Sabtu, 16 April 2022

Hikmah Penciptaan Allah Ta'ala

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan Aqidah 
Dosen Pengampu : Humaedi Tamri, Lc, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 5 Angkatan 5 :
1. Akmala Hayatina Rosmada (PAUD)
2. Anisah (PAUD)
3. Khairun Nisa Nurpratiwi (PAUD)
4. Nur Annisa (PAUD)
5. Siti Nur Jannah (PAUD)
6. Qonitah Anwar (PAUD)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala. Atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa juga kami panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad shallahu alaihi wa salam beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Aqidah yang berjudul “Hikmah Penciptaan Allah“. Dalam makalah ini kami menguraikan mengenai memahami ma’rifatullah dalam hikmah penciptaan, hikmah ubudiyyah dan ahsanul amal.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak sekali kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “ Hikmah Penciptaan Allah “ ini dapat memberikan manfaat untuk para pembacanya.

Banjarnegara, 16 April 2022 Penyusun Makalah
Kelompok 5

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Memahami maárifatullah dalam hikmah penciptaan
2.2 Hikmah Ubudiyyah
2.3 Ahsanul Amal
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ribuan ayat yang tersebar di dalam Al-Qurán, ada ayat-ayat yang berisi syari’ah, ibadah, dan ada pula ayat-ayat yang berisi tanda-tanda alam (kauniyah). Ayat-ayat tentang penciptaan alam, manusia, serta mahluk hidup yang ada dan tersebar di alam semesta ini mengajarkan kepada kita untuk lebih menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang tidak banyak tahu, termasuk apa yang ada didalam diri kita sendiri yang masih banyak sekali hal-hal yang tidak bisa kita jangkau dengan akal dan pikiran kita.

Allah ta’ala berfirman:

اِنَّ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۗ
وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَاۤبَّةٍ اٰيٰتٌ لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَۙ
وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ رِّزْقٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ اٰيٰتٌ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

“Sungguh, pada penciptaan langit dan bumi benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada mahluk yang bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda kebesaran Allah untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dengan (air hujan) itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering) dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berakal “ (Qs. Al-Jatsiah/37 : 3-5)

Penciptaan langit dan bumi pada ayat diatas Allah menyebutkannya terlebih dahulu sebelum penciptaan mahluk, karena hanya Allah saja yang Maha Mengetahui hakikat langit dan bumi, apa yang ada didalamnya, apa yang tersembunyi, yang masuk, yang berkurang, tumbuh dan mati pada hakikatnya manusia dengan keterbatasan ilmu, akal, dan tenaganya tidak ada satupun yang mampu menjelaskan secara detail unsur-unsur penting pada dua ciptaan Allah yang luar biasa ini.

Begitupun dengan matahari yang senantiasa terbit dari arah timur dan terbenam disebelah barat, kemudian muncul bulan, dan bintang-bintang yang indah yang menjadi perhiasan langit. Dialah Allah yang mengatur semua itu dengan sangat sempurna. Satu hal yang wajib kita imani bahwasanya Allah ta’ala tidaklah melakukan suatu yang sia-sia atau main-main saja tanpa maksud dan tujuan tertentu.

Dan satu hal yang harus kita esakan adalah Allah yang Menciptakan dan Mengatur semesta ini. Akan tetapi, perbuatan Allah itu dilandasi dengan hikmah, yang bisa jadi kita ketahui maupun tidak kita ketahui.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah hikmah penciptaan Allah ? atau apa pentingnya memahami ma’rifatullah dalam hikmah penciptaan?
2. Apakah ada hikmah ubudiyyah?
3. Apa saja yang termasuk dalam ahsanul amal ?

1.3 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui dan memahami Ma’rifatullah dalam hikmah penciptaan.
2. Mengetahui dan memahami hikmah ubudiyyah.
3. Mengetahui pengertian dari ahsanul amal dan contoh-contohnya.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Memahami ma’rifatullah dalam hikmah penciptaan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dengan adanya maksud dan tujuan tertentu. Allah dengan kekuasaanNya tidaklah melakukan suatu perbuatan dengan sia-sia. Akan tetapi semua perbuatan Allah Ta’ala itu dilandasi dengan hikmah yang bisa jadi kita ketahui atau tidak kita ketahui.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya :

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۗذٰلِكَ ظَنُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنَ النَّارِۗ

”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang yang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”. (Qs.Shad/38 : 27)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menceritakan bahwa tidak sekali-kali Allah menciptakan makhluk-Nya dengan main-main saja, melainkan Allah menciptakan mereka supaya mereka menyembah-Nya dan mengesakan-Nya dalam semua perbuatan-Nya. [1]
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir

Mereka (orang kafir) mengira dunia ini ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan hanya tempat untuk bermain-main saja tanpa adanya pertanggung jawaban.

Mereka (orang-orang kafir) yakni orang-orang yang tidak percaya kepada hari kebangkitan dan tidak pula mereka percaya kepada hari akhir, tapi mereka hanya percaya kepada kehidupan di dunia ini saja. Mereka tidak percaya kepada kekuasaan Allah.

Selanjutnya,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۗذٰلِكَ ظَنُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنَ النَّارِۗ

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka." (Qs. Shad/38:27)

Maksudnya, celakalah mereka di hari mereka kembali saat mereka dibangkitkan karena akan memasuki neraka yang telah disediakan untuk mereka. [2]
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ

“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (QS. Al-Mu’minun/23:115)

Tidak mungkin manusia dibiarkan begitu saja, semua pasti dimintai pertanggung jawaban. Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah mengatakan “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya (?)” [3]
[3] Kitab Madaarijus Salikin, 1/98

Maka tugas kita sebagai seorang muslim untuk mengimani dan memahami hikmah dari diciptakannya kita di dunia ini.

Ada tiga hikmah dari diciptakannya manusia di dunia ini ;

▪️ Hikmah yang pertama ialah : Agar manusia memiliki ilmu tentang Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan (agar kamu mengetahui bahwa) sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS Ath-Thalaq/65 : 12)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui (memiliki ilmu) bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Allah Ta’ala juga menceritakan penciptaan langit dan bumi, agar manusia mengetahui tentang kekuasaan Allah Ta’ala, bahwa Allah lah pemilik jagad raya ini dengan ilmu Allah yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terluput dari ilmu dan pengawasan Allah, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

Oleh karena itu, mengenal Allah Ta’ala, melalui ilmu terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (tauhid asma’ wa shifat), adalah salah tujuan dari penciptaan manusia.

Mengenal Allah disini maksudnya mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati, yang memiliki konsekuensi menerima apa yang di syariatkan-Nya, patuh dan tunduk pada-Nya, menentukan putusan dengan syariat yang dibawa Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Allah Ta’ala berfirman di ayat yang lain :

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ ࣖ

"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu." (QS Muhammad/47 : 19)

▪️ Hikmah yang kedua ialah : agar manusia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala

Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Manusia diciptakan tidak hanya untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, bekerja, atau mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup, tetapi ada tujuan besar dibalik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya.

Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“ Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyaat/51 : 56)

Dalam ayat di atas, makna dari: “beribadah kepada-Ku”, adalah: “mentauhidkan Aku.”

Maksudnya, seseorang tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala sampai dia mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. Yaitu dengan tidak beribadah kepada selain Allah Ta’ala.

Jika di satu waktu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala, dan di waktu yang lain dia beribadah kepada selain Allah Ta’ala, maka dia tidaklah dinilai beribadah kepada Allah Ta’ala. Hal ini karena ibadah dia kepada selain Allah itu akan membatalkan ibadah dia kepada Allah. Dengan kata lain, karena dia tidak mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut.

Oleh karena itu, semakna dengan tafsir di atas adalah memaknai “beribadah kepada-Ku” dengan : “Meng-esa-kan-Ku dalam ibadah.” [4]
[4] Kitab I’aanatul Mustafiid, 1: 33, karya Syaikh Shalih Al-Fauzan

Inilah yang membedakan antara penciptaan manusia dan binatang. Karena hikmah di atas, Allah Ta’ala memberikan akal kepada manusia. Allah juga mengutus Rasul kepada manusia dan menurunkan kitab-kitab. Seandainya penciptaan manusia itu sama dengan binatang, tentu diutusnya rasul dan diturunkannya kitab adalah perbuatan sia-sia semata. [5]
[5] Kitab Al-Qaulul Mufiid, 1: 26 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Jika kita renungkan lebih dalam lagi, hikmah kedua ini merupakan konsekuensi dari hikmah yang pertama. Artinya, ketika seorang hamba mengenal Allah Ta’ala, mengenal nama-nama Allah yang husna, dan mengenal kesempurnaan sifat Allah Ta’ala, bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mampu menandingi Allah dalam kesempurnaan sifat tersebut, tentu hamba tersebut akan beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak beribadah kepada selain-Nya.

Dua hal di atas adalah hikmah, sebab, atau alasan Allah Ta’ala menciptakan manusia. Bisa jadi terealisasi, dan bisa jadi tidak. Oleh karena itu kita jumpai berbagai jenis manusia dalam merealisasikan hikmah penciptaan mereka.

Ada di antara mereka yang:

(1) Tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, dan tidak pula beribadah kepada selain Allah.

(2) Tidak beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali, namun beribadah kepada selain Allah.

(3) Beribadah kepada Allah, dan juga beribadah kepada selain Allah.

(4) Beribadah kepada Allah saja, dan tidak beribadah kepada selain Allah.

Tidak kita ragukan lagi, yang betul-betul merealisasikan tujuan penciptaan mereka adalah manusia jenis ke empat.

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan,

“Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakikat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata. [6] 
[6] Kitab Miftaah Daaris Sa’aadah,2/120

▪️ Hikmah ketiga ialah : Untuk menguji makhluk, siapa yang paling baik amalnya.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ وَّكَانَ عَرْشُهٗ عَلَى الْمَاۤءِ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا ۗوَلَىِٕنْ قُلْتَ اِنَّكُمْ مَّبْعُوْثُوْنَ مِنْۢ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُوْلَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَٓا اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

"Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekah), “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah mati,” niscaya orang kafir itu akan berkata, “Ini hanyalah sihir yang nyata.”  (QS. Huud : 7)

Maksud dari kata “agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya” adalah Allah mengujimu tatkala Dia menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan dibumi untukmu. Dia mengujimu dengan perintah dan laranganNya, maka Dia melihat siapa yang lebih baik amalnya diantara kamu. [7]
[7] Tafsir As-Sa’di karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di

Maka wajib bagi kita untuk memperhatikan segala macam perbuatan serta amal ibadah kita di dunia ini, yang dimana wajib bagi kita untuk melaksanakannya sesuai dengan syariat islam serta sunnah yang diajarkan rasul kepada kita. Tentu dengan cara ikhlas dan hanya semata mengharap wajah Allah Ta’ala.

Barang siapa yang tunduk dan patuh dalam menunaikan segala perintahNya, maka sungguh dia termasuk orang yang beruntung. Dan barang siapa yang berpaling atau tidak melaksanakan segala perintahNya serta melakukan segala laranganNya, maka dia termasuk orang yang merugi. Dan sudah di pastikan Allah akan menempatkan dia ke dalam Neraka.

2.2 Hikmah Ubudiyyah

Kita semua sudah mengetahui bahwasanya tujuan utama kita diciptakan oleh Allah subhanahu wa taála adalah untuk beribadah hanya kepadaNya, untuk mengabdi kepadaNya untuk mewujudkan penghambaan atau ubudiyyah hanya untuk Allah dan hanya karena Allah subhanahu wa taála.

Sebagaimana firman-Nya dalam Qs. Adz-Dzaariyaat/51: 56 :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya : “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)”

Jadi tujuan hidup kita, tujuan keberadaan kita di dunia ini bukanlah sia-sia melainkan untuk mewujudkan peribadatan hanya untuk Allah taála. Kemudian akan muncul pertanyaan, apa itu ibadah? Maka penting untuk kita pahami karena ibadah adalah tujuan hidup kita.

Al-Ubudiyyah atau ibadah secara bahasa berasal dari kata yang bermakna “yang hina”. Sehingga di dalamnya terkandung makna menghinakan diri atau merendahkan diri.

Beberapa perkataan para ulama mengenai definisi ibadah :

➕Ibnu Jabir Rahimahullah : "Makna ibadah adalah tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan ketaatan dan merendah kepada-Nya dengan selalu bersandar hanya kepada Allah".

➕Al Qodi Abu Ya’la Rahimahullah : "Hakikat ibadah adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan hanya kepada Allah yang dilakukan di puncak penghambaan dan perendahan diri".

➕Ibnu Taimiyyah Rahimahullah : "Ibadah adalah penamaan yang kompleks (lengkap) yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala, apakah itu berupa ucapan atau amalan (perbuatan) yang dzohir maupun yang batin".

➕Ibnu Qoyyim Rahimahullah : ibadah itu mengumpulkan 2 dasar pokok yaitu :
1. Berada di atas puncak kecintaan dalam melakukan ibadah
2. Berada di atas puncak perendahan dan penghinaan diri

Ibadah terbagi menjadi 3 yaitu : ibadah hati, lisan dan anggota tubuh. Yang masing-masing terbagi lagi dalam 5 hukum, yaitu : wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Ubudiyyah kepada Allah terbagi menjadi 3, yaitu :

1. Ubudiyyah Ammah (Penghambaan Umum) : penghambaan yang berserikat di dalam semua mahluk. Allah ta’ala berfirman :

اِنْ كُلُّ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اِلَّآ اٰتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا ۗ

“Tiada siapapun yang dilangit dan dibumi kecuali ia akan datang kepada Allah menghadap sebagai hamba Allah (sebagai mahluk ciptaan Allah)". (QS. Maryam/19 : 93)

2. Ubudiyyah Khassah (Penghambaan Khusus) : adalah penghambaan orang mukmin.

Allah ta’ala berfirman :

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا  

"Adapun hamba-hamba Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih)  itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati (penghambaan kepada-Nya) dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,” (QS. Al Furqaan/25 : 63)

3. Ubudiyyah Khassahtul khassah (Khusus dari yang khusus) yaitu adalah penghambaan dari para nabi dan Rosul.

Ibadah adalah hal yang sangat pokok dan penting dalam kehidupan seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan kecuali dibawah teduhan peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’la. Kesempurnaan dalam penghambaan dan ketinggian derajat ditentukan dari kesempurnaan ibadahnya.

Ibnu Taymiyyah Rahimahullah : "Kesempurnaan mahluk adalah di dalam mewujudkan penghambaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala setiap hamba ini bertambah penghambaannya maka akan bertambah tinggi derajatnya". [8]
[8] https://juwitapurnamasari.wordpress.com/2014/12/03/catatan-kajian-ustadz-dzulqarnain-kitab-tauhid- 4/

Unsur terpenting yang harus ada pada satu amalan, sehingga amalan tersebut bisa disebut sebagai ibadah maka para ulama memiliki definisi tersendiri, diantaranya syeikhul islam ibnu taimiyah sendiri dalam kitabnya Al-Ubudiyyah beliau mengatakan bahwa unsur utama yang paling fundamental dalam ibadah yaitu, kesempurnaan cinta kepada Dzat yang disembah atau di ibadahi dan kesempurnaan ketundukan dan kehinaan kepada Dzat yang diibadahi. Harus memenuhi dua unsur ini barulah sesuatu itu bisa disebut sebagai ibadah, disamping dia dicintai dan diridhoi oleh Allah taála.

Kemudian apa hikmah ibadah ? kenapa kita harus melaksanakan perintah Allah taála? kenapa harus meninggalkan larangan Allah taála ?

Banyak manusia yang tidak tertarik dengan ibadah karena dia tidak tau apa hikmahnya ibadah, maka kita sebagai seorang muslim perlu memahami hikmah ibadah.

Jika ada manusia yang kita ajak untuk beribadah namun ia tidak tahu hikmahnya maka biasanya seseorang itu cepat merasa futur. Kenapa? Karena dia tidak mengetahui hikmah dan hanya sekedar ikut-ikutan. Orang yang sekedar ikut-ikutan dia akan mudah merasa lelah.

Melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya itu dibangun diatas keimanan kita kepada Allah, bukan hanya sekedar kita melaksanakan perintah, tapi apa yang mendorong kita untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, karena keimanan kita kepada Allah inilah yang akan membantu kita menguatkan keimanan kita kepada Allah.

Dan ibadah akan senantiasa membuat kita ingat kepada Allah, agar selalu muncul dalam diri kita akan keagungan Allah maka Allah mensyariatkan ibadah, itulah tujuan ibadah agar kita selalu ingat kepada Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran yang amat berharga. Beliau menyatakan bahwa setiap ibadah pasti ada hikmahnya, entah itu kita tahu atau pun tidak. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Setiap yang Allah perintahkan pasti ada hikmahnya, begitu pula yang Allah larang. Demikianlah yang diyakini oleh madzhab para fuqoha kaum muslimin, para imam dan kaum muslimin di berbagai penjuru negeri. Artinya di sini, tidak mungkin ada satu ibadah yang tidak ada hikmah di balik ibadah tersebut.

Semacam ibadah melempar jumrah, sa’i antara Shofa dan Marwah, perbuatan ini sendiri punya maksud untuk berdzikir pada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

xxx

“Sesungguhnya sa’i antara Shofa dan Marwah dan melempar jumrah, tujuannya adalah untuk berdzikir pada Allah.” Maka tidak tepat kita katakan tidak ada hikmah di balik ibadah mulia semacam itu.

Adapun melakukan hal yang diperintahkan dalam syari’at, lalu dikatakan tidak ada maslahat, tidak manfaat dan tidak ada hikmah kecuali sekedar melakukan ketaatan, artinya orang beriman hanya melakukannya saja, maka aku tidak tahu ada ibadah semacam ini. [9]
[9] https://rumaysho.com/1532-dalam-perintah-allah-pasti-ada-hikmah.html

Kemudian, hikmah ibadah yang lainnya adalah ibadah dalam islam itu seperti kebutuhan seseorang akan makanan, sebagaimana jasad yang membutuhkan makanan dan minuman. Ibadah juga merupakan satu jalan memerdekakan diri dari peribadahan selain kepada Allah, memberikan keyakinan bahwasanya hanya Allahlah satu-satunya tempat bergantung. Dan ibadah jugalah yang menjadi pemisah antara islam dan kafir, dan antara manusia dengan mahluk-mahluk Allah yang lain.

2.3 Ahsanul Amal

Ahsanul amal berasal dari Bahasa arab. Secara Bahasa, ahsanul amal terdiri dari dua kata Ahsanul dan amal. Ahsanul berasal dari kata hasana-yuhsinu-ihsana yang artinya baik/kebaikan. Kemudian di ambil dari wazan af’alu yang menunjukkan pengagungan,maka menjadi ahsana yang artinya sebaik-baik atau yang paling baik.

Sedangkan ‘amal dari kata ‘amila-ya’malu artinya amal/perbuatan. Jadi kalimat ahsanul amal mempunyai makna sebaik-baiknya amal atau perbuatan yang paling baik.

Secara istilah, Ahsanul amal yakni sebaik-baik amal/perbuatan yang manusia lakukan dengan niat semata-mata hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kemudian dalam penjelasan berikutnya perlu kami jelaskan bahwa definisi amal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah apa yang biasa disebut dalam syariat Islam yaitu Ibadah, dan agar ibadah tersebut masuk ke dalam kategori ahsanul amal atau mendapatkan ridho dan kecintaan dari Allah subhanahu wa ta’ala maka kita perlu tahu definisinya, apa syarat-syaratnya dan bagaimana cara menerapkannya.

Syaikhul Islam menjelaskan definisi ibadah : Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan, atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. (Risalah al Ubudiyah, hlm. 2).

Berdasarkan pengertian ini, bentuk ibadah hanya ada 2:
1. Melaksanakan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
2. Meninggalkan larangan, baik yang sifatnya haram atau makruh.

Jika seseorang melakukan ini dalam rangka untuk mendapatkan ridha dari Allah, maka dia sedang beribadah.

Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat :
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam .

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Dan manusia hanya bisa mengetahui apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang dibenci Allah, ketika ada penjelasan dari Allah. Karena itulah, setiap bentuk ibadah harus berdasarkan panduan wahyu.

Allah taála berfirman,

اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ 

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf/7: 3).

Sehingga ibadah tidak bisa dilakukan dengan cara berinovasi atau ngarang sendiri, dengan keyakinan bahwa Allah mencintainya. Padahal Allah tidak pernah menurunkan dalil tentangnya.

Oleh karena itu pembahasan tentang ahsanul amal telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alayhi wa sallam. Berikut adalah pembahasannya :

Dalil dari Al - Quran

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi :

 ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

“Dialah (Tuhan) yang menjadikan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Mahaperkasa, lagi Maha Pengampun.”

Berkenaan dengan ayat di atas, Tafsir Ibn Katsir menafsirkan kata ‘amalan sebagai amalan yang baik (ahsan) ialah sebaik-baik amal dan bukan sebanyak amal. Artinya, amal yang berkualitas lebih diutamakan ketimbang kuantitas atau banyaknya amalan.

Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya menjelaskan makna penggalan ayat liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan adalah yang paling banyak mengingat kematian, paling baik persiapannya, dan paling takut serta waspada terhadapnya. Lalu Imam al-Qurthuby menambahkan pendapat Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu’alayhi wa sallam. ketika membaca ayat pertama surah al-Mulk sampai pada redaksi liyabluwakum, lantas bersabda: “Yang paling menjaga diri dari perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan yang paling bersegera dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala”

Sedangkan Imam al-Tustari dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim memaknai redaksi liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan sebagai amal yang terjaga dari hal-hal yang sifatnya syubhat (tidak jelas) apalagi haram dan amal yang ikhlas.

Selanjutnya al-Alusi dalam Kitab Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa al-Sab’i al-Matsani, memaparkan kata liyabluwakum bermakna bahwa Allah akan melakukan sesuatu untuk menguji kalian sehingga ia tercapai tujuan untuk mengetahui ayyukum ahsanu ‘amalan. Makna ‘amalan di sini ialah perkara yang mencakup amal hati dan anggota badan.

Beberapa tafsiran mengenai kalimat “siapakah yang lebih baik amalnya”:

1. Siapakah yang paling baik amalannya di antara kita dan nanti masing-masing di antara kita akan dibalas.

2. Siapakah yang paling banyak mengingat kematian dan paling takut dengannya.

3. Siapakah yang paling gesit dalam melakukan ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati) dari perkara yang haram. [11]
 [11] Idem

4. Siapakah yang paling ikhlas dan paling benar amalannya. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.

5. Siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi kesenangan dunia. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri. [11]
[11] Ma’alimut Tanzil, 8/176

Dalil dari hadits

xxx

Dari Abu Amr asy-Syaibâni –namanya Sa’d bin Iyâs- berkata, “Pemilik rumah ini telah menceritakan kepadaku –sambil menunjuk rumah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan tangannya, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku (Abdullah bin Mas’ud) mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbakti kepada dua orang tua.” Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allâh.” Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Itu semua telah diceritakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, sekiranya aku menambah (pertanyaanku), pasti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menambah (jawaban Beliau) kepadaku.”

Dalam hadits ini,
xxx

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhuma bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(Amalan) Islam apa yang paling baik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau memberi makan, mengucapkan salam kepada yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.”

3. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang disinggung sebelumnya, iman kepada Allâh Azza wa Jalla lebih didahulukan, lalu jihad, kemudian haji mabrur. [12]
[12] Al-Bukhâri dalam al-‘Itqu, Muslim dalam al-Îmân Billâh Ta’ala Afdhalul A’mâl.

4. Sedangkan dalam hadits Abu Dzarr Radhiyallahu anhu iman dan Jihad dikedepankan [13]
[13] Al-Bukhâri al-Îmân bab Ith’âm ath-Tha’âm Minal Islâm no 12.

5. Dalam hadits Abu Musa dan Abdullah bin Amr : “(Amalan) Islam apa yang paling baik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(amalan) di mana orang-orang Muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya.” [14]
[14] Al-Bukhâri al-Îmân bab Ayyul Islâm Afdhal no 11.

6. Dan telah shahih dari hadits Utsman Radhiyallahu’anhu :
xxx

"Yang paling baik di antara kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya". [15]
[15] Al-Bukhâri dalam Fadhâ’il al-QURÂN bab Khairukum Man Ta’allamal Qurân, Abu Daud 1452, At- Turmudzi 2909.

7. Pertanyaan Masruq kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menjawab yaitu yang dilakukan secara terus-menerus.

Ini adalah amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana sabda Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam:
xxx

“Dan ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus- menerus walaupun sedikit.” (HR. Muslim 2818)

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Memahami dan memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah melalui mahluk-mahluknya akan membuat kita semakin mengagungi kebesaran dan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Mengenal Allah melalui mahluk-mahluknya merupakan salah satu cara yang dapat mendukung kita agar senantiasa ta’at kepada-Nya dan melakukan amalan kebaikan.

Hikmah ibadah kepada Allah adalah agar kita selalu mengingatnya dalam segala kondisi, menyadari bahwa manusia adalah hamba Allah yang faqir dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah dalam setiap kegiatan dan dalam setiap aktifitas kehidupannya. Segala aktifitas kehidupan bisa disebut dengan ibadah apabila setiap aktifitas yang kita lakukan itu mendatangkan ridho dan cinta dari Allah.

Adapun yang tampak kuat mengenai urutan amalan-amalan tersebut adalah –wallâhu a’lam– bahwa iman merupakan amalan yang paling utama, kemudian shalat, mengingat ia adalah indikasi terbesar dari suatu keimanan; kemudian puasa, lalu haji, setelah itu jihad, dan kemudian zakat. Menurut qiyâs (analogi), seharusnya jihad berada setelah Iman. Karena jihad adalah wasîlah menuju diproklamirkannya Iman. Dan memang jihad telah datang dalam riwayat di mana disebutkan bersamaan dalam urutan Iman; yaitu: “Iman kepada Allâh dan jihad di jalan-Nya.” Sedangkan bakti (kepada orang tua) didahulukan atas jihad dalam hadits yang kita bahas di atas, untuk menunjukkan betapa agung kedudukannya.

Al-Qarâfi menegaskan bahwa haji lebih utama daripada jihad. Karena haji menjadi tuntutan semua individu mukallaf (yaitu bagi yang mampu); berbeda dengan jihad yang menjadi tuntutan sebagian mukallaf saja. Juga karena maslahat jihad tidak berulang- ulang, berbeda dengan kemaslahatan haji.Dan agar sebuah amalan atau ibadah yang dilakukan masuk kedalam kategori ahsanul amal maka amal ibadah tersebut harus diniatkan ikhlas karena Allah dan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Daftar Pustaka

▪️ Al Qur’an dan terjemahnya, terbitan DEPAG
▪️ Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir
▪️ Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin
▪️ Syarah Al-Ushul Ats-Tsalasah, Syaikh DR. Shalih al-Fauzan
▪️ https://muslim.or.id/47867-dua-hikmah-penciptaan-manusia.html
▪️ https://rumaysho.com/342-untuk-apa-kita-diciptakan-di-dunia-ini.html
▪️ https://juwitapurnamasari.wordpress.com/2014/12/03/catatan-kajian-ustadz-dzulqarnain-kitab-tauhid-4/
▪️ https://rumaysho.com/1532-dalam-perintah-allah-pasti-ada-hikmah.html
▪️ https://bincangsyariah.com/khazanah/tafsir-surah-al-mulk-ayat-2-pentingnya-menjaga-kualitas/
▪️ https://almanhaj.or.id/9604-amalan-yang-paling-dicintai-allah.html
▪️ https://www.radiorodja.com/47895-amalan-yang-dicintai-allah-adalah-yang-dilakukan-terus-menerus-walupun-sedikit/
▪️ Sumber https://rumaysho.com/636-faedah-surat-al-mulk-allah-menguji-manusia-siapakah-yang-baik-amalnya.html
▪️ https://konsultasisyariah.com/30399-apa-itu-ibadah.html

1 komentar:

  1. اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ
    "Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?" (QS : Al-Qiyamah : 36)

    BalasHapus