Sabtu, 12 Maret 2022

Mata Kuliah 02 : Pendidikan Akhlaq

Pengantar Mata Kuliah : Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam
| Ust. Abu Zahid, MPd.| Pendidikan Akhlak | Online google meet |
Ahad, 13 Maret 2022 jam 06.15 - 07.45 WIB, Pertemuan ke: 01

A. Sejarah, Definisi dan Makna Adab

1. Sejarah Adab

Kata Adab sudah dikenal dalam bahasa Arab sejak zaman pra-Islam. Menurut orientalis asal Italia, F. Grabrieli, maknanya berevolusi seiring perjalanan sejarah kebudayaan bangsa Arab.

Pemaknaan tertua dari kata adab merujuk pada suatu kebiasaan norma tingkah laku praktis dengan konotasi ganda, pertama, nilai tersebut dipandang terpuji, dan kedua, nilai tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Hanya saja, nilai-nilai kebaikan yang diwariskan pada masa pra- Islam merujuk pada realitas kesukuan dan kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu, baik sifatnya universal maupun dipandang baik oleh masyarakat tertentu.

Dr. Muhammad Ardiansyah dalam bukunya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi” menuturkan, “Setelah masa Islam, bahasa Arab mengalami penambahan unsur-unsur spritual dan intelektual dalam maknanya. Oleh karena itu, makna adab menjadi bermacam-macam. Pada awal Islam adab berarti pendidikan (at-tadzib) dan budi pekerti (al-khuluq) sebagaimana banyak disebutkan dalam hadis. Lalu pada masa Bani Umayyah adab juga bermakna pengajaran (at-ta’lim)”.

Ia melanjutkan, “Oleh karena itu orang yang mengajar tentang syair, khutbah dan sejarah orang-orang Arab disebut dengan mu’addib. Kemudian pada masa Bani Abbasiyah adab berarti pendidikan sekaligus pengajaran. Setelah itu adab lebih dikenal dengan sebagai sebuah disiplin ilmu tentang kesusastraan”.

Perubahan makna Adab dari pra-Islam sampai zaman Islam boleh dikatakan sebagai Islamisasi bahasa Arab. Menurut al-Attas, Islamisasi bahasa Arab ini terkandung dalam reorganisasi dan reformasi al-Qur’an terhadap struktur konseptual bidang-bidang semantik dan kosakata-kosakata dasar yang pernah mewakili pandangan jahiliyah tentang dunia bahkan kehidupan serta eksistensi manusia.

Dengan kata lain, ada nilai-nilai baru dibawa oleh Islam dalam memaknai bahasa Arab sekaligus mengakomodir nilai lama yang sejalan dengan Islam. Kata adab termasuk salah satu istilah yang mengalami Islamisasi bahasa Arab.

Oleh karena itu, meski para ahli bahasa Arab muslim sepakat dengan makna asal kata adab yang berarti undangan, namun mereka tidak memaknai sebatas makna asalnya. Mereka mereformasi makna adab dan menyempurnakannya dengan makna yang Islami.

2. Definisi dan Makna Adab

Ibnu Manzhur misalnya, ketika menyebut asal kata adab berarti undangan. Maka maksudnya adalah menyeru, mengajak dan mengundang seseorang kepada setiap perbuatan terpuji serta mencegah dari segala yang buruk.

Ia juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’udْ Radhَ iyallahu ‘aَnُhْ uَ .
ٌَ ٌأدة ِخّ ٌا اسخعػخً
َّلل ذخػئٍا
ن ْذا اىلرآن ٌأدةث ا

Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah jamuan dari Allah, maka belajarlah dari jamuan-Nya itu sesuai kemampuanmu”. (HR.ath-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.8567, al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shugra, no.731, ad-Darimi, as-Sunan ad-Darimi, no,2251).

Di dalam hadis ini, al-Qur’an dibuat perumpamaan (tasybih) dengan jamuan. Allah telah menyiapkan jamuan yang berisi kebaikan dan manfaat. Lalu Allah SWT mengundang manusia untuk merasakannya.

Ahmad bin Muhammad Ali al-Fayyumi Rahimahullah mencoba untuk mengaitkan kata Adab dengan kondisi jiwa manusia. Al-Fayyumi menyatakan bahwa Adab dibentuk dari pola a-da-ba (َدب أ) seperti dha-ra-ba (َب َض ََ ). Menurutnya, kata Adab berarti latihan jiwa dan akhlak baik.

Pemaknaan Adab al-Fayyumi ini disepakati oleh Abu Zaid al-Anshari. Menurutnya, “Adab mencakup semua latihan yang terpuji, membuat seseorang mencapai satu keutamaan (fadhilah)”.

Dari pandangan para ahli bahasa di atas terlihat bahwa kata adab sudah mengalami pergeseran makna, dalam bahasa Izutsu sudah mengalami transformasi semantik, atau sudah mengalami Islamisasi bahasa menurut al-Attas. Sehingga di dalam kata adab sudah terkandung unsur-unsur Islami dan nilai-nilai kebaikan yang bisa mendatangkan kebahagiaan jiwa.

Adapun secara terminologis, makna Adab telah disampaikan oleh banyak ulama. Di antara sebagaimana berikut ini:

Abu Qasim al-Qusyairi Rahimahullah (w.465 H) menyatakan bahwa, “Esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik. Oleh karena itu orang beradab adalah orang yang terhimpun sikap baik di dalam hatinya”.

Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, “Adab lebih dari sekadar sikap. Substansi adab adalah aplikasi atau pengamalan akhlak yang baik. Karena itu, adab merupakan upaya aktualisasi kesempurnaan karakter dari potensi menuju aplikasi”.

Imam al-Ghazali Rahimahullah memberikan makna yang berbeda untuk adab. Menurutnya, “Adab adalah pendidikan diri lahir dan batin yang mengandung empat perkara: perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang”.

Dalam pandangan Islam, meski aspek eksoteris dan esoteris manusia berbeda, namun saling terkait satu dengan lainnya. Sehingga, aspek batin yang baik akan melahirkan perilaku terpuji, berupa ucapan ataupun perbuatan.

Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani Rahimahullah menyampaikan definisi lain tentang adab. Ia mendefinisikan, “Adab dengan pengetahuan yang menjaga pemiliknya dari berbagai kesalahan. Juga memposisikan adab sebagai pengenalan (ma’rifat)”.

Dari definisi para ulama terlihat bahwa adab bukan lagi istilah yang berdiri sendiri, akan tetapi terkait erat dengan konsep lain dalam Islam, sikap, pengalaman, kebaikan, dan keutamaan. Oleh karena itu tidak salah jika adab disebut sebagai kata yang singkat tapi padat maknanya.

B. Adab di Dalam al-Qur’an dan Hadis

1. Kata Adab di Dalam al-Qur’an

Kata Adab dengan berbagai derivasinya tidak ditemukan dalam al- Qur’an. Namun ada satu ayat di dalam al-Qur’an yang ditafsirkan dengan perintah untuk menanamkan adab dan mengajarkan ilmu, yaitu surah at-Tahrim ayat: 6. Perhatikan dan renungkanlah firman Allah SWT berikut ini:

ياأحٓا اَّليَ ءأٌِا كٔا أُفسسً وأْييسً ُارا

“Wahai orang-orang yang beriman, piliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

Menurut ahli tafsir di kalangan sahabat, yaitu Abdullah bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhuma. Merekَa menafsirkan ayat ini:

“Didiklah mereka dengan Adab, dan ajarkanlah mereka ilmu”.

Tafsiran ini disepakati oleh Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah. Pada bab Adab al-Walid wa Birruhu li Waladihi (Adab ayah dan kebaikannya untuk anaknya) dari kitab al-Adab al-Mufrad, ia mengutip pernyataan pendapat para ulama yang mengatakan bahwa kebaikan itu dari Allah SWT. Dan adab itu datang dari orangtua.

Maksudnya adalah orangtua tidak boleh hanya menunggu kasih sayang Allah SWT agar anaknya menjadi manusia beradab. Akan tetapi harus ada usaha (ikhtiar) dari orangtua untuk menanamkan adab itu kepada anak-anaknya, karena hal itu merupakan amanah Allah SWT kepada dirinya.

Untuk membentuk adab pada diri seseorang menurut Abu Hafs Syihabuddin as-Suhrawardi Rahimahullah, ada dua macam, yaitu:

Pertama: Tidak perlu ada latihan tambahan lagi. 
Ini berlaku pada sebagian orang yang Allah berikan kekuatan hati kepadanya. Hal itu sebagaimana terjadi pada Nabi Muhammad SAW dan  juga para nabi lainnya.

Kedua: Membutuhkan latihan yang lama. 
Ini berlaku pada kebanyakan manusia karena hati mereka tidak sekuat para nabi. Oleh karena itu mereka membutuhkan bimbingan dari guru untuk mengubah karakternya menjadi perilaku yang baik.

Dari pandangan ulama ini, meskipun kata adab tidak disebutkan dalam al-Qur’an, namun tafsiran-tafsiran yang ada menguatkan bahwa adab merupakan bagian sangat penting dan utama dalam pendidikan Islam. Adab adalah hak setiap anak yang harus ditanamkan oleh setiap orangtua dan guru sebelum berserah diri kepada karunia dari Allah SWT.

2. Kata Adab di Dalam Hadis Nabi Muhammad SAW

Adapun dalam hadis Nabi Muhammad SAW, kata adab bisa ditemukan dengan berbagai makna. Di antaranya adalah sebagaimana berikut ini:

1. Adab berarti firman Allah 

ُيب أن يؤَت أدةّ، و ِإن
َ مسػٔ ٍد كال: ىيس َ ٌَِ مؤدب ْ إِال ؤْ
غَ اة
أدب ا َِّلل اىلرآن

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Bukanlah seorang pendidik kecuali ia senang diberikan adabnya. Dan sesungguhnya adab Allah itu adalah al-Qur’an”. (HR. ad-Darimi, kitab Sunan ad-Darimi, bab keutamaan orang yang membaca al-Qur’an, no.3364).

Artinya, seseorang pendidik harus senang hati jika disampaikan firman Allah SWT kepadanya. Ia harus senang membaca, memahami, mengamalkan dan menyebarkannya.

2. Adab berarti perilaku.

أكرمٔا أوالدزً وأخسِٔا أدبًٓ

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, no.3671)

Adab dalam hadis ini berarti perilaku. Menurut para ulama, cara memperbaiki perilaku anak adalah dengan mengajarkan mereka latihan jiwa dan akhlak baik. Makna yang sama untuk kata adab juga bisa ditemukan dalam haَdis lainَnَya. َ َ

ٌا َنو وا ِِل وِله أفضو ٌَ أدب خسَ

“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya lebih baik dibandingkan dengan adab baik”. (HR. Ahmad, dalam Musnad Ahmad, no.15439, al-Hakim dalam Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, no.7679).

Menurut para ulama, untuk membentuk perilaku yang baik, anak harus dididik dengan teguran, peringatan, bahkan sampai pukulan dengan cara baik, agar ia terbiasa melakukan hal baik dan menjauhkan hal buruk. Terkait masalah ini, Imam al-Ghazali Rahimahullah berpandangan bahwa sumber adab lahir dan batin adalah Nabi Muhammad SAW. Artinya, contoh paripurna dalam masalah adab ini yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena dirinya senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan adab yang baik dan akhlak mulia. Lalu Allah turunkan kepadanya al-Qur’an dan mendidiknya dengannya, sehingga akhlaknya adalah al-Qur’an.

Pendapat ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain untuk menjadi manusia beradab secara lahir dan batin kecuali dengan meneladani Nabi Muhammad SAW.  Sebab Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling sempurna (an-Insan al-Kamil) yang di dalam dirinya terhimpun segala sifat dan perilaku terpuji.

3. Adab berarti sanksi kedisiplinan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

ملسوهيلعهللاىلص
ج، ف ِإُّ لًٓ أدب
غيلٔا السٔط خيد يراه أْو اْلي

“Gantungkanlah cemeti (cambuk) di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah, karena itu menjadi adab (kedisiplinan) untuk mereka”. (HR. ath-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, no.10523).

Dalam riwayat lain Ibnu Sahnun Rahimahullah menyebutkan bahwa :

“Sanksi (kedisiplinan) untuk anak adalah tiga kali pukulan (cambuk). Jika lebih dari itu akan dikenakan qishash pada hari kiamat. Sanksi suami untuk istrinya adalah enam kali pukulan (campuk). Jika lebih dari itu maka ia akan dipukul pada hari kiamat. Dan sanksi untuk budak perempuan adalah sepuluh sampai lima belas kali. Jika lebih dari itu sampai dua puluh, maka ia akan dipukul pada hari kiamat”.

Sebagian ulama berkata:

ن اْلدب لَع كدر اَّلُب

Sesungguhnya sanksi (kedisiplinan) itu sesuai dengan kesalahan (dosa)”.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah memaknai pukulan sebagai bentuk sanksi kedisiplinan (adab). Di dalam kitab al-Adab al-Mufrad, bab Adab al-Yatim dan bab Adab al-Khadim, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari Rahimahullah memasukkan dua hadis yang mengandung penerapan adab melalui pukulan.

Pertama, dari Syumaisah al-Atakiyah, ia berkata:

“Sesungguhnya aku memukul (untuk mendidik) yatim sehingga ia menjadi bahagia”. (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, hal.45).

Kedَua, dari Abdullah binَ Qusaith:ُ

“Abdullah bin Umar mengutus budaknya untuk membawa emas atau uang. Lalu ia menukarnya dan aku melihat ia menukar uang itu. Ketika budak itu kembali dipukullah ia (untuk mendidiknya) dengan keras. Dan Ibnu Umar berkata: “Ambil punya saya dan jangan kamu tukar”. (HR. al-Bukhari, al- Adab al-Mufrad, hal.51).

Dari beberapa riwayat di atas adab memang terlihat sebagai proses pendidikan untuk menanamkan kebaikan. Baik dengan cara menyampaikan pesan Allah SWT, latihan jiwa ataupun pemberian sanksi kedisiplinan.

C. Berbagai Pandangan Ulama Tentang Adab

Adab juga menjadi perhatian para ulama. Bahkan perhatian mereka terhadap adab, melampaui perhatian mereka terhadap ilmu. Ulama dari kalangan sahabat seperti Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menuturkan:

“Pelajarilah adab kemudian baru pelajari ilmu”.

Dr. Muhammad Ardiansyah menuturkan bahwa, “Pernyataan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu ini sangat jelas menunjukkan bahwa mempelajari adab lebih didahulukan daripada mempelajari ilmu. Di dalam bahasa Arab kata sambung (harf athaf) tsumma (م ُث) bermakna li al-tartib wa al-tarakhi (harus tertib dan ada selang waktu lama). Ini artinya, proses mempelajari adab harus mendapat prioritas utama sebelum mempelajari ilmu. Jika adab sudah tertanam di dalam diri penuntut ilmu, maka ilmu akan mudah diterima dan dipahami”.

Yَusuf bin al-Husain Rahimahullah berkata:

ِةاْلدب حفًٓ اىػيً، ِوباىػي ًِ يصيح اىػٍو، ِوباىػٍو تِال اْلهٍث

Dengan adab, ilmu dapat dipahami. Dengan ilmu amal menjadi baik. Dan dengan amal, (hikmah) kebijaksanaan akan diperoleh”.

Dari ungkapan ini adab menjadi pra-syarat untuk mendapatkan ilmu. Karenanya para ulama dahulu selalu menekankan adab dalam proses menuntut ilmu. Ilmu yang bermanfaat harus dibuktikan dengan mengamalkannya. Pengamalan ilmu yang benar itulah akan melahirkan kebijaksanaan (hikmah).

Abdullah bin Mubarak Rahimahuَllah berkَata: “Kami lebih membutuhkan sedikit adab daripada ilmu yang banyak”.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa adab menjadi kebutuhan utama bagi penuntut ilmu, dibanding ilmu itu sendiri. Sedikit ilmu dengan adab akan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, ilmu yang banyak tanpa disertai adab akan menjadi tak bernilai apa-apa.

Dalam riwayat lain Abdullah bin Mubarak Rahimahullah juga pernah َberkata: َ َ

“Jika aku diceritakan tentang seorang memiliki ilmu generasi terdahulu dan akan datang. Aku tidak menyesal jika tidak sempat berjumpa dengannya. Jika aku mendengar ada seorang memiliki adab kepribadian baik, aku sangat berharap bisa berjumpa dengannya dan sangat menyesal jika tidak sempat berjumpa dengannya”.

Kata-kata ini menunjukkan bahwa masalah adab menjadi prioritas dalam dunia pendidikan Islam. Untuk menjadi seorang yang beradab, maka ia harus berguru dan bergaul dengan manusia beradab. Bukan sekadar memiliki ilmu yang luas. Karena itu, kehilangan sosok guru dan kawan beradab berarti sebuah musibah besar patut disesali.

Abdurahman bin al-Qasim Rahimahullah, salah seorang murid Imam Malik bin Anas Rahimahullah berkata: “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun, delapan belas tahun dihabiskan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun mempelajari ilmu. Alangkah sayangnya, seandainya semua waktu itu dihabiskan untuk mempelajari adab”.

Kisah ini menunjukkan bahwa salah satu jalan menjadi manusia beradab adalah dengan berkhidmat kepada guru. Dengan demikian, murid akan menerima adab bukan sekadar dari ilmu yang tertulis di buku, tapi yang sudah diamalkan oleh gurunya. Khidmat inilah yang dilakukan oleh para sahabat ketika mereka menimba dan menuntut ilmu dari Nabi Muhammad SAW. Begitu juga dengan para ulama generasi berikutnya. Kisah ini juga bukan berarti selama 18 tahun itu ia tidak belajar ilmu. Hanya saja, porsi adabnya jauh lebih banyak daripada ilmu.

Imam Muhammad bin Idris َasy-Syafi’iَ Raَ himahullَahْ berkaَta: “Bagaimana keinginanmu terhadap adab?” Ia menjawab, “Ketika aku mendengar satu hal tentang adab, maka seluruh tubuhku merasakan nikmat karenanya”. Ia ditanya lagi, “Bagaimana engkau mencari adab?” Ia menjawab, “Seperti seorang wanita yang kehilangan anaknya dan ia tidak memiliki apapun selain anak itu”.

Perhatikan jawaban Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i Rahimahullah ini menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dirinya dalam mengejar adab sekaligus mencapainya. Apa pun harus siap dikorbankan untuk meraih Adab. Sebagaimana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya tidak kenal lelah mencari anaknya, tidak peduli besarnya biaya harus dikeluarkan. Ini adalah sebuah perumpamaan yang indah harus dipahami oleh setiap penuntut ilmu.

Sahl bin Abduَllah at-Tَusturi Rahimahullah berkata: “Siapa yang menundukkan nafsunya dengan adab, berarti ia mengabdi kepada Allah dengan ikhlas”.

Pernyataan Sahl bin Abdullah at-Tusturi Rahimahullah ini merupakan bagian dari adab yang terpenting, yaitu adab kepada Allah SWT. Melalui pengabdian kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan menundukkan hawa nafsurnya yang selalu mengajaknya untuk menentang Allah SWT.

Yasin bin Malik Rahimahullah berpandangan bahwa adab juga harus diperhatikan sebelum beramal Ia menuturkan : “Adab ketika beramal adalah tanda diterimanya amal itu”.

Untuk diterimanya amal harus sesuai dengan rukun dan syaratnya. Namun, selain itu juga ada adab-adab yang harus diperhatikan. Dalam konteks pendidikan Islam, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya sekadar menyelesaikan tugas-tugas dari gurunya, akan tetapi juga harus memerhatikan adab selama proses belajarnya sebagai syarat kenaikan ke jenjang berikutnya.

Bazurjamhir berpandangan bahwa adab adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi. Ilmu tidak boleh dipisahkan dengan adab. Sebab keduanya adalah sarana bagi manusia untuk mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Ia menuturkan: “Ilmu dan adab itu simpanan yang tidak habis. Pelita yang tidak padam. Dan perhiasan yang tidak rusak. Siapa saja mendapatkannya niscaya ia mendapat petunjuk, mengenal jalan ke tempat kembali (akhirat) dan hidup mulia di antara manusia”.

Zakariya al-Anbari berpandangan bahwa ilmu tanpa adab seperti apiَ tanpa kayu bakar, َadab tanpa ilmu seperti jiwa taَnpa jasad.

اىػيً ِةَل أدب َكنلار َل خعب، واْلدب ِةَل غي ًٍ نروح ةَل جسد

Selain, al-Ghazali juga mengutip pernyataan para ulama yang memandang adab sangat terkait dengan iman, tauhid, dan syariah. Adab menjadi pondasi tegaknya syariah, iman dan tauhid. Dengan kata lain, adab menjadi inti dari ketiga pondasi agama itu.

“Ketauhidan seseorang menuntut adanya keimanan. Artinya, seorang yang tidak beriman berarti tidak bertauhid. Dan keimanan itu sendiri menuntut adanya syariah. Seseorang yang tidak berpegang pada syariah sesungguhnya ia tidak memiliki keimanan dan ketauhidan. Sedangkan syariah menuntut adanya adab. Siapa yang tidak beradab, maka sesungguhnya ia tidak bersyariah, tidak beriman apalagi bertauhid”.

Pernyataan Imam al-Ghazali Rahimahullah ini dikomentari oleh Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari Rahimahullah, “Ini semua adalah teks yang jelas, dan pendapat-pendapat yang ditopang dengan cahaya ilham sangat jelas tentang tingginya kedudukan adab.

Pernyataan ini juga menjelaskan bahwa seluruh aktifitas beragama, baik bersifat aktifitas hati atau badan, ucapan atau perbuatan tidak akan bernilai sama sekali, jika tidak disertai adab yang baik, sifat terpuji dan akhlak mulia”.

Dengan demikian, kualitas keimanan dan pengamalan ibadah seseorang sangat bergantung kepada adabnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa adab bukan hanya berarti etika terhadap sesama. Akan tetapi yang lebih utama adalah Allah. Dengan kata lain, adab menjadi syarat diterimanya amal beserta segala bentuknya. Tanpa adab, amal tidak akan berguna. Dan tidak akan mendapatkan pahala

Ruwaim bin Ahmad memberi perumpamaan yang indah pentingnya perpaduan ilmu dan adab. Ia berpesan kepada anaknya.

“Hai anakku, jadikanlah ilmu kamu garam dan adabmu tepungnya”.

Dalam sebuah adonan makanan, komposisi bahan-bahannya harus tepat. Jika komposisi adonannya salah, maka tidak akan menghasilkan makanan yang enak. Seperti sebuah roti, maka bahan tepungnya harus lebih banyak daripada garamnya. Jika garam lebih banyak dari tepungnya, maka hal itu tidak akan menghasilkan roti yang baik dan enak ketika dimakan.

Begitu juga dalam masalah ilmu dan adab. Agar ilmu bisa bermanfaat, maka komposisi adab harus yang lebih banyak daripada ilmunya. Seorang yang sedikit ilmunya tapi baik adabnya, akan diterima kehadirannya di masyarakat. Sebaliknya, orang yang berilmu luas, tapi kurang adabnya, tidak akan mendapatkan tempat di hati masyarakatnya.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah mengingatkan seorang untuk mendidik anaknya dan mengajarkan anaknya ilmu. Karena kebaktian dan ketaatan anak kepada orang tuanya, sangat bergantung dengan adab dan ilmu yang diajarkan kepadanya.

Disebutkan dalam sebuah riwayat:

Utsman bin al-Hathibi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Umar berkata kepada seorang laki-laki, “Didiklah anakmu, sebab sesungguhnya engkau akan ditanya tentang anakmu. Apa yang engkau tanamkan dalam pendidikannya. Apa yang engkau ajarkan. Diapun akan ditanya tentang kebaktiannya dan ketaatannya kepadamu”.

Pernyataan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma ini sangat jelas menunjukkan urgensi adab. Setelah seseorang menanamkan adab dalam dirinya, maka selanjutnya adalah kewajiban menanamkan kepada keluarganya.

Ini adalah pendidikan atau proses penanaman adab yang terdapat dalam tafsiran Qs.at-Tahrim ayat: 6. Orang yang mengabaikan Adab anak-anaknya harus siap mempertanggung jawabkan kelalaiannya di hadapan Allah SWT.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa proses penanaman adab itu tidak bisa cepat. Karena dalam proses penanamannya perlu keyakinan, pembiasaan, keteladanan, keikhlasan, dan kedisiplinan.

Oleh karena itu seorang tokoh tabi’in, al-Hasan al-Bashri mengingatkan bahwa proses menanamkan adab memang membutuhkan waktu yang lama. Istiqamah menjadi syarat utama dalam usaha memperbaiki adab itu. Ia berkata:

ن َكن الرجو ْلخرج ِف أدب يسستّ السنْي ثً الس ْي
Seyogianya seorang manusia itu terus menerus berusaha memperbaiki adab dirinya dari tahun ke tahun”.

Begitu pentingnya adab ini, para ulama tidak hanya menyampaikan pandangannya tentang adab. Mereka juga berusaha menyusun materi adab dalam karya-karyanya. Nah, di antara karya-karya para ulama tentang adab adalah sebagaimana berikut ini:

1. Al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari.
2. Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Mawardi.
3. Al-Adab fi ad-Din, al-Ghazali.
4. Bidayah al-Hidayah, al-Ghazali.
5. Al-Ghunyah li Thalib Thariq al-Haq, Abdul Qadir al-Jilani.
6. Adab al-Muridin, Abdul Qahir as-Suhrawardi.
7. At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an, an-Nawawi.
8. At-Ta’rif bi Adab at-Ta’lif, as-Suyuthi.
9. Adab Suluk al-Murid, Abdullah bin Alawi al-Hadad.
10. Adab al-Ihsan, Sayyid Utsman bin Yahya (Mufti Betawi).
11. Adab al-’Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju Ilaihi al-Muta’allim fi Ahwali Ta’allumihi wa Ma Yataqqafu ‘Alaihi al-Mu’allim fi Maqamati Ta’limihi, Hasyim Asy’ari.
12. Adad al-Muta’allimin, Ahmad bin Abdullah al-Batali.
13. Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabi al-Alim wa al-Muta’allim, Badaruddin bin Jamaah al-Kinani.
14. Dan masih banyak lagi.

Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa masalah adab memang sangat penting. Dan sudah menjadi prioritas sejak masa generasi salafush shalih. Allah SWT dan Rasul-Nya memerintahkan umat ini untuk menanamkan adab di dalam dirinya, lalu kepada keluarganya.

Pandangan para ulama di atas menunjukkan bahwa makna adab ternyata tidak terbatas pada masalah sopan santun dan etika kepada manusia. Akan tetapi juga bagaimana berperilaku baik kepada Allah SWT, Rasul-Nya, waktu, kedudukan dan sebagainya. Itulah sebabnya para ulama senantiasa semangat dalam mencari adab dalam proses menuntut ilmunya dan mengamalkan dalam hidupnya.

Sebagai inti dari pendidikan, penanaman adab membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Karena perlu ada usaha yang istiqamah dan juga evaluasi berkesinambungan agar adab itu tetap terpelihara sehingga lahir manusia beradab.

D. Perbedaan Antara Adab, Akhlak dan Karakter

1. Adab dan Akhlak

Secara etimologi, kata akhlaq adalah bentuk jama’ dari kata khuluq (قe ُل ُخ ). Makna awalnya berarti tabiat dan watak. Adapun secara terminologi, menurut Imam al-Ghazali Rahimahullah tidak mudah mendefinisikannya. Oleh sebab itu, meski para ulama telah membahas masalah akhlak, namun ketika ditanya definisi akhlak, para ulama umumnya hanya menyebutkan sebagian buah dari akhlak mulia.

Namun demikian, para ulama seperti Imam al-Ghazali dan al-Isfahani Rahimahumallah berpandangan bahwa kata khalq dan khuluq adalah dua istilah yang melekat pada diri manusia. Karena manusia memiliki kulit luar bisa dilihat oleh mata (bashar), serta memiliki ruh dan jiwa bisa ditangkap oleh pandangan hati (bashirah).

Jika disebut al-khalq itu artinya tampilan lahiriah manusia. Sedangkan jika dikatakan al-khuluq maka yang dimaksud adalah aspek batiniah manusia. Masing-masing, baik al-khalq dan al-khuluq memiliki bentuk maupun sifat baik atau buruk.

Kedua istilah itu bisa ditemukan dalam satu doa Nabi Muhammad SAW :
“Ya Allah, sebagaimana engkau membuat baik rupaku maka perbaikilah akhlakku”. (HR. al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, no.8184).

Hadis ini menunjukkan kebenaran pandangan para ulama. Istilah khalq dan khulq adalah dua hal yang berbeda tapi menyatu di dalam diri manusia. Hadis ini juga menunjukkan bahwa akhlak bukanlah tampilan luar manusia, tapi aspek dalam manusia. Dengan kata lain, akhlak bukanlah perilaku itu sendiri pada hakikatnya, tapi sifat dalaman setiap manusia.

Hanya saja, indikator baik atau buruknya kondisi jiwa manusia itu tampak dari perilakunya. Untuk lebih jelasnya, definisi para ulama tentang akhlak dapat membantu dalam rangka memahami esensinya. Di antaranya adalah sebagaimana berikut ini:

Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlaq : 
“Khulq (akhlaq) adalah kondisi jiwa yang menimbulkan tindakan tanpa pemikiran dan pertimbangan”.

Imam al-Ghazali dan al-Jurjani Rahimahumallah mendefinisikan akhlak dengaُn redaksi yang relatif sama, namun lebih lengkap.

“Akhlak adalah gambaran tentang kondisi yang kuat di dalam jiwa. Semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan dan tanpa membutuhkan pemikiran serta pertimbangan. Jika kondisi yang menjadi sumber berbagai perilaku itu bersifat baik dan terpuji secara rasional maupun syara’, maka kondisi itu disebut akhlak baik. Dan jika yang muncul darinya adalah berbagai perilaku buruk, maka dinamakan kondisi yang menjadi sumber itu sebagai akhlak buruk”.

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kondisi jiwa seseorang sangat mempengaruhi perilakunya. Sebagaimana tampilan luar manusia tidak akan menjadi indah hanya dengan mata, tanpa hidung, mulut dan sebagainya. Maka aspek dalaman manusia (jiwa) juga harus memiliki bagian-bagian yang membuatnya menjadi indah.

Oleh karena itu setiap manusia harus memahami kondisi jiwanya agar bisa mengkondisikannya dengan baik, sehingga melahirkan perilaku yang baik. Dengan demikian, jadilah ia manusia yang berakhlak mulia.

Menurut para ulama di dalam jiwa manusia ada empat kekuatan (fakultas jiwa) yang harus diperhatikan, pertama kekuatan ilmu, kedua kekuatan marah, ketiga kekuatan syahwat, dan keempat kekuatan keseimbangan. Jika keempat kekuatan ini lurus dan sesuai maka akan terwujud akhlak mulia.

Baiknya kekuatan ilmu disebut dengan hikmah (kebijaksanaan). Baiknya kekuatan marah disebut dengan syaja’ah (keberanian). Baiknya kekuatan syahwat disebut dengan iffah (menjaga kehormatan diri). Dan baiknya kekuatan keseimbangan disebut dengan ‘adl (keadilan). Keempat kondisi ini disebut induk dari akhlak mulia.

Kebaikan fakultas jiwa ini adalah ketika kondisinya mampu berada di titik tengah. Artinya, kondisi fakultas jiwa tiap manusia harus berada secara seimbang dan stabil. Tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Tidak berat ke kanan dan tidak berat ke kiri. Singkatnya, kondisi jiwa manusia yang berakhlak mulia selalu stabil. Di mana saja, kapan saja, dan dalam keadaan apa saja.

Ibnu Miskawaih Rahimahullah menuturkan, “Makna kebaikan adalah titik tengah, karena letaknya di antara dua kehinaan, dan posisinya paling jauh dari kehinaan itu. Karena itu, jika kebaikan bergeser sedikit saja dari posisinya, lalu ke posisi yang lebih rendah, maka kebaikan itu mendekati salah satu kehinaan. Dan menjadi berkurang nilainya menurut dekatnya ia dari kehinaan yang didekatinya. Maka sulit sekali mencapai titik tengah ini dan mempertahankannya ketika hal itu telah dicapai adalah lebih sulit lagi.

Dengan demikian, keempat fakultas jiwa itu harus dijaga dari tergelincir ke salah satu sisi. Baik sisi kelebihan atau kekurangan. Jika kondisi jiwa bergeser ke salah satu sisi, maka semakin jauh dari akhlak mulia. Dan semakin dekat dengan akhlak yang didekati itu. Sebagai contoh, sifat syaja’ah (keberanian) adalah akhlak mulia, karena posisinya di pertengahan. Tapi jika bergeser ke sisi kelebihan, ia akan menjadi tahawwur (berani tanpa perhitungan). Sedangkan jika bergeser ke sisi kekurangan, ia akan menjadi jubn (takut).

Contoh lain, sifat hikmah (kebijaksanaan) adalah sifat mulia karena ia bersumber dari kekuatan akal. Namun kekuatan akalnya bergeser ke sisi kelebihan, maka dapat mengarah pada makar dan tipu daya. Di sisi lain, jika ia bergeser ke sisi kekurangan, ia akan menjadi bodoh bahkan gila. Begitu juga fakultas jiwa lainnya.

Namun untuk mempertahankan kondisi jiwa di titik tengah itu tidaklah mudah. Sebagai manusia biasa tentu ada kalanya lupa, salah dan sebagainya. Oleh karena itulah akhlak membutuhkan evaluasi yang terus menerus. Tujuannya agar kondisi jiwa manusia tidak bergeser atau berpaling dari titik tengah yang sempurna.

Orang yang mampu mencapai kesempurnaan kondisi jiwa seperti ini hanyalah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan manusia sesudahnya berbeda-beda tingkatannya sesuai kadar dekat dan jauhnya mereka dari Nabi Muhammad SAW. Artinya, tidak ada jalan lain untuk menjadi manusia berakhlak mulia selain mengikuti Nabi Muhammad SAW. Karena itulah dirinya layak dijadikan teladan oleh setiap muslim.

Oleh karena itu, untuk mencapai keutamaan ini manusia harus menjalani proses pendidikan berupa pengetahuan yang menjaga dari kesalahan, olah jiwa (riyadhat an-nafs), dan juga kedisiplinan tinggi. Proses ini disebut dengan ta’dib. Penamaan adab pada diri seseorang agar mencapai keutamaan. Proses pendidikan ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam waktu yang cukup lama.

Semua proses pendidikan ini bertujuan untuk membuat kondisi hati menjadi stabil, seimbang, dan senantiasa berada di titik tengah. Tidak berpaling atau bergeser ke sisi yang tercela. Dengan begitu, stabilnya kondisi jiwa ini akan melahirkan pokok-pokok akhlak. Kemudian melahirkan sifat-sifat mulia yang dibawanya. Dengan semua kebaikan itulah manusia akan mencapai kemuliaan dan kebahagiaan.

Menjadi jelas bahwa adab tidak sepenuhnya sama dengan akhlak. Namun memiliki hubungan yang sangat erat. Karena akhlak adalah kondisi jiwa, sifat yang ada padanya bisa baik dan bisa buruk. Dengan adanya penanaman adab (ta’dib), maka jiwa dididik untuk selalu menjadi baik dan menjauhi segala yang buruk.

2. Karakter

Adapun istilah karakter itu berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti mengukir sehingga membentuk sebuah pola. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter diartikan dengan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti membedakan seseorang dari yang lain.

Istilah karakter, khususnya di dunia pendidikan muncul di masyarakat Barat yang tidak lagi percaya dengan konsep moralitas bersumber dari agama. Sejumlah pemikir Barat seperti David Hume dan Jeremy Benthem berpandangan bahwa konsep yang diambil dari agama tidak berguna untuk tesis moralitas.

Menurut mereka, pendidikan itu tentang pengetahuan dan dianggap bebas nilai, sementara agama adalah tentang dogma dan sarat nilai. Filsafat pencerahan jauh lebih selaras dengan pendekatan perkembangan pada perkembangan karakter.

Dalam masyarakat Barat, pandangan terhadap moral memang terpecah menjadi dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama berpandangan bahwa kebenaran moral itu relative. Menurut kelompok ini, moral baik dan buruk itu tergantung masing-masing individu dalam mendefinisikannya. Pandangan semacam ini menjadi kebijakan negara yang wajib diterapkan public school di Amerika Serikat. Bahkan mereka melarang menggunakan konsep agama untuk menilai moral baik dan buruk.

Dalam pandangan moral yang relatif, berbagai kasus amoral terjadi akhirnya dianggap biasa dan bukan masalah. David Purpel bahkan mengatakan bahwa jika telah terjadi peningkatan signifikan dalam kehamilan usia remaja, masih ada pertanyaan mengapa hal itu dianggap sebagai pelanggaran moral. Baginya, kehamilan usia remaja dan perceraian bukanlah masalah sama sekali.

Pandangan relativisme moral ini mendapat kritikan dari kelompok konservatif. Menurut mereka ada standar moral berlaku universal, yaitu standar yang berlaku absolut universal. Di mana setiap agama dan budaya pasti mengakuinya.

Misalnya rasa kasih sayang kepada sesama, menolong orang lain, berlaku jujur dan bertanggung jawab adalah nilai moral yang berlaku universal. Dengan demikian tidak relatif kebenarannya.

Adanya perdebatan ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter yang lahir dari Barat belum matang dan masih menyisakan sejumlah masalah. Konsep karakter yang kosong dari muatan moral dan nilai-nilai agama berarti karakter sekular. Oleh karena itu, istilah karakter tidak tepat disamakan dengan akhlak, karena istilah karakter telah disekularkan. Sedangkan istilah akhlak sangat sarat dengan moral dan nilai-nilai Islam.

Sedangkan pandangan kelompok konservatif yang menilai adanya moral universal juga tidak bisa diterima begitu saja. Pandangan semacam ini dapat bermuara kepada pluralisme agama. Beberapa karakter yang disebut di atas, seperti rasa kasih sayang kepada sesama, menolong orang lain, berlaku jujur dan sebagainya mungkin ada di setiap agama.

Namun karena ada worldview (cara pandang) yang berbeda, maka baik secara konsep maupun aplikasi tentu tidak bisa sama. Sebagai seorang muslim, konsep kasih sayang, saling menolong, kejujuran dan sebagainya tidak boleh bertentangan dengan pandangan hidup Islam.

Istilah akhlak dalam perspektif Islam memiliki landasan yang jelas dari wahyu. Sehingga baik atau tidaknya kondisi jiwa dan perilaku seseorang dinilai sejauh mana kesesuaiannya dengan ajaran di dalam Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Islam orang berkarakter belum tentu berakhlak. Sedangkan orang berakhlak sudah pasti berkarakter.

Jadi, ketiga istilah di atas, adab, akhlak dan karakter memang tidak sama. Dan istilah pertama, adab dan akhlak adalah istilah khas (khusus) dalam Islam. Sedangkan karakter adalah istilah dari Barat yang dianggap sama dengan akhlak, padahal sangat berbeda.

Dalam pendidikan, umat Islam sudah memiliki konsep yang matang dengan kandungan pemahaman nilai (ta’dib) yang akan melahirkan manusia beradab dan berakhlak. Sehingga tidak perlu untuk diganti dengan konsep karakter yang masih menyimpan sejumlah masalah, baik dari sisi konsep maupun aplikasinya.

Sayangnya, istilah karakter ini kemudian digunakan untuk pendidikan di Indonesia. Padahal, di dalam undang-undang istilah yang digunakan adalah akhlak. Sedangkan di dalam Pancasila kata adab menjadi istilah penting yang sangat berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Ketika berbicara mengenai pendidikan, berarti berbicara tentang manusia. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia tidak cukup hanya berkarakter, tapi harus beradab dan berakhlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar