demikian. Justru dalam perselisihan diperlukan orang ke tiga untuk mendamaikan. Allah menekankan kepada hambanya untuk selalu peduli. Masalah hasil, Allah tidak melihat keberhasilan tapi melihat usaha kita. Selama kita berusaha, Allah juga akan menolong hambanya.

Kita mungkin bisa melakukan ibadah dengan rajin dan melaksanakannya dengan baik, namun bila kita tidak peduli apa yang ada di lingkungan kita apalah artinya ibadah. Di luar sana banyak orang yang saling bertikai secara terbuka maupun tertutup. Apabila kita sebagai seorang muslim tidak bertindak maka cepat atau lambat perpecahan umat Islam akan terjadi.

Pengalaman tercerai berainya umat Islam sebenarnya pernah terjadi di masa kehancuran Bani Abbasiyah. Terjadinya kemunduran tidak lain merupakan akibat dari pertikaian yang tidak kunjung selesai. Tidak bersatunya umat Islam mengakibatkan Bani Abbasiyah sudah tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan Mongol atau Tartar. Hanya dalam 40 hari, dinasti yang sudah ada selama 500 tahun lebih terpaksa lenyap. Detik-detik keruntuhan Bani Abbasiyah merupakan hal yang paling menyakitkan pada masa itu. Untuk pertama kalinya umat Islam tidak merasakan kepemimpinan khalifah, sebelum masuk ke era Turki Usmani.

Inilah pentingnya kita menjaga perdamaian antar sesama muslim. Selama pertikaian terus dibiarkan, keruntuhan umat Islam akan datang. Janganlah saling membenci, bila sedang marah kepada saudaramu maka tahanlah. Selalu jaga emosi, bila ingin mengingatkan teman yang salah maka ungkapkan dengan baik-baik.

Ingatlah selalu kepada ajaran Rasulullah yang senantiasa untuk sabar. Rasulullah sebagai panutan kita, maka kita harus mengikutinya. Karena beliau adalah sebaik-baik manusia, bukankan manusia terbaiklah yang pantas kita ikuti? Seperti yang sudah dicontohkan di atas bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menghentikan pertikaian kaum Quraisy dengan caranya. Ingatlah pengalaman umat Islam bagaimana hancurnya persatuan mereka akibat pertikaian yang berujung pada keruntuhan Bani Abbasiyah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah?" Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

4. Tidak Mengingkari Janji

Janji atau perjanjian ini tentunya bisa kita ketahui dengan jelas makna dan artinya dengan mudah karena kita sering melihat dan merasakan sendiri hal tersebut. Dimana memang mau tidak mau suatu janji atau perjanjian itu diperlukan dalam urusan kita dengan orang lain.

Menurut Syaikh Muhammad Abduh, janji adalah “Sesuatu yang harus ditepati oleh setiap orang terhadap yang lain, baik kepada Allah, maupun kepada manusia. Janji itu wajib ditepati selama bukan maksiat”.

Janji menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.

Disini kita mengambil arti janji atau perjanjian secara umum adalah suatu hasil kesepakatan dari dua belah pihak atau lebih baik antar individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, atau sebaliknya kelompok dengan individu, yang salah satu pihak atau lebih saling mematuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Jadi jika salah satu pihak melanggar tentunya runtuhlah suatu perjanjian, dan adanya adalah sebaliknya yaitu penghianatan atau pembohongan terhadap hal-hal yang sudah disepakati bersama.

4. Mengapa kita wajib beradab kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam?
Jawaban :
Setiap muslim yang beriman wajib beradab kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, diantarnya dengan : Mengikuti Nabi Muhammad , Mengenal Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW Secara Fisik dan Akhlaknya, serta Menjadikan Nabi Muhammad Suri Teladan, dikarenakan beberapa kemuliaan akhlaqnya sebagai berikut :

Ø Nabi Muhammad adalah manusia yang selalu bersyukur kepada Allâh atas segala nikmat yang diberikan-Nya dan sering bertaubat juga beristigfâr. Bahkan beliau pernah shalat sampai kedua kaki beliau bengkak, sehingga ada yang mengatakan : “Wahai Rasûlullâh! Allâh telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lewat dan yang datang?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ringan menjawab, “Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang banyak (pandai) bersyukur?! ”

Ø Nabi Muhammad  adalah manusia yang santun pada setiap orang, sabar disaat tertimpa musibah dan suka memaafkan sekalipun beliau dapat membalasnya, ini adalah sifat – sifat yang Allah tanamkan padanya. Orang santun selain beliau pasti memiliki kesalahan dan kekeliruan, tapi tidak dengan Nabi Muhammad . Semakin banyak gangguan yang dihadapinya dan semakin banyak kesalahan dari orang- orang yang bodoh akan membuatnya semakin sabar dan senantiasa menambah sikap santun kepada umatnya.

Ø Nabi Muhammad  adalah manusia yang dermawan dan murah hati. Beliau adalah orang yang paling dermawan dan tidak pernah takut miskin saat mendermakan hartanya pada orang lain. “Nabi adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika jibril menemuinya. Jibril menemuinya setiap malam dari bulan Ramadhan untuk mengajarkan kepadanya al-Qur’an. Kemurahan hati Rasululllah dalam memberikan suatu kebajikan, lebih cepat daripada angin yang bertiup kencang.” Jabir berkata, “Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu kemudian berkata, ‘Tidak’.

Ø Nabi Muhammad adalah manusia yang pemberani, gagah dan kuat. Keberanian, kegagahan dan kekuatan Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi musuh tidak bisa diukur seberapa besarnya. Beliau adalah orang yang paling berani mendatangi tempat-tempat dan kondisi yang sulit. Sudah berapa banyak para pemberani yang justru melarikan diri dari hadapan beliau karena ketakutan padanya. Beliau tidak pernah pantang menyerah dan selalu maju terus sampai musuh mundur dengan kekalahan. Ali berkata, “apabila peperangan telah memanas dan serangan semakin seru, kami berlindung di balik Rasulullah tidak ada seorang pun yang lebih dekat dengan musuh daripada beliau.”

Ø Nabi Muhammad ﷺ  adalah manusia yang pemalu dan suka menundukkan pandangan. Abu sa’id al-khudri berkata, “beliau lebih pemalu daripada gadis perawan yang dipingit, apabila beliau tidak suka pada sesuatu dapat diketahui dari raut mukanya.” Beliau tidak pernah lama dalam memandang wajah seseorang, beliau lebih banyak menundukkan pandangannya kebawah daripada keatas, pandangannya jeli, tidak membicarakan hal-hal yang tidak terpuji dan tidak menyebutkan nama orang yang yang melakukan sesuatu yang tidak disukainya, tetapi beliau mengatakan “mengapa orang-orang berbuat seperti itu ?“.

Ø Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang paling adil, paling mampu menjaga kehormatan, paling benar perkataannya, dan paling menjaga amanahnya. Hal ini bahkan diakui oleh sahabat maupun musuh sekalipun. Sebelum nubuwah beliau sudah dikenal dengan julukan al-Amin (yang terpercaya) dan beliau juga dijadikan pemutus setiap perkara di zaman jahiliyah.

Ø Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang paling tawadhu’ dan jauh dari sifat sombong. Beliau bahkan melarang orang-orang berdiri untuk menyambutnya sebagaimana yang dilakukan bangsa lain kepada raja-rajanya. Beliau gemar mendatangi orang-orang fakir dan miskin dan duduk bersamanya, mendatangi undangan dari hamba sahaya, dan duduk di tengah para sahabat sehingga beliau seperti salah satu dari mereka.

Ø Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang paling memelihara perjanjian dan suka menepati janji, suka menyambung tali persaudaraan, dan sangat penyayang pada orang lain. Beliau tidak membedakan antara dirinya dan pembantunya dalam hal makanan atau minuman serta tidak pernah membentak ataupun memukul pembantunya. Beliau suka duduk bersama orang miskin dan tidak pernah membedakan mereka karena kemiskinannya.

Ø Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang selalu menjaga lisannya dari hal yang tidak bermanfaat baginya, kecuali untuk mempersatukan para sahabatnya, menghormati orang yang terhormat di setiap kaumnya, memberikan nasihat kepada mereka dan memberikan peringatan pada setiap kaumnya.

Ø Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang paling perhatian kepada para sahabatnya. Beliau selalu apa yang terjadi diantara mereka, memuji dan membenarkan setiap hal yang baik, memburukkan setiap hal yang buruk, sederhana dan tidak suka menyelisihi. Beliau tidak pelit dalam menyampaikan ilmu dan tidak pula melampaui batas.

Ø Nabi Muhammad ﷺ selau ceria, lemah lembut dalam bicara, tidak kasar dan juga tidak keras suaranya. Beliau tidak pernah berkata keji, tidak suka mencela orang lain, meninggalkan apa yang tidak beliau sukai dan tidak berputus asa. Beliau telah meninggalkan tiga perkara dari dirinya: riya, banyak bicara, dan meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya. Dan telah meninggalkan untuk orang lain tiga perkara: tidak mencela dan menghina seseorang, tidak membuka aibnya dan berbicara pada hal yang ada pahalanya .

Ø Nabi Muhammad ﷺ selalu berdzikir baik dalam keadaan duduk ataupun berdiri. Apabila sampai di sebuah pertemuan beliau duduk di tempat yang tersisa dan disaat ada yang meminta pertolongan pastilah akan beliau tolong atau menolaknya dengan cara yang lemah lembut. Majelis beliau adalah majelis yang penuh dengan keramahtamahan, malu, amanah dan tidak ada suara yang melengking didalamnya serta tidak ada perbuatan maksiat. Mereka semua saling mecintai karena takwa, menghormati yang lebih tua, mencintai yang lebih muda, membantu orang yang kesusahan dan mengasihi orang yang asing.

Ø Nabi Muhammad ﷺ sangat zuhud terhadap dunia, berpaling darinya dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya di dunia. Padahal jika beliau mau, maka beliau bisa mendapatkannya. Namun beliau tidak menginginkannya. Bahkan disaat beliau meninggal, beliau tidak meninggalkan harta benda apapun kepada keluarganya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai Nabi ﷺ melebihi kecintaan terhadap seluruh makhluk Allah . Akan tetapi dalam mencintai Beliau tidak boleh melebihi apa yang telah di tentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih- lebihan) dalam seluruh perkara akan menyebabkan kebinasaan.

Sesungguhnya mencintai Nabi adalah sebagian dari keimanan. Dan sungguh banyak dalil yang telah menyebutkan bahwasannya, diwajibkan atas seorang hamba untuk mencintai Nabi Muhammad ﷺ bahkan melebihi dirinya sendiri, ibu, ayah, anak, istri, hartanya, dan seluruh manusia.

Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai dibanding orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” ( HR. Bukhari No.15)

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahhab Ats Tsaqafi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Anas bin Malik] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka"

Nabi bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian” Bukan berarti orang yang melakukan hal tersebut dihukumi sebagai orang yang tidak beriman dan keluar dari agama islam. Akan tetapi maksud dari perkataan “Tidaklah beriman” adalah “ tidak sempurna keimanan seseorang”. sehingga orang yang melakukan hal tersebut dihukumi sebagai pelaku dosa.

Dengan beradab kepada Nabi Muhammad kita akan mendapatkan banyak keutamaan, diantaranya :

▪️ Allah Mencintainya dan Mengampuninya

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran:31)

▪️ Mendapatkan Manisnya Iman

“Tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut ada pada diri diri seseorang, dia akan merasakan manisnya iman.(1) Allah dan Rasul-Nya menjadi yang lebih dia cintai dari selain keduanya, (2) Tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah, (dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana dia benci jika dia dilemparkan kedalam api neraka.” (HR. Al-Bukhari No.16 dan Muslim No. 43).

Mencintai Rasulullah harus adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau ﷺ atas segala ucapan seluruh makhluk, serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya boleh dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah , sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Umatnya mencintai beliau karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah arena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah . (Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Mansyur Hasan Salman.)

Maksudnya, bahwa Allah ﷻ meletakan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dalam hati para sahabat kecuali Rasulullah .

▪️ Bersama Nabi di Akhirat

Barangsiapa yang mencintai Nabi , dan bershalawat kepadanya, maka sesungguhnya dia akan bersamanya di akhirat kelak. Nabi bersabda kepada Anas radhiallahu anhu “Engkau bersama orang yang engkau cintai” (HR. Muslim) [21]

5. Dibawah ini dapat saya sampaikan mengenai beberapa Adab penting yang harus diketahui dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

A. ADAB GURU (‘ALIM)

Dalam pembahasan tentang adab Guru atau ‘Alam, dibagi menjadi 3 pokok bahasan yaitu : Adab guru terhadap dirinya sendiri, Adab guru dalam belajar, dan Adab guru dalam belajar, yang dapat saya uraikan sebagai berikut :

a. Adab Guru Terhadap Dirinya Sendiri

Pertama, ketika seorang guru belajar ia harus menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan belajarnya. Ia tidak boleh berniat mencari kesenangan-kesenangan duniawi. Misalnya, memperkaya diri, ingin dikenal, atau memproklamasikan diri bahwa ilmu yang ia miliki lebih baik dari orang lain. untuk mendapatkan uang, prestise, popularitas, kehormatan, atau untuk memposisikan diri berbeda dari kebanyakan manusia, atau agar supaya banyak orang yang bekerja untuknya, atau lain sebagainya dari kepentingan duniawi.

Dan hendaknya dia tidak mencemari atau merusak ilmu dan taklimnya dengan sifat tamak terhadap perhatian yang tertuju padanya, baik berupa penghikmatan, atau harta atau sesuatu yang lain dari yang telah mendapatkan pengajarannya. Meskipun dalam bentuk hadiah, yang sekiranya bukan karena pengajarannya itu, tentulah hadiah itu tidak dihadiahkan kepadanya.

Jika dipahami dan diresapi oleh setiap guru atau pendidik akan melahirkan etos kerja yang luar biasa. Seorang guru akan mengajar dengan penuh ketulusan, kesungguhan, ketawadhuan dan jauh dari sifat sombong. Sebagai contoh atas hal ini, Imam al-Nawawi mengutip perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang sangat masyhur, menunjukkan ketawadhuan dan ketulusan beliau dalam mendidik, “Aku ingin agar semua makhluk mempelajari ilmu ini dan tidak satu huruf pun dinisbahkan kepadaku”.

Kedua, seorang guru harus senantiasa berperilaku baik. Artinya segala tindak-tanduknya harus sesuai dengan nilai-nilai agama. Imam Al-Nawawi menegaskan bahwa guru adalah teladan bagi muridnya. Seorang guru harus berakhlak dengan akhlak yang mulia, akhlak yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, baik yang tampak secara dzhahir atau yang tersembunyi. Beliau mengatakan, Hendaklah dia berakhlak dengan akhlak yang baik, akhlak yang terpuji dan diridhai sebagaimana disyariatkan dan diperintahkan dengannya. Misalnya zuhud terhadap dunia, hidup sederhana, tidak ada keluh kesah atas dunia yang hilang darinya, bersifat dermawan dan berakhlak mulia, menjaga pandangan, sabar, lapang dada, menjauhi tempat-tempat yang keji, bersikap wara’, khusyuk’, tenang, santun, tawadu, mengurangi tertawa dan banyak bercanda.

Seorang guru juga harus bisa menahan dirinya dari hal-hal yang tidak baik. Ia juga harus memiliki sifat rendah hati, tenang, dan menjaga wibawanya dengan tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak banyak bercanda.

Selain itu, seorang guru juga harus memerhatikan penampilannya agar tetap sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Seperti memakai wewangian, menjaga kebersihan, dan selalu tampil rapih.

Ketiga, seorang guru tidak boleh semena-mena dengan ilmunya, ia juga tidak diperkenankan mendatangi suatu tempat dan berbuat semena-mena dengan ilmunya, sebab ia seharusnya menjaga ilmunya dari perbuatan tersebut, sebagaimana telah dicontohkan oleh ulama salaf.

Keempat, Seorang guru jika melakukan suatu pekerjaan yang awalnya mubah, namun di dalamnya ada hal-hal yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan, maka ia harus menghindarinya. Karena jika ia melakukannya itu akan menghilangkan kewibawaan dan hal-hal lainnya. Begitu pula jika seorang guru melihat muridnya melakukan hal tersebut maka ia harus mengingatkan mereka, agar mereka mengerti mana yang lebih bermanfaat bagi mereka dan mana yang tidak, agar terhindar dari dosa yang mereka tidak ketahui. Dengan demikian mereka mengetahui kebermanfaatan ilmu pengetahuan.

Kelima, seorang guru harus menjauhi sifat-sifat tercela, seperti suka mengancam, riya, pamer, menghasut, atau bertingkah sombong. Ia juga tidak diperbolehkan menghina atau mempermalukan orang lain. Karena itulah seorang guru harus memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT, selalu berdzikir dan berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT dalam setiap urusannya. Sehingga ia mengilmui dengan baik materi yang akan disampaikannya, mampu memahami kondisi murid-muridnya, serta tahu bagaimana mentransfer materi dengan mudah kepada murid-muridnya. Beliau berkata, “Dan hendaklah ia selalu mendekatkan diri kepada Allah ta’aala secara dzahir dan batin, merutinkan bacaan al-Qur’an, menjaga shalat-shalat sunnah, membiasakan puasa dsb. Bersandar kepada Allah SWT dalam setiap urusannya, bertawakal pada-Nya, dan menyerahkan setiap urusannya kepada Allah SWT”.

Keenam, Hal yang tidak kalah pentingnya ditekankan oleh Al-Imam untuk diperhatikan oleh seorang guru adalah memuliakan ilmu dan tidak merendahkannya. Misalnya, dikemukakan oleh beliau, tidak pergi dengan ilmu menuju ke tempat atau rumah seorang yang akan mempelajari ilmu darinya. Meskipun ia yang akan belajar itu adalah seorang pejabat atau penguasa. Dan hendaknya ia menjaga ilmu dari hal yang demikian sebagaimana dilakukan oleh para salaf.

Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi sebagai contoh atas apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Nawawi ini meriwayatkan kisah Imam Malik rahimahullah yang diminta oleh khalifah Harun Ar-Rasyid untuk membaca kitab Al-Muwaththa. Sebelumnya Harun Ar-Rasyid berkata kepada Imam Malik, “Wahai ‘Abu ‘Abdillah, aku ingin mendengar Al-Muwaththa’ darimu.” Maka Imam Malik menjawab: “Baik wahai Amirul Mukminin.” Harun Ar-Rasyid kembali bertanya: “Kapan?” Imam Malik menjawab: “Besok”. Maka Harun Ar-Rasyid duduk menunggunya, dan Imam Malik pun duduk di rumahnya menunggu Harun Ar-Rasyid. Tatkala semakin lama maka Harun mengirim (utusan) kepada Imam Malik lalu memanggilnya. Lalu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, aku terus menunggumu seharian ini.” Maka Imam Malik menjawab: “Aku juga menunggumu seharian wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ilmu itu didatangi, bukan mendatangi.” (Al-Baihaqi, n.d.)

b. Adab Guru Dalam Belajar

Seorang guru hendaknya bersungguh-sungguh dalam setiap aktivitas keilmuannya. Seperti banyak membaca, menggali hal-hal baru, atau melakukan penelitian-penelitian ilmiah.

Sebagai dalil atas hal ini, beliau mengutip perkataan Salaf mengenai pentingnya keseriusan dan kesungguhan terhadap ilmu. Misalnya, perkataan ringkas tapi syarat makna dari ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, "Siapa yang memfokuskan wajahnya maka baguslah ilmunya". Yaitu hendaknya seorang guru fokus terhadap ilmu, memusatkan konsentrasi pada ilmu. Jika ia mendengarkan ilmu dari orang lain, maka ia fokus terhadap suara, wajah dan tingkah lakunya.

Dalam belajar, seorang guru harus bisa mengambil ilmu dari siapa saja. Artinya perbedaan umur, nasab, ketenaran, atau bahkan agama sekalipun, tidak boleh menjadi penghalang dalam proses belajarnya. Ia harus memiliki ambisi untuk mengambil faedah keilmuan dari siapapun.

Dan untuk hal-hal yang ia tidak ketahui, maka ia tidak boleh malu untuk menanyakannya. Karena ilmu itu tidak akan bisa dipelajari oleh orang yang malu (bertanya) dan orang yang sombong (sok tahu). Menutip perkataan Mujahid, “Tidaklah mempelajari ilmu seorang yang pemalu dan sombong". Perkataan ini menasihatkan kepada siapa pun termasuk seorang guru untuk tidak malu bertanya atas apa yang belum diketahuinya, dan tidak merasa sombong untuk mengambil ilmu dari selainnya. Karena ilmu akan terhalangi dari sifat malu dan sombong. Zaid bin Jubair rahimahullahu mengatakan : “Seseorang masih saja disebut sebagai orang yang berilmu selama ia menuntut ilmu. Sekiranya dia meninggalkan ilmu karena menganggap bahwa telah cukup ilmu yang ada padanya, maka dialah orang yang paling bodoh”.

Meskipun seorang guru telah memiliki derajat yang tinggi dan terkenal dengan keilmuannya, hendaknya ia harus menyadari bahwa selalu ada hal baru yang pasti masih belum ia ketahui.

c. Adab Guru Dalam Mengajar

Mengajar adalah asas yang dengannya agama Islam tegak, dan dengannya pula kebenaran ilmu diyakini. Mengajar menurut Imam Al-Nawawi adalah perkara yang sangat penting dalam Islam, semulia-mulianya ibadah, dan sebab terealisasinya kewajiban-kewajiban kifayah. Allah berfirman :
وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ
فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," (QS. Ali Imran : 187).

Dan juga firman Allah :
اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan" (QS. Al-Baqarah: 159) .

Dalam sebuah hadits melalui banyak jalur, Nabi SAW bersabda, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Ada beberapa Etika/adab guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya, diantaranya :

Pertama. Ketika mengajar senantiasa berniat untuk mencari ridha Allah ta’ala, seorang guru harus bisa menjadikan mengajar adalah sebuah aktivitas peribadatan. Ini dapat menjaganya dari hal-hal tidak terpuji. Sekaligus, suatu peringatan agar seorang guru jangan sampai kehilangan fadhilah keagungan dalam aktivitas mengajar.

Tidak menjadikannya sebagai sarana kepentingan dunia. Hendaknya ia menghadirkan di pikirannya bahwa mengajar adalah aplikasi ibadah, agar hal tersebut menjadi rangsangan baginya untuk meluruskan niatnya. Menjadi motivasi baginya untuk tetap menjaga niatnya dari berbagai gangguan dan dari berbagai hal yang makruh. Serta menghadirkan rasa khawatir akan hilangnya keutamaan yang agung ini dan kebaikan yang besar ini. Dalam praktiknya, ada saja di antara guru yang belum meniatkan ibadah dengan mengajarnya itu, atau belum sanggup memurnikan niat mengajarnya karena Allah. Kondisi mereka yang demikian itu menurut Imam Al-Nawawi tetap diberi ruang untuk mengabdikan ilmunya dengan mengajar. Karena selain para murid mendapatkan manfaat dari pengajarannya, juga diharapkan berkah dari ilmu yang diajarkannya itu memberi pengaruh positif terhadap perubahan niatnya. Sebagaimana ungkapan banyak Salaf Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ilmu susah didapatkan kecuali diniatkan karena Allah.

Maksudnya bahwa efek dari aktivitas mereka berkutat dengan ilmu menjadikan niat dan tujuan mereka karena Allah.

Kedua. Dalam mengajar hendaknya seorang guru hendaknya tidak menghalangi siapapun untuk belajar meskipun niat belajar mereka masih belum benar. Sebab, kebenaran niat dalam belajar masih bisa diupayakan seiring berjalannya waktu. Mungkin bagi pelajar pemula masih sulit untuk meluruskan niatnya. Hal tersebut bisa disebabkan karena mereka memang belum mampu atau karena belum tahu kewajiban menjaga niat yang benar dalam belajar. Namun, itu tidak berarti mereka harus ditolak. Seandainya seorang guru menolak, maka itu berarti ia telah menghapus atau menghilangkan jalur-jalur keilmuan.

Para ulama berkata : “Mungkin pada awalnya kita mencari ilmu itu bukan (dengan niat) Karena Allah. Tapi abaikan saja, ia akan menjadi karena Allah”. Artinya, kelak semuanya akan berubah menjadi karena Allah.

Ketiga. Seorang guru harus cinta dengan ilmu yang diajarkannya. Ia hendaknya menyebutkan keistimewaan ilmu tersebut lengkap dengan para tokoh ulamanya. Sebab, mereka para ulama adalah pewaris para nabi. Dan, tidak ada derajat apa pun yang lebih tinggi dari predikat tersebut di dunia ini.

Keempat. Seorang guru hendaknya peduli terhadap keadaan murid-muridnya sebagaimana kepeduliannya terhadap dirinya dan kepada anak-anak kandungnya sendiri. Hendaknya ia juga menyayangi mereka sebagaimana ia menyayangi anak-anak kandungnya. Serta tetap perhatian dan sabar dalam menghadapi sifat-sifat bandel dan keras kepala mereka dengan tetap mengingatkannya kepada jalan yang lebih baik. Sebab, manusia memang tidak ada yang sempurna. Artinya selalu ada kekurangan dalam dirinya.

Kelima. Seorang guru harus ramah ketika menyampaikan materi pelajaran, serta menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah agar dapat dipahami dengan baik oleh murid-muridnya. Ia harus setia mengawal, mengawasi, menemani dan memberikan nasihat serta menunjukan kepada murid-muridnya tentang hal-hal yang penting untuk dipelajari, sekaligus mengingatkan mereka agar tidak egois dengan keuntungan pribadinya masing-masing.

Keenam. Seorang guru tidak diperkenankan mengajarkan materi-materi yang masih belum bisa diterima oleh murid-muridnya. Sebab itu akan amat menyusahkan. Seandainya ada seorang murid yang menanyakan hal tersebut, maka ia tidak boleh menjawabnya. Hal yang harus ia lakukan adalah dengan memberi pengertian bahwa hal itu bisa berbahaya dan tidak ada manfaat untuk dirinya saat itu. Tentu cara menolaknya dengan ramah dan lembut.

Ketujuh. Seorang guru dalam mendidik murid, dilakukan secara bertahap, dengan adab yang mulia, akhlak terpuji, menciptakan kondisi yang rileks, dengan perincian yang mudah dan jelas. Al-Imam rahimahullah mengatakan. “Dan hendaknya seorang guru mendidik muridnya secara bertahap dengan adab yang mulia, dengan akhlak terpuji, dan dengan merelakskan jiwanya melalui pendidikan dan perincian yang mudah, dan hendaknya konsistennya terhadap hal ini mencakup semua urusannya yang tersembunyi atau yang tampak".

Kedelapan. Jika seorang murid bertanya mengenai sesuatu yang aneh, maka seorang guru tidak boleh merendahkannya dengan pertanyaan itu. Sekiranya ia ditanya oleh murid berkaitan dengan sesuatu yang tidak ia ketahui atau di luar dari inti pelajaran yang belum ia pahami maka hendaknya ia mengatakan “Saya tidak tahu”, atau “Saya belum memahaminya”. Janganlah ia merasa sombong dari mengatakan hal tersebut. Karena di antara ilmu orang yang berilmu adalah mengatakan atas apa yang tidak ia ketahui “Saya tidak tahu” atau “Hanya Allah yang Maha Tahu”.

Kesembilan. Seorang guru harus semangat dan serius ketika mengajar. Ia juga harus terbuka kepada siapa saja yang ingin belajar. Atas kehadiran murid-muridnya, seorang guru harus menyambutnya dengan wajah yang sumringah. Serta tidak mencampur adukan antara urusan pribadinya dengan urusan pembelajarannya.

Kesepuluh. Hendaknya seorang guru memotivasi murid-muridnya agar selalu memanfaatkan waktu, dan menuntut mereka untuk selalu memurajaah hafalan-hafalan. Menanyai mereka mengenai hal-hal penting yang telah diajarkannya. Memberikan penghargaan kepada siapa yang sanggup menghafal dan menjaga hafalannya, memujinya, mengumumkan prestasinya selama tidak merusak kepribadiannya dengan sifat ujub atau semisalnya. Sebaliknya, memberi peringatkan tegas bagi yang tidak serius kecuali karena khawatir membuatnya lari. Mengulangi materi untuknya sampai ia menghafal dengan hafalan yang kuat.

Kesebelas. Dalam menyampaikan pelajaran, seorang guru harus bisa menjelaskan tentang pentingnya pelajaran yang akan ia jelaskan. Dalam prosesnya, ia bisa menjelaskannya sesuai dengan urutan-urutan, mulai dari perspektif tafsir, kemudian perspektif ilmu hadits, kemudian perspektif ahli ushul, kemudian perspektif madzhab-madzhab fiqih, kemudian perspektif perselisihan para ulama (khilaf), barulah kemudian perspektif perdebatan (jadal).

Keduabelas. Hendaknya ia duduk dengan penuh wibawa dan dengan pakaian yang putih bersih. Memulai pelajaran dengan tilawah ayat al-Qur’an. Kemudian mengucapkan basmalah dan memuji Allah Ta’aala dan bershalawat kepada Nabi salallahu alaihi wasallam dan kepada keluarga beliau, kemudian mendoakan para ulama terdahulu dari kalangan guru-gurunya, orang tuanya, para hadirin dan segenap kaum muslimin.

Ketigabelas. Seorang guru dalam mentransfer ilmu kepada murid-muridnya, hendaknya dalam kondisi siap dan prima, peka dari berbagai kemungkinan yang berpotensi membuyarkan konsentrasinya dan konsentrasi murid-muridnya. Misalnya seperti diungkapkan oleh Imam Al-Nawawi rahimahullahu : “Dan tidak menyampaikan pelajaran dalam kondisi ia terganggu dengannya, seperti sakit, lapar, menahan hadats, terlalu gembira, atau sedang berduka cita. Dan sebaiknya tidak memperpanjang majelis terlalu lama yang menyebabkan para murid bosan, atau terhalanginya mereka memahami beberapa pelajaran atau teliti dalam pelajaran. Karena tujuan dari pembelajaran itu adalah manfaat yang mereka dapatkan dan ketelitian terhadap pelajarannya. Sekiranya kondisi mereka berubah, jadi bosan atau kurang gairah, maka hilanglah tujuan pembelajaran”.

Keempatbelas. Tidak mencegah atau menghalangi murid dari mempelajari berbagai disiplin ilmu yang mereka butuhkan, selagi ia mampu untuk itu. Imam Al-Nawawi menasihatkan agar guru hendaknya tidak merasa lebih besar, lebih hebat di hadapan murid-murid. Melainkan ia bersikap lembut dan tawadhu, sejalan dengan firman Allah di surat al-Hijr ayat 88.
لِلۡمُؤۡمِنِيۡنلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ اِلٰى مَا مَتَّعۡنَا بِهٖۤ اَزۡوَاجًا مِّنۡهُمۡ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَاخۡفِضۡ جَنَاحَكَ
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr : 88). Dan juga sejalan dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah berkurang harta itu dengan sedekah, dan tidaklah seseorang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim).

Dan al-Fudhail bin ‘iyad rahimahullahu berkata bahwa sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mencintai seorang yang berilmu yang tawadhu, yang dibenci oleh orang-orang yang sombong, dan siapa yang tawadhu karena Allah Ta’aala sungguh telah diwariskan kepadanya hikmah.

Kelimabelas. Menyapa setiap murid berdasarkan kedudukan, pemahaman dan motivasinya. Merasa cukup dengan isyarat bagi siapa yang memahaminya dengan pemahaman yang benar, dan memperjelas sebuah perumpamaan kepada selainnya. Mengulangi sesuatu kepada siapa yang berat menghafalkan sesuatu itu kecuali dengan pengulangan. Dan menyebutkan hukum-hukum dengan jelas dengan contoh-contoh di luar dalil bagi siapa yang belum menghafal dalil.

Sekiranya murid tidak tahu sebagian dalil maka ia menyebutkan sebagian dalil tersebut untuknya. Dan menyebutkan dalil-dalil yang mengandung makna ganda, dan menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Dan menetapkan dalil sesuai dengan hukum suatu permasalahan, dan dalil yang mendekatinya.

Keenambelas. Sebaiknya majelisnya luas, tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, dan tidak pula merendahkan suara yang memungkinkan sebagian murid terhalangi dari pemahaman yang sempurna. Menjaga majelisnya dari kegaduhan dan dari peserta yang buruk adabnya dalam pembelajaran. Sekiranya tampak keributan dilakukan oleh salah satu peserta, bersikap lembut menghentikan keributannya sebelum merambah ke yang lain. Dan selalu mengingatkan bahwa berada di majelis harus diniatkan karena Allah Ta’aala. Sehingga tidak pantas untuk saling berdebat dan bertengkar. Yang harus dilakukan adalah kasih sayang dan ketulusan. Saling memberi manfaat satu dengan yang lain, dan menyatunya hati dalam kebenaran dan tercapainya faedah.

Ketujuhbelas. Seorang guru menurut al-Imam, hendaknya memperhatikan absensi kehadiran murid-murid dan mempertanyakan siapa yang ghaib dari mereka.

Dan sekiranya seorang guru berhalangan mengajar murid-muridnya, hendaknya ia menugaskan muridnya mengulangi pelajaran agar semakin menguat hafalannya itu. Sekiranya ada suatu permasalahan membebani mereka, maka hendaknya mereka menyerahkan solusi atau penjelasannya kepada Syaikh.

B. ADAB MUTA’ALLIM (MURID)

Dalam pembahasan tentang Adab Muta’allim (Murid), dibagi menjadi 5 pokok bahasan yaitu : Adab Muta’addib (Murid) terhadap dirinya sendiri, Adab Muta’addib (Murid) terhadap Mu’addib (Gurunya), Adab Muta’addib (Murid) terhadap Pelajarannya, Adab Muta’addib (Murid) terhadap Kitabnya, serta Adab dengan sesama Muta’addib. yang dapat saya uraikan sebagai berikut :

a. Adab Muta’addib (Murid) terhadap dirinya sendiri

Bagi seorang penuntut ilmu, adab terhadap diri sendiri merupakan perkara yang hendaknya diprioritaskan. Karena terkumpul di dalamnya praktek-praktek yang akan memudahkan dalam penyerapan ilmu maupun penerapan Adab yang lainnya. Adab terhadap diri sendiri meliputi Tauhid, kesadaran, kedisiplinan dan praktek dalam proses menuntut ilmu syar’i. Berikut penjabarannya:

1. Ikhlash Kepada Allah ta’ala

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah:5)

Sesungguhnya menuntut ilmu termasuk ibadah yang sangat mulia, dan amal ibadah apapun yang dikerjakan apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka akan tertolak bahkan bisa menimbulkan petaka bagi orang tersebut. Maka adab bagi seorang penuntut ilmu yang pertama kali harus diperhatikan adalah keikhlasan.

Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan sangat mempengaruhi datangnya ilmu maupun keberkahan ilmu. Ilmu bagaikan benih yang unggul yang siap ditanamkan, bila benih tersebut ditanam di tanah yang tandus maka meskipun tumbuh, tidak akan sehat dan tidak pula subur. Akan tetapi, apabila benih ditanam di lahan yang subur maka tanaman akan tumbuh dengan baik. Lahan tersebut ialah hati, maka perlu hati seorang penuntut ilmu untuk terlebih dahulu dibersihkan dan dijauhkan dari hama-hama yang akan mengganggu ilmu, agar ilmu tersebut tertanam dan menjadi berkah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan mengikhlaskan niat hanya semata mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, mengharap keridhaan-Nya. Semakin Ikhlas niat seseorang dalam menuntut ilmu, akan semakin berkah ilmu yang dia dapatkan.

Adapun usaha lain bisa dengan mengutarakan niat yaitu menjadikan menuntut ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala, menghidupkan syari’at agama Islam. Jangan jadikan dunia sebagai tujuan dalam menuntut ilmu agama. Jangan jadikan menuntut ilmu agama agar mendapatkan hati seorang wanita, atau mendapatkan pekerjaan, atau disebut ‘alim atau semisalnya.

Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam ahli hadits)

Berikut diantara kiat-kiat agar bisa Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dalam menuntut ilmu:

1). Jadikanlah tujuan agar tidak menjadi bodoh.

Sesungguhnya setiap manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan bekal bagi manusia agar dia bisa gunakan untuk mencari ilmu dan kehidupan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An Nahl:78)

2) Jadikan tujuan agar dengan mengetahui ilmu kita bisa beribadah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar ibadah kita benar dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Karena banyak manusia yang hingga dia sudah tua, akan tetapi ibadah yang dikerjakannya tidak tahu apakah sudah sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum.

3) Jadikan tujuan menuntut ilmu untuk bertaqarrub kepada Allah ta’ala.

Apabila seorang mengerjakan suatu amal ibadah dengan niat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Sang Pencipta, maka segala macam kesulitan akan terasa ringan, perjalanan yang jauh terasa dekat, dan penderitaan akan terasa nikmat.

Mendekatkan diri kepada Allah akan menimbulkan rasa takut kepada-Nya. Dan sesungguhnya apabila seseorang telah memiliki rasa takut kepada Allah ta’ala maka dia telah merasakan hakikat ilmu yang sebenarnya.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan: “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah ta’ala.” (Hilyah Thalib al-‘Ilmi dalam al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah, Bakr Abu Zaid, hal. 144)

Allah ta’ala berfirman: Artinya: “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir:28)

4). Jadikan tujuan menuntut ilmu adalah agar mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah ta’ala.

Orang yang beriman dan memiliki ilmu berbeda dengan orang yang beriman saja. Sebagaimana firman Allah ta’ala: Artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujadalah:11)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa dalam firman Allah (يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ) mencakup pengangkatan derajat di dunia dan di akhirat. Sedangkan dalam firman-Nya (أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ) maksudnya Allah mengangkat derajat orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di dunia serta pahala di akhirat. Maka barangsiapa menggabungkan iman dan ilmu niscaya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan imannya dan mengangkat pula beberapa derajat dengan ilmunya. Dengan demikian semua pengangkatan derajat tersebut terkumpul dalam majelis ilmu. (Fathul Qadir 767). ( https://muslim.or.id/29242-derajat-mulia-penuntut-ilmu-agama-2.html, dr. Adika Mianoki, Sp.S., 08-01- 2017)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al- Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2. Mengamalkan Ilmu

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al- Aslami. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: shahih)

Dari Jundub bin Abdullah al-Azadiy radliyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan seorang ‘alim (berilmu) yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia dan melupakan dirinya sendiri adalah laksana sebatang lilin yang menerangi orang lain namun ia membakar dirinya sendiri”. (HR al-Khathib al-Baghdadiy, al-Bazzar dan ath-Thabraniy dari Jundub bin Abdullah radliyallahu ‘anhu. Berkata Syaikh al-Albani: shahih)

Amal merupakan buah dari ilmu. Kalau ilmu tidak diamalkan maka ilmu tersebut akan merepotkan orang tersebut kelak di Akhirat. Makanya seorang penuntut ilmu hendaknya terlihat perubahan dan perbedaan dari matanya (bagaimana dia menjaga pandangannya), dari kekhusyu'annya dalam beribadah, dari sikapnya yang lebih tawadhu’, dari cara berbicaranya, dari sholatnya, juga dari kezuhudannya terhadap dunia.

Ilmu adalah apa yang tertulis, sementara amal adalah aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka tidak cukup ilmu itu berhenti di catatan, atau di rekaman, tetapi dilanjutkan dengan mengamalkannya dalam kehidupan, karena amal adalah aplikasi nyata dari teori.

3. Bertakwa dan Takut Kepada Allah ta’ala

Adab yang satu ini merupakan lawan dari orang-orang yang mengagungkan akal atau para rasionalis, mereka menganggap tidak ada kaitannya antara ibadah dengan ilmu yang mereka dapatkan, anggapan mereka yaitu cukup dengan belajar lalu diiringi dengan semangat tanpa bertakwa kepada Allah ta’ala. Meskipun pada akhirnya mereka tetap sukses, mendapat gelar, mendapat kehormatan di dunia tetapi sesungguhnya hal ini menunjukkan kesalahpahaman dalam memahami ilmu. Karena ilmu bagi seorang hamba tidak sekedar ilmu, tetapi ilmu yang seharusnya kita minta adalah ilmu yang bermanfaat, sebagaimana doa yang kita dianjurkan membacanya setiap habis shalat shubuh: “Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amalan yang diterima” (HR Ibnu Majah no. 925, shahih)

lmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, yang mendatangkan rasa takut kepada Allah ta’ala, begitu pula ilmu tidak akan diterima kecuali oleh orang-orang yang bertakwa. sebagaimana Allah ta’ala berfirman: Artinya: “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqanan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al Anfal:29)

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (https://rumaysho.com/2062-cahaya-allah-akan-jauh-dari-pelaku-maksiat.html, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, 19-11-2011)

Maka dapat diambil pelajaran bahwasannya maksiat merupakan tembok penghalang bagi seorang penuntut ilmu untuk bisa mendapatkan ilmu. Adapun seorang yang tetap bermaksiat tetapi juga menuntut ilmu hasilnya adalah bahwa ilmu tersebut akan menjadi kurang berkah.

4. Ketekunan, Semangat dan Kesabaran

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, para pria pergi membawa haditsmu. Tentukan oleh dirimu suatu hari untuk kami datang kepadamu agar engkau mengajari kami apa yang Allah telah ajarkan kepadamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berkumpullah kalian di hari ini dan ini, di tempat ini dan ini!”. Mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke tempat mereka lalu mengajari mereka apa yang Allah telah ajarkan kepada beliau…” (HR Bukhari no.7310)

Hendaknya seorang penuntut ilmu memaksimalkan semangat dan potensi mereka dalam mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan hal ini bahkan sangat dianjurkan bila ingin mendapat ilmu.

Dalam Shahih Muslim, Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Ilmu tidak akan didapatkan dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)” ([10]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi, 1/37)

Kaidah yang harus dipahami oleh seorang penuntut ilmu adalah bahwa capek atau lelah merupakan hal yang sudah pasti. Maka iringilah rasa lelah tersebut dengan kesabaran. Sebab sabar adalah sebab seseorang mau bertahan di bidang yang ia tidak menguasai.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara. Akan aku kabarkan padamu perinciannya dengan jelas: Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup (harta), bimbingan ustadz dan waktu yang lama” (https://muslim.or.id/43401-berkorban-harta-untuk-menuntut-ilmu.html, dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK, 30-10-2018)

5. Memiliki Tujuan Yang Mulia

Semangat akan muncul saat seorang itu tahu bahwa yang dikejar olehnya adalah sesuatu yang mulia. Oleh karena itu, para ulama kita terdahulu rela mengorbankan apapun agar mereka bisa memiliki suatu yang mulia tersebut.

Allah ta’ala berfirman: Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa", (Q.S. Ali 'Imran:133)

Bersegera, berlomba-lomba untuk mencapai surga yang dijanjikan oleh Allah ta’ala. Dan jalan menuju surga tidak lain adalah dengan menuntut ilmu. Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR Tirmidzi no.2646)

Maka hendaknya bagi seorang penuntut ilmu agar mempunyai tujuan yang tinggi, mematokkan dirinya untuk mencapai yang terbaik, berusaha maksimal dan melakukan suatu hal sebaik mungkin. Ciri dari semangat yang tinggi adalah ketika jiwa ini belum puas kalau belum dekat dengan Allah ta’ala.

Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang yang menghadiri majelis, duduk disana, atau membaca Al-Qur’an mereka akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Bagi orang yang memiliki semangat yang tinggi dia tidak akan mau menjual kebahagiaan tersebut dengan apapun selainnya, tidak akan mau mengganti kedekatannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala dengan kenikmatan dunia yang remeh dan hina. Maka diantara upaya untuk mencegah hal tersebut adalah dengan menjauhi hal-hal yang kurang bermanfaat dalam hidup, menjauhi teman yang sering mengajak kepada keburukan.

6. Kesederhanaan Dalam Hidup

Seorang penuntut ilmu hendaklah membiasakan hidup dalam kesederhanaan, tidak gengsi, tidak menyibukkan diri dengan kemewahan dunia. Hendaklah penuntut ilmu makan dengan tidak berlebihan dan tidak banyak mengeluh dalam segala keterbatasan.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun orang yang menuntut ilmu agama ini dengan kekayaan, kekuasaan, harga dirinya yang tinggi, lalu sukses dengannya. namun barangsiapa yang menuntut ilmu dengan kerendahan hati, dengan kehidupan yang sederhana, dan menghormati ilmu, pasti sukses.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi, 1/35)

Harun Ar-Rasyid meminta Imam Malik untuk datang ke istananya untuk mengajarkan ilmu agama kepada anaknya (Musa dan Harun). Imam Malik pun berkata kepada Harun Ar-Rasyid: “Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi”

Harun Ar Rasyid pun malu terhadap beliau lalu ia akhirnya mengutus anaknya untuk belajar kepada Imam Malik. (al-Madkhal ilas Sunan al-Kubra, al-Imam al-Baihaqi, 1/390-391 no. 686)

Demikianlah Imam Malik, hal tersebut juga dilakukan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mendatangi para sahabat senior dengan mengetuk pintu rumah mereka untuk mendapatkan pelajaran, padahal bisa saja beliau meminta utusan untuk mendatangi rumah sahabat tersebut agar sahabat tersebut menjumpai Ibnu Abbas, tetapi beliau berkata “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri”. (Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-'Asqalani, al-Ishabah fi Tamjiz al-Shahabah, tahqiq Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwidh (Beirut: Dar al-Khutub al-Ilmiyah, 1995), hal. 567)

Murid itu laksana timba, dan ilmu itu seperti sumur. Jadi timbalah yang harus mendatangi sumur. Maka belajarlah untuk merendah, karena ilmu itu tinggi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), Al- Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh Al-Albani rahimahullah)

b. Adab Muta’addib (Murid) terhadap Mu’addib (Gurunya)

1. Pentingnya Adab / Akhlak Dihadapan Guru

Diantara hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu adalah mengetahui tentang pentingnya adab atau akhlak, sehingga hal yang harus dipelajari pertama kali oleh seseorang yang akan belajar ilmu kepada seorang Guru adalah mempelajari akhlak, terutama akhlaknya dihadapan Guru. Berikut beberapa penukilah dari perkataan para Ulama tentang pentingnya akhlak dalam belajar.

Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari sebuah ilmu.” Perkataan tersebut menggambarkan betapa pentingnya belajar akhlak sebelum mempelajari sesuatu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain pernah berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Bahkan karena sebegitu pentingnya akhlak sampai-sampai Ibnul Mubarak berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Dari perkataan para Ulama diatas bisa kita ambil banyak pelajaran yang berharga dalam bab akhlak, sehingga dianjurkan untuk mempelajari dan memperbaiki akhlak sebelum belajar suatu ilmu, karena ilmu akan lebih bermanfaat ketika dipelajari dengan memiliki akhlak, berbeda dengan ilmu yang dipelajari tanpa adanya akhlak, bisa menjadi hal yang tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Orang yang memiliki akhlak akan tahu untuk apa ilmu yang dia pelajari dan akan digunakan seperti apa ilmu tersebut, sedangkan orang yang tidak memiliki akhlak adakalanya menyia-nyiakan ilmu yang dia miliki atau bahkan menyalahgunakannya.

2. Beberapa Adab / Akhlak yang Perlu Diperhatikan

Dalam membersamai Guru seorang murid haruslah memiliki adab dan akhlak, sehingga ilmu yang akan dia pelajari bisa menjadi keberkahan karena ridhonya Guru kepada yang mengambil ilmu darinya. Oleh karena itu ada beberapa adab dan akhlak yang harus betul-betul diperhatikan oleh seseorang yang akan mengambil ilmu dari Gurunya, diantara beberapa adab dan akhlak yang harus diperhatikan yaitu :

1). Adab Duduk

Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.”

Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.”

Ibnul Jamaah juga mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.”

2) Adab Berbicara

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya.

Para Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah didapati mereka beradab buruk kepada gurunya (Rasulullah), mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah meninggikan suaranya didepan Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara.

Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu ‘anhu juga menjelaskan, “Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).

3). Adab Bertanya

Para ulama telah menjelaskan tentang adab dalam bertanya. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa ‘alihi salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu, “Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya” (QS. Al Kahfi:70).

Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka janganlah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, Barakallahu fiik, atau Jazakallahu khoiron dan lain lain.

4). Adab dalam Mendengarkan Pelajaran

Diriwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran, yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain.

Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu pada saat ini? Jangankan segerombol gajah yang lewat, suara sedikit apapun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya, belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya, dan yang paling fenomenal adalah sibuk mengambil gambar (foto) untuk dijadikan status, seakan mendengarkan kajian adalah hal remeh yang hanya dijadikan pencitraan saja.

5). Mendoakan guru

Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”

Sebegitu mulianya guru dimata para Ulama terdahulu sehingga mereka mendo’akan para gurunya secara khusus seperti mendo’akan kedua orangtuanya, jauh berbeda dengan murid yang ada di zaman ini, sedikit sekali yang memperhatikan masalah adab dan akhlak terhadap gurunya, apalagi untuk mendo’akannya.

6) Memperhatikan adab-adab dalam menyikapi kesalahan guru

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat” (HR. Ahmad)

Para guru bukan malaikat, mereka tetap memiliki kesalahan. Sehingga pasti akan kita temukan beberapa kesalahan pada diri mereka, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Maka janganlah juga mencari cari kesalahannya, sebagaimana dalam firman Allah, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS. Al Hujurot:12).

Allah melarang mencari-cari kesalahan orang lain dan mengghibahnya, larangan ini berlaku untuk umum, tidak boleh mencari kesalahan siapapun jika tidak diperlukan dalam hal yang mendesak.

Karena membicarakan aib seseorang seperti teman saja dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan tersebut, lantas bagaimana jika yang dibicarakan aibnya adalah guru yang mengajarkan ilmu kepada kita seakan telah hilang kebaikan mereka yang telah mengajarkan ilmu kepada kita, berapa dosa yang akan menjadi tanggung jawab kita di akhirat kelak.

Para Salaf terdahulu menjadikan aib guru mereka sebagai hal yang harus ditutupi dan dijaga, bahkan mereka menyebutkan dalam doanya, “Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmunya dari ku.”

7). Meneladani penerapan ilmu dan akhlaknya

Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”

8) Sabar dalam membersamainya

Tidak ada satupun manusia di dunia ini kecuali pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Maka bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya. Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS.Al Kahfi:28).

Karena tidak ada kebersamaan yang lebih baik kecuali membersamai orang- orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla.

Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan, “Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru, Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”

Besarnya jasa para guru yang telah memberikan ilmunya kepada manusia, yang kerap menahan amarahnya, yang selalu merasakan perihnya menahan kesabaran, sungguh tak pantas seorang murid melupakan kebaikan gurunya, dan jangan pernah lupa menyisipkan nama mereka di lantunan do’a. Semoga Allah memberikan rahmat dan kebaikan kepada guru-guru kaum Muslimin. Semoga kita dapat menjalankan adab adab yang mulia ini.

c. Adab Muta’addib (Murid) terhadap Pelajarannya

Akhlaq pelajar terhadap pelajarannya dan hal-hal yang harus ia pegang ketika bersama-sama dengan syaikh (ulama') dan teman-temannya.

1. Hendaknya pelajar memulai pelajaran dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya fardlu 'ain, sehingga pada langkah pertama ini ia cukup menghasilkan empat ilmu pengetahuan yaitu:

a. Pelajar harus mengetahui tentang ilmu tauhid, ilmu yang mempelajari tentang ke Esa-an Tuhan harus mempunyai keyakinan bahwa Allah ta’ala itu ada, mempunyai sifat dahulu, kekal serta tersucikan dari sifat-sifat kurang dan mempunyai sifat sempurna.

b. Cukuplah bagi pelajar untuk mempunyai keyakinan, bahwa Dzat Yang Maha Luhur mempunyai sifat kuasa, menghendaki, sifat ilmu, hidup, mendengar, melihat, kalam. Seandainya Ingin menambahnya dengan dalil atau bukti-bukti dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka itu merupakan kesempurnaan ilmu.

c. Ilmu fiqh, ilmu yang dipergunakan untuk mengetahu ilmu-ilmu syari'at islam yang diambil dari dalil-dalil syara' tafsily, Ilmu ini merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mampu mengantarkan kepada pemiliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (taat), dimulai dari cara-cara bersuci, shalat, puasa.

2. Setelah santri mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardhu 'ain maka hendaklah dalam langkah selanjutnya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kitab Allah (tafsir Al Qur'an) sehingga ia mempunyai keyakinan dan i'tiqad yang sangat kuat. la harus bersungguh-sungguh dalam memahami tafsir Al Qur'an dan beberapa ilmu yang lain, karena Al Qur'an merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi dan sekaligus induk dan ilmu yang paling penting. ( Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 17).

3. Sejak awal pelajar harus bisa menahan diri dan tidak terjebak dalam pembahasan mengenai hal-hal yang masih terdapat perbedaan pandangan, tidak ada persamaan persepsi di antara para ulama (khilafiah) secara mutlak baik yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran atau yang bersumber dari Tuhan, karena apabila hal itu masih dilakukan oleh pelajar maka sudah barang tentu akan membuat hatinya bingung, dan membuat akal fikiran tidak tenang.

Namun apabila sang santri sudah mempunyai basic, latar belakang kemampuan yang sudah memadai dan menukil suatu permasalahan hanyalah untuk meningkatkan dan megembangkan kemampuan yang ia miliki, maka yang lebih baik adalah hendaknya ia tidak meninggalkan satupun dari pelajaran & pelajaran ilmu agama 'syara’ (karena yang bisa menolong hanyalah taqdir dari Allah ta’ala, semoga diberi umur panjang oleh Allah untuk memperdalam ilmu agama (syara').

4. Sebelum menghafalkan sesuatu hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu kepada orang seorang kyai/guru (atau orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu tersebut, setelah selesai diteliti oleh gurunya barulah ia menghafalkannya dengan baik dan bagus. Setelah menghafalkan materi pelajaran, hendaklah di ulang-ulangi sesering mungkin dan menjadikan kegitan taqrar sebagai wadhifah, kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Janganlah menghafalkan sesuatu sebelum diteliti, ditashih oleh seorang kyai atau orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang itu, karena akan mengakibatkan menimbulkan ekses yang negatif. Misalnya merubah makna atau arti dari kalimat tersebut dan telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa ilmu pengetahuan itu tidak di ambil dari sebuah kitab atau buku, tetapi diambil dan diperoleh dari seorang guru karena hal itu merupakan kerusakan yang sangat berbahaya ketika sedang mengkaji sebuah ilmu pengetahuan, hendaknya pelajar mempersiapkan tempat tinta, pulpen dan pisau untuk memperbaiki dan membenarkan hal-hal yang perlu diperbaiki baik dalam segi bahasa atau i'rab. (Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 18).

5. Hendaknya pelajar murid (berangkat lebih awal lebih pagi dalam rangka untuk mencari ilmu, apalagi berupa ilmu hadits, dan tidak mensia-siakan seluruh kesempatan yang ia miliki untuk menggali ilmu pengetahuan dan meneliti sanad-sanad hadits, hukum-hukumnya, manfaat, bahasa, cerita-cerita yang terkandung didalamnya, dan bersungguh-sungguh sejak awal dengan kitab "Shahih Bukhari" dan "Shahih Muslim" kemudian kitab-kitab pokok yang lainya yang biasa dipakai pedoman, rujukan pada masa sekarang, seperti Muattha’ nya imam Maliki dan Sunan Abu Daud, Sunan Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, Kitab Jami' imam Tirmizi.

6. Ketika pelajar telah mampu menjelaskan, mengejawantahkan terhadap apa yang ia hafalkan walaupun masih dalam tahap ikhtishar dan bisa menguraikan kemusykilan yang ada dan aqidah-aqidah yang sangat penting, maka ia diperbolehkan pindah untuk membahas kitab-kitab besar serta tiada henti, terus-menerus menelaah tanpa mengenal rasa lelah. Hendaknya pelajar memiliki cita-cita tinggi, sangat luhur, ibaratnya kaki boleh dibumi tapi cita-cita menggelantung di angkasa, sehingga tidak boleh merasa cukup hanya memiliki ilmu yang sedikit, padahal ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari ilmu sebanyak-banyakanya. Santri tidak boleh bersifat qona'ah menerima apa adanya seperti yang diwariskan oleh para nabi, yaitu menerima sesuatu walaupun hanya sedikit. Santri tidak boleh menunda-nunda dalam mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan dan manfaat yang sangat mungkin ia peroleh, karena menunda sesuatu itu mengandung beberapa bahaya, disampimng itu apabila pelajar bisa mendapatkan ilmu secara cepat dan tepat waktu maka pada waktu yang lain ia bisa mendapatkan sesuatu yang lain. Santri harus selalu menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya terhadap waktu luangnya. (Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 19).

7. Pelajar harus selalu mengikuti halaqah, diskusi dan musyawarah dengan gurunya dalam setiap pelajaran, kalau memungkinkan ia membacakannya. Karena hal itu apabila dilakukan oleh santri maka ia akan selalu mendapat kebaikan, menghasilkan setiap sesuatu yang ia harapkan, cita-citakan, memperoleh sopan santun yang baik serta mendapatkan keutamaan dan kemuliaan. Santri harus selalu bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada gurunya karena akan menghasilkan kemuliaan, penghormatan. Dan apabila memungkinkan santri tidak boleh mengadakan diskusi, halaqah dengan gurunya hanya untuk mendengarkan pelajarannya saja, bahkan ia harus bersungguh-sungguh dalam setiap pelajaran yang diterangkan oleh gurunya, dengan tekun, konsentrasi dan penuh perhatian. Apabila hal itu bisa ia lakukan dan hatinya tidak merasa keberatan, dan selalu mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya sehingga setiap pelajaran yang telah disampaikan oleh gurunya ia kuasai dengan baik. Apabila ia tidak mampu untuk menguasai secara keseluruhan, maka hendaknya ia memprioritaskan pelajaran yang lebih penting terlebih dahulu kemudian baru pelajaran yang lain.

8. Apabila pelajar menghadiri pertemuannya dewan guru, hendaklah ia mengucapkan salam kepada orang telah hadir pada forum tersebut dengan suara yang bisa mereka dengar dengan jelas, apalagi terhadap seorang kyai dengan memberikan penghormatan yang lebih tinggi dan memuliakan. Begitu juga apabila santri keluar dari forum tersebut. Apabila pelajar mengucapkan salam pada sebuah forum, maka ia tidak diperkenankan melewati orang-orang yang ada di tempat tersebut untuk mendekat pada sang kyai, ia duduk di tempat yang bisa di datangi oleh orang lain, kecuali apabila sang kyai, para jama'ah yang lain memintanya untuk maju kedepan, maka tidak ada masalah apabila santri itu maju dengan melewati orang terlebih dahulu hadir pada majelis tersebut. Pelajar tidak boleh memindah tempat duduknya orang lain atau berdesak-desakan dengan sengaja, apabila ada orang lain yang mempersilahkan santri itu untuk menempati tempat duduknya, maka janganlah ia menerimanya kecuali ada kemaslahatan, kebaikan yang diketahui oleh orang lain, atau orang banyak yang memperoleh dan mendapatkan manfaat. (Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 20).

d. Adab Muta’addib (Murid) terhadap Kitabnya

1. Mengikhlaskan niat ketika membeli kitab

Seorang Muslim wajib mengikhlaskan niatnya ketika ia membeli sebuah buku dengan menghadirkan niat yang baik, yaitu berniat untuk mengambil manfaat dari buku tersebut bagi dirinya dan orang lain, sehingga perhatian terhadap ilmu syar’i akan tampak pada buku tersebut. Bisa juga diniatkan untuk mempermudah pencarian masalah-masalah agama dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Dengan demikian ia akan diberi pahala atas harta yang ia keluarkan untuk membeli buku tersebut dan akan diberi pahala atas waktu yang ia habiskan untuk mencarinya serta akan diberi pahala atas jerih payahnya untuk membawa, menjaga, menyusunnya. (Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 725)

2. Bersemangat mengumpulkan kitab

Hendaknya penuntut ilmu untuk perhatian pada masalah pengumpulan kitab-kitab yang ia butuhkan semaksimal mungkin, baik itu dengan cara dibeli, disewa, ataupun dipinjam. Karena kitab-kitab itu ialah alat untuk belajar. (Ibnu Jama’ah, Tadzkirotus Saami’, (Beirut: Darul Basyaair Al Islamiyah, 2012) Cet. Ke 3, h. 126)

Para ulama terdahulu sampai mengumpulkan ratusan bahkan ribuan jilid kitab demi mengambil ilmu dan mendapatkan manfaat darinya.

3. Lebih mendalami kitab-kitab klasik (salaf) dari pada kitab-kitab yang dikarang oleh orang belakangan (Khalaf).

Wajib bagi penuntut ilmu bersemangat untuk mempelajari kitab-kitab induk (pondasi) sebelum mempelajari kitab-kitab terbaru. Itu disebabkan sebagian penulisnya tidak memiliki ilmu yang mendalam. Maka jika seseorang membaca apa yang mereka tulis ia hanya pemaparan yang dangkal. Ia hanya menukil saja dan terkadang ia menukarnya dengan redaksi yang amat panjang namun ia seperti buih (tidak bermanfaat). Hendaknya seseorang labih perhatian terhadap buku-buku induk dan kitab-kitab ulama salaf (klasik). Karena dalam kitab-kitab mereka terdapat kebaikan dan keberkahan yang lebih daripada kitab-kitab Khalaf (ulama belakangan). (Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274)

4. Mewakafkan kitab

Jika seseorang tidak memiliki ahli waris atau ahli warisnya tidak punya perhatian pada kitab-kitab, maka opsi terbaik ialah ia memberikan wasiat untuk mewakafkannya setelah ia meninggal dunia. Dengan demikian para penuntut ilmu akan mengambil manfaat darinya, begitu pula para peneliti dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu juga akan mengambil manfaat. Itu semua akan menjadi shadaqah jariyah baginya setelah ia meninggal karena ia termasuk ilmu yang bermanfaat. (Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 731)

Nabi bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia maka akan terputus seluruh amalnya kecuali 3 perkara: Shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim: 1631, Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu)

5. Memperhatikan kitab-kitab dan menjaganya

Wajib bagi seorang muslim jika memiliki kitab-kitab untuk memperhatikannya dan menjaganya agar kitab-kitab tersebut bisa terjaga dalam jangka waktu yang lama. Itu juga menggambarkan ilmu dimana ia adalah hal yang paling penting yang harus dimiliki oleh seseorang. Kitab-kitab itu juga sama dengan harta yang wajib dijaga dan tidak boleh disia- siakan begitu saja. Dan diantara cara menjaga kitab-kitab tersebut ialah:
- Meletakkan kitab-kitab ditempat yang aman agar tidak dimain-mainkan.
- Meletakkan kitab-kitab di tempat yang memiliki suhu yang baik.
- Menggunakan sebagian zat kimia untuk mengusir serangga (hewan perusak) yang akan merusak kertas. (Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 727- 728)

6. Tidak memasukkan kitab-kitab yang tidak ada kebaikannya kedalam perpustakaan kita.

Kitab-kitab itu terbagi menjadi 3 : ▪️ Kitab-kitab yang baik ▪️ Kitab-kitab yang buruk ▪️ Kitab yang tidak baik dan tidak pula buruk.

Maka hendaknya seseorang berusaha untuk tidak memasukkan di dalam perpustakaannya kitab-kitab yang tidak memiliki kebaikan atau bisa dikatakan hanya berisi keburukan. Ada kitab-kitab yang disebut kitab sastra akan tetapi ia hanya menghabiskan waktu tanpa ada manfaat didalamnya. Ada pula kitab-kitab berbahaya yang di dalamnya ada pemikiran tertentu dan metode tertentu. Ini juga jangan dimasukkan ke dalam perpustakaan. (Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274)

Sesungguhnya Allah akan menghisabnya karena telah membacanya dan menghisab harta yang telah dikeluarkan untuk membeli kitab-kitab berbahaya tersebut. (Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 727 29 Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274)

Setiap kitab-kitab yang berbahaya, maka jangan sampai dimasukkan ke dalam perpustakaan kita. Karena kitab-kitab itu gizi bagi ruh, seperti makanan dan minuman bagi badan. Jika seseorang membaca kitab-kitab yang berbahaya seperti ini maka ia akan sangat berbahaya baginya. Dan bahkan bisa jadi ia malah melenceng dari metode menuntut ilmu yang benar. (Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274)

e. Adab dengan sesama Muta’addib.

Seorang manusia tentunya tidak akan pernah lepas dari membutuhkan orang lain, manusia membutuhkan komunitas, tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Termasuk di dalamnya sesama penuntut ilmu, yang sama-sama memiliki tujuan belajar, duduk di majelis, hendaknya berusaha untuk saling membantu. Tentunya, ada adab-adab yang perlu diperhatikan terhadap sesama penuntut ilmu dan berikut penjabarannya:

1. Menunaikan 6 Hak Sesama Muslim

Dalam sebuah hadits yang masyhur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya tentang 6 hak muslim kepada muslim yang lain, yaitu:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR Muslim no. 2162)

2. Saling Tolong-menolong

Saling tolong-menolong dalam kebaikan adalah hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, maka apalagi dalam halnya menuntut ilmu. Perintah ini datang dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: Artinya: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al Maidah:2)

Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari bahwasaya Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku dan tetanggaku seorang Anshar (yakni Aus bin Khauli radhiyallahu ‘anhu), seorang dari bani Umayyah bin Zaid, kami saling bergantian mendatangi majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia datang pada suatu hari dan aku pada hari lainnya. Apabila aku yang menghadiri majelis, akan aku sampaikan kepadanya tentang wahyu dan penjelasan lainnya pada hari itu. Apabila ia yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm 89).

Disini dicontohkan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu bersama seorang tetangganya saling bergantian antara belajar agama dan mencari nafkah. Ketika yang satu mendapatkan ilmu setelah menghadiri majelis Rasulullah maka ia mengabari yang satunya yang disibukkan dengan pekerjaan tentang ilmu tersebut dan begitupun sebaliknya. Maka kita pada zaman ini tentunya bisa mencontoh dengan saling memberitahu soal ilmu apabila yang ada teman yang sakit sehingga tidak bisa mendatangi majelis yang biasanya didatangi bersama-sama.

Diantara contoh lain yaitu seorang penuntut ilmu yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu dan hendaknya orang yang lebih tahu mau untuk menjawab dan menolong temannya yang belum tahu.

Diantara contoh lain yaitu menolong teman, berkorban untuk teman yang memiliki kekurangan biaya dalam menuntut ilmu. Dikisahkan dalam kitab Shafahat min Shabril Ulama, karya Abdul Fattah Abu Ghuddah. Dikutip dari Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Al-Bukhari pernah ditemukan para sahabatnya berada di rumahnya sendirian tanpa sehelai benang.

Suatu hari Umar bin Hafs Al-Asyqar dan para ulama lain tidak mendapati Imam Al-Bukhari beberapa hari, seolah ia hilang ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda ia berkunjung ke para ulama untuk mencari hadits. Padahal, mencari hadits adalah kegiatan keseharian Al-Bukhari. Bagi para sahabatnya, tidak biasanya Al-Bukhari demikian (Saat itu, Imam Al-Bukhari sedang berkunjung ke kota Bashrah demi mendapatkan hadits dan menulisnya) Teman-teman Al-Bukhari menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi pada diri Al-Bukhari. Mereka khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Mereka pun bersepakat untuk mendatangi sebuah rumah yang ditempati Al-Bukhari selama tinggal di Bashrah. Betapa terkejutnya mereka saat masuk ke rumah itu dan mendapati rumahnya kosong melompong. Tak ada benda apapun kecuali Imam Al-Bukhari sendiri, bahkan baju pun tak ia miliki. Ternyata semua barang miliknya, termasuk baju-bajunya ia jual untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Baju satu-satunya yang ia pakai dan menempel di tubuhnya pun harus direlakan. Saat ditemukan oleh teman-temannya, Al-Bukhari dalam keadaan telanjang dan tidak memakai sehelai benang pun. Melihat keadaan al-Bukhari tersebut, para sahabatnya pun berinisiatif dan bersepakat untuk iuran dirham. Hasil iuran itu kemudian digunakan untuk membeli baju yang bisa digunakan Al-Bukhari. Dengan adanya baju tersebut, Al-Bukhari pun bisa keluar rumah lagi dan kembali mencari dan menulis hadits. ([30] Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, 2/13)

3. Menjauhi Adanya Perasaan Hasad (Iri Hati) Terhadap Sesama Teman

Menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Muhammad bin Salih Al-Utsaimin, hlm. 368)

Timbulnya hasad biasanya diiringi dengan adanya rasa persaingan antara sesama penuntut ilmu atau bisa juga karena tidak senang bahwa saudara kita diberikan nikmat yang lebih dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Misalkan ada seseorang yang Allah berikan nikmat berupa suara yang merdu sehingga diapun dizinkan menjadi imam shalat, padahal teman seperjuangannya juga sama-sama menghafal Al-Qur’an tidak pernah ditunjuk menjadi imam, maka kejadian seperti ini bisa menimbulkan hasad di hati manusia bila tidak dicegah, sama halnya tatkala seseorang diberi kecerdasan luar biasa, kemampuan menghafal dengan cepat, memiliki ingatan yang kuat tentang ilmu, memiliki hubungan yang dekat dengan para ustadz atau para ulama, juga dalam hal duniawi seperti membeli baju baru, mempunyai kendaraan yang lebih bagus, harta yang lebih banyak dan masih banyak lagi, semua hal tersebut bisa mendatangkan hasad di dalam hati seseorang.

Diantara contoh hasad yang lain, yaitu saat merasa iri melihat ada teman yang sudah bisa mengajar sementara teman seperjuangannya belum, padahal sejatinya mengajar adalah ketika siap dan hendaknya perlu arahan dari orang yang lebih berilmu atau guru sejauh mana dia boleh mengajar, karena mengajar itu bertahap. Sesungguhnya mengajar ilmu agama adalah untuk mendapatkan pahala jariyah bukan dosa jariyah. Ketahuilah amal shaleh itu bukan untuk bangga-banggaan dan semua ada tahapan-tahapannya.

Maka sesungguhnya penyebab hasad itu tidak terbatas jumlahnya, karena nikmat Allah pun tidak terbatas jumlahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl:18)

Apa yang menyebabkan seseorang itu hasad kepada saudaranya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya syaitan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia mengadu domba di antara mereka.” (HR Muslim no. 2812)

Siapakah yang bisa lepas dari hasad? Ketahuilah tidak ada manusia yang selamat dari hasad, kecuali yaitu para nabi dan ash-shiddiqin. Allah menggabungkan antara sifat shiddiq (jujur) dan nubuwwah (seorang nabi) ketika menyanjung Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam: 41)

Syaikh As-Sa’di menerangkan makna shiddiq adalah: “Mereka yang menyempurnakan iman, amalan shalat dan ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat), juga punya rasa yakin yang tulus dan sempurna.” (Tafsir As-Sa’di, Abdurahman Nashir As-Sa'di, hlm. 890)

Syaikh As-Sa’di menerangkan pula makna shiddiq adalah orang yang jujur dalam perkataan, perbuatan, keadaan, membenarkan semua perintah Allah, sehingga ilmu yang dimiliki meresap dan berpengaruh ke dalam hati, ilmunya pun memberikan rasa yakin yang besar dan menghasilkan amalan shalih yang sempurna. (Tafsir As-Sa’di, Abdurahman Nashir As-Sa'di, hlm. 519)

C. ADAB BERFATWA

Imam Nawawi menulis kitab khusus yang membahas tentang tema adab berfatwa dan diberi judul Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti (Etika Fatwa, Pemberi Fatwa, dan Peminta Fatwa). Berikut adalah beberapa ringkasan dari adab mufti (pemberi fatwa) ketika memberikan fatwa :

1. Mufti wajib menjelaskan jawaban sampai tidak ada isykal (kesamaran). Ia juga boleh mencukupkan menjawab di mulut saja, dan meminta bantuan penerjemah yang dapat dipercaya jika bahasanya tidak dipahami oleh mustafti. Jika pertanyaannya banyak, maka mufti hendaknya menjawab sesuai dengan urutan soal. Namun, apabila tidak urut juga tidak masalah. Jika soalnya tafshil (rinci), maka tidak boleh menjawab dengan jawaban mutlak.

2. Mufti tidak boleh menulis sesuai dengan apa yang diketahuinya saja, jika kasus mempunyai celah atau model lain. Maka, mufti bisa berkata, “jika kasusnya begini, maka begini.”

3. Jika mustafti sulit untuk memahami, maka mufti harus bersikap ramah, bersabar untuk memahami persoalannya dan memahamkan jawaban. Sungguh demikian merupakan pahala yang besar bagi mufti.

4. Hendaknya mufti merenungkan pertanyaan dengan perenungan yang dalam, lebih-lebih pada akhir pertanyaan. Karena kunci pertanyaan ada pada akhirnya. Apabila ditemukan kata yang samar, maka mufti hendak bertanya pada mustafti lalu memberikan titik dan mengharakati. Apabila ditemukan pengucapan yang salah yang bisa mengubah makna, maka mufti harus membenarkannya.

5. Dianjurkan membacakannya kepada seluruh hadirin yang ahli, lalu bermusyawarah dan membahasnya dengan tenang dan moderat, sekalipun mereka levelnya ada di bawah mufti (yaitu murid-muridnya). Hal ini merupakan kebiasaan orang salaf. Selain itu, juga bisa membantu menemukan jawaban atas masalah yang belum jelas. Kecuali, jika masalah tersebut tidak baik untuk diumumkan, membuat yang bertanya menjadi malu, atau menyebabkan mafsadah jika dipublikasi.

6. Mufti menulis dengan tulisan yang jelas dan normal, tidak ada yang terlalu tipis, tidak ada yang terlalu tebal. Mufti juga menulis dengan renggang baris yang sama. Kalimat yang ditulisnya harus jelas, benar susunannya, dan memahamkan khalayak ramai. Dan sebagian ulama menganjurkan untuk tidak mengganti pulpen atau model tulisan karena menghindari pemalsuan. Saat menulis jawaban, mufti membacanya lagi, barangkali ada celah di dalamnya.

7. Cara memulai fatwa dan mengakhirinya

Diceritakan bahwa Makhul dan Malik rahimahumallah tidak akan memberi fatwa sampai mereka mengucapkan laa haula walaa quwwata illaa billaah. Disunnahkan membaca ta’awudz, basmalah, hamdalah, juga shalawat. Selain mengucapkannya, juga menuliskannya. Dan di akhir tulisan, diakhiri dengan ‘wabillahit taufiq’, ‘wallahu a’alam’, atau ‘wallahul muwaffiq’. Boleh juga menggunakan kalimat ‘menurut saya’, ‘pendapat saya adalah’, dll.

8. Hendaknya mufti meringkas (menyimpulkan) jawabannya supaya dapat dipahami semua orang. Hukum yang sedang dibahas itu boleh atau tidak, halal atau haram.

9. Apabila ada orang yang berkata, “aku lebih benar daripada Muhammad bin Abdullah” atau “sholat itu permainan”, maka jangan buru-buru memvonis orang itu halal darahnya atau wajib dibunuh. Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa itu benar-benar perkataannya, dengan ikrar atau bukti. Jika memang benar, maka diserahkan kepada sulthon (yang berwenang) untuk diproses sesuai ketentuan.

Wallau’alam bishowwab
(Agis Sugiana / Prodi SBA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar