Sabtu, 02 April 2022

Adab Berfatwa Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlaq
Dosen Pengampu : Ustadz Abu Fuhairah az-Zahid, Mpd
Disusun Oleh Kelompok 2 Angkatan 5 :
1. Nanda Nur Azizah
2. Aisyah
3. Nurul Izzah
4. Razali
5. Binty Sholikhah
6. Nurfahira Sahman

KATA PENGANTAR

انَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ

Segala puji hanya milik Allah semata Rabb alam semesta yang sudah melimpahkan rahmat serta taufik-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah akhlak dengan baik serta tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alihi wasallam, kepada para kerabatnya, serta para sahabatnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa kebutuhan masyarakat terhadap fatwa dari para ulama selalu meningkat dari zaman ke zaman.

Adapun makalah ini tentang “Adab berfatwa” telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan rekan-rekan kelompok 3, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada rekan-rekan sekalian yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Salakan, 24 Maret 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul 
Kata Pengantar 
Daftar Isi 
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 
B. Rumusan Masalah 
C. Tujuan Penulis 
D. Metodologi Penelitian 
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Fatwa secara etimologi dan terminologi 
B. Hukum Berfatwa 
C. Urgensi fatwa 
D. Kriteria pemberi fatwa 
E. Adab-adab berfatwa 
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik & Saran 
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Urgensi akhlak mempunyai peran yang tinggi dalam pembentukan karakter hidup seseorang dalam beriman, semakin baik akhlak seseorang maka akan semakin sempurna imannya. Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Setiap zaman selalu melahirkan masalah. Namun islam mampu untuk menyesuaikan diri pada segala zaman dan tempat. Allah menjadikan kemampuan manusia itu beragam, ada yang ahli di bidang fikih, hadits, tafsir dan bidang ilmu lainnya. Dalam keragaman inilah manusia saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam keragaman ini pula kemampuan manusia dalam memahami hukum Allah Ta’ala pun bertingkat. Di sinilah mereka saling membutuhkan untuk memecahkan masalah masing-masing kepada yang lebih ahli.

Pada titik puncaknya respon dari para ulama dianggap sangat penting dalam menemukan jalan keluar atas masalah-masalah kontraversial yang terjadi. Di mana masalah-masalah tersebut tidak ada dasar yang jelas di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Sehingga menuntut para ulama untuk menemukan dalil yang selaras dengan syari’at islam untuk menciptakan sebuah kemaslahatan.

Dalam perspektif sejarah sosial hukum islam, dikenal 4 macam produk pemikiran hukum islam yaitu kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, putusan-putusan pengadilan agama dan peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah kami paparkan diatas, maka kami merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:
1. Apa definisi fatwa secara etimologi dan terminologi?
2. Apa hukum berfatwa?
3. Apa saja urgensi fatwa?
4. Apa saja kriteria pemberi fatwa?
5. Bagaimana adab-adab dalam berfatwa?

C. Tujuan Penulis

Dari pemaparan rumusan masalah diatas maka kami menentukan tujuan pemakalahan ini sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi fatwa secara etimologi dan terminology
2. Mengetahui hukum berfatwa
3. Mengetahui apa saja urgensi fatwa.
4. Mengetahui apa saja kriteria pemberi fatwa.
5. Mengetahui bagaimana adab-adab dalam berfatwa.

D. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun makalah ini kami menggunakan metode kualitatif yaitu pengumpulan data, kami lakukan dengan literasi dari berbagai sumber baik buku-buku, maupun web dengan beberapa perubahan dalam penulisannya yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fatwa

Kata ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta’an, adapun kata futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya.

Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu memberikan penjelasan kepada orang lain. Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatau hal.

Usamah 'Umar Al-Asyqar ( Beliau saudara kandung Syaikh Sulaiman Al-Asyqar dan juga ulama Ushul Fiqh murid Syaikh Bin Baz dalam bidang Aqidah, dan murid Syaikh As Syinqithi dalam Ushul Fiqhi ) menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada orang lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang meminta fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah ketika menceritakan tentang kerajaan Ratu Saba' ketika menerima surat dari Raja Sulaiman ‘alaihissalam.

Firman Allah :

قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ) ٣٢(

"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)". (QS. An-Naml [27]: 32)

Dalam ayat diatas kata aftuni bukan bermakna memberikan penjelasan terhadap apa yang ditanyakan Oleh Balqis, tetapi bermakna permintaan nasehat dan pertimbangan atas suatu perkara yang besar.

Adapun pengertian Ifta' atau fatwa secara terminologi adalah: memberikan keterangan hukum Allah subhanahu wata’ala berdasarkan dalil syar’i.

Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Ifta' adalah mengeluarkan keterangan hukum Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur'an dan As-Sunnah), maka memberikan fatwa yang tanpa didasari dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'.

Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa (iftaa), dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses penetapan fatwa yakni:

1. Al-Ifta atau al-futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.

3. Mufti, artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.

4. Mustafti fih, artinya masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya.

5. Fatwa, artinya jawaban hukum atas masalah peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan.

B. Hukum Berfatwa

Keberadaan fatwa sangatlah penting bagi orang awam dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk mengeluarkan fatwa tidak boleh menolak apabila dimintai fatwa. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan hukum berfatwa yaitu:

1) Berfatwa hukumnya fardhu kifayah dimana jika ada orang atau pihak yang menanyakan suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa menjawabnya.

2) Jika suatu fatwa itu sudah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa harus memberitahukan orang yang meminta fatwa, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan terdahulu adalah tidak sesuai.

3) Haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti meminta fatwa kepadanya.

4) Seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.

5) Seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk kepentingan dirinya.

6) Bagi mufti yang menetapkan fatwa tentang suatu hukum masalah kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka mufti boleh menyamakan dengan yang pertama dengan syarat masih ingat dalil-dalil dan penjelasannya.

7) Jika mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk pada pendapat ulama madzhab tertentu, maka harus didasarkan pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fiqih yang diakui.

8) Ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa

Jadi, hukum berfatwa ialah fardhu kifayah manakala ada permohonan fatwa. Sedangkan bagi seorang mufti tidak berhak mengeluarkan fatwa dengan terlalu mudah dan jika tujuannya hanya untuk mencari penghasilan pribadi. Seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus memiliki kestabilan psikis dan fisik sehingga fatwa yang dikeluarkan harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh mustafti.

C. Urgensi Fatwa

Sebagaimana pembahasan terdahulu bahwa fatwa mempunyai peran penting dalam menyampaikan hukum Allah di muka bumi-Nya, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ia adalah al-Muwaqqi' anillah (orang yang memegang stempel dari Allah).

Seorang mufti mempunyai tanggung jawab yang sangat besar di hadapan Alllah pada hari kiamat, oleh karena itu Allah memberikan ancaman neraka bagi orang yang sembarangan mengeluarkan fatwa.

Firman Allah:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (٣٦)

Maknanya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Q.S. al Isra’: 36)

Ayat tersebut dijadikan salah satu dalil oleh para ulama atas diharamkannya berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu. Bahkan para ulama mengategorikannya sebagai salah satu dosa besar. Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

(مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (رَوَاهُ ابْنُ عَسَاكِر

Maknanya: “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu ‘Asakir).

Pada zaman kita sekarang ini, para ulama' merebutkan kursi fatwa, hal tersebut tentu bukan dilatarbelakangi oleh agama, tetapi politik dan kepentingan, seperti Ashabiyyah (fanatisme) untuk membela golonganya, masalah ekonomi dan sosial.

Hal inilah yang menimbulkan fitnah besar dalam agama ini, maka dari pada itu fatwa mempunyai dampak posistif dan negatif. Oleh Karena itu jika fatwa tersebut muncul dari pokok yang benar maka akan meninggalkan pengaruh positif bagi ummat manusia, terkhusus bagi Ummat Islam sendiri baik dalam skala regional maupun Internasional. Berikut adalah dampak positif dari fatwa yang muncul dari pokok yang benar:

1. Menghilangkan Kebodohan

Jika kita amati fatwa-fatwa Rasulullah kepada para sahabat, maka kita akanmenemukan sebuah kesimpulan bahwa tujuan dari pada fatwa tersebut adalah mengajarkan kepada sahabatnya jalan yang benar, berupa tauhid dan akidah, memperbaiki susunan masyarakat yang hancur akhlaknya, mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan kepada cahaya ilmu dan agama yang dibawahnya. Bangsa Arab yang dulunya tidak bisa baca tulis, berubah menjadi bangsa yang berperadaban tinggi. Oleh karena itu semestinya tujuan inilah yang harus diprioritaskan oleh seorang mufti, maka peran fatwa tidak hanya menjawab seputar pertanyaan hukum fiqh tetapi juga bisa berupa ta'lim membina ummat menjadi ummat yang berperadaban. Jika dalam sebuah negara atau daerah tidak ada mufti yang menjelaskan masalah agama kepada masyarakat, maka sulit bagi sebuah negara untuk menjadi negara yang berperadaban yang dilandasi iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wata’ala.

2. Membantu Orang Muslim dalam Mengetahui Kewajibannya Secara Benar

Adanya seorang mufti yang duduk di lembaga fatwa mempunyai peran penting dalam membantu umat islam dalam mengetahui kewajibanya menjadi muslim yang benar.

3. Menghidupkan Syi’ar dalam Beragama

Sebagaimana yang kita alami bersama bahwa kian lama manusia semakin jauh dari agamanya, mereka tidak mengetahui kewajibanya sebagai seorang muslim, maka dengan adanya seorang mufti atau lembaga fatwa akan membantu mereka dalam beragama dan juga sebagai syiar agama Islam.

4. Memudahkan Ummat Islam dalam Beragama

Dengan adanya seorang mufti atau lembaga fatwa, maka akan memudahkan ummat Islam dalam beragama, menjadi sandaran dan marji' umat dalam segala urusanya.

5. Menguatkan Hubungan Ummat dengan Ulama'nya

Adanya seorang mufti atau lembaga fatwa akan semakin menguatkan hubungan umat dengan ulama'nya, terutama pada saat sekarang ini, semakin lama, ummat semakin jauh dari ulama'nya. Maka diharapkan dengan adanya mufti dan majlis fatwa, dapat memberikan pengetahuan kepada mereka betapa sangat petingnya peran ulama' dalam menegakkan syariat Allah.

6. Mendidik dan Mengarahkan Ummat pada Kebenaran

Tidak hanya berfungsi untuk menyatukan umat dengan ulama'nya, fatwa juga berperan sebagai media untuk mendidik akhlak dan karakter umat. Yang dimulai dari pemahaman aqidah yang benar, hukum fiqh, baik ibadat maupun mu'amalat.

D. Kriteria Pemberi Fatwa

Banyak bekal yang harus dimiliki untuk menjadi mufti. Berikut persyaratan menjadi mufti berdasarkan jumhur para ulama. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat umum, syarat pokok, syarat pelengkap, dan syarat tambahan.

Syarat umum yakni ; baligh, muslim, sehat pikiran, dan cerdas.

Syarat pokok yakni;

1. Harus seorang Mujtahid.

2. Harus memiliki niat baik agar perkataannya menjadi cahaya, diterima orang yang bertanya dan perkataannya dibenarkan oleh perbuatannya, tidak saling bertolak belakang antara perkataan dan perbuatan.

3. Menguasai kandungan Alquran beserta ilmu-ilmunya yang mencakup ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasakh-mansukh, takwil-tanzil, makiyah–madaniyah, dan sebagainya. Selain itu juga hafal dan menguasai berbagai hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seluk-beluk asbabul wurud, periwayatan, ilmu mustalah, dan sebagainya.

4. Seorang mufti juga harus mahir berbahasa Arab berikut dengan kaidah-kaidah dan pengetahuan tentang literatur bahasa. Seperti ilmu nahwu-sharaf, balaghah, mantiq, bayan, ma'ani, adab, fiqhul lughah, dan sebagainya.

5. Selanjutnya, mufti harus memahami dan menguasai ilmu ushul fiqh beserta qawaid fiqhiyyahnya.

Sedangkan syarat-syarat pelengkap yakni; berwawasan luas, mengetahui seluk-beluk khilafiyah, serta punya kompetensi untuk berijtihad dalam masalah yang belum ada pemecahannya dari segi hukum.

Karena fatwa merupakan produk dari sebuah ijtihad yang didefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menggunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari kitabullah dan hadits Rasul.

Para ulama lainnya juga memberikan syarat-syarat tambahan yang juga perlu diperhatikan seorang mufti. Misalkan, seorang mufti dalam memberi fatwa harus berniat semata-mata mencari keridhaan Allah subhanau wata’ala dan jauh dari tujuan kepentingan duniawi seperti pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Seorang mufti juga harus menjaga wibawa, sabar, dan tidak menyombongkan diri.

E. Adab-adab berfatwa

Imam Nawawi menulis kitab khusus yang membahas tentang tema adab berfatwa dan diberi judul Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti (Etika Fatwa, Pemberi Fatwa, dan Peminta Fatwa). Berikut adalah beberapa ringkasan dari adab mufti ketika memberikan fatwa :

1. Mufti wajib menjelaskan jawaban sampai tidak ada isykal (kesamaran). Ia juga boleh mencukupkan menjawab di mulut saja, dan meminta bantuan penerjemah yang dapat dipercaya jika bahasanya tidak dipahami oleh mustafti. Jika pertanyaannya banyak, maka mufti hendaknya menjawab sesuai dengan urutan soal. Namun, apabila tidak urut juga tidak masalah. Jika soalnya tafshil (rinci), maka tidak boleh menjawab dengan jawaban mutlak.

2. Mufti tidak boleh menulis sesuai dengan apa yang diketahuinya saja, jika kasus mempunyai celah atau model lain. Maka, mufti bisa berkata, “jika kasusnya begini, maka begini.”

3. Jika mustafti sulit untuk memahami, maka mufti harus bersikap ramah, bersabar untuk memahami persoalannya dan memahamkan jawaban. Sungguh demikian merupakan pahala yang besar bagi mufti.

4. Hendaknya mufti merenungkan pertanyaan dengan perenungan yang dalam, lebih-lebih pada akhir pertanyaan. Karena kunci pertanyaan ada pada akhirnya. Apabila ditemukan kata yang samar, maka mufti hendak bertanya pada mustafti lalu memberikan titik dan mengharakati. Apabila ditemukan pengucapan yang salah yang bisa mengubah makna, maka mufti harus membenarkannya.

5. Dianjurkan membacakannya kepada seluruh hadirin yang ahli, lalu bermusyawarah dan membahasnya dengan tenang dan moderat, sekalipun mereka levelnya ada di bawah mufti (yaitu murid-muridnya). Hal ini merupakan kebiasaan orang salaf. Selain itu, juga bisa membantu menemukan jawaban atas masalah yang belum jelas. Kecuali, jika masalah tersebut tidak baik untuk diumumkan, membuat yang bertanya menjadi malu, atau menyebabkan mafsadah jika dipublikasi.

6. Mufti menulis dengan tulisan yang jelas dan normal, tidak ada yang terlalu tipis, tidak ada yang terlalu tebal. Mufti juga menulis dengan renggang baris yang sama. Kalimat yang ditulisnya harus jelas, benar susunannya, dan memahamkan khalayak ramai.

Dan sebagian ulama menganjurkan untuk tidak mengganti pulpen atau model tulisan karena menghindari pemalsuan. Saat menulis jawaban, mufti membacanya lagi, barangkali ada celah di dalamnya.

7. Cara memulai fatwa dan mengakhirinya

Diceritakan bahwa Makhul dan Malik rahimahumallah tidak akan memberi fatwa sampai mereka mengucapkan laa haula walaa quwwata illaa billaah. Disunnahkan membaca ta’awudz, basmalah, hamdalah, juga shalawat. Selain mengucapkannya, juga menuliskannya. Dan di akhir tulisan, diakhiri dengan ‘wabillahit taufiq’, ‘wallahu a’alam’, atau ‘wallahul muwaffiq’. Boleh juga menggunakan kalimat ‘menurut saya’, ‘pendapat saya adalah’, dll.

8. Hendaknya mufti meringkas (menyimpulkan) jawabannya supaya dapat dipahami semua orang. Hukum yang sedang dibahas itu boleh atau tidak, halal atau haram.

9. Apabila ada orang yang berkata, “aku lebih benar daripada Muhammad bin Abdullah” atau “sholat itu permainan”, maka jangan buru-buru memvonis orang itu halal darahnya atau wajib dibunuh. Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa itu benar-benar perkataannya, dengan ikrar atau bukti. Jika memang benar, maka diserahkan kepada sulthon (yang berwenang) untuk diproses sesuai ketentuan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan pemaparan dari pandangan ulama tentang adab berfatwa, bahwa dalam berfatwa seorang pemberi fatwa harus memenuhi persyaratan sebagai mufti, yakni Muslim, seorang Mujtahid, baligh, sehat pikiran, cerdas, menguasai kandungan Al Qur’an beserta ilmu-ilmunya, mahir berbahasa Arab sesuai dengan kaidah-kaidahnya, serta memahami dan juga menguasai ilmu ushul fiqh beserta qawaid fiqhiyyahnya. Begitu pula seorang pemberi fatwa juga harus mengetahui adab-adab yang harus diperhatikan ketika memberikan fatwa, diantaranya seorang mufti harus memiliki niat yang baik, seorang mufti wajib menjelaskan jawaban sampai tidak ada nya isykal ( kesamaran ), seorang mufti harus bersikap ramah dan bersabar ketika mustafti sulit untuk memahami, serta hendaknya mufti merenungkan pertanyaan dengan perenungan yang dalam. Maka dari itu hasil fatwa adalah kebenaran dan tidak menjerumuskan kepada kesalahan dalam beragama yang diamalkan umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Problematika fatwa yang muncul ke permukaan diantaranya Mujtahid dan Muqolidnya. Serta melihat perkembangan hukum Islam dari masa ke masa senantiasa berkelanjutan sampai era sekarang, dimana hukum islam senantiasa menjadi hukum yang dinamis tanpa meninggalkan sumber utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun banyak perbedaan dalam berijtihad.

B. Kritik dan Saran.

1. Kriteria pemberi fatwa hendaknya berdasarkan ilmu dan realita yang ada, dan sesuai dengan permasalahan yang ada.

2. Seorang yang meminta fatwa hendaknya memberikan informasi sesuai dengan realita yang ada.

3. Bagi umat islam untuk mengamalkan fatwa tentang kebenaran dan berhati-hati dalam mengambil fatwa.

DAFTAR PUSTAKA

▪️ Al-Qur’an dan as-Sunnah.

▪️ Nur Rohmad, 2020 “Larangan Bicara Agama Tanpa Ilmu” https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-larangan-bicara-agama-tanpa-dasar-ilmu-hOz9W, diakses 24 Maret pukul 23.10

▪️ Karya Utsaimin, “Kitab Ushul Min Ilmi Ushul” diakses 28 Maret 2022 pukul 19.18

▪️ Hafidz Muftisany, 2016 “Siapakah yang boleh memberi fatwa” https://www.republika.co.id/berita/o0m8gd18/siapakah-yang-boleh-memberi-fatwa
( 8 Januari 2016 ), diakses pada 24 Maret pukul 23.15

▪️ Hilmi Abedillah, 2018 “Adab Berfatwa Menurut Imam Nawawi” https://tebuireng.online/adab-berfatwa-menurut-imam-nawawi,diakses pada 24 Maret 2022 pukul 23.27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar