Jumat, 05 Mei 2023

NU dan Pelestarian Tradisi Pesantren.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Arif Fardhan, M.Hi
Disusun Oleh Kelompok 11 Angkatan 5 :
1. Chairina Mayangsari (PAI)
2. Futty Nayu Soka Kemala (PAI)
3. Nurul Haslinda (PAI)
4. Yossy Darma (PAUD)

KATA PENGANTAR

الـحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَـمِيْنَ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِيْنَ ، نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَعِيْنَ ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ ، أَمَّا بَعْدُ.

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu Wa Taalaa serta sholawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqomahan serta kesehatan untuk terus belajar dan mendakwahkan ilmu Allah Subhanahu Wataalaa. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya serta nikmat sehat sehingga kami dapat menyusun makalah “NU Dan Pelestarian Tradisi Pesantren” guna memenuhi tugas.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi Mahasiswa pada umumnya, dan tidak lupa kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kebaikan kami untuk kedepannya.

Bogor, 12 Maret 2023
Penyusun Makalah
Kelompok 11

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2.1 Rumusan Masalah
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian NU
2.2 Hubungan NU Dan Pondok Pesantren
2.3 NU dan Pelestarian Tradisi Pesantren
BAB 3 PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan, bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak ancaman yang membahayakan diri mereka. Persatuan, ikatan batin, saling membantu dan keseia-sekataan merupakan prasyarat dari timbulnya persaudaraan (ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.

Tujuan utama Nahdlatul Ulama adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian martabat manusia. Gerakan keagamaan yang digalang dimaksudkan untuk turut membangun dan mengembangkan masyarakat yang bertakwa kepada Allah, cerdas, terampil berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera.

Dengan demikian, multi peran pesantren tersebut memberikan harapan pesantren sebagai agen perubahan, baik dalam aspek keilmuan, sosial, budaya, dan pemberdayaan ekonomi. Tidak berlebihan kiranya obsesi tersebut karena pesantren memiliki komponen-komponen bagi ekspektasi terhadap terjadinya perubahan tersebut. Berbagai komponen tersebut adalah diantaranya posisi kiai yang memiliki karisma, budaya keilmuan yang selalu menuntut nilai-nilai idealisme, dan kemampuan memobilisasi massa untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Sayangnya di beberapa pondok pesantren belakangan komponen-komponen tersebut telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu bagi kepentingan hegemoni politik nasional. Posisi yang sangat strategis dari pesantren tersebut akan menjadi optimal peran sertanya manakala mampu menyelaraskan dinamika pembangunan bangsa apabila pesantren memiliki standarisasi mutu pendidikan sekaligus membekali para santri ketika kembali ke masyarakat melalui program life skill. Sudah barang tentu pendidikan pondok pesantren yang mengajarkan Islam secara komprehensif menjadikan santri mampu mensinergikan realita dinamika masyarakat secara bijaksana. Mustahil dengan materi dan pola pengajaran pondok pesantren menjadikan alumninya bersikap ekslusif. Sejarah mencatat bahwa pondok pesantren memiliki andil yang sangat besar bagi terwujudnya harmonisasi kehidupan. Metode dakwah para Wali yang sangat bijak menjadi mindset pola dakwah dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara ini.

Hal ini disebabkan materi pengajaran pondok pesantren tidak saja mengajarkan secara tekstual alquran dan hadis, namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Islam secara komprehensif. Sebut saja misalnya tarikh-tasyrik (sejarah dan hikmah diturunkannya sebuah syariat), nahwu-balaghah (bahasa dan sastra arab), asbabun nuzul (sebab sebab diturunkannya al quran), asbabul wurud (latar belakang timbulnya hadits), ushul fiqh (metode pengambilan hukum), mantiq (logika), dan sederet khazah ilmu yang mendukung integritas intelektualitas muslim. Belum lagi adanya interaksi sosial yang dibangun antar santri selama bertahun-tahun mondok di pesantren memberi pengaruh bagi tumbuhnya kecerdasan emosional santri. Tanpa melalui teori-teori psikologi modern, santri telah secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai empati, tanggung jawab, kejujuran, kesabaran, dan konsistensi, yang itu semua merupakan pilar-pilar kecerdasan emosi seseorang.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa arti NU ?
2. Hubungan NU dan pondok pesantren.
3. NU dan pelestarian tradisi pesantren.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian NU

Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab yang artinya 'Kebangkitan Para Ulama'. NU sendiri adalah organisasi keagamaan Islam Indonesia didirikan oleh Hasyim Asy'ari, kepala pesantren di Jawa Timur. NU memiliki anggota berkisar dari 40 juta (2013)hingga lebih dari 95 juta pada Tahun (2021) yang menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia.NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.

NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H (yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926) di Kota Surabaya oleh seorang ulama dan para pedagang untuk membela praktik Islam tradisionalis (sesuai dengan akidah Asy'ariyah dan fikih Mazhab Syafi'i) dan kepentingan ekonomi anggotanya. Pandangan keagamaan NU dianggap "tradisionalis" karena menoleransi budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini membedakannya dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, yang dianggap "reformis" karena membutuhkan interpretasi yang lebih literal terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.

Beberapa tokoh NU adalah pendukung konsep islam nusantara, sebuah ciri khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia. Islam Nusantara mempromosikan moderasi, anti-fundamentalisme, pluralisme dan pada titik tertentu, sinkretisme. Namun, banyak sesepuh, pemimpin, dan ulama "NU Garis Lurus" telah menolak Islam Nusantara dan memilih pendekatan yang lebih konservatif.

2.2 HUBUNGAN NU DAN PONDOK PESANTREN

Nahdlatul Ulama (NU) memang memiliki hubungan erat dengan pesantren. Begitu banyaknya pesantren hingga merambah ke pelosok-pelosok daerah yang berafiliasi dengan organisasi NU. Seperti umumnya pesantren-pesantren berdiri adalah karena pengaruh dan kredibilitas kekiaian seseorang, hingga dilanjutkan oleh anak dan cucu pendidiknya. NU tanpa adanya pesantren maka ajarannya sulit untuk dikembangkan. NU diawali dari pendidikan, karena pendidikan merupakan lahan untuk menyelamatkan generasi penerus.

Organisasi sosial keagamaan Islam (Jami’iyyah Diniyyah Islamiyyah) NU yang didirikan oleh Hadhratus Syekh K.H.M. Hasyim Asy’ari dan para ulama pesantren ini ibarat mewadahi suatu barang yang sudah ada, dengan kata lain NU didirikan untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama dan kiai pesantren untuk mengabdikan yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, menurut Chorul Anam (1999: 19) bahwa pada saat itu, NU juga memperhatikan pada masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara dan umat manusia.

Pesantren dilahirkan atas dasar kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni kewajiban menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat untuk mencetak kader-kader ulama atau mubaligh. Ketika zaman kolonial Belanda, pesantren didirikan sebagai counter terhadap ekspansi Belanda terhadap pendidikan di Tanah Air, yang pada saat itu pendidikan diperbolehkan hanya untuk kalangan priyayi. Sehingga diharapkan pesantren dapat dijadikan jalan untuk mencetak santri pelopor pembaruan.

Jika melihat kepemimpinan pondok pesantren sebagian besar menggunakan pola wilayatul imam, yakni kepemimpinan tidak hanya dilandasi kemampuan manajerial, akan tetapi diperlukan kemampuan spritual leader yang memiliki otoritas keimanan yang diikuti oleh masyarakat.2

Sehingga para kiai pengasuh pondok pesantren dapat meneruskan tradisi Nabi Muhammad, sebagai absolute frame of reference.

Pondok pesantren identik dengan NU karena kebanyakan milik orang NU. Maka dari itu konsepnya pun sama dengan konsep dari ke-NU-an yaitu:
1. Memperdalam syariah Islam
2. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah
3. Melestarikan yang sudah ada serta mengambil sesuatu yang baru, yang dianggap pantas untuk diambil.

Dari pembahasan tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Nahdlatul Ulama (NU) memang memiliki hubungan erat dengan pesantren. NU tanpa adanya pesantren maka ajarannya sulit untuk dikembangkan. NU diawali dari pendidikan, karena pendidikan merupakan lahan untuk menyelamatkan generasi penerus.

Pondok pesantren telah mampu merekonstruksi nilai-nilai keislaman yang dinamis dan sejalan dengan nafas keindonesiaan, sehingga pesantren kini menjadi bagian dari masyarakat yang tak bisa terlepas dari realita kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan tradisi yang lama dan mengakomodasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah) telah berhasil menjaga kemoderatan NU sehingga dapat diterima semua kalangan di seluruh penjuru dunia. Pondok pesantren identik dengan NU karena kebanyakan milik orang NU.

Maka dari itu konsepnya pun sama dengan konsep dari ke-NU-an yaitu:
1. Memperdalam syariah Islam
2. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah
3. Melestarikan yang sudah ada serta mengambil sesuatu yang baru, yang dianggap pantas untuk diambil.

2.3 NU dan Pelestarian Tradisi Pesantren

Pesantren adalah benteng pertahanan Islam tradisional yang paling efektif. Institusi pendidikan pesantren sanggup menjaga kewibawaan Islam tradisional, melalui pengajaran paham ahlussunnah wal jamaah yang menjadi acuan penganut Islam ini. Karena itu pesantre hampir-hampir dapat dikatakan identik dengan NU.

Sumbangan terbesar NU terhadap pendidikan pesantren adalah terletak pada kesanggupannya dalam menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren dengan segala macam tradisinya. Pesantren yang dalam sejarahnya muncul sejak abad ke-19, kelangsungannya banyak bergantung kepada kesediaan umat Islam untuk menjaga dan mengembangkannya. Peran penjagaan ini cukup dominan dimainkan oleh kalangan ulama NU. Meski tidak ada perencanaan makro untuk melangsungkan tradisi pesantren, tetapi tradisi yar ada selama ini telah cukup efektif menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren. Santri santri yang menganggap dirinya mempunyai kesanggupan melakukan transmisi pengetahuan agama melalui sistem pesantren, dengan suka rela membuka pesantren-pesantren baru. Para kyai sepuh dengan cermat juga telah menyiapkan pengganti-penggantinya yang bobot pengetahuan agamanya, dipandang cukup untuk menggantikan kedudukannya sebagai pengasuh pesantren. Komitmen untuk menjaga tradisi dan mengembangkan paham ahlussunnah wa al jamaah mengharuskan NU untuk terus menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren.

Sumbangan lain adalah pengembangan pesantren yang tidak sekedar bercorak tradisional, tapi juga mengikuti kecenderungan modernisasi yang berkembang di masyarakat. Sejumlah besar pesantren memang masih bercorak tradisional, tapi sebagian pesantren yang lain telah berkembang pesat dan tampil sebagai institusi pendidikan modem, dengan menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan formal yang dikelola secara profesional. Para kyai adalah guru agama, pemimpin agama dan tokoh agama yag siap mengikuti arus perubahan zaman. Karena itu pesantren yang mereka pimpin sangat siap mengikuti segala bentuk perubahan yang berada luar dirinya. Meski NU sebagai organisasi sebagai organisasi keagamaan memiliki kontribusi terbesar dalam menjaga kelangsungan dan turut mengembangkan sistem pendidikan pesantren, tidak berarti bahwa organisasi keagamaan lainnya sama sekali tidak mengembangkan sistem pendidikan model ini. 

Muhammadiyah meski dalam kadar yang tidak sebesar perhatian NU terhadap sistem pendidikan pesantren, gerakan keagamaan ini juga menaruh perhatian terhadap sistem pendidikan ini, dalam rangka mempersiapkan ahli-ahli agama dan juru dakwah yang sanggup menjadi penyebar ideologi pembaruan. Gerakan keagamaan lain yang juga bercorak pembaru seperti Persatuan Islam juga menaruh perhatian terhadap sistem pendidikan pesantren. NU boleh dikatakan cenderung lebih concern dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren daripada sistem pendidikan sekolah. Sebab, pesantren tidak saja dapat dijadikan sebagai wahana kaderisasi ahli agama, tapi juga menjadi benteng yang kokoh bagi kelangsungan faham ahlu sunnah wal jamaah. NU tidak saja mengembangkan pesantren, tapi juga menaruh perhatian terhadap sistem pendidikan sekolah. Pondok Modern Gontor sebenarnya tidak bisa disebut sebagai contoh dari keberhasilan menumbuhkan bentuk baru di tanah dimana ia tumbuh, walaupun ia telah menjelmakan diri sebagai salah satu bentuk pendidikan nasional yang setaraf dengan Taman Siswa-nya Ki Hadjar Dewantara.

Pesantren ini memang merupakan kampus yang megah dan cukup mengagumkan jika dilihat profil fisiknya tetapi ia tidak tumbuh bersama dengan masyarakat sekitarnya, bahkan pondok yang sebenamya bisa berbuat banyak terhadap lingkungannya yang miskin itu tidak memberi pengaruh terhadap perkembangan masyarakat desanya. Kyai Zarkasi, direktur intelektual pondok ini, tersebut pernah menjelaskan bahwa Gontor harus memiliki konsentrasi terhadap tujuan utamanya, yaitu ingin menyumbangkan sesuatu terhadap pendidikan nasional dan perkembangan Islam sebagai agama dunia. Karena itu ia melepaskan anak didiknya dari kewajiban memikirkan sesuatu yang sifatnya terlalu "kekinian" dan terlalu "praktis" yang sifatnya amat sementara. Pendidikan ketrampilan atau kejuruan dan kegiatan untuk memikirkan "pembangunan masyarakat desa" dinilai bukan tugas Gontor melainkan tugas pemerintah setempat, walaupun ia amat menghargai tugas ini. Sebagai akibat dari udhur ini, maka para santri praktis tidak dididik untuk sadar akan lingkungannya. Para santri Gontor memang nampak "modern", mampu berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris dengan tamu- tamunya dan suasana yang berlangsung di kampus yang luasnya 10 hektar dengan bangunan batu dan beton itu memang berbeda engan pondok-pondok yang mencerminkan "keterbelakangan", tetapi kampus itu tak ubahnya seperti enclave yang kontras dengan sekelilingnya, bahkan secara sosial, Gontor dengan lingkungan desanya menggambarkan suatu "konflik alam fikiran dan gaya hidup. Tidak seperti pondok-pondok lainnya, Gontor "bukan milik masyarakat sekitarnya, walaupun penumbuh Gontor adalah orang-orang yang dibesarkan oleh dan keturunan masyarakat setempat. Sudah pasti Gontor telah berhasil diakui sebagai salah satu milik nasional bahkan merupakan kebanggaan dari ummat islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dalam negeri.

Kedudukan Darul Fallah mirip dengan Gontor, tetapi berbeda dengan yang terakhir, pesantren pertanian yang didukung oleh orang-orang yang penuh pengabdian itu telah menjalin hubungan fungsional dengan masyarakat sekitarnya dalam program-program pembangunan desa. Tiadanya tokoh kyai yang bisa menghimpun dukungan emosional dan sosial pada pesantren Darul Fallah, diakui oleh pimpinan pondok ini sebagai salah satu kelemahan yang pokok. Karena itu mereka sedang mengusahakan agar ada seorang kyai yang bersedia menjadi pemimpin rohaniah di pondok ini, yang bisa menterjemahkan proses perubahan sosial serta pragmatisme ilmu pengetahuan ke dalam bahasa kulturil yang bisa dipahami dan dihirup ke dalam rongga alam fikiran mereka.

Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kulturi yang relatif lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya. Pola pertumbuhan hampir setiap pesantren menunjukkan gejala kemampuan melakukan perubahan toal ini. Bermula dari inti sebuah surau guna keperluan ibadat dan pengajaran, kemudian pesantren berkembang menjadi sebuah lembaga masyarakat yang memainkan peranan dominan dalam pembentukan tata nilai bersama yang berlaku bagi kedua belah pihak. Dalam proses pembinaan inti sikau yang kecil hingga menjadi sebuah lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapannya sendiri, pesantren juga merubah pola kehidupan masyarakat disekitarnya.

Sebuah kasus dapat ditunjukkan, yaitu sejarah pertumbuhan pesantren Tebuireng di Jombang. Masyarakat pedusunan di tempat itu pada mulanya adalah sebuah masyarakat serba keduniawian (mundaan) yang didukung oleh kehidupan yang relatif makmur dengan adanya sebuah pabrik gula di salah satu pedukuhan desa itu. Sikap hidup masyarakat Jawa lama, yang berorientasi kepada harmoni dengan sang Pencipta dalam suatu kehidupan yang serba keagamaan, bersinggungan dengan ekses-ekses dari kehidupan ekonomi liberal yang mendukung eksistensi pabrik gula itu. Proses akulturasi hasil perbenturan ini menciptakan masyarakat yang secara budaya berwatak rawan: hilangnya rasa aman perorangan dari gangguan "jago jago" dan meluasnya relativitas moral Berdirinya sebuah pesantren di tempat .itu, pada mulanya memperoleh tantangan keras dari masyarakat, tetapi lambat laun masyarakat itu mengalami transformasi menjadi sebuah pola kehidupan yang baru, dimana nilai kehidupan beragama kembali mendapatkan tempat yang dominan. Transformasi pola kehidupan masyarakat itu terjadi bersamaan dengan dan menjadi sarana bagi perkembangan pesantren Tebuireng sendiri, hingga akhirnya pesantren itu memiliki kedudukan kulturil yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan unsur lain dalam masyarakat.

Kedudukan yang dipegang seorang kyai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren. Dengan kedudukan sedemikian ini, kyai sekaligus juga menjadi pembimbing para santri dalam segala hal, Fungsi ini menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya asimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren. Kedudukan ustaz memiliki dua fungsi pokok: sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kyai dikemudian hari, dan sebagai pembantu kyai dalam mendidik para santri. Di dalam menunaikan fungsinya yang pertama, ia mulai diperkenalkan kepada masyarakat di luar pesantren dalam bentuk bermacam-macam, minimal dalam meladeni para orang tua santri dan tamu yang berkunjung ke pesantren. Dalam fungsi ini belajar melakukan peranan sebagai asmilator antara tata nilai yang telah ada dan "radiasi" kulturil yang baru. Sebagai pembantu kyai, ia diharuskan mematangkan penguasaannya atas literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren. Kedua tugas sebagai calon asimilator budaya dan ahli dalam ilmu pengetahuan agama ini adalah tugas yang sangat berat, terlebih lagi ia senantiasa berada dibawah pengawasan kyai. Perjalanan waktu membawa kesadaran baru bagi pemimpin pesantren. Tuntutan sosio-kultural, sosio ekonomik, dan sosio-politik yang selalu berubah-ubah membuka tabir yang menghalangi wawasan klai dan ustadz serta memaksa mereka untuk segera mengadakan pengembangan pendidikan di pesantren termasuk metode pengajaran (pendidikan) yang dipandang kurang relevan lagi dengan tuntutan zaman. Kuntowijoyo dan Mukti Ali melaporkan bahwa pada abad ke20 banyak pesantren mulai mengembangkan metode mengajar dengan sistem madrasah dari segi sistem pendidikan yang dianut, pesantren tidak banyak mengalami perubahan sampai awal abad ke-20 ketika sistem klasikal yang disebut madrasah mulai diperkenalkan di Indonesia.

Mulai sekitar 1901 hingga 1945 memang beberapa pesantren telah mengadakan pembaharuan metode, tetapi sebagian lainnya masih mempertahankan gaya tradisionalnya. Perubahan metode ini masih dipertentangkan atau setidaknya diragukan oleh pemegang kendali pesantren. Kemudian baru pasca kemerdekaan.

Perbedaan sikap ini disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu kondisi perangkat keras dan perangkat lunak yang berlainan, serta kesederhanaan dan kelengkapan yang mewarnai masing-masing pesantren. Kondisi yang serba kurang terdapat pada pesantren kecil sedang yang serba lengkap ada dalam pesantren besar. Metode yang diterapkan pesantren pada prinsipnya mengikuti selera kiai, yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pendidikannya. Dari prespektif metodik, pesantren terpolarisasikan menjadi tiga kelompok: kelompok pesantren yang hanya menggunakan metode yang bersifat tradisional dalam mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, kelompok pesantren yang hanya menggunakan metode-metode yang bersifat tradisional dan mengadakan penyesuaian dengan metode pendidikan yang dipakai dalam lembaga pendidikan formal.

Dibandingkan kelompok pertama atau kedua, model pesantren pada kelompok ketiga itu makin menjadi kecenderungan akhir-akhir ini. Betapapun masih terdapat model pesantren yang hanya menerapkan metode yang bersifat tradisional, tetapi pesantren yang melakukan pemanduan atau kombinasi berbagai metode (lama dan baru) dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest akibat aplikasi berbagai metode secara kombinatif.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

NU merupakan merupakan salah satu Organisasi keagamaan Islam di indonesia dan termasuk Organisasi terbesar karena tercatat telah memiliki anggota 95juta pada tahun 2021. NU yang didirikan pada tahun 1926 atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Tujuan utama NU adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian martabat manusia.

NU memiliki hubungan erat dengan pesantren, karena tanpa adanya pesantren maka ajarannya sulit untuk dikembangkan. NU diawali dari pendidikan, karena pendidikan merupakan lahan untuk menyelamatkan generasi penerus.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta. 2009

Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H. Materi Pendidikan Agama Islam. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 1998.

Warung Pendidikan.

Nahdlatul Ulama - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar