Sabtu, 26 Maret 2022

Adab Muta’addib (Murid) Dalam Perspektif Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlaq
Dosen Pengampu : Ustadz Abu Fuhairah az-Zahid, Mpd
Disusun Oleh Kelompok 2 Angkatan 5 :
1. Alif Hafizh
2. Alif Muyyasar
3. Kahfi
4. Miqdad Abdurrahman
5. Nida Labibah
6. Siti Fauzia

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin atas izin dan pertolongan-Nya, Kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Adab Muta’addib (Murid) Dalam Perspektif Pendidikan Islam, sebagai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan akhlaq.

Sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya sampai hari kiamat kelak.

Makalah ini sedikit banyaknya akan membahas tentang adab muta’addib (murid) dalam perspektif pendidikan islam.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya Kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar Kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Adab Muta’addib (Murid) Dalam Perspektif Pendidikan Islam ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Bekasi, 24 Maret 2022
Penyusun


DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Ruang Lingkup
C. Rumusan Masalah
D. Manfaat Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Adab Muta'addib (Murid) Dalam Prespektif Pendidikan Islam Beserta Dalil Yang Memerintahkannya
B. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Dirinya Sendiri
C. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Gurunya
D. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Pelajarannya
E. Adab Sesama Muta'addib
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik dan Saran
Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Bahkan menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama. Karena tidak akan di terima ibadah seseorang kecuali apabila ia mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Semua itu tidak dapat direalisasikan kecuali dengan ilmu. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. [1]
[1] HR. Ibnu Majah: 224

Ilmu adalah kunci segala kebaikan. Orang yang berilmu akan dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” [2]
[2] HR. Bukhari: 71 dan Muslim: 1037

Diantara faktor pendorong agar seorang muslim semangat mempelajari ilmu adalah dengan mengetahui keutamaan ilmu tersebut. Semakin banyak keutamaan yang akan ia dapatkan, maka semakin besar pula semangat untuk mempelajarinya. Diantara keutamaan menuntut ilmu adalah Allah akan menyiapkan pahala yang besar yaitu surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” [3]
[3] HR. Muslim: 7028

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan kepada kita bahwa para ulama memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah ta’ala yang tidak diraih oleh seorang pun selain mereka. Yaitu bahwa mereka adalah pewaris para Nabi dalam membawa agama dan menyebarkannya di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ


“Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar”. [4]
[4] HR. Abu Dawud: 3641

Karena kedudukan dan pahala yang besar bagi para penuntut ilmu, sampai-sampai segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi memintakan ampun untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صاحب العلم يستغفر له كل شيء حىت احلوت يف البحر

“Segala sesuatu memintakan ampun bagi ahlul ilmi, sampai-sampai ikan di lautan.” [5]
[5] HR. Abu Ya’la. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir no. 7201

Sangat banyak keuntungan dan kumuliaan ilmu yang tidak mungkin bisa dijelaskan dalam makalah yang ringkas ini. Oleh karena ilmu itu sesuatu yang mulia tentu ia tidak bisa digapai kecuali dengan cara yang mulia. Itulah yang disebut oleh para ulama sebagai adab dalam menuntut ilmu. Makalah ini akan memuat beberapa adab murid dalam menuntut ilmu perspektif islam.

B. Ruang Lingkup

Dapat dimaklumi bersama, tentunya makalh ini tidak akan memuat seluruh pembahasan mengenai adab murid dalam menuntut ilmu. Oleh karenanya penulis membatasi beberapa poin saja yang akan di paparkan pada makalah ringkas ini :

1. Pengertian Adab Muta'addib (Murid) Dalam Prespektif Pendidikan Islam Beserta Dalil Yang Memerintahkannya.
2. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Dirinya Sendiri.
3. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Gurunya.
4. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Pelajarannya.
5. Adab Sesama Muta'addib.

C. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Adab Muta'addib (Murid) Dalam Prespektif Pendidikan Islam?
2. Bagaimana Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Dirinya Sendiri?
3. Bagaimana Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Gurunya?
4. Bagaimana Adab Sesama Muta'addib (Murid)?

D. Manfaat Penelitian

1. Mengetahui Pengertian Adab Muta'addib (Murid) Dalam Prespektif Pendidikan Islam
2. Mengetahui Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Dirinya Sendiri
3. Mengetahui Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Gurunya
4. Mengetahui Adab Sesama Muta'addib (Murid)


BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Adab Muta'addib (Murid) Dalam Prespektif Pendidikan Islam Beserta Dalil Yang Memerintahkannya

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi dengan tepat dan benar.

Perhatian Agama Islam terhadap bidang Pendidikan sangatlah serius, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al-Qur’an tentang Pendidikan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang meninggikan derajat orang-orang yang berilmu beberapa derajat dibandingkan yang lain:

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Q.S. Al Mujadalah:11)

Adab merupakan inti pendidikan dan proses pendidikan karena adab merupakan salah satu tujuan Pendidikan, yakni menanamkan kebaikan pada diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. [6]
[6] (Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidkan Islam, Penerjemah : Haidar Baqir, (Bandung : Mizan 1992) Hal. 52-54)

Banyak terjadi dalam proses pendidikan, adab guru dan murid yang tidak sinkron atau tidak sesuai dengan nilai pendidikan Islam, seperti seorang guru yang mengajarkan muridnya untuk sholat berjamaah namun gurunya sendiri tidak sholat berjamaah, guru yang terburu-buru untuk berpindah materi sementara murid belum memahami, guru yang berbicara kasar, serta adab-adab lain yang kurang sesuai dengan kode etik seorang guru. Sebagaimana halnya adab seorang murid yang semakin merosot seperti tidak patuh terhadap guru, membolos, merendahkan guru, menghina teman-teman belajarnya, perkelahian, murid yang berbohong kepada guru, mencontek saat ujian serta masih banyak adab murid yang perlu pembenahan dan perbaikan.

Sebagaimana halnya adab guru, adab seorang Muta’addib (Murid) menjadi salah satu kajian para tokoh muslim terdahulu.

Adab Muta’addib (Murid) sangatlah penting di dalam dunia pendidikan, karena salah satu tujuan pendidikan itu sendiri adalah agar peserta didik dapat berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Adab dalam pandangan Islam sangatlah berbeda dengan etika yang hanya menjadikan sebuah adat dan perilaku baik dalam pandangan akal manusia sebagai suatu tata nilai kehidupan dan menjadi tolah ukur dalam berperilaku. Namun adab dalam Islam merupakan aturan yang memiliki sumber dan panduan dari Allah dan Rasul-Nya sebagai pembawa risalah untuk umat manusia, yang mana perbaikan perilaku dan akhlak manusia merupakan salah satu misi yang diemban oleh Rasulullah dibumi ini.

Sebelum kita beranjak ke pembahasan tentang Adab Muta’addib (Murid), maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apa definisi dari Adab Muta’addib (Murid) dalam pandangan Islam beserta dalil tentang pentingnya adab.

a). Definisi Adab

Secara etimologi (Bahasa) kata adab dalam kamus Arab-Indonesia berasal dari kata adaba - ya’dubu yang bermakna beradab, sedangkan dalam bentuk mashdarnya adaban artinya sopan santun.

Dalam Bahasa Indonesia adab mempunyai makna budi pekerti yang baik, sopan dan santun serta akhlak.

Secara terminologi (istilah) para ahli dan ulama berbeda pendapat tentang pengertian adab, sebagaimana yang disebutkan oleh Rahmadi dalam bukunya “Guru dan Murid dalam perspektif Al-Mawardi dan Al-Gozali”, Toha Machsun dalam kitabnya “Pendidikan Adab Kunci Sukses Pendidikan” dan masih banyak lainnya yang mana pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya adab memiliki makna perilaku yang mempunyai nilai yang baik berdasarkan pemikiran dan perasaan serta peraturan yang disepakati masyarakat.

Kemudian adab peserta didik dalam pandangan Imam An-Nawawi yang beliau kemukakan didalam kitab beliau yang berjudul At-Tibyan Fi Aadaabi Hamalatil Qur’an bahwasanya peserta didik adalah seseorang yang sedang menempuh suatu proses pendidikan yang harus memperhatikan seluruh aspek kegiatan yang dilakukannya ketika dalam proses belajar, terutama memperhatikan dan menerapkan adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang peserta didik.

b). Dalil-dalil Tentang Pentingnya Adab

1. Cerita Nabi Musa ketika bertemu Khidir yang meminta izin terlebih dahulu untuk mempelajari ilmu darinya. Al-Quran surah Al-Kahfi : 66-70.

2. Para Pengajar Agama mulai dari yang mengajarkan iqra’ sampai para Ulama’ besar, mereka semua itu ada didalam pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta tidak mengerti hak Ulama". (H.R. Ahmad dan di Shahihkan Al-Albani dalam Kitab Al-Jami’)

3. Selain memiliki banyak keutamaan dalam menuntut ilmu, dalam islam juga diajarkan bagaimana adab seorang saat menuntut ilmu agar ilmu yang ia pelajari dapat membawa berkah bagi kehidupan, sebagaimana perkataan Imam Malik pada kaum Quraisy:

تعلم األدب قبل أن تتعلم العلم

"Pelajarilah adab sebelum mempelajari Ilmu”

Kenapa para ulama’ sampai mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al-Husain berkata : العلم تفهم باألدب “Karna dengan adab engkau akan memahami Ilmu”.

Senada juga dengan perkataan Syaikh Sholih Al-Ushoimi: “Dengan memperhatikan adab, maka akan mudah meraih ilmu, sedikit perhatian pada adab maka ilmu akan disia-siakan”.

Dan masih banyak lagi perkataan para ulama tentang mendahulukan adab sebelum mempelajari ilmu yang dapat kita jadikan sebagai dalil dan landasan tentang pentingnya adab.

4. Para salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya telah banyak memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru, apakah dari perkataan atau dari sikap.

▪️ Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu pernah berkata :

“كنا جلوسا في المسجد إذ خرج رسول هللا فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير ال يتكلم أحد منا”

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah yang kemudian duduk dihadapan kami, maka seakan-akan diatas kepala kami terdapat burung, tak seorangpun dari kami yang berbicara” (H.R. Bukhari)

▪️ Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, bahwa Umar Bin Khattab mengatakan :

تواضعوا لمن تعلمون فيه

“Tawadhu-lah kalian terhadap yang mengajarkan kalian”

▪️ Imam Malik berkata, “Aku berpamitan pada Ibuku untuk pergi mencari dan mencatat ilmu. Ibu berkata, “Kemarilah Nak, kenakanlah pakaian yang pantas bagi seorang penuntut ilmu.” Kemudian Ibu mengenakanku pakaian yang baik, juga memakaikan peci di kepalaku, dan memasangkan serban, lalu beliau berkata, “Nah, sekarang pergilah kepada gurumu Rabi’ah untuk menuntut ilmu. Tapi ingat Nak, belajarlah dahulu akhlak darinya sebelum kau menyerap ilmunya".

B. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Dirinya Sendiri

Bagi seorang penuntut ilmu, adab terhadap diri sendiri merupakan perkara yang hendaknya diprioritaskan. Karena terkumpul di dalamnya praktek-praktek yang akan memudahkan dalam penyerapan ilmu maupun penerapan Adab yang lainnya. Adab terhadap diri sendiri meliputi Tauhid, kesadaran, kedisiplinan dan praktek dalam proses menuntut ilmu syar’i. Berikut penjabarannya:

1. Ikhlash Kepada Allah ta’ala

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah:5)

Sesungguhnya menuntut ilmu termasuk ibadah yang sangat mulia, dan amal ibadah apapun yang dikerjakan apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka akan tertolak bahkan bisa menimbulkan petaka bagi orang tersebut. Maka adab bagi seorang penuntut ilmu yang pertama kali harus diperhatikan adalah keikhlasan.

Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan sangat mempengaruhi datangnya ilmu maupun keberkahan ilmu. Ilmu bagaikan benih yang unggul yang siap ditanamkan, bila benih tersebut ditanam di tanah yang tandus maka meskipun tumbuh, tidak akan sehat dan tidak pula subur. Akan tetapi, apabila benih ditanam di lahan yang subur maka tanaman akan tumbuh dengan baik. Lahan tersebut ialah hati, maka perlu hati seorang penuntut ilmu untuk terlebih dahulu dibersihkan dan dijauhkan dari hama-hama yang akan mengganggu ilmu, agar ilmu tersebut tertanam dan menjadi berkah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan mengikhlaskan niat hanya semata mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, mengharap keridhaan-Nya. Semakin Ikhlas niat seseorang dalam menuntut ilmu, akan semakin berkah ilmu yang dia dapatkan.

Adapun usaha lain bisa dengan mengutarakan niat yaitu menjadikan menuntut ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala, menghidupkan syari’at agama Islam. Jangan jadikan dunia sebagai tujuan dalam menuntut ilmu agama. Jangan jadikan menuntut ilmu agama agar mendapatkan hati seorang wanita, atau mendapatkan pekerjaan, atau disebut ‘alim atau semisalnya.

عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam ahli hadits)

Berikut diantara kiat-kiat agar bisa Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dalam menuntut ilmu:

1). Jadikanlah tujuan agar tidak menjadi bodoh.

Sesungguhnya setiap manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan bekal bagi manusia agar dia bisa gunakan untuk mencari ilmu dan kehidupan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An Nahl:78)

2) Jadikan tujuan agar dengan mengetahui ilmu kita bisa beribadah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar ibadah kita benar dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Karena banyak manusia yang hingga dia sudah tua, akan tetapi ibadah yang dikerjakannya tidak tahu apakah sudah sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum.

3) Jadikan tujuan menuntut ilmu untuk bertaqarrub kepada Allah ta’ala.

Apabila seorang mengerjakan suatu amal ibadah dengan niat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Sang Pencipta, maka segala macam kesulitan akan terasa ringan, perjalanan yang jauh terasa dekat, dan penderitaan akan terasa nikmat.

Mendekatkan diri kepada Allah akan menimbulkan rasa takut kepada-Nya. Dan sesungguhnya apabila seseorang telah memiliki rasa takut kepada Allah ta’ala maka dia telah merasakan hakikat ilmu yang sebenarnya.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan:

أَ ْص ُل اْلعِْلِم َخ ْشيَةُ للاِ تَ. َعا ََل

“Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah ta’ala.” [7]
[7] Hilyah Thalib al-‘Ilmi dalam al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah, Bakr Abu Zaid, hal. 144

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir:28)

4). Jadikan tujuan menuntut ilmu adalah agar mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah ta’ala.

Orang yang beriman dan memiliki ilmu berbeda dengan orang yang beriman saja. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujadalah:11)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa dalam firman Allah (يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ) mencakup pengangkatan derajat di dunia dan di akhirat. Sedangkan dalam firman-Nya (أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ) maksudnya Allah mengangkat derajat orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di dunia serta pahala di akhirat. Maka barangsiapa menggabungkan iman dan ilmu niscaya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan imannya dan mengangkat pula beberapa derajat dengan ilmunya. Dengan demikian semua pengangkatan derajat tersebut terkumpul dalam majelis ilmu. (Fathul Qadir 767). [8]
[8] https://muslim.or.id/29242-derajat-mulia-penuntut-ilmu-agama-2.html, dr. Adika Mianoki, Sp.S., 08-01- 2017

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al- Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2. Mengamalkan Ilmu

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al- Aslami. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: shahih)

Dari Jundub bin Abdullah al-Azadiy radliyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

xxx


“Perumpamaan seorang ‘alim (berilmu) yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia dan melupakan dirinya sendiri adalah laksana sebatang lilin yang menerangi orang lain namun ia membakar dirinya sendiri”. (HR al-Khathib al-Baghdadiy, al-Bazzar dan ath-Thabraniy dari Jundub bin Abdullah radliyallahu ‘anhu. Berkata Syaikh al-Albani: shahih)

Amal merupakan buah dari ilmu. Kalau ilmu tidak diamalkan maka ilmu tersebut akan merepotkan orang tersebut kelak di Akhirat. Makanya seorang penuntut ilmu hendaknya terlihat perubahan dan perbedaan dari matanya (bagaimana dia menjaga pandangannya), dari kekhusyu'annya dalam beribadah, dari sikapnya yang lebih tawadhu’, dari cara berbicaranya, dari sholatnya, juga dari kezuhudannya terhadap dunia.

Ilmu adalah apa yang tertulis, sementara amal adalah aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka tidak cukup ilmu itu berhenti di catatan, atau di rekaman, tetapi dilanjutkan dengan mengamalkannya dalam kehidupan, karena amal adalah aplikasi nyata dari teori.

3. Bertakwa dan Takut Kepada Allah ta’ala

Adab yang satu ini merupakan lawan dari orang-orang yang mengagungkan akal atau para rasionalis, mereka menganggap tidak ada kaitannya antara ibadah dengan ilmu yang mereka dapatkan, anggapan mereka yaitu cukup dengan belajar lalu diiringi dengan semangat tanpa bertakwa kepada Allah ta’ala. Meskipun pada akhirnya mereka tetap sukses, mendapat gelar, mendapat kehormatan di dunia tetapi sesungguhnya hal ini menunjukkan kesalahpahaman dalam memahami ilmu. Karena ilmu bagi seorang hamba tidak sekedar ilmu, tetapi ilmu yang seharusnya kita minta adalah ilmu yang bermanfaat, sebagaimana doa yang kita dianjurkan membacanya setiap habis shalat shubuh:

اللهُه هم إِِ¹ن أَ ْسأَلُ َك عِلْ ًما َانفِعًا َوِرْزقًا طَيِ¹بًا َو َع َمالً ُمتَ.َقبهالً

“Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amalan yang diterima” (HR Ibnu Majah no. 925, shahih)

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, yang mendatangkan rasa takut kepada Allah ta’ala, begitu pula ilmu tidak akan diterima kecuali oleh orang-orang yang bertakwa. sebagaimana Allah ta’ala berfirman:

ْض ِل الَْع ِظيِم
ۙ َوا هَّللُ ذُو الَْف
َسيِ¹ئَاتِ ُك ْم َوي.َغِْفْر لَ ُك ْم
َعْن ُك ْم
َي أَي.َُّها اله ِذي َن آَمنُوا إِ ْن تَ.ته.ُقوا ا هَّللَ َْجي َع ْل لَ ُك ْم فُ.ْرقَا ًان َويُ َك¹ِفْر

Artinya: “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqanan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al Anfal:29)

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,

ِحْف ِظي فَأَْر َش َدِن إ ََل تَ.ْرِك الْ َم َعا ِصي َوأَ ْخَََبِن ِِبَ هن الْعِْل َم نُوٌر َونُوُر ا هَِّلل َال ي.ُْه َدى لَِعا ِصي
ُسوءَ
َش َكْوت إ ََل َوكِي „ع

“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” [9]
[9] https://rumaysho.com/2062-cahaya-allah-akan-jauh-dari-pelaku-maksiat.html, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, 19-11-2011

Maka dapat diambil pelajaran bahwasannya maksiat merupakan tembok penghalang bagi seorang penuntut ilmu untuk bisa mendapatkan ilmu. Adapun seorang yang tetap bermaksiat tetapi juga menuntut ilmu hasilnya adalah bahwa ilmu tersebut akan menjadi kurang berkah.

4. Ketekunan, Semangat dan Kesabaran

َب ال¹ِر َجا ُل ِِبَ ِديثِ َك فَا ¸جَع ¸ل لَنَا ِم ¸ن َن. ¸ف ِس َك يَ. ¸وًما
َسعِي „د : َجاءَ ِت ا ¸مَرَأةٌ إََِل َر ُسوِل للاِ ﷺ َف.َقالَت :َي َر ُسوَل للاِ، َذ َه
َع ¸ن أَِب
َك َذا َوَك َذا ).فَا ¸جتَ َم ¸ع َن، فَأَََت ُه هن َر ُسوُل للاِ
َك للاُ، َف.َقا َل :ا ¸جتَ ِم ¸ع َن ِيف ي.َ ¸وِم َك َذا َوَك َذا، ِيف َم َكا ِن
َم َعله
َ¸َنتِي َك فِيِه، ت.َُعلِ¹ ُمنَا ِِمها
َعله َمهُ للاُ
ﷺفَ. َعله َم ُه هن ِِمها

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:

“Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, para pria pergi membawa haditsmu. Tentukan oleh dirimu suatu hari untuk kami datang kepadamu agar engkau mengajari kami apa yang Allah telah ajarkan kepadamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berkumpullah kalian di hari ini dan ini, di tempat ini dan ini!”. Mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke tempat mereka lalu mengajari mereka apa yang Allah telah ajarkan kepada beliau…” (HR Bukhari no.7310)

Hendaknya seorang penuntut ilmu memaksimalkan semangat dan potensi mereka dalam mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan hal ini bahkan sangat dianjurkan bila ingin mendapat ilmu.

Dalam Shahih Muslim, Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,

َال يُ ْستَطَاعُ الْعِلْ ُم بَِرا َحِة اْلسد

“Ilmu tidak akan didapatkan dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)” [10]
[10]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi, 1/37

Kaidah yang harus dipahami oleh seorang penuntut ilmu adalah bahwa capek atau lelah merupakan hal yang sudah pasti. Maka iringilah rasa lelah tersebut dengan kesabaran. Sebab sabar adalah sebab seseorang mau bertahan di bidang yang ia tidak menguasai.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

َع ْن تَ.ْف ِصيلَِها بِبَ.يَا ِن
َسأُنْبِي َك
أَ ِخي لَ ْن تَ.نَا َل الْعِْل َم إهال بِ ِسته„ة
ذََكاءٌ َوِحْر ٌص َوا ْجتَِهاٌدَوب.ُْلغَةٌ َو ُص ْحبَةُ أُ ْستَا „ذ َوطُوُل َزَما ِن

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara. Akan aku kabarkan padamu perinciannya dengan jelas: Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup (harta), bimbingan ustadz dan waktu yang lama” [11]
[11] https://muslim.or.id/43401-berkorban-harta-untuk-menuntut-ilmu.html, dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK, 30-10-2018

5. Memiliki Tujuan Yang Mulia

Semangat akan muncul saat seorang itu tahu bahwa yang dikejar olehnya adalah sesuatu yang mulia. Oleh karena itu, para ulama kita terdahulu rela mengorbankan apapun agar mereka bisa memiliki suatu yang mulia tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

ْت لِْل ُمتهِقْ َي
ۙ اُِع هد
َعْر ُض َها ال هس همهو ُت َواْالَْر ُض
َو َسا ِرعُْ˘وا اِهَل َم ْغِفَر„ة ِ¹م ْن هربِ¹ ُك ْم َو َجنه„ة

Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (Q.S. Ali 'Imran:133)

Kata saari’u (و˘ِرعُْ َسا ) yakni bersegera, berlomba-lomba untuk mencapai surga yang dijanjikan oleh Allah ta’ala. Dan jalan menuju surga tidak lain adalah dengan menuntut ilmu. Sebagaimana hadits:

َس هه َل للاُ لَهُ طَِريًقا إََِل ا ْْلَنهِة
ِعْل ًما
ُس فِيِه
َسلَ َك طَِريًقا ي.َلْتَ ِم
َم ْن

“Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR Tirmidzi no.2646)

Maka hendaknya bagi seorang penuntut ilmu agar mempunyai tujuan yang tinggi, mematokkan dirinya untuk mencapai yang terbaik, berusaha maksimal dan melakukan suatu hal sebaik mungkin. Ciri dari semangat yang tinggi adalah ketika jiwa ini belum puas kalau belum dekat dengan Allah ta’ala.

Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang yang menghadiri majelis, duduk disana, atau membaca Al-Qur’an mereka akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Bagi orang yang memiliki semangat yang tinggi dia tidak akan mau menjual kebahagiaan tersebut dengan apapun selainnya, tidak akan mau mengganti kedekatannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala dengan kenikmatan dunia yang remeh dan hina. Maka diantara upaya untuk mencegah hal tersebut adalah dengan menjauhi hal-hal yang kurang bermanfaat dalam hidup, menjauhi teman yang sering mengajak kepada keburukan.

6. Kesederhanaan Dalam Hidup

Seorang penuntut ilmu hendaklah membiasakan hidup dalam kesederhanaan, tidak gengsi, tidak menyibukkan diri dengan kemewahan dunia. Hendaklah penuntut ilmu makan dengan tidak berlebihan dan tidak banyak mengeluh dalam segala keterbatasan.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

“Tidak ada satupun orang yang menuntut ilmu agama ini dengan kekayaan, kekuasaan, harga dirinya yang tinggi, lalu sukses dengannya. namun barangsiapa yang menuntut ilmu dengan kerendahan hati, dengan kehidupan yang sederhana, dan menghormati ilmu, pasti sukses.” [12]
[12]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi, 1/35

Harun Ar-Rasyid meminta Imam Malik untuk datang ke istananya untuk mengajarkan ilmu agama kepada anaknya (Musa dan Harun). Imam Malik pun berkata kepada Harun Ar-Rasyid:

العلم يؤتى و ال أيت

“Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi”

Harun Ar Rasyid pun malu terhadap beliau lalu ia akhirnya mengutus anaknya untuk belajar kepada Imam Malik. [13]
[13]. al-Madkhal ilas Sunan al-Kubra, al-Imam al-Baihaqi, 1/390-391 no. 686

Demikianlah Imam Malik, hal tersebut juga dilakukan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mendatangi para sahabat senior dengan mengetuk pintu rumah mereka untuk mendapatkan pelajaran, padahal bisa saja beliau meminta utusan untuk mendatangi rumah sahabat tersebut agar sahabat tersebut menjumpai Ibnu Abbas, tetapi beliau berkata “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri”. [14] 
[14]. Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-'Asqalani, al-Ishabah fi Tamjiz al-Shahabah, tahqiq Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwidh (Beirut: Dar al-Khutub al-Ilmiyah, 1995), hal. 567

Murid itu laksana timba, dan ilmu itu seperti sumur. Jadi timbalah yang harus mendatangi sumur. Maka belajarlah untuk merendah, karena ilmu itu tinggi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َما َمَلَ آ َدِم ي ِو َعاءً َشًّرا ِم ¸ن بَ ¸ط „ن، َح ¸س ُب ا ¸ۡل َدِم ِ¹ي لَُق ¸ي َما ٌت ي.ُ ¸ق ِم َن ُص ¸ َلبهُ، َفِإ ¸ن َغلَبَ ِت ا ¸ۡل َدِم هي نَ. ¸ف ُسهُ، فَ.ث.ُلُ ٌث
لِلطهَعاِم، َوث.ُلُ ٌث لِل هشَرا ِب، َوث.ُلُ ٌث لِلنه.َف ِس

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), Al- Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh Al-Albani rahimahullah)

C. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Gurunya

1. Pentingnya Adab / Akhlak Dihadapan Guru [15]
[15]. ”Adab Pada Guru” diambil dari (https://rumaysho.com/12029-adab-pada-guru-1.html)

Diantara hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu adalah mengetahui tentang pentingnya adab atau akhlak, sehingga hal yang harus dipelajari pertama kali oleh seseorang yang akan belajar ilmu kepada seorang Guru adalah mempelajari akhlak, terutama akhlaknya dihadapan Guru. Berikut beberapa penukilah dari perkataan para Ulama tentang pentingnya akhlak dalam belajar.

Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تَ. َعلهْم االهَد َب قَ.بْ َل أَ ْن تَ.تَ. َعلََم الْعِْل َم

“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari sebuah ilmu.”

Perkataan tersebut menggambarkan betapa pentingnya belajar akhlak sebelum mempelajari sesuatu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain pernah berkata,

ِِبْألََد ِب تَ.ْف َه ُم الْعِْل َم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Bahkan karena sebegitu pentingnya akhlak sampai-sampai Ibnul Mubarak berkata,

تعلمنا األدب ثالثي عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Dari perkataan para Ulama diatas bisa kita ambil banyak pelajaran yang berharga dalam bab akhlak, sehingga dianjurkan untuk mempelajari dan memperbaiki akhlak sebelum belajar suatu ilmu, karena ilmu akan lebih bermanfaat ketika dipelajari dengan memiliki akhlak, berbeda dengan ilmu yang dipelajari tanpa adanya akhlak, bisa menjadi hal yang tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Orang yang memiliki akhlak akan tahu untuk apa ilmu yang dia pelajari dan akan digunakan seperti apa ilmu tersebut, sedangkan orang yang tidak memiliki akhlak adakalanya menyia-nyiakan ilmu yang dia miliki atau bahkan menyalahgunakannya.

2. Beberapa Adab / Akhlak yang Perlu Diperhatikan [16]
[16]. “Adab Seorang Murid Terhadap Guru” diambil dari (https://muslim.or.id/25497-adab-seorang-murid- terhadap-guru.html)

Dalam membersamai Guru seorang murid haruslah memiliki adab dan akhlak, sehingga ilmu yang akan dia pelajari bisa menjadi keberkahan karena ridhonya Guru kepada yang mengambil ilmu darinya. Oleh karena itu ada beberapa adab dan akhlak yang harus betul-betul diperhatikan oleh seseorang yang akan mengambil ilmu dari Gurunya, diantara beberapa adab dan akhlak yang harus diperhatikan yaitu :

1). Adab Duduk

Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.”

Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.”

Ibnul Jamaah juga mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.”

2) Adab Berbicara

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya.

Para Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah didapati mereka beradab buruk kepada gurunya (Rasulullah), mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah meninggikan suaranya didepan Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara.

Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu ‘anhu juga menjelaskan,

َعلَى ُرُؤْو ُسنِا الطَْْي َال ي.َتَ َكلهُم أَ َح ٌد
َس إِلَْي.نَا فَ َكأَ هن
للاِ فَ َجلَ
َخَرَج َر ُسْوُل
ُجلُْوساً ِ ْيف امل ْس ِج ِد إِ ْذ
ُكنها

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).

3). Adab Bertanya

Para ulama telah menjelaskan tentang adab dalam bertanya. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa ‘alihi salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu,

َث لَ َك ِمنْهُ ِذ ْكراً
َح هىت أُ ْح ِد
َش ْي„ء
ْن َع
فَال تَ ْسأَلِِْن

“Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya” (QS. Al Kahfi:70).

Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka janganlah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, Barakallahu fiik, atau Jazakallahu khoiron dan lain lain.

4). Adab dalam Mendengarkan Pelajaran

Diriwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran, yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain.

Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu pada saat ini? Jangankan segerombol gajah yang lewat, suara sedikit apapun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya, belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya, dan yang paling fenomenal adalah sibuk mengambil gambar (foto) untuk dijadikan status, seakan mendengarkan kajian adalah hal remeh yang hanya dijadikan pencitraan saja.

5). Mendoakan guru

Banyak dari kalangan salaf berkata,

ََِجيعاً
ُت لَِواِل َدي َولَِم َشا َِْيي
ُت إِهال َوَد َعْي
َصلهْي
َما

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”

Sebegitu mulianya guru dimata para Ulama terdahulu sehingga mereka mendo’akan para gurunya secara khusus seperti mendo’akan kedua orangtuanya, jauh berbeda dengan murid yang ada di zaman ini, sedikit sekali yang memperhatikan masalah adab dan akhlak terhadap gurunya, apalagi untuk mendo’akannya.

6) Memperhatikan adab-adab dalam menyikapi kesalahan guru

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

ك ُّل اب ِن آدَم خطهاءٌ ، وخْيُ اخلطهائ َي الته.هوابو َن

“Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat” (HR. Ahmad)

Para guru bukan malaikat, mereka tetap memiliki kesalahan. Sehingga pasti akan kita temukan beberapa kesalahan pada diri mereka, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Maka janganlah juga mencari cari kesalahannya, sebagaimana dalam firman Allah,

َحلَْم أَ ِخيِه َمْي.تًا فَ َكِرْهتُ ُموهُ
ُّب أَ َح ُدُك ْم أَن َأيْ ُك َل
ًضا أََُِي
ُض ُكم بَ. ْع
َوَال ََتَ هس ُسوا َوَال ي.َ ْغتَب ب.ه ْع

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS. Al Hujurot:12).

Allah melarang mencari-cari kesalahan orang lain dan mengghibahnya, larangan ini berlaku untuk umum, tidak boleh mencari kesalahan siapapun jika tidak diperlukan dalam hal yang mendesak.

Karena membicarakan aib seseorang seperti teman saja dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan tersebut, lantas bagaimana jika yang dibicarakan aibnya adalah guru yang mengajarkan ilmu kepada kita seakan telah hilang kebaikan mereka yang telah mengajarkan ilmu kepada kita, berapa dosa yang akan menjadi tanggung jawab kita di akhirat kelak.

Para Salaf terdahulu menjadikan aib guru mereka sebagai hal yang harus ditutupi dan dijaga, bahkan mereka menyebutkan dalam doanya,

ِعْل ِمِه ِمِ¹ِن
ْب بَ.َرَكةَ
َعِ¹ِن َوَال تُْذ ِه
َب ُم َعلِ¹ ِمي
َعْي
اللهُه هم اُ ْسُُْت

“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmunya dari ku.”

7). Meneladani penerapan ilmu dan akhlaknya

Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”

8) Sabar dalam membersamainya

Tidak ada satupun manusia di dunia ini kecuali pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Maka bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya. Allah berfirman :

َعْن. ُه ْم تُِري ُد ِزينَةَ ا ْحلَيَاةِ
َعْي.نَا َك
َك َم َع اله ِذي َن يَْدعُو َن َرهَّبُم ِِبلْغَ َداةِ َوالَْع ِش ِ¹ي يُِري ُدو َن َو ْج َههُ َوال تَ. ْع ُد
ْصَِْب نَ.ْف َس
َوا
َهَواهُ َوَكا َن أَْمُرهُ ف.ُُرطًا
َعن ِذ ْكِرَان َواته.بَ َع
ال ُّدنْ.يَا َوال تُ ِط ْع َم ْن أَ ْغَفْلنَا قَ.ْلبَهُ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS.Al Kahfi:28).

Karena tidak ada kebersamaan yang lebih baik kecuali membersamai orang- orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla.

Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan,

َعلى ُم¹ِر اْلَفا ِمن ُم َعلِ„¹م · فَِإ هن ُرسو َب العِلِم يف ن.ََفراتِِه
اِصَِب

“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru, Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”

Besarnya jasa para guru yang telah memberikan ilmunya kepada manusia, yang kerap menahan amarahnya, yang selalu merasakan perihnya menahan kesabaran, sungguh tak pantas seorang murid melupakan kebaikan gurunya, dan jangan pernah lupa menyisipkan nama mereka di lantunan do’a. Semoga Allah memberikan rahmat dan kebaikan kepada guru-guru kaum Muslimin. Semoga kita dapat menjalankan adab adab yang mulia ini.

D. Adab Muta'addib (Murid) Terhadap Pelajarannya

Akhlaq pelajar terhadap pelajarannya dan hal-hal yang harus ia pegang ketika bersama-sama dengan syaikh (ulama') dan teman-temannya.

1. Hendaknya pelajar memulai pelajaran dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya fardlu 'ain, sehingga pada langkah pertama ini ia cukup menghasilkan empat ilmu pengetahuan yaitu:

a. Pelajar harus mengetahui tentang ilmu tauhid, ilmu yang mempelajari tentang ke Esa-an Tuhan harus mempunyai keyakinan bahwa Allah ta’ala itu ada, mempunyai sifat dahulu, kekal serta tersucikan dari sifat-sifat kurang dan mempunyai sifat sempurna.

b. Cukuplah bagi pelajar untuk mempunyai keyakinan, bahwa Dzat Yang Maha Luhur mempunyai sifat kuasa, menghendaki, sifat ilmu, hidup, mendengar, melihat, kalam. Seandainya Ingin menambahnya dengan dalil atau bukti-bukti dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka itu merupakan kesempurnaan ilmu.

c. Ilmu fiqh, ilmu yang dipergunakan untuk mengetahu ilmu-ilmu syari'at islam yang diambil dari dalil-dalil syara' tafsily, Ilmu ini merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mampu mengantarkan kepada pemiliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (taat), dimulai dari cara-cara bersuci, shalat, puasa.

2. Setelah santri mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardhu 'ain maka hendaklah dalam langkah selanjutnya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kitab Allah (tafsir Al Qur'an) sehingga ia mempunyai keyakinan dan i'tiqad yang sangat kuat. la harus bersungguh-sungguh dalam memahami tafsir Al Qur'an dan beberapa ilmu yang lain, karena Al Qur'an merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi dan sekaligus induk dan ilmu yang paling penting. [17]
[17]. Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 17.

3. Sejak awal pelajar harus bisa menahan diri dan tidak terjebak dalam pembahasan mengenai hal-hal yang masih terdapat perbedaan pandangan, tidak ada persamaan persepsi di antara para ulama (khilafiah) secara mutlak baik yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran atau yang bersumber dari Tuhan, karena apabila hal itu masih dilakukan oleh pelajar maka sudah barang tentu akan membuat hatinya bingung, dan membuat akal fikiran tidak tenang.

Namun apabila sang santri sudah mempunyai basic, latar belakang kemampuan yang sudah memadai dan menukil suatu permasalahan hanyalah untuk meningkatkan dan megembangkan kemampuan yang ia miliki, maka yang lebih baik adalah hendaknya ia tidak meninggalkan satupun dari pelajaran & pelajaran ilmu agama 'syara’ (karena yang bisa menolong hanyalah taqdir dari Allah ta’ala, semoga diberi umur panjang oleh Allah untuk memperdalam ilmu agama (syara').

4. Sebelum menghafalkan sesuatu hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu kepada orang seorang kyai/guru (atau orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu tersebut, setelah selesai diteliti oleh gurunya barulah ia menghafalkannya dengan baik dan bagus. Setelah menghafalkan materi pelajaran, hendaklah di ulang-ulangi sesering mungkin dan menjadikan kegitan taqrar sebagai wadhifah, kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Janganlah menghafalkan sesuatu sebelum diteliti, ditashih oleh seorang kyai atau orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang itu, karena akan mengakibatkan menimbulkan ekses yang negatif. Misalnya merubah makna atau arti dari kalimat tersebut dan telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa ilmu pengetahuan itu tidak di ambil dari sebuah kitab atau buku, tetapi diambil dan diperoleh dari seorang guru karena hal itu merupakan kerusakan yang sangat berbahaya ketika sedang mengkaji sebuah ilmu pengetahuan, hendaknya pelajar mempersiapkan tempat tinta, pulpen dan pisau untuk memperbaiki dan membenarkan hal-hal yang perlu diperbaiki baik dalam segi bahasa atau i'rab. [18]
[18] Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 18.

5. Hendaknya pelajar murid (berangkat lebih awal lebih pagi dalam rangka untuk mencari ilmu, apalagi berupa ilmu hadits, dan tidak mensia-siakan seluruh kesempatan yang ia miliki untuk menggali ilmu pengetahuan dan meneliti sanad-sanad hadits, hukum-hukumnya, manfaat, bahasa, cerita-cerita yang terkandung didalamnya, dan bersungguh-sungguh sejak awal dengan kitab "Shahih Bukhari" dan "Shahih Muslim" kemudian kitab-kitab pokok yang lainya yang biasa dipakai pedoman, rujukan pada masa sekarang, seperti Muattha’ nya imam Maliki dan Sunan Abu Daud, Sunan Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, Kitab Jami' imam Tirmizi.

6. Ketika pelajar telah mampu menjelaskan, mengejawantahkan terhadap apa yang ia hafalkan walaupun masih dalam tahap ikhtishar dan bisa menguraikan kemusykilan yang ada dan aqidah-aqidah yang sangat penting, maka ia diperbolehkan pindah untuk membahas kitab-kitab besar serta tiada henti, terus-menerus menelaah tanpa mengenal rasa lelah. Hendaknya pelajar memiliki cita-cita tinggi, sangat luhur, ibaratnya kaki boleh dibumi tapi cita-cita menggelantung di angkasa, sehingga tidak boleh merasa cukup hanya memiliki ilmu yang sedikit, padahal ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari ilmu sebanyak-banyakanya. Santri tidak boleh bersifat qona'ah menerima apa adanya seperti yang diwariskan oleh para nabi, yaitu menerima sesuatu walaupun hanya sedikit. Santri tidak boleh menunda-nunda dalam mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan dan manfaat yang sangat mungkin ia peroleh, karena menunda sesuatu itu mengandung beberapa bahaya, disampimng itu apabila pelajar bisa mendapatkan ilmu secara cepat dan tepat waktu maka pada waktu yang lain ia bisa mendapatkan sesuatu yang lain. Santri harus selalu menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya terhadap waktu luangnya. [19]
[19]. Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 19.

7. Pelajar harus selalu mengikuti halaqah, diskusi dan musyawarah dengan gurunya dalam setiap pelajaran, kalau memungkinkan ia membacakannya. Karena hal itu apabila dilakukan oleh santri maka ia akan selalu mendapat kebaikan, menghasilkan setiap sesuatu yang ia harapkan, cita-citakan, memperoleh sopan santun yang baik serta mendapatkan keutamaan dan kemuliaan. Santri harus selalu bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada gurunya karena akan menghasilkan kemuliaan, penghormatan. Dan apabila memungkinkan santri tidak boleh mengadakan diskusi, halaqah dengan gurunya hanya untuk mendengarkan pelajarannya saja, bahkan ia harus bersungguh-sungguh dalam setiap pelajaran yang diterangkan oleh gurunya, dengan tekun, konsentrasi dan penuh perhatian. Apabila hal itu bisa ia lakukan dan hatinya tidak merasa keberatan, dan selalu mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya sehingga setiap pelajaran yang telah disampaikan oleh gurunya ia kuasai dengan baik. Apabila ia tidak mampu untuk menguasai secara keseluruhan, maka hendaknya ia memprioritaskan pelajaran yang lebih penting terlebih dahulu kemudian baru pelajaran yang lain.

8. Apabila pelajar menghadiri pertemuannya dewan guru, hendaklah ia mengucapkan salam kepada orang telah hadir pada forum tersebut dengan suara yang bisa mereka dengar dengan jelas, apalagi terhadap seorang kyai dengan memberikan penghormatan yang lebih tinggi dan memuliakan. Begitu juga apabila santri keluar dari forum tersebut. Apabila pelajar mengucapkan salam pada sebuah forum, maka ia tidak diperkenankan melewati orang-orang yang ada di tempat tersebut untuk mendekat pada sang kyai, ia duduk di tempat yang bisa di datangi oleh orang lain, kecuali apabila sang kyai, para jama'ah yang lain memintanya untuk maju kedepan, maka tidak ada masalah apabila santri itu maju dengan melewati orang terlebih dahulu hadir pada majelis tersebut. Pelajar tidak boleh memindah tempat duduknya orang lain atau berdesak-desakan dengan sengaja, apabila ada orang lain yang mempersilahkan santri itu untuk menempati tempat duduknya, maka janganlah ia menerimanya kecuali ada kemaslahatan, kebaikan yang diketahui oleh orang lain, atau orang banyak yang memperoleh dan mendapatkan manfaat. [20]
[20] Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 20.

Beberapa Adab-adab penuntut ilmu terhadap kitab

1. Mengikhlaskan niat ketika membeli kitab

Seorang Muslim wajib mengikhlaskan niatnya ketika ia membeli sebuah buku dengan menghadirkan niat yang baik, yaitu berniat untuk mengambil manfaat dari buku tersebut bagi dirinya dan orang lain, sehingga perhatian terhadap ilmu syar’i akan tampak pada buku tersebut. Bisa juga diniatkan untuk mempermudah pencarian masalah-masalah agama dan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Dengan demikian ia akan diberi pahala atas harta yang ia keluarkan untuk membeli buku tersebut dan akan diberi pahala atas waktu yang ia habiskan untuk mencarinya serta akan diberi pahala atas jerih payahnya untuk membawa, menjaga, menyusunnya. [21]
[21] Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 725

2. Bersemangat mengumpulkan kitab

Hendaknya penuntut ilmu untuk perhatian pada masalah pengumpulan kitab-kitab yang ia butuhkan semaksimal mungkin, baik itu dengan cara dibeli, disewa, ataupun dipinjam. Karena kitab-kitab itu ialah alat untuk belajar. [22] 
[22] Ibnu Jama’ah, Tadzkirotus Saami’, (Beirut: Darul Basyaair Al Islamiyah, 2012) Cet. Ke 3, h. 126

Para ulama terdahulu sampai mengumpulkan ratusan bahkan ribuan jilid kitab demi mengambil ilmu dan mendapatkan manfaat darinya.

3. Lebih mendalami kitab-kitab klasik (salaf) dari pada kitab-kitab yang dikarang oleh orang belakangan (Khalaf).

Wajib bagi penuntut ilmu bersemangat untuk mempelajari kitab-kitab induk (pondasi) sebelum mempelajari kitab-kitab terbaru. Itu disebabkan sebagian penulisnya tidak memiliki ilmu yang mendalam. Maka jika seseorang membaca apa yang mereka tulis ia hanya pemaparan yang dangkal. Ia hanya menukil saja dan terkadang ia menukarnya dengan redaksi yang amat panjang namun ia seperti buih (tidak bermanfaat). Hendaknya seseorang labih perhatian terhadap buku-buku induk dan kitab-kitab ulama salaf (klasik). Karena dalam kitab-kitab mereka terdapat kebaikan dan keberkahan yang lebih daripada kitab-kitab Khalaf (ulama belakangan). [23]
[23] Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274

4. Mewakafkan kitab

Jika seseorang tidak memiliki ahli waris atau ahli warisnya tidak punya perhatian pada kitab-kitab, maka opsi terbaik ialah ia memberikan wasiat untuk mewakafkannya setelah ia meninggal dunia. Dengan demikian para penuntut ilmu akan mengambil manfaat darinya, begitu pula para peneliti dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu juga akan mengambil manfaat. Itu semua akan menjadi shadaqah jariyah baginya setelah ia meninggal karena ia termasuk ilmu yang bermanfaat. [24]
[24] Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 731

Nabi ﷺ bersabda:

َصالِ „ح يَْدعُو لَهُ
ِعْل„م ي.ُْن.تَ.َف ُع بِِه، أَْو َولَ „د
َجا ِريَ„ة، أَْو
َص َدقَ„ة
َع َملُهُ إِهال ِم ْن ثََالثَ„ة ؛ إِهال ِم ْن
َعْنهُ
َت اِْلنْ َسا ُن انْ.َقطَ َع
إِ َذا َما

“Jika seseorang meninggal dunia maka akan terputus seluruh amalnya kecuali 3 perkara: Shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. [25]
[25] HR. Muslim: 1631, Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu

5. Memperhatikan kitab-kitab dan menjaganya

Wajib bagi seorang muslim jika memiliki kitab-kitab untuk memperhatikannya dan menjaganya agar kitab-kitab tersebut bisa terjaga dalam jangka waktu yang lama. Itu juga menggambarkan ilmu dimana ia adalah hal yang paling penting yang harus dimiliki oleh seseorang. Kitab-kitab itu juga sama dengan harta yang wajib dijaga dan tidak boleh disia- siakan begitu saja. Dan diantara cara menjaga kitab-kitab tersebut ialah:
- Meletakkan kitab-kitab ditempat yang aman agar tidak dimain-mainkan.
- Meletakkan kitab-kitab di tempat yang memiliki suhu yang baik.
- Menggunakan sebagian zat kimia untuk mengusir serangga (hewan perusak) yang akan merusak kertas. [26]
[26] Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 727- 728

6. Tidak memasukkan kitab-kitab yang tidak ada kebaikannya kedalam perpustakaan kita.

Kitab-kitab itu terbagi menjadi 3 :
▪️ Kitab-kitab yang baik
▪️ Kitab-kitab yang buruk
▪️ Kitab yang tidak baik dan tidak pula buruk

Maka hendaknya seseorang berusaha untuk tidak memasukkan di dalam perpustakaannya kitab-kitab yang tidak memiliki kebaikan atau bisa dikatakan hanya berisi keburukan. Ada kitab-kitab yang disebut kitab sastra akan tetapi ia hanya menghabiskan waktu tanpa ada manfaat didalamnya. Ada pula kitab-kitab berbahaya yang di dalamnya ada pemikiran tertentu dan metode tertentu. Ini juga jangan dimasukkan ke dalam perpustakaan. [27]
[27] Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274

Sesungguhnya Allah akan menghisabnya karena telah membacanya dan menghisab harta yang telah dikeluarkan untuk membeli kitab-kitab berbahaya tersebut. [28]
[28] Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, (Riyadh: Darut Thayyibah, 2007) Cet. Ke-3, h. 727 29 Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274

Setiap kitab-kitab yang berbahaya, maka jangan sampai dimasukkan ke dalam perpustakaan kita. Karena kitab-kitab itu gizi bagi ruh, seperti makanan dan minuman bagi badan. Jika seseorang membaca kitab-kitab yang berbahaya seperti ini maka ia akan sangat berbahaya baginya. Dan bahkan bisa jadi ia malah melenceng dari metode menuntut ilmu yang benar. [29]
[29] Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, (Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin, 2013) Cet. Ke-1, h. 274

E. Adab Sesama Muta'addib

Seorang manusia tentunya tidak akan pernah lepas dari membutuhkan orang lain, manusia membutuhkan komunitas, tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Termasuk di dalamnya sesama penuntut ilmu, yang sama-sama memiliki tujuan belajar, duduk di majelis, hendaknya berusaha untuk saling membantu. Tentunya, ada adab-adab yang perlu diperhatikan terhadap sesama penuntut ilmu dan berikut penjabarannya:

1. Menunaikan 6 Hak Sesama Muslim

Dalam sebuah hadits yang masyhur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya tentang 6 hak muslim kepada muslim yang lain, yaitu:

ِس ت :إِ َذا لَِقيتَهُ
َعلَى اَلْ ُم ْسلِِم
َح ُّق اَلْ ُم ْسلِِم
ُهَريْ.َرَة – رضي للا عنه – قَا َل َر ُسوُل اَ هَّللِ – صلى للا عليه وسلم – –
َع ْن أَِب
َض فَ.عُ ْدهُ ,َوإِذَا َما َت
َس فَ َح ِم َد اَ هَّللَ فَ َس ِ¹متْهُ َوإِ َذا َمِر
َعطَ
َك فَانْ َص ْحهُ ,َوإِ َذا
َص َح
َعلَْيِه ,َوإِ َذا َد َعا َك فَأَ ِجْبهُ ,َوإِ َذا اِ ْستَ.ْن
فَ َسلِ¹ْم
فَاتْ.بَ. ْعهُ – َرَواهُ ُم ْسلٌِم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR Muslim no. 2162)

2. Saling Tolong-menolong

Saling tolong-menolong dalam kebaikan adalah hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, maka apalagi dalam halnya menuntut ilmu. Perintah ini datang dari firman Allah subhanahu wa ta’ala:

َش ِدي ُد الْعَِقا ِب
ۙ إِ هن ا هَّللَ
ۙ َوات.هُقوا ا هَّللَ
َعلَى اِْل ِْث َوالْعُ ْدَوا ِن
ۙ َوَال تَ.َعاَونُوا
َعلَى الَِِْب¹ َوالته.ْقَو هى
َوتَ. َعاَونُوا

Artinya: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al Maidah:2)

Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari bahwasaya Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku dan tetanggaku seorang Anshar (yakni Aus bin Khauli radhiyallahu ‘anhu), seorang dari bani Umayyah bin Zaid, kami saling bergantian mendatangi majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia datang pada suatu hari dan aku pada hari lainnya. Apabila aku yang menghadiri majelis, akan aku sampaikan kepadanya tentang wahyu dan penjelasan lainnya pada hari itu. Apabila ia yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm 89).

Disini dicontohkan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu bersama seorang tetangganya saling bergantian antara belajar agama dan mencari nafkah. Ketika yang satu mendapatkan ilmu setelah menghadiri majelis Rasulullah maka ia mengabari yang satunya yang disibukkan dengan pekerjaan tentang ilmu tersebut dan begitupun sebaliknya. Maka kita pada zaman ini tentunya bisa mencontoh dengan saling memberitahu soal ilmu apabila yang ada teman yang sakit sehingga tidak bisa mendatangi majelis yang biasanya didatangi bersama-sama.

Diantara contoh lain yaitu seorang penuntut ilmu yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu dan hendaknya orang yang lebih tahu mau untuk menjawab dan menolong temannya yang belum tahu.

Diantara contoh lain yaitu menolong teman, berkorban untuk teman yang memiliki kekurangan biaya dalam menuntut ilmu. Dikisahkan dalam kitab Shafahat min Shabril Ulama, karya Abdul Fattah Abu Ghuddah. Dikutip dari Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Al-Bukhari pernah ditemukan para sahabatnya berada di rumahnya sendirian tanpa sehelai benang.

Suatu hari Umar bin Hafs Al-Asyqar dan para ulama lain tidak mendapati Imam Al-Bukhari beberapa hari, seolah ia hilang ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda ia berkunjung ke para ulama untuk mencari hadits. Padahal, mencari hadits adalah kegiatan keseharian Al-Bukhari. Bagi para sahabatnya, tidak biasanya Al-Bukhari demikian (Saat itu, Imam Al-Bukhari sedang berkunjung ke kota Bashrah demi mendapatkan hadits dan menulisnya) Teman-teman Al-Bukhari menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi pada diri Al-Bukhari. Mereka khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Mereka pun bersepakat untuk mendatangi sebuah rumah yang ditempati Al-Bukhari selama tinggal di Bashrah. Betapa terkejutnya mereka saat masuk ke rumah itu dan mendapati rumahnya kosong melompong. Tak ada benda apapun kecuali Imam Al-Bukhari sendiri, bahkan baju pun tak ia miliki. Ternyata semua barang miliknya, termasuk baju-bajunya ia jual untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Baju satu-satunya yang ia pakai dan menempel di tubuhnya pun harus direlakan. Saat ditemukan oleh teman-temannya, Al-Bukhari dalam keadaan telanjang dan tidak memakai sehelai benang pun. Melihat keadaan al-Bukhari tersebut, para sahabatnya pun berinisiatif dan bersepakat untuk iuran dirham. Hasil iuran itu kemudian digunakan untuk membeli baju yang bisa digunakan Al-Bukhari. Dengan adanya baju tersebut, Al-Bukhari pun bisa keluar rumah lagi dan kembali mencari dan menulis hadits. [30]
[30] Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, 2/13

3. Menjauhi Adanya Perasaan Hasad (Iri Hati) Terhadap Sesama Teman

Menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. [31]
[31] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Muhammad bin Salih Al-Utsaimin, hlm. 368

Timbulnya hasad biasanya diiringi dengan adanya rasa persaingan antara sesama penuntut ilmu atau bisa juga karena tidak senang bahwa saudara kita diberikan nikmat yang lebih dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Misalkan ada seseorang yang Allah berikan nikmat berupa suara yang merdu sehingga diapun dizinkan menjadi imam shalat, padahal teman seperjuangannya juga sama-sama menghafal Al-Qur’an tidak pernah ditunjuk menjadi imam, maka kejadian seperti ini bisa menimbulkan hasad di hati manusia bila tidak dicegah, sama halnya tatkala seseorang diberi kecerdasan luar biasa, kemampuan menghafal dengan cepat, memiliki ingatan yang kuat tentang ilmu, memiliki hubungan yang dekat dengan para ustadz atau para ulama, juga dalam hal duniawi seperti membeli baju baru, mempunyai kendaraan yang lebih bagus, harta yang lebih banyak dan masih banyak lagi, semua hal tersebut bisa mendatangkan hasad di dalam hati seseorang.

Diantara contoh hasad yang lain, yaitu saat merasa iri melihat ada teman yang sudah bisa mengajar sementara teman seperjuangannya belum, padahal sejatinya mengajar adalah ketika siap dan hendaknya perlu arahan dari orang yang lebih berilmu atau guru sejauh mana dia boleh mengajar, karena mengajar itu bertahap. Sesungguhnya mengajar ilmu agama adalah untuk mendapatkan pahala jariyah bukan dosa jariyah. Ketahuilah amal shaleh itu bukan untuk bangga-banggaan dan semua ada tahapan-tahapannya.

Maka sesungguhnya penyebab hasad itu tidak terbatas jumlahnya, karena nikmat Allah pun tidak terbatas jumlahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ۙ إِ هن ٱ هَّللَ لَغَُفوٌر هرِحيٌم
ُصوَها˘
َوإِن تَ.عُ ُّدو ا نِْع َمةَ ٱ هَّللِ َال ُُْت

Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl:18)

Apa yang menyebabkan seseorang itu hasad kepada saudaranya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِش بَ.ْي.نَ. ُه ْم
َجِزيَرِة الَْعَر ِب َولَ ِك ْن ِيف الته ْحِري
َصلُّو َن ِيف
َس أَ ْن يَ. ْعبَُدهُ الْ ُم
إِ هن ال هشْيطَا َن قَ ْد أَيِ

“Sesungguhnya syaitan telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia mengadu domba di antara mereka.” (HR Muslim no. 2812) [32]
[32] http://www.salamdakwah.com/artikel/2292-waspadalah-tipu-daya-syaitan, Ari Mardiah Joban, 24-02- 2015

Siapakah yang bisa lepas dari hasad? Ketahuilah tidak ada manusia yang selamat dari hasad, kecuali yaitu para nabi dan ash-shiddiqin. Allah menggabungkan antara sifat shiddiq (jujur) dan nubuwwah (seorang nabi) ketika menyanjung Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Firman Allah ta’ala:

ِص ¹ِديًقا نَبِيًّا
َكا َن
إِنههُ

“Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam: 41)

Syaikh As-Sa’di menerangkan makna shiddiq adalah: “Mereka yang menyempurnakan iman, amalan shalat dan ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat), juga punya rasa yakin yang tulus dan sempurna.” [33]
[33] Tafsir As-Sa’di, Abdurahman Nashir As-Sa'di, hlm. 890

Syaikh As-Sa’di menerangkan pula makna shiddiq adalah orang yang jujur dalam perkataan, perbuatan, keadaan, membenarkan semua perintah Allah, sehingga ilmu yang dimiliki meresap dan berpengaruh ke dalam hati, ilmunya pun memberikan rasa yakin yang besar dan menghasilkan amalan shalih yang sempurna. [34]
[34] Tafsir As-Sa’di, Abdurahman Nashir As-Sa'di, hlm. 519

Maka dapat disimpulkan bahwa agar terlepas dari hasad bukanlah perkara yang mudah. Namun, banyak hal-hal yang bisa dikerjakan sebagai bentuk usaha terlepas dari penyakit yang jelek ini. Berikut penjabarannya:

1. Yakinlah Bahwa Allah Mengetahui Apa Yang Ada Dalam Hati Kita.

Biasanya buah dari hasad yang sudah parah adalah tindakan, yaitu tindakan yang bisa menyebabkan nama orang yang dihasadinya tercemar atau berbagai macam keluaran buruk lainnya. Misalkan ada seorang santri mengadukan tentang perbuatan buruk santri lainnya, maka ketahuilah Allah tahu niat dan tujuan kita apakah aduan tersebut sebagai nasihat (keinginan untuk adanya perbaikan bagi temannya) atau ingin agar temannya mendapat kemarahan dan sanksi dari

Ustadznya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ُّص ُدوِر
َعلِيٌم بَِذا ِت ال
إِ هن ا هَّللَ

Artinya: “Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui isi hati (mu).” (Q.S. Al Maidah:7)

2. Harus Ada Upaya Untuk Meninggalkan Penyakit Hasad

ۙ َوإِ هن ا هَّللَ لََم َع الْ ُم ْح ِسنِ َي
ُسبُ.لَنَا
َجا َه ُدوا فِينَا لَنَ. ْه ِديَ.نه. ُه ْم
َواله ِذي َن

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al Ankabut:69)

3. Mendo'akan Orang Yang dihasadi

4. Banyak Memuji Orang Yang dihasadi

Upaya nomer 3 dan 4 bertujuan agar menutup pintu bagi syaitan yang memasukkan hasad dalam hati kita. Mereka ingin agar umat berpecah belah, agar berpencar dan saling bermusuhan. Apabila sebagai orang yang terjangkit penyakit hasad ini ingin melawan, maka bisa dengan banyak mendoakan dan memuji mereka.

5. Berdoa Kepada Allah Agar Dibersihkan Hati Kita dari Penyakit ini

ِغًّال لِله ِذي َن آَمنُوا َرب.هنَا
َسبَ.ُقوَان ِِبِْلميَا ِن َوَال ََْت َع ْل ِيف ق.ُلُوبِنَا
َجاءُوا ِم ْن بَ. ْع ِد ِه ْم يَ.ُقولُو َن َرب.هنَا ا ْغِفْر لَنَا َوِِل ْخَوانِنَا اله ِذي َن
َواله ِذي َن
إِنه َك َرءُو ٌف َرِحيٌم

Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’ ”. (Q.S. Al Hasyr:10)

6. Yakinlah Bahwa Takdir Allah Adalah Yang Terbaik

Orang yang memiliki hasad biasanya secara tidak sadar sedang menentang takdir Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengatakan “andai saya memiliki kelebihan seperti yang dia miliki”, ini adalah perkataan yang berbahaya bagi seorang hamba. Maka berusahalah tangkis dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah sudah menakdirkan semua yang ada di langit dan di bumi, semua yang terjadi saat ini adalah berdasarkan hikmahnya, jadi jangan bersedih saat kita tidak memiliki apa yang orang lain milik, mereka pun juga manusia yang memiliki kekurangan.

Lihatlah pada sisi positifnya, boleh jadi kekurangan pada diri kita justru menjadi pintu kebaikan. Katakanlah kita perlu membaca 20 kali ayat Al-Qur’an barulah bisa menghafalnya, tetapi ada teman kita yang hanya membaca sekali dia langsung hafal. Lihatlah, kita yang membaca 20 kali mendapat pahala yang lebih besar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yg diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

َحْر ٌف َوِميٌم
َحْر ٌف َوالٌَم
َح َسنَةٌ َوا ْحلَ َسنَةُ بَِع ْشِر أَْمثَاِِلَا الَ أَقُوُل اِل حْر ٌف َولَ ِك ْن أَلِ ٌف
َحْر ٌف
َحْرفًا ِم ْن كِتَا ِب ا هَّللِ فَ.لَهُ بِِه
َم ْن قَ.َرأَ

Artinya: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)

Andaikan ayat yang dihafal memiliki 20 huruf, maka bagi penghafal yang harus membaca 20 kali dia akan mendapat pahala 20x20x10, yaitu 4000 pahala dengan izin Allah ta’ala. Sementara yang hanya perlu membaca sekali langsung bisa hafal, dia mendapat pahala 1x20x10, yaitu 200 pahala.

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala membagikan amalan seperti membagi rezeki, maka apa yang bisa kita kerjakan, kerjakanlah dan jangan iri terhadap nikmat yang Allah ta’ala berikan pada orang lain, karena belum tentu yang baik bagi mereka baik pula untukmu.

4. Jadilah Pembawa Kebaikan

Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :

َك َحاِم ِل الْ ِم ْس ِك َوَانفِ ِخ الْ ِك ِْي ، فَ َحاِملُ الْ ِم ْس ِك إِهما أَ ْن َُيْ ِذيَ َك ، َوإِهما أَ ْن تَ.ْب.تَا َع ِمْنهُ ،
هصالِ ِح َوال هسْوِء
ِس ال
َمثَ ُل ا ْْلَلِي
َخبِيثَة
َوإِهما أَ ْن ََِت َد ِمْنهُ ِرَيًا طَيِ¹بَةً ، َوَانفِ ُخ الْ ِك ِْي إِهما أَ ْن َُيِْرَق ثِيَابَ َك ، َوإِهما أَ ْن ََِت َد ِرَيًا

Artinya: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)

Pengaruh teman sangatlah besar bagi setiap orang. Teman yang baik pasti akan membawa pada kebaikan meskipun bertingkat-tingkat dan teman yang buruk pasti akan membawa pada keburukan meskipun bertingkat-tingkat.

Syaitan tidak akan menyerah, karena mereka tidak suka apabila seorang manusia duduk di majelis, menuntut ilmu dan belajar agama. Mereka akan terus berupaya bahkan dari awal sebelum menuntut ilmu, mereka akan membisikkan “tidak perlu belajar agama, lebih baik belajar ilmu duniawi, nanti masa depanmu bagaimana, nanti kamu tidak akan bisa jadi apa-apa” dan bisikan yang semisalnya. Tetapi, bila gagal di tahap itu, maka ketika proses menuntut ilmu syaitan akan memasukkan kegalauan di dalam hatinya, kecenderungan untuk mundur dan putus padahal masih ditengah perjalanan menuntut ilmu. Bila gagal juga, maka syaitan akan berupaya mengumpulkan dia dengan pergaulan yang buruk sehingga diapun tertular dengan keburukan tersebut. Ini bisa kita lihat dalam kehidupan, betapa banyak lulusan pondok pesantren akan tetapi akhlaknya masih buruk, tidak ada perubahan, ilmunya tidak berkah. Boleh jadi, itu semua adalah pengaruh daripada pergaulan atau teman yang buruk.

Maka jadikanlah syaitan itu musuh, bukan teman.

ِحْزبَهُ لِيَ ُكونُوا ِم ْن أَ ْص َحا ِب ال هسعِ ِْي
ۙ إِهَّنَا يَْدعُو
َع ُدًّوا
َع ُد و فَاهَِّت ُذوهُ
إِ هن ال هشيْطَا َن لَ ُك ْم

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Fathir :6)

Diantara ciri-ciri teman yang buruk yang perlu dijauhi ialah teman yang banyak membuang waktu kita dengan hal yang kurang bermanfaat, sering membolos dalam majelis, terkumpul didalamnya akhlak yang tidak terpuji. Maka solusi apabila ditemukan teman seperti ini dalam kehidupan kita ialah dengan menjauhinya secara perlahan, sebelum nantinya terlanjur menjadi dekat. Pepatah arab mengatakan:

ُسْوءُ اخلُلُِق ي.ُْع ِدي

“Akhlak buruk itu menular.”

Selanjutnya, bagaimana dengan ciri teman yang baik? Berikut beberapa contoh sifat-sifat teman yang baik:

1. Bertakwa Kepada Allah

2. Taat Beragama (Rajin dan Tidak Melalaikan Ibadah)

3. Mempunyai Sifat Wara’
Pengertian Wara’ menurut Ibrahim bin Adham adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan. [35]
[35] Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, 2: 21

4. Cerdas

5. Lebih Banyak Baiknya daripada Keburukannya

6. Suka Membantu dan Mengingatkan Kita Kalau Lupa

Apa saja manfaat berteman dengan orang-orang yang shaleh? Berikut 3 manfaat yang akan kita peroleh yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal:

1. Dia akan mengingatkan kita untuk beramal shalih, juga saat terjatuh dalam kesalahan.

2. Dia akan mendoakan kita dalam kebaikan.

3. Teman dekat yang baik akan dibangkitkan bersama kita pada hari kiamat. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ُّب الهر ُجلُ – وسلم عليه للا صلى – لِلنهِِ¹ب قِي َل
هب َم ْن َم َع الْ َمْرءُ « قَا َل َِّبِْم يَ.ْل َح ْق َولَهما الَْقْوَم َُِي
» أَ َح

Artinya: “Ada yang berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada seseorang yang mencintai suatu kaum, namun ia tak pernah berjumpa dengan mereka.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai." (HR Bukhari no. 6170 & Muslim no. 2640). [36]
[36] https://rumaysho.com/13311-manfaat-teman-yang-baik.html, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, 16-04- 2016


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa hal yang mulia haruslah didapat dengan cara yang mulia pula. Sesuatu akan terasa berharga kalau cara mendapatkannya dengan cara yang mahal.

Ilmu adalah sesuatu yang mulia dan amat mahal harganya. Oleh karenanya kita butuh cara yang tepat untuk menggapainya. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini semakin membuat kita tersadar dan intropeksi diri. Apakah kita sudah melakukan adab-adab yang sesuai diinginkan islam ataukah belum.

B. Kritik dan Saran

Manusia adalah tempat lupa dan tempatnya kesalahan, maka dari itu Kami menyadari bahwa dari penyusunan makalah ini tentu ada kekurangan dan jauh dari kata sempurna, Kami berharap segala masukan dari para Pembaca bisa membantu kami untuk lebih baik kedepannya dan segala masukkan akan sangat kami hargai.

Adab muta’addib (murid) hendaknya kita pelajari dan praktekkan bahkan kalau perlu berulang-ulang di baca Kembali karena sejatinya pengulangan itu akan menguatkan dan semakin kuat adab seseorang dalam menuntut ilmu, semakin berkah ilmu yang dia dapatkan. Wallahuta’ala a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

▪️ Abdul Aziz Nada, Mausu’atul Aadaab Al Islamiyah, Riyadh: Darut Thayyibah, 2007
▪️ Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-'Asqalani, al-Ishabah fi Tamjiz al-Shahabah, tahqiq Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwidh Beirut: Dar al-Khutub al- Ilmiyah, 1995
▪️ Al Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Alkinani Asy Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim. Ter.Abu Hussamuddin, Taufik Auliya, Irwan Raihan (Pustaka Arafah) hlm. 20.
▪️ Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Yahya bin Syarf An Nawawi,
▪️ Hilyah Thalib al-‘Ilmi dalam al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah, Bakr Abu Zaid
▪️ http://www.salamdakwah.com/artikel/2292-waspadalah-tipu-daya-syaitan, Ari Mardiah Joban, 24-02-2015
▪️ Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, 2/13
▪️ https://muslim.or.id/25497-adab-seorang-murid-terhadap-guru.html)
▪️ https://muslim.or.id/29242-derajat-mulia-penuntut-ilmu-agama-2.html,dr. Adika Mianoki, Sp.S., 08-01-2017
▪️ https://muslim.or.id/43401-berkorban-harta-untuk-menuntut- ilmu.html,dr.Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK, 30-10-2018
▪️ https://rumaysho.com/12029-adab-pada-guru-1.html
▪️ https://rumaysho.com/13311-manfaat-teman-yang-baik.html,Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, 16-04-2016
▪️ https://rumaysho.com/2062-cahaya-allah-akan-jauh-dari-pelaku-maksiat.html, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, 19-11-2011
▪️ Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam : Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidkan Islam, Penerjemah : Haidar Baqir, Bandung : Mizan 1992
▪️ Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Hilhati Thalibil ‘Ilmi, Qashim: Muassasah Ibnu Utsaimin
▪️ Ibnu Jama’ah, Tadzkirotus Saami’, Beirut: Darul Basyaair Al Islamiyah
▪️ Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
▪️ Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Muhammad bin Salih Al-Utsaimin
▪️ Tafsir As-Sa’di, Abdurahman Nashir As-Sa'di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar