Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Arif Fardhan, M.Hi
Disusun Oleh Kelompok 4 Angkatan 5 :
1. Lutfi Andaristin (PAI)
2. Nurul Hasanah (PAI)
3. Azka Hasanah (SBA)
4. Aisyah (PAI)
5. Efni Redho (PAI)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah melimpahkan kenikmatan-Nya, Dengan karunia dan kemudahan yang Allah berikan, kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam dengan topik “Sistem Pendidikan Pesantren: Tradisi dan Proses Pembelajaran”. Kami berharap makalah dengan topik ini dapat bertambahnya pengetahuan kami.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak dengan tulus membantu dan memberikan do’a saran serta keritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan kami, Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, kami mohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan, akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 15 Februari 2023
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang.
1.2 Rumusan Masalah.
1.3 Tujuan Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN.
2.1 Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren.
2.2 Sistem Pendidikan Pesantren.
2.3 Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren.
2.4 Tradisi Sosial Pendidikan Pondok Pesantren.
2.5 Metode Pendidikan Pesantren.
BAB III PENUTUP.
3.1 Kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan telah berkembang dengan baik. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan sebagai lembaga sosial telah banyak memberikan warna yang khas dalam wajah masyarakat pedesaan sebagai lingkungan Pesantren.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana Kyai bertempat tinggal. Di samping itu juga ada fasilitas ibadah berupa Masjid. Mastuhu mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok pesantren menjadi salah satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Karena hakekat pesantren sebagai titik awal tranformasi, dengan sendirinya pesantren dipaksa oleh keadaan untuk memperolah alternatif terbaik bagi kehidupan. Pesantren sebagai pilihan ideal ini sangat sesuai dengan kultur agama Islam di nusantara ini.
Walaupun pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan tradisional, bukan berarti pesantren tidak mengalami perubahan dan penyesuaian. Pesantren telah menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia, dan telah mengalami dinamika dan perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan zamannya, sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Untuk mendapatkan gambaran tentang pendidikan di pondok pesantren, maka makalah yang sederhana ini akan membahas tentang “SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN”.[1]
[1] Humaidi, “Sistem Pendidikan Pesantren ”(http://qama-zaidun.blogspot.com/2015/05/sistem-pendidikan-pesantren.html, Diakses pada 14 Februari 2023)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren.
2. Bagaimana Sistem Pendidikan Pesantren.
3. Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren.
4. Tradisi Sosial Pendidikan Pondok Pesantren.
5. Metode Pendidikan Pesantren.
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini secara umum bertujuan untuk :
1. Mengetahui Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren.
2. Mengetahui Sistem Pendidikan Pesantren.
3. Mengetahui Sistem Pendidikan Pesantren.
4. Mengetahui Tradisi Sosial Pendidikan Pondok Pesantren.
5. Mengetahui Metode Pendidikan Pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren
1. Pengertian Sistem Pendidikan
Kata “Sistem Pendidikan Pesantren” terdiri dari tiga kata, yaitu sistem, pendidikan dan pesantren. Kata sistem secara bahasa memiliki arti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sedangkan pendidikan secara bahasa memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses.[2] Sedang kata pesantren memiliki arti asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Menurut Zamakhsyari Dhafir dan Manfred Ziemek Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri.[3] Versi Ensiklopedi Islam memberikan gambaran yang berbeda, menurutnya pesantren berasal dari bahasa tamil yang berarti guru ngaji atau bahasa India “sastria’ dan kata “sastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.[4]
[2] KBBI
[3] Zamahsyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta: LP3ES, 1984) hlm. 18. Dan lihat di: Manfret Ziamek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B. Soendjojo, (penj), (Jakarta: Guna Aksara,1986) hlm.16
[4] Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve,1993) hlm.107.
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquhu fiddiini) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari.[5]
[5] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994) hlm. 6
Jadi, sistem pendidikan pesantren adalah kumpulan dasar-dasar umum tentang bagaimana lembaga pendidikan diselenggarakan dalam rangka membekali pengetahuan kepada siswa yang di dasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunah.[6]
[6] Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS, 2002), hlm. 30-31.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan sistem yang memiliki beberapa sub sistem, setiap sub sistem memiliki beberapa sub-sub sistem dan seterusnya, setiap sub sistem dengan sub sistem yang lain saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan. Sub sistem dari sistem pendidikan pesantren antara lain,
1). Aktor atau pelaku: Kyai, ustadz, santri dan pengurus.
2). Sarana perangkat keras: Masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, pondok dan asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, tanah untuk pertanian dan lain-lain.
3). Sarana perangkat lunak: Tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat penerangan, keterampilan, pusat pengembangn masyarakat dan lain-lain.[7]
[7] Ibid. hlm. 25
Setiap pesantren sebagai institusi pendidikan harus memiliki ketiga sub sistem tersebut, apabila kehilangan salah satu dari ketiganya belum dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan pesantren.[8]
[8] Humaidi, loc. Cit.
2.2 Sistem Pendidikan Pesantren
Pada dasarnya pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, di mana pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan agama islam diharapkan dapat diperoleh di pesantren. Apa pun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pesantren di masa kini dan masa yang akan datang harus tetap pada prinsip ini. Tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Selain itu, tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.[9] Tujuan ini pada gilirannya akan menjadi factor motivasi bagi para santri untuk melatih diri menjadi seseorang yang ikhlas di dalam segala amal perbuatannya dan dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan sesuatu kecuali kepada Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum tujuan pendidikan pesantren adalah mendidik manusia yang mandiri, berakhlak mulia, serta bertaqwa.
[9] Dhofier, Tradisi Pesantren, 21.
Berdasarkan tujuan pendidikan pesantren seperti di atas, maka yang paling ditekankan adalah pengembangan watak pendidikan individual. Santri dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya, sehingga di pesantren dikenal prinsip-prinsip dasar belajar tuntas dan maju berkelanjutan. Bila di antara para santri ada yang memiliki kecerdasan dan keistimewaan dibandingkan dengan yang lainnya, mereka akan diberi perhatian khusus dan selalu didorong untuk mengembangkan diri, serta menerima kuliah pribadi secukupnya. Para santri diperhatikan tingkah laku moralnya. Kepada mereka ditanamkan perasaan kewajiban dan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, serta mencurahkan segenap waktu dan tenaga untuk belajar terus menerus sepanjang hidup.[10]
[10] Ibid. hal 22.
Dalam sistem pendidikan tradisional tidak dikenal adanya kelas-kelas sebagai tingkatan atau jenjang pendidikan. Seseorang dalam belajar di pesantren tergantung sepenuhnya pada kemampuan pribadinya dalam menyerap ilmu pengetahuan. Semakin cerdas seseorang, maka semakin singkat ia belajar.[11] Menurut tradisi pesantren, pengetahuan seorang santri diukur dari jumlah buku-buku atau kitab-kitab yang telah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Jumlah kitab-kitab standar berbahasa Arab yang harus dibaca (kutubul muqarrarah) telah ditentukan oleh lembaga-lembaga pesantren. Dengan demikian, dalam pesantren tradisional kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) dijadikan mata kajian, sekaligus sebagai sarana penjenjangan kemampuan santri dalam belajar. Satuan waktu belajar tidak ditentukan oleh kurikulum atau usia, tetapi kepada taraf kemampuan santri dalam mengkaji dan memahami kitab-kitab tersebut.[12]
[11] Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. (Malang : Kalimasahada Press, 1993)37.
[12] A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia”, dalam Tarekat, Pesantren, dan Budaya Lokal, ed. M. Nadim Zuhdi et.al. (Surabaya : Sunan Ampel Press, 1999) 79.
Dalam pesantren tradisional, untuk menentukan kitab mana yang akan dikaji dan diikuti oleh seorang santri tidak secara ketat ditentukan oleh kyai atau pesantren, melainkan justru diserahkan kepada santri itu sendiri. Hal ini karena santri yang meneruskan ke pesantren, terutama pesantren besar, dianggap telah mampu untuk mengukur kemampuannya, sehingga pesantren atau kyai hanya membimbing tentang cara menentukan pilihan kajian. Pemilihan materi belajar yang memberikan keleluasaan kepada santri untuk ikut mengambil peranan di dalam menentukan jenjang dan kurikulum belajarnya oleh sebagian peneliti dianggap sebagai adanya proses demokratisasi di dalam proses belajar mengajar.[13]
[13] Ibid., 80.
2.3 Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren
Mustolih menjelaskan bahwa Pengembangan sistem pendidikan di pesantren hendaknya dilakukan secara terpadu, tidak hanya melihat pada satu sisi tetapi melihat seluruh komponen pesantren sebagai satu kesatuan yang utuh yang saling berkaitan. Pemikiran dan operasionalisasi menejemen pendidikan terpadu akan banyak ditentukan oleh tujuan dan arah keterpaduan, yang menyatakan bahwa arah pendidikan di Pondok Pesantren saat ini adalah dalam pembinaan IMTAQ, IPTEK dan Skill fungsional atas dasar kebutuhan. Keterpaduan akan ditekankan dalam menata manajemen dan implementasinya yang untuk saat ini harus dimiliki oleh lembaga pendidikan pesantren dengan strategi pengembangan pendidikan yang telah dirumuskan.
Atas dasar beberapa pemikiran di atas, pembahasan kita berfokus pada masalah Implementasi dari stategi pendidikan pesantren. Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, maupun nilai, dan sikap. Pengembangan sistem pendidikan antara lain:
a. Kurikulum
1) Penerapan kurikulum dengan prosentase yang proporsional, disamping mengacu pada SKL dan SI yang ditetapkan BSNP, pesantren harus mampu mengembangkan kurikulum agar output dari pesantren mampu bersaing dengan lulusan sekolah umum di dunia kerja.
2) Pesantren atau sekolah memiliki kelenturan dalam menentukan waktu serta pesantren bisa merubah beberapa pelajaran yang dianggap penting
3) Pembentukan standar inti kompetisi untuk menjaga kualitas pendidikan.
b. Sarana dan Prasarana
Pengadaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan di pesantren.
c. Tenaga Pendidikan
1) Kepala sekolah atau pengelola pesantren diberi pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip kependidikan secara umum dan bertahap, agar memiliki keluasan dalam pengelolaan manajemen pesantren, kemandirian serta kebijakan yang luas, jauh dari intervensi.
2) Seleksi penerimaan, pengangkatan, penempatan dan penghargaan ustadz atau asatidz disesuaikan dengan kemampuan (kompetensi) yang mengikuti standart pemerintah dan pesantren.
3) Pengawas atau komite pesantren diberikan pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip pendidikan profesionalitas pengawasan. dan kepengawasan menumbuhkan profesionalitas pengawasan.
d. Pengembangan Anggaran
Disamping pesantren harus dapat mencari sumber dana untuk pembiayaan kegiatan, pesantren juga didorong untuk mandiri, memiliki aset sebagai sumber pendanaan sehingga tidak mengandalkan santri, donatur maupun pemerintah. Dalam penggunaan angaran pesantren, hal yang paling mendasar adalah memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1) Dana pembangunan, pengeluaran dana ini diatur dan digunakan untuk pembangunan dan pembenahan sarana fisik lembaga, dana ini di sesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah ustadz serta peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut.
2) Dana rutin, dana rutin adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional satu tahun anggaran. Dana rutin penggunaanya meliputi pelaksanaan progam belajar mengajar, pembayaran gaji ustadz maupun personil, serta pemeliharaan dan perawatan sarana prasarana lembaga pendidikan.
Dari kedua prinsip ini dapat di jabarkan sebagai berikut:
1) Membangun unit belajar/ruang kelas baru berikut sarana-prasarananya termasuk sarana olahraga, yang ditempuh baik melalui anggaran pemerintah (pusat dan daerah) maupun melalui pemberdayaan pertisipasi masyarakat dengan pengelolaan yang efisien dan kontrol yang semakin ketat.
2) Mengembangkan model-model alternatif layanan pendidikan yang efisien dan relevan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik kerena persoalan ketidakmampuan biaya maupun persoalan konflik sosial politik, untuk selanjutya dioperasionalkan oleh pengelola pendidikan daerah.
3) Memberikan beasiswa kepada keluarga miskin dan kepada siswa yang berprestasi dan bagi siswa yang secara sosial ekonomis tidak beruntung, yang bersumber dari pemerintah dan/atau masyarakat dengan memperhatikan prinsip pemberdayaan, kesempatan, pemerataan dan keadilan. Berkerjasama denga lembaga-lembaga lain. Baik negeri maupun swasta dalam bentuk imbal swadaya, sehingga lebih berdaya dalam mengelola pendidikan serta memacu partisipasi yang semakin meluas dari instansi lainnya.[14]
[14] Mustolih.(2012).Mustolih.5maret2014.http://mustolihtansasa.blogspot.com/2013/06/p engembangan-sistem-pendidikan-pesantren.html
2.4 Tradisi Sosial Pendidikan Pondok Pesantren
Prawiranegara mengemukakan pola yang khas terdapat dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut: independen, kepemimpinan tunggal, kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan, kegotong-royongan, motivasi yang terarah umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama. Lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan istilah sistem halaqah.
Oleh sebab itu, kebanyakan pesantren yang berbasis tradisional atau dalam istilah salafy, seperti Pondok Pesantren Raudhlatul Mutaallimin misalnya, aktivitas pembelajaran untuk memaknai (mengartikan) kitab kuning seakan-akan menjadi pembelajaran wajib. Dalam proses pengajarannya, seorang ustad bahkan kiai sendiri membacakan isi kitab tertentu, setiap kalimat diterjemahkan pada bahasa daerah (jawa). Sedangkan pada saat bersamaan, santri fokus mendengarkan pembacaan ustad ataupun kiainya tersebut, sembari menuliskan setiap terjemahan (makna) yang disampaikan oleh ustad ataupun kiai bersangkutan. Model-model pembelajaran dan kajian seperti inilah yang masih tetap dilaksanakan dalam proses pendidikan Pondok Pesantren Raudhlatul Mutaallimin.
Kitab kuning dalam tradisi pembelajaran Pondok Pesantren Roudhlatul Mutaallimin adalah merupakan simbol yang menjadi ciri khas dalam sistem pembelajaran di pesantren, dan dijadikan pegangan wajib serta ajaran primer yang bisa menjadi pembeda pesantren dengan kebanyakan institusi sosial lainnya. Bagi tradisi pembelajaran dan keilmuan pesantren, kitab kuning tidak ubahnya makanan keseharian atau menu wajib yang harus ada. Kajian kitab kuning menjadikan ciri khas tersendiri Pondok Pesantren Raudhlatul Mutaallimin dan yang membedakan dengan lembaga- lembaga lainnya, bisa diumpamakan seperti makanan sehari-hari yang menjadi menu wajib.
Selama proses pembelajaran kitab kuning di sini yaitu, setiap kitab yang diajarkan harus sampai khatam/selesai, tidak boleh ada yang ketinggalan, meski satu halaman sekalipun. Artinya, sistem pembelajaran kitab kuning di pesantren seringkali menekankan sistem ngebut. Karena untuk ganti kitab lain harus mengkhatamkan atau menyelesaikan kitab sebelumnya yang sudah dikaji. Demikian di Pondok Pesantren Raudhlotul Mutaallimin biasanya satu kitab dikaji selama satu semester harus sudah selesai. Masing-masing kitab yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan harus sudah bisa dipastikan khatam. Jika belum, maka akan ada tambahan jam guna menyelesaikan kajian kitab yang belum selesai. Proses pembelajaran kitab kuning ada targetnya, jadi setiap satu kitab harus khatam selama satu semester, maka dari itu untuk mencapai target khatam dengan cara menggunakan sistem ngebut, kalau misalnya satu kitab dalam satu semester belum selesai tidak bisa ganti kitab lain dan harus menambah jam di hari lain. Pembelajaran kitab kuning disesuaikan dengan kelas masing-masing, jadi antara santri-santri yang sekolah Aliyah/SMA berbeda dengan santri yang sekolah MTS/SMP”.
Kentalnya sistem pendidikan dalam pesantren salaf seperti dalam Pesantren Roudhlatul Mutaallimin dengan nilai-nilai keilmuan yang bersumber dari kitab kuning memang tidak dapat terbantahkan lagi. Tradisi sosial pendidikan pesantren yang identik dengan kajian kitab kuning mengisyaratkan konsistensi mereka untuk tetap kuat menjaga dan menumbuh kembangkan metode pembelajaran tradisional, karena sebagaimana banyak diketahui dan dipahami masyarakat umum, bahwa proses pelaksanaan pendidikan melalui kajian kitab kuning merupakan warisan tradisi pembelajaran Islam masa lalu, yang kemudian diterapkan ke dalam pesantren-pesantren masa kini yang masih menerapkan kajian kitab kuning. Sebagai upaya menjaga khazanah keilmuan Islam, khususnya yang berorientasi tradisional. Upaya ini terbilang cukup berhasil, karena lembaga pendidikan yang mengatasnamakan dirinya sebagai pondok pesantren hampir dipastikan akan menerapkan kurikulum pembelajaran yang berorientasi pada kajian kitab kuning.
Kitab kuning juga diketahui sebagai representasi kehadiran dan keberadaan para cendekiawan muslim masa lalu. Dalam tradisi kepesantrenan, mereka yang terlibat dalam pembuatan atau pengarangan kitab kuning disebut dengan ulama salafus shaleh, yakni merujuk pada ulama-ulama terdahulu yang telah bersedia untuk memberikan waktu, tenaga, dan keilmuannya dalam menuangkan gagasan dan pengetahuan mereka dalam kitab-kitab yang didalamnya membahas masalah-masalah keagamaan, baik itu masalah keagamaan yang berkaitan dengan masalah fiqh, tauhid, syari’ah dan lain sebagainya dalam yang sampai saat ini masih dikaji di pesantren-pesantren terutama pesantren yang berbasis salafy.
Oleh sebab itu, dalam tradisi kehidupan Pesantren Roudhatul Mutaallimin, keberadaan kitab kuning bukan semata diperuntukkan sebagai bahan kajian keilmuan, lebih dari itu terdapat sebuah bangunan nilai yang mencerminkan sikap penghormatan dan pengagungan komunitas pesantren terhadap keberadaan ulama/kiai yang menulis kitab kuning tersebut. Sebab itu, dalam tradisi pembelajaran Pondok Pesantren Roudhlatul Mutaallimin, baik seorang pelajar maupun santri, pengurus, ataupun kiai itu sendiri tidak dibenarkan untuk memperlakukan kitab kuning secara sembarangan. Kitab kuning itu tidak dijadikan sebagai bahan belajar untuk dikaji saja tetapi juga untuk menghormati dan menghargai para ulama yang telah menulis kitab tersebut. Kiai MS selaku pengasuh pesantren tersebut juga pernah berpesan “kalau supaya tidak memperlakukan kitab kuning secara sembarangan atau seenaknya saja”.
Di kalangan pesantren, kitab kuning disebut juga sebagai kitab ghundul, penyebutan ini merujuk pada penulisan kitab kuning yang disajikan dengan bacaan-bacaan arab tanpa panduan bacaan lengkap, seperti pemberian harakat, tanda berhenti seperti titik, koma dan sebagainya. Cara penulisan demikian adalah bagian dari upaya komunitas pesantren mempertahankan orisinilitas sebuah karangan (ulama), pun juga menjaga tradisi keilmuan dunia pesantren agar tidak mudah terkontaminasi oleh berbagai produk keilmuan dan pemikiran di luar mereka.
Proses pendidikan di pesantren memang menyiapkan para santri agar mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Hal demikian seperti halnya yang diterapkan dalam Pondok Pesantren Roudhlatul Mutaallimin. Dalam konteks ini, kiai dan para ustadz/ ustadzah di pesantren memegang peran penting mengenai konstruksi karakter para santri. Mereka menjadi role model bagi para santri yang diasuhnya. Keberhasilan pesantren membentuk karakter santri sangat bergantung pada keteladanan para orang alim di pesantren. Keteladanan tersebut tidak hanya diberikan melalui ceramah-ceramah semata, namun juga melalui tindakan nyata. Kelebihan pesantren mendidik santri terletak pada pembiasaan dan praktik keseharian.
Di sisi lain pesantren juga memberikan pembelajaran kontekstual kepada para santrinya. Materi-materi yang diberikan adalah hal-hal yang relevan yang akan para santri gunakan di masa depan. Misal saja, banyak pesantren memberikan penguatan pelajaran bahasa asing kepada santri karena menyadari bahwa penguasaan bahasa yang mumpuni merupakan keniscayaan di era global. Selain itu, pelatihan mubaligh yang diselenggarakan di pesantren ditujukan agar para santri memiliki public speaking yang baik. Karena para santri harus mampu menyampaikan gagasan-gagasannya kepada masyarakat secara runtut dan terstruktur. Menyampaikan pengetahuan keagamaannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami.
Beberapa pesantren termasuk pesantren Roudhlatul Mutaallimin juga rutin menyelenggarakan program Bahtsul Masail. Kegiatan tersebut menjadi penting karena membiasakan para santri mendialogkan beragam permasalahan dengan merujuk beragam referensi. Kebiasaan berdiskusi sangatlah penting agar para santri tidak alergi terhadap perbedaan pandangan yang ada di masyarakat kelak. Memperkaya perspektif mereka memandang suatu persoalan. Dan pada akhirnya membuat mereka menyadari sepenuh hati bahwa perbedaan tafsir atas teks keagamaan merupakan hal biasa dan akan mereka hadapi di masyarakat. Dan yang paling penting, pesantren memberikan para santri untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dirinya, manajemen diri. Proses tersebut merupakan bagian dari pendewasaan diri. Pola pendidikan di pesantren menyediakan mekanisme panjang agar santri memiliki kemampuan manajemen diri tersebut.
Keberhasilan mengelola diri sendiri merupakan salah satu kunci penting keberhasilan mereka di masa mendatang. Akan tetapi, meskipun pesantren memberikan segala ruang dan mekanisme pengaderan yang luar biasa, jika santri tidak mampu mengoptimalkan hal-hal tersebut, itu tidak akan memiliki pengaruh kepada diri mereka. Keinginan kuat dari diri sendiri tetap menjadi aspek yang paling penting. Oleh sebab itu, menjadi harapan bersama agar santri lulusan pesantren memiliki kesadaran penuh untuk memberikan kinerja nyata bagi kemaslahatan Indonesia dan berkontribusi untuk penciptaan Islam yang rahmatan lil alamin, memberikan kedamaian bagi bangsa dan negara.[15]
[15] Cholilatus Sa’diyah, “Eksistensi Tradisi Sosial Pendidikan Pesantren di Era Globalisasi”.
2.5 Metode Pendidikan Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam terdiri dari unsur yaitu Kyai/syekh/ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya mencakup pengembangan keilmuan yang bermanfaat dan pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. santri juga di ajarkan untuk penghafal Al-Qur’an serta disiplin dan berakhlak mulia.
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional dan metode pembelajaran modern (tajdid). Metode tradisional yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan.
Macam macam metode tradisional:
1. Metode sorogan, yaitu merupakan suatu metode yang biasa digunakan pondok pesantren pada zaman dahulu yang santri nya berjumlah sedikit, dilakukan dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya metode ini di lakukan di Mushola, masjid atau terkadang di rumah-rumah.
Metode ini juga di khususkan untuk kelompok santri pada tingkat rendah yaitu santri yang baru menguasai pembacaan al Qur’an. Para pengajar di tuntut untuk menerapan metode sorogan ini kepada santri dengan kesabaran dan keuletan, sedangkan Santri dituntut untuk memiliki disiplin tinggi, metode ini kurang efektif dan efisien karna membutuhkan waktu yang cukup lama.
2. Metode wetonan atau yang disebut juga bandongan yaitu metode tradisional yang paling utama di lingkungan pesantren. metode ini di lakukan dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan serta menelaah buku-buku Islam, sedangkan para santri mendengarkan kemudian mencatat point point penting yang guru terangkan..
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap tidak aktif, karena santri hanya mendengarkan tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya, metode ini juga santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen seperti biasanya.
3. Metode muhadharah yaitu metode latihan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab. Kegiatan ini biasanya diwajibkan disetiap Pondok Pesantren kepada para santrinya selama mereka di Pondok Pesantren. Metode ini untuk melatih Percakapan antar sesama santri atau santri dengan ustadznya, kyainya pada waktu tertentu. Pada metode ini guru memberikan kosa kata bahasa arab atau bahasa inggris kepada santri untuk dihafalkan sedikit demi sedikit, setelah banyaknya santri menguasai kosa kata tersebut, mereka sudah diwajibkan untuk menggunakan bahasa arab dan inggris dalam percakapan sehari-hari.
4. Metode hiwar atau musyawarah, metode ini sama dengan metode diskusi yang biasa pada umumnya. Bedanya metode ini dilaksanakan dalam rangka pendalamkan materi yang sudah di kuasai santri. Metode ini berciri khas yaitu santri dan guru terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memyelesaikan masalah yang di perdebatkan.
5. Metode hafalan atau tahfidz yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafalkan kitab-kitab tertentu atau juga sering juga dipakai untuk menghafalkan Al-Qur’an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan. Dalam metode hafalan para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu dalam jangka aktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian di “setorkan” dihadapan kyai atau ustadznya secara priodik atau insidental tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Dengan metode ini santri mampu mengucapkan atau melafalkan sekumpulan materi pembelajaran secara lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks.
6. Metode Halaqoh, dikenal juga dengan istilah munazaharah, Sistem ini merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkanoleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oeh kitab. Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning.
Metode pembelajaran modern (tajdid), yakni metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak diikuti dengan menerapkan sistem modern, seperti sistem sekolah atau madrasah.
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Baik dengan model sorogan maupun bandongan keduanya dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik. Kyai sebagai pembaca dan penerjemah, bukanlah sekadar membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional.
Secara teknis, model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadwal.[16]
[16] Alya Nurazika Lestari, “Metode Pendidikan Pesantren” (http://www.purisdiki.or.id/2020/05/metode-pendidikan-pesantren.html. Diakses pada 12 Februari 2023)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah mempelajari sistem pendidikan pesantren di era Pendidikan modern maka disimpulkan bahwa sistem pendidikan pesantren memiliki ciri khas masing-masing tergantung sistem pendidikan yang diterapkannya. Dalam pelaksanaannya sistem pendidikan pesantren yang ada, pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama tetapi pesantren juga sebagai lembaga pembinaan dan control sosial kepada masyarakat sehingga ada hubungan dekat antara pesantren dan masyarakat yang kemudian timbul sikap mendukung dari masyarakat untuk membantu mengembangkan pendidikan pesantren.
Di tengah era pendidikan modern ini pesantren mengalami beberapa perkembangan, ada yang masih mempertahankan sistem pendidikannya dengan pola tradisional atau sering kita sebut pesantren salafi ada juga pesantren yang berkembang dengan memasukkan pendidikan umum dalam sistem pendidikannya atau sering kita sebut pesantren modern. Dari kedua sistem pendidikan pesantren antara salafi dan modern keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, meskipun kedua sistem pendidikan pesantren tersebut berbeda tetapi kedua sistem pendidikan pesantren tersebut tetap mempertahankan kekhasan sistem pendidikan pesantren yaitu masih mempertahankan komponen pesantren yaitu Kyai, Santri, Masjid, Asrama dan Kitab kuning dalam pembelajarannya pun masih mempertahankan metode ta’lim,sorogan, balagan, talaqi, kajian umum, muhadoroh dan mudzakaro.
DAFTAR PUSTAKA
Humaidi, “Sistem Pendidikan Pesantren ”(http://qama-zaidun.blogspot.com/2015/05/sistem-pendidikan-pesantren.html, Diakses pada 14 Februari 2023)
Zamahsyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta: LP3ES, 1984) hlm. 18. Dan lihat di: Manfret Ziamek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B. Soendjojo, (penj), (Jakarta: Guna Aksara,1986) hlm.16
Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve,1993) hlm.107.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994) hlm. 6
Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS, 2002), hlm. 30-31.
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. (Malang : Kalimasahada Press, 1993)37.
A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia”, dalam Tarekat, Pesantren, dan Budaya Lokal, ed. M. Nadim Zuhdi et.al. (Surabaya : Sunan Ampel Press, 1999) 79.
Mustolih.(2012).Mustolih.5maret2014.http://mustolihtansasa.blogspot.com/2013/06/p engembangan-sistem-pendidikan-pesantren.html
Cholilatus Sa’diyah, “Eksistensi Tradisi Sosial Pendidikan Pesantren di Era Globalisasi”.
Alya Nurazika Lestari, “Metode Pendidikan Pesantren” (http://www.purisdiki.or.id/2020/05/metode-pendidikan-pesantren.html. Diakses pada 12 Februari 2023)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar